Anda di halaman 1dari 40

Realitas Due Process of Law Dalam Pelaksanaannya Di Indonesia (Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Sistem Peradilan Pidana) Adang.

, SH., M.Hum (http://trulidemon.multiply.com/journal/item/11) Baik diri maupun masyarakat dibentuk oleh unsur-unsur yang sama, yaitu disebut sebagai simbol-simbol. (Arthur Brittan) A. Due Process of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia 1. Tentang Sistem Peradilan Pidana Indonesia Pendekatan sistem1 terhadap peradilan pidana pertamakali di perkenalkan oleh Frank Remington, yang terdapat dalam laporan pilot proyek tahun 1985. gagasan ini kemudian di letakan kepada mekanisme administrasi peradilan pidana dan di beri nama Crmininal justice system. Apabila kita telaah dari isi ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam undangundang No 8 Tahun 1981 maka Criminal Justice system di indonesia terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat aparat penegak hukum tersebut memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya, bahkan dapat dikatakan saling menentukan satu sama lainnya. pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 (seharusnya) merupakan suatu usaha yang sistematis 2. UU No.8 Tahun 1981 dapat dikatakan sebagai landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat martabat tersangka, tertuduh, atau terdakwa sebagai manusia3. Dalam konteks seperti inilah kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut sebagai Criminal Justice Preocess yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan4.

Menurut Romli Atmasasmita, Istilah Criminal justice system 5 atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu isitilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem6. Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukakan oleh Romli tersebut, sistem tersebut mempunyai ciri:
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga pemasyarakatan). b. Pengawasaan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The administration of justice.

Dalam hal ini, Remington Dan ohlin7, mengemukakan:


Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administratif peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial, pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efesien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

Sedangkan Mardjono Reksodipoetra8, memberikan batasan terhadap SPP adalah :


Sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana

Beranjak dari defenisi yang kemukakan tersebut di atas, Mardjono, 9 mengemukakan tujuan dari sistem peradilan pidana, adalah:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana 3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sisitem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga kemasyarakatan) di harapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu Integrated criminal justice system. apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, akan diperkirakan terdapat tiga kerugian sebagai berikut:

a.

Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana) c. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.

2. Due Proces of Law: Model Peradilan di Indonesia Herbert L.Packer, dalam The Limit Of Criminal Sanction10, telah menjelaskan adanya dua model dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa penggunaan model yang demikian itu tidak ada dalam kenyataan, atau dengan kata lain bukan sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut dalam suatu negara, akan tetapi merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana diberbagai negara. Pembedaan yang packer sebutkan adalah sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan stuktur masyarakat Amerika Serikat. Pemahaman tentang model penyelenggaraan peradilan pidana, khusunya di Amerika serikat, diperkenalkan oleh Packer berdasarkan pengamatannya, ia mengatakan bahwa penyelengaraan peradilan pidana di Amerika Serikat, diperkenalkan dua model: Due Process Model Dan Crime Control Model kedua model ini tidak dilihat sebagai IS dan OUGHT Packer Mengemukakan model-model tersebut sehubungan dengan adanya perbedaan pelaksanaan Proses kriminal11 Menurut Herberet L. packer ciri-ciri kedua model tersebut antara lain 1.
The criminal Control Model tends to the emphasize this adversary aspect of the process. The due process model tends to make it central 2. The value system that uderlies the crime control model is based on the proposition that the repression of criminal conduct is by far the most important funcition to be performed by the criminal process. In order to achieve this high purpose, the criminal models requirs that primary attention be paid to the efficiency with which the criminal process operates to scren suspects determine guilt and secure appropriate dispositions of prosoon concvicted of crime 3. The presumtion of guilt, as it operates in the crime control model. Is the operational expression of that confidenceit would be a mistake to think of the presumtion guilt as the opposite of the presumtion of innocence that we are so used to thinking of as the

polestar of the criminal process and that was well shall see, ocuppies an important position in the due process model. 4. If the crime control model resembles an asembely line. The due process model look very much like an abstacle course.12

Dalam The Crime Control Model didasarkan atas anggapan bahwa penyelengaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas pelaku kriminal (Criminal Conduct), dan ini adalah tujuan utama dari proses peradilan pidana. Sebab dalam hal ini yang diutamakan adalah ketertiban umum (Public Order) dan efesiensi.13 dalam model seperti inilah berlaku Sarana Cepat dalam rangka pemberantasan kejahatan. Dan berlaku apa yang disebut sebagai Presumtion Of Guilty, kelemahan dalam model ini adalah seringkali terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia demi efesiensi.14 Dari uraian tersebut, dapat diuraikan, bahwa nilai yang melandasi Crime Control model adalah:
1. 2. 3. 4. 5. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan Perhatian utama harus ditunjukan kepada efesiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksankan berlandaskan prinsip cepat (speddy) dan tuntas (finality) dan model yang mendukung adalah model administratif dan menyerupai model manajerial Asas praduga tak bersalah Presumtion of guilt akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efesien Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah: (a) pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau (b) kesedian tersangka menyatakan dirinya bersalah atau Plead of guilty.15

Kemudian, Dalam Due Process Model,

munculah nilai baru, adalah konsep

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasan pada peradilan pidana. Jadi dalam model ini proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan sifat otoriter dalam rangka maksimum efesiensi. Dalam model ini diberlakukan apa yang dinamakan dengan Presumtion Of Inocence. Due Process Model adalah model yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian dalam mekanismenya, misalnya saja model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana, model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan.. Artinya model ini mengandung sikap batin penghormatan terhadap manusia, model ini tidak dapat dibatasi oleh batas-batas tertentu, dan model ini melambangkan sikap yang sangat

dalam tentang keadilan bagi sesama manusia antara individu dengan pemerintah. Model ini didasarkan kepada Obstacle Course maka petugas dalam melaksanakan tugasnya didasarkan kepada aturan permaian yang ada, yang telah ditentukan. Apabila kita perbandingkan dengan The Crime Control Model maka model ini sangat cocok apabila diterapkan di negara Indonesia. aplikasi model ini dapat kita lihat dalam pasal 17 UndangUndang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 17 berbunyi: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup artinya perintah penangkapan dilakukan dengan tidak sewenang-wenang. Menurut Romli Atmasasmita16 model ini dilandasi oleh nilai-nilai:
1. 2. 3. Adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi, maka dalam hal ini, tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak atau dsiperiksa setelah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya Pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan Menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara.proses peradilannya dipandang sebagai Coercive (menekan), Restricting (membatasi), dan (Demeaning) merendahkan martabat . Proses peradilan seperti ini harus dapat dikendalikan Model ini memegang teguh doktrin: (a) seorang dianggap bersalah apabila penetapannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki tugas tersebut, (b) terkandung asas Presumtion of innocence Persamaan di muka hukum, Equality before the law lebih mementingkan kesusilaan dan kegunaan saksi pidana.

4. 5.

6.

Kedua Model tersebut di atas, baik Crime Control Model, ataupun Due Process Model dilandasai oleh pemikiran apa yang disebut dengan dengan Adversary Model.17 yang berintikan sebagai berikut:
1. Prosedur peradilan pidana merupakan suatu sengketa (disputes) antara kedua belah pihak antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan 2. Tujuan utama dari prosedur peradilan pidana, adalah menyelesaikan sengketa yang timbul disebabkan kejahatan 3. Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan ( pleadings) dan adanya lembaga jaminan bukan merupakan keharusan, melainkan merupakan hal yang sangat penting. 4. Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan, sedangkan peranan tertuduh menolak atau menyanggah tuduhan. penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikan disertai bukti yang menunjang fakta tersebut, dan tertuduh adalah sebaliknya menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan dipersidangan

yang akan menguntungkan kedudukannya dengan mengenyampingkan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta yang dimaksud.

Dari karakterisitik masing-masing model tersebut di atas, maka Crime control model merupakan tipe affirmative model, adalah tipe yang selalu menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut dari prosedur peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan. Sedangkan Due process model, merupakan tipe negative model, adalah tipe yang selalu menekankan pada batasan kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan tersebut yang dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan selalu mengacu kepada konstitusi Perbedaan antara Crime control model dan due process model akan terlihat dalam tabel berikut: Perbedaan Crime control model dan Due process model. Tabel 2.1

Model Crime Control Model

Mekanisme 1. Represif 2. Presumtion of guilt 3. Informal factfinding 4. Factual guilt 5. Efisiensi

Due Process model

1.Preventif 2.Presumtion inocence 3.Formaladjudicative 4.Legal guilt 5.efektivitas

Nilai Didasarkan atas anggapan bahwa penyelengaraan peradilan pidana adalah sematamata untuk menindas pelaku kriminal (Criminal Conduct). Perlindungan of terhadap hak-hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasan pada peradilan pidana.

Tipologi Affirmative Model

Negative Model

B. Menggali Persoalan Dalam Praktek Peradilan di Indonesia 1. Apakah Ini Ruang Persoalan?

Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak, Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan18. kaitannya dengan tujuan peradilan pidana ini, Harry C Bredemeire memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan gangguan terciptanya kerjasama, dalam hal ini untuk mewujudkan tugasnya itu pengadilan membutuhkan tiga masukan (Input) adalah :
1. Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat, antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan diderita dari akibat putusan tersebut. 2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan 3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk menggunakan pengadilan untuk penyelesaian konflik19.

Baik dari tujuan peradilan pidana, ataupun dari tugas pengadilan. keduanya sangat erat sekali hubungannya dengan Responsibilitas, Liabilitas, dan Akuntabilitas, Peradilan. dengan ketiga hal ini, diharapkan pemeriksaan perkara pidana seyogyanya harus memperhatikan: Adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakan ataupun keputusannya; serta yang melakukan penilaian tersebut adalah institusi sosial politik yang berada di luar peradilan20. Untuk mewujudkan tujuan peradilan pidana tersebut, dalam hal ini Sistem Peradilan Pidana, telah mengetengahkan model normatif dalam pelaksanaannya. Herbert L Packer, telah memperkenalkan dua model peradilan pidana Due process model dan Crime control model. Sebagaimana yang teruraian di atas. dan pembedaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan stuktural (sobural) masyarakat Amerika Serikat.21 lebih lanjut Packer mengemukakan:
Bahwa suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya hukum pidana memerlukan penyelidikan secara umum tentang apakah proses pidana merupakan kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau rendah dan penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengatasi perilaku anti-sosial, bertitik tolak dari kedua persyarat tersebut memerlukan suatu pemahaman, mengenai Criminal Proces, satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut di atas adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model, model yang hendak dibangun adalah (1) yang memilki kegunaan sebagai indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaimana suatu sistem diimplementasikan; (2) dan sebuah model berbentuk dari usaha untuk membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapkan seakurat mungkin apa yang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari; (3) sebuah model yang

dapat dipergunakan untuk mengenali secara ekplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu Criminal Process, bentuk model yang cocok untuk mencapai ketiga hal tersebut adalah model atau model-model normatif, adalah The Due Process Model, dan The Crime Control Model.

Proses Peradilan Pidana yang tertuang dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana), telah mencerminkan nilai-nilai yang tertuang dalam Due process model. sebab model ini menawarkan prosedural yang ketat, yang didukung oleh sikap batin (penegak hukum) untuk menghormati hak-hak warganya. Namun dalam kenyataanya, formulasi aturan model yang demikian itu biasanya tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan terhadap komitmen dalam praktek, yaitu menyangkut persolan subtantif yang sering dikesampingkan, yang pada akhirnya hanya muncul prosedur formal semata Akibatnya dari formulasi model yang demikian tersebut, timbullah permasalahan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pemeriksaan umumnya berlangsung lama, berbelit-belit, penuh keberpihakan, rumit dan tidak sederhana seperti yang disebutkan dalam aturan normatifnya/formalnya (KUHAP)22. pemeriksaan perkara pidana di pengadilan biasanya menunjukan kepada pelayanan status, biasanya memihak status yang lebih tinggi atau lebih berbobot materinya, dibandingkan dengan status yang lebih rendah atau kering bobot materinya. dan inilah dinamakan dengan perilaku diskriminatif23. Selain itu juga, permasalahan yang timbul dari model yang demikian itu, Di ruang sidang kekerasan muncul melalui berbagai simbol tertentu, hakim yang bertanya dengan nada marah atau membentak tersangka, arogansi kewenangan dan sifat otoriter, atau aparat keamanan dengan persenjataan lengkap mengawal masuknya tersangka ke persidangan. Di tengah wacana peradilan pidana yang seperti ini, banyak kritikan yang dilontarkan. terhadap lembaga peradilan di Indonesia, yang telah menjurus ke arah caci maki dan sumpah serapah. hendak diapakan peradilan dalam kondisi seperti saat ini? bukan semata-mata ungkapan sinis dan pesimis, namun realitas yang beralngsung mempertontonkan sebuah peradilan dagelan, peradilan yang di dalamnya penuh nuansa formalitas yang pada akhirnya menjadikan peradilan sebagai Super market (jual beli keadilan) yang terjadi di ruangan pengadilan24. di ruang pengadilan inilah terdapat semacam simulasi pengadilan (Simulation Of Court)25. Dalam wacana hukum seperti ini, Yasraf Amir Piliang mengatakan:

Wacana hukum dalam hal ini, menciptakan semacam realitas hukum yang melampui (postJustice), yaitu sebuah dunia hukum, yang di dalamnya pengadilan ( Court) dan keadilan (Justice) hidup dalam wujud simulakra, di dalam wujud topeng-topeng keadilan, di dalam mekanisme seolah-olah adil (as if). keadilan keadilan berkembang dalam wujud simulasinya, yang menampilkan citra-citra konkrit, sebagai signifer (pengadilan, terdakwa, saksi, jaksa, hakim), menampakan aksi-aksi sosial yang aktual, akan tetapi semua dalam wujud simulasinya26

Dari permasalahan tersebut, dari mulai lambatnya pemeriksaan di sidang pengadilan, sikap hakim yang bernada marah, pemeriksaan dengan di dampingi para aparatur hukum dengan persenjataan. Sampai kepada terjadinya jual beli keadilan di ruang sidang. Maka perlunya dilakukan penelitian terhadap permasalahan ini secara empirik. Titik utama permasalahannya adalah realitas sosial yang ada di dalamnya, Tindakantindakan para aparatur pengadilan sewaktu pemeriksaan perkara pidana berjalan, kaitannya dengan sistem peradilan pidana yang layak dan adil (Due Process Model), atau sistem peradilan yang Humanis, yang memanusiakan manusia. 2. Memahami Ruang Persoalan Makalah ini dituliskan dalam suasana penuh kegelisahan terhadap model peradilan pidana yang layak dan adil, ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga peradilan pidana (Criminal Justice System) yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi, dan manajemen. dari segi profesional Sistem peradilan pidana, lajim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Dalam hal ini Sistem peradilan pidana erat kaitannya dengan asas, doktrin, dan perundangundangan yang mengatur tentang sistem peradilan pidana27. Dalam Makalah ini, sistem peradilan pidana khususnya dalam tahap pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan akan di lihat secara sosiologis. karena masalah peradilan, tidak bisa dibicarakan, atau dipandang secara parsial atau terpisah dari realitas sosialnya. tetapi pembicaraan peradilan haruslah menyangkut yang lebih luas, termasuk unsur-unsur sosial yang ada di dalamnya. Makalah ini lebih menitik beratkan pengkajiannya terhadap hukum dan masyarkat, karena hukum dan masyarakat bukanlah merupakan sesuatu hal yang statis, hukum dari waktu kewaktu senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan termasuk proses dan berkembangnya hukum nasional kita pasca kemerdekaan hingga saat ini mengalami perubahan dan tidak hanya tumbuh dan berkembang dengan ditandai pranata-pranata

hukum. akan tetapi juga terlihat pada tingkat lain yaitu yang berwujud pada perubahan paradigmatik. maka cara pandang hukum dalam keadan seperti ini, perlu memandang hukum dalam realitasnya28 tentunya apabila kita memandang hukum dalam realitasnya, maka kita harus memiliki pendekatan kritis dalam memahami hukum29 Secara kritis, dalam memahami hukum berarti juga kita memahami manusia. ini tidak semata-mata merupakan gambaran umum tentang hukum yang ada selama ini, pandangan yang mengarah kepada The man behind the gun yang membuktikan bahwa aktor dibelakang memegang peranan yang lebih dominan dari sekedar persoalan stuktur, khususnya bagi para Sosiologi mikro. apabila Cicero mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang dia bicarkan sebenarnya adalah hukum hidup ditengah-tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki pendekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan. artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum30. Uraian diatas adalah, merupakan salah satu pintu masuk dalam memahami hukum secara kritis. dan sekaligus adalah jalan ke dua untuk menuju hukum, selain jalan Normatif yang dikungkung oleh paham filsafat Positivisme31. Salah satu bentuk untuk memahami hukum secara kritis adalah, Dengan menggunakan pendekatan sosiologi terhadap hukum. Cara pendekatan inilah yang akan digunakan oleh penulis dalam penulisan Makalah ini. Walaupun pendekatan sosiologi terhadap hukum tidak berada di atas segala-galanya dalam memahami dan mencermati hukum. dalam kaitanya dengan ini Selznick, memberikan komentarnya sebagai berikut:
Apapun juga yang telah dilakukan oleh para ahli sosiologi untuk memahami sistem hukum secara realistik, semuanya itu tidak dapat menutup-nutupi kegagalan mereka untuk memberikan suatu teori yang dapat menjelaskan ciri khas hukum.32

Akan tetapi, dalam hal kita memahami dan menjelaskan hukum sebagai fenomena sosial, atau kita kaitkan dengan proses interaksi dalam masyarakat, komunikasi di ruang pengadilan, tingkah laku para aparatur pengadilan, maka kita harus berada dalam ruang sosiologis. sebagaimana Schiff, telah mengatakan bahwa: Realitas Hukum Terletak Di dalam Kerangka Realitas Sosial Telaah sosiologi hukum sangat diperlukan dalam hal ini karena, sedikit atau banyak seorang ahli hukum, praktisi hukum (misalnya Hakim, jaksa, Pengacara) dalam menerapkan peraturan, tentunya akan menjelaskan seakurat mungkin yang menjadi landasannya, sebagaimana J. Maxwell Atkinson menjelaskan.

Walaupun para ahli hukum berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menerangkan karaktersistik dan ruang lingkup dari aturan, mereka tetap akan mengalami kesulitan dikarenakan adanya tuntutan akan penjelasan yang akurat atau tepat dan teliti tentang suatu pernyataan semua tergantung kepada situasi33

C. Realitas Due Process of law: Sebuah kajian Sosiologi Hukum 1. Makna Due of Process of Law Dalam Realitasnya Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang di dasarkan pada Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang di dalamnya terdapat beberapa asas, seperti asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas praduga tak bersalah, hak untuk memproleh ganti rugi sampai kepada kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya, maka sistem peradilan pidana kita lebih mengarah kepada :Due Procees Model. adalah proses hukum yang adil dan layak. Sejak diundangkan KUHAP ini, dikenallah sistem peradilan pidana terpadu (Intregrated criminal Justice System) sasaran yang ingin dicapai dalam hal ini adalah kelancaran dalam proses peradilan pidana sejak tahap penyidikan, penuntutan, putusan atau vonis hakim sampai tahap eksekusi. Menurut Anthon F Susanto34 Hakikat sistem peradilan pidana terpadu sebenarnya cukup baik, yaitu untuk mencegah dan atau kepentingan yang bersifat instanasional, sehingga diharapkan proses peradilan pidana dapat berjalan objektif, cepat dan berkeadilan, namun dalam kenyataanya di lapangan menunjukan masih ada proses peradilan pidana yang berjalan tersendat-sendat, egoisme instanasional, yang masih ketat, dan menyimpangi dari rasa keadilan masyarakat. Tahap pemeriksaan perkara pidana yang cepat, sederhana, dan biaya murah. Bukan dalam artian percepatan dalam pemeriksaan, ataupun sederhana tanpa didampingi oleh penasehat hukum, atau pemeriksaan yang tanpa hati-hati. Dalam hal ini, proses pemeriksaan perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat. Diartikan untuk menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural, agar tercapai efesiensi kerja mulai dari kegiatan penyidikan. sedangkan proses pemeriksaan perkara pidana yang sederhana, dapat diartikan penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan perkara dari masing-masing intansi yang berwenang berjalan dalam satu kesatuan, yang tidak memberikan peluang kerja yang berbelit-belit.

Pemeriksaan perkara pidana dengan biaya murah, adalah untuk menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas, yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat yang tidak sebanding. Sistem peradilan pidana yang cepat, sederhana dan biaya ringan adalah sebenarnya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Due process model. Suatu konsekuensi logis dari dianutnya Due process of law, atau proses hukum yang adil dan layak dalam undang-undang No.8 Tahun 1981, ialah bahwa sistem peradilan pidana indonesia selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana (sesuai dengan kesepuluh asas) juga harus didukung oleh sikap batin (penegak hukum) yang menghormati hak-hak warga masyarakat35. Dalam kenyataannya di lapangan, sistem peradilan pidana seperti ini tidaklah ada, dan menyimpangin dari Due process model tersebut. Pemeriksaan perkara pidana, yang sesuai dengan Due process model atau Due process of law, biasanya terjadi pada pemeriksaan yang lebih berbobot materinya, atau yang lebih menonjolkan dominasi peranan. Dalam realitas sosial diakui bahwa peradilan pidana memiliki kecenderungan tidak netral, sering menunjukan kepada pelayanan status lebih tinggi atau lebih berbobot materinya. Dari uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa makna (arti) Due process model, dalam realitasnya ternyata lebih memihak kepada golongan yang lebih tinggi. Benar semua orang sama di depan hukum, terdakwa wajib didampingi penasehat hukum, akan tetapi siapa yang diadilinya, siapa yang menjadi terdakwanya. Padahal menurut Mardjono36, proses hukum yang adil dan layak pada intinya adalah:
a. Hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi a. Dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasehat hukum b. Dia berhak mengajukan pembelaan c. Dan penunutut umum harus membuktikan kesalahannya dimuka suatu pengadilan yang bebas d. Dan dengan hakim yang tidak berpihak.

Prinsip-prinsip tersebut di atas, ternyata hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berpunya, baik kedudukan ataupun materinya. Dalam kalangan masyarakat miskin proses hukum seperti tersebut di atas jarang sekali dapat dinikmati.

Dalam situasi yang demikian, sinyalemen lembaga peradilan bergeser menjadi lembaga pinggiran akan sangat terasa dan akan terjadi bila masalah-masalah keadilan dihadapkan dengan masalah-masalah sentral lainnya, seperti ekonomi, politik, dan keuangan. Dalam hal ini Satjipto Rahardjo 37, memberikan komentar terhadap situasi seperti ini.
Dalam suasana pembangunan yang sangat menekan aspek ekonomi sekarang ini, manajemen keadilan terasa terdorong ke belakang. Berbagai institusi ekonomi, produksi, keuangan, berada dipusat, sedangkan institusi keadilan berada di pinggiran atau periferi.

Walaupun dalam nilai-nilai Due process model, bahwa peradilan tidak boleh memihak, peradilan harus bersih. Akan tetapi menjadi lain maknanya apabila tekanantekanan dari institusi kekuasaan negara dan kekuatan-kekuatan lain dengan membawakan misi ekonomi, dan terkadang misi politik dihadapkan dengan misi keadilan, membuat lembaga peradilan harus menentukan pilihan, apakah tetap eksisis sebagai lembaga sentral pengemban keadilan atau menjadi lembaga pinggiran. Due process model, selalu berkaitan erat dengan persoalan etika proses pemeriksaan perkara. Atau merujuk kepada pendapat Samuel Walker, yang selalu berkaitan dengan model pelayanan38. Model ini menjelaskan suatu model yang terbaik dalam sistem peradilan pidana, karena dalam model ini tertuang perlindungan-perlindungan terhadap tersangkan dan terdakwa sewaktu pemeriksaan perkara pidana berlangsung. Model ini lebih baik daripada Crime control Model pemeriksaan. Dari uraian di atas, maka telah jelas sistem peradilan pidana indonesia di dasarkan terhadap Due process of law, karena aturan yang dipakai di negeri ini adalah sesuai dengan sistem tersebut. Pertanyaan yang cukup kritis, apakah sistem Due process of law ini sesuai dengan praktek?, sistem ini boleh sama dengan aturan yang dipakai, apakah aturan yang diterapkan itu sama dengan kehendak masyarakat. Sesungguhnya sistem peradilan pidana indonesia ini, lebih mengarah kemana. kalau Due process of law ini banyak lontaran kritik yang di arahkan terhadap model ini. Sesuai dengan kenyataan dilapangan, telah memperlihatkan bahwa sistem peradilan pidana yang adil dan layak ini sangatlah bersifat sentralistik, banyak didominasi oleh mereka yang pandai memainkan peraturan. Sepintas terlihat sistem peradilan ini sangatlah represif39, dan dibentuk untuk mempertahankan kekuasaan (status quo), lebih yang menempatkan individu sebagai objek

mencerminkan kepentingan kelompok yang memiliki bargaining position yang kuat, tetapi sebaliknya peradilan pidana ini tidak mencapai suatu tujuan yang benar yaitu keadilan Bahkan tujuan dari hukum acara pidanapun, untuk mencapai kebenaran yang materil tidak terlaksana, apalagi untuk mencapai hukum yang responsif.40 Dari uraian di atas, dapat di tafsirkan bahwa due process of law selalu memiliki identifikasi dengan soal keadilan sekaligus sebagai karakteristik demokratisasi dari negara yang mengikuti prinsif rule of law sebagai pilar keadilan. Sehingga secara formal nilai-nilai ini tidak dapat dilepaskan dari prinsif tersebut. Penulis mengakui sangat sulit untuk mencapai makna sebenarnya dari realitas pemeriksaan perkara pidana, kaitannya dengan sistem peradilan pidana yang layak dan adil. Di sisi lain aturan KUHAP telah mencerminkan nilai-nilai yang tertuang dalam due process model, akan tetapi dalam kenyataan nilai-nilai ini penuh keberpihakan kepada yang kuat. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini, penulis mengutip pendapatnya Esmi warasih, beliau mengatakan
Perbincangan tentang hukum dan keadilan tidak akan lepas dari pandangan falsafati yang mendasarinya. mereka yang berangkat dari filsafat formalisme akan memandang hukum sebagai prasyarat-prakondisi bagi kehidupan rasional yang esensial. Hukum merupakan peraturan yang dinyatakan secara umum dan hendaknya dimengerti oleh semua orang. Hukum mengatur perbuatan mana yang boleh dan tidak boleh, bahkan hukumpun memberikan prediksi bagi pelaku-pelaku yang bermain dengan konsekuensi-konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukan, hukum memberikan kepastian dan memberikan ketertiban sosial dalam mengatur masyarakat. Hukum berlaku universal dan sangat rasional, semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum 41

Tentunya sistem peradilan pidana yang layak dan adil tersebut, sulit untuk didapatkan sebab mereka hanya bekerja sesuai dengan bentuk formalnya saja, sementara substansi yang ada telah dijauhkan begitu saja. Memang sulit untuk untuk mencapai kepada hukum yang responsif, karena sistem peradilan pidana seperti ini adalah berada di tengahtengah hukum moderen. Dalam wacana hukum moderen seperti ini, yang urusannya hanya dengan perburuan keadilan (searching for justice), Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa hukum moderen berada di persimpangan jalan (bifurcation).
Di sinilah hukum moderen berada di persimpangan jalan, sebab antara keadilan sudah diputuskan dan hukum sudah diterapkan terdapat perbedaan yang sangat besar. Wilayah keadilan tidak persis sama dengan wilayah hukum positif. Keadaan yang gawat tersebut tampil dengan menyolok pada waktu kita berbicara supremasi hukum. Apa yang kita maksud? Supremasi keadilan atau supremasi perundang-undangan? keadaan persimpangan tersebut juga muncul pengertian-pengertian seperti formal justice atau legal justice di satu pihak dan substansi justice di lain pihak.42

Di tengah-tengah persimpangan jalan ini (bifurcation) memunculkan pertanyaan yang cukup kritis, apa sebenarnya yang diburu para pencari keadilan dalam supermasi hukum ini. Pertama-tama dimulai dengan kecurigaan, kendati supremasi hukum yang diteriakan sebenarnya ada sesuatu yang lain dimaksud. Masyarakat menghendaki substansi yang lain dengan teriakan supremasi hukum itu. Rasanya bukan hukum yang diburu masyarakat, tetapi hal yang substansial, keadilan. Menurut didambakan, yaitu keadilan43. Hukum moderen dalam mewujudkan keadilan, memburu keadilan selalu saja berurusan dengan formal justice, sementara substansial justice banyak dikesampingkan. Memang hukum dalam bentuk formal itu diperlukan, karena memang itu adalah ciri hukum sesunggunya, akan tetapi jangan sampai bentuk formal tersebut menghilangkan yang substansial. Pada saat substansi yang dipertanyakan, ternyata formalisme telah melupakan kenyataan bahwa ternyata tidak semua orang memiliki kemampuan kesempatan dan tingkat kesejahteraan yang sama, baik kesempatan pendidikan, kekuasaan, atau bidang-bidang yang lain. Formalisme lebih mementingkan bentuk dan eksistensi, sementara substansi hanya berurusan dengan isi dan konsekuensinya tanpa memperdulikan unsur kultur dari hukum. anggapan seperti ini telah mengabaikan dan melakukan diskriminasi pada kaum miskin (proverty), tidak berdaya (powerlessness), lemah (physical weaknes). Bentuk formal seperti inilah sangat nampak sekali dalam hukum acara pidana kita, praktek di pengadilan lebih mementingkan aturan daripada substansi dari aturan tersebut. Banyaknya diskriminasi memang tak dapat dipungkiri, karena itulah kenyataannya. Dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, dengan banyaknya bentuk formal yang ditampilkan, banyaknya sikap diskriminasi yang ditonjolkan, penuh dengan keberpihakan, yang biasanya memihak kepada yang lebih tinggi44. Pengadilan dan Sisitem Peradilan Pidana dalam situasi saat ini sangatlah otonom45, ia terlalu banyak memperlihatkan prosedur dalam prakteknya pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan prosedurnya sendiri, yaitu untuk mengatur syarat-syarat untuk mendapat akses dalam proses hukum dan cara-cara berpartisipasi di dalam proses hukum tersebut. Dengan adanya kekuasaan ini, pengadilan dapat menuntut bahwa siapapun yang dapat Satjipto Raahardjo, sebenarnya supremasi hukum itu sebagai wadah, untuk menyatakan apa yang sebenarnya

menggugat otoritas hukum, harus melakukan dengan cara yang konsisten dengan keteraturan hukum. Akibatnya dari penggunaan prosedur tersebut, pengadilan hanya menghasilkan keadilan yang sifatnya formal. Padahal tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa keadilan yang sifatnya formal secara konsisten melayani pola-pola hak istimewa dan kekuasaan yang ada. Makna keadilan dirusak ketika sebuah sistem bangga akan adanya sistem peradilan yang sempurna, dan tidak memihak. Tidak mampu menjustifikasi gugatan akan ketidakadilan subtantif. Makna keadilan yang ditawarkan oleh due process di tengah keberpihakan kepada prosedur ini terasa menyesatkan dan sewenang-wenang ketika ia menghalangi terwujudnya harapan akan keadilan. Ia di lindungi oleh prosedur-prosedur yang penuh keberpihakan, dengan cara-cara itu seolah-olah pengadilan melayani status. Due process secara responsif dipahami sebagai nama untuk serangkaian peraturan, yang dipaparkan secara historis, yang melindungi hak-hak atas pemberitahuan ( right of notice), untuk didengar dalam persidangan, peradilan dengan sistem juri. Makna due process, ini bertentangan dengan interpretasi yang lebih fleksibel, yang mengangap bahwa aturan terikat pada masalah-masalah konteks yang khusus, dan berusaha untuk mengidentifikasikan nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam perlindungan melaui prosedur. Ketika nilai-nilai ini diartikulasikan, nilai-nilai tersebut menawarkan kriteria otoritatif untuk mengkritisi peraturan-peraturan yang ada, mendorong pembentukan baru, dan menuntut perluasan sistem due process ke situasi kelembagaan baru. Akhirnya tuntutan terhadap due process ini adalah, perlunya tatanan nilai-nilai yang lebih mengarah kepada pembentukan hukum responsif. karena peraturan perlu bergantung kepada atau disesuaikan dengan kondisi-kondisi historis yang tepat, sehingga ia bisa relaven dan mempunyai daya hidup. Ketika lingkungan berubah, peraturan-peraturan harus ditata ulang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kebijakan, namun juga untuk melindungi otoritas peraturan itu sendiri dan integritasnya ketika diaplikasikan. 2. Kekerasan Simbolis dari Sisi lain Due Process of Law. Di ruang sidang pengadilan PN-Karawang, berdasarkan pengamatan penulis. Ternyata banyak menimbulkan bentuk-bentuk kekerasan (Violence) dalam berbagai simbol,

baik itu datangnya dari hakim, atau jaksa, yang tentunya kekerasan dengan simbol-simbol tertentu diarahkannya kepada terdakwa atau tersangka. Dari mulai hakim yang membentak tersangka,...apakah saudara mengerti. jaksa yang melontarkan pertanyaan dengan penuh arogansi.....di mana saudara pada waktu itu (dengan sangat keras) sampai pengawalan terhadap tersangka atau terdakwa oleh aparatur kepolisian dan kejaksaan. Kekerasan seperti ini, kekerasan simbolik ( Symbolic violence) adalah bentuk kekerasan yang dilakukan dengan cara-cara halus melalui mekanisme tertentu, misalnya kekuasaan, sehingga tidak nampak kekerasan. Sebagai contoh dalam kekerasan semacam ini adalah, di kalangan para praktisi hukum ( Legal profesionals) seperti pengacara, jaksa, hakim, legislator, dan birokrasi banyak mempraktekan apa yang disebut oleh Abraham S Blumber,adalah Permaiana penuh rahasiah. Dan kooptasi organisasi profesi. (a confidence Game, organization Cooptation a Profession)46. Dalam kondisi hukum seperti ini, Yasraf A Piliang 47, memberikan komentarnya Ketika kejahatan dilakukan oleh negara, maka kejahatan itu akan menjelma menjadi perfect Crime, disebabkan hukum dan sistem hukum menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Hukum kini menjelma menjadi institusi semiotik, yang didalamnya beroperasi tanda-tanda palsu (pseudo sighn), tanda dusta (false sighn) dan tanda artifisial (artificial sign). Tanda-tanda (pengadilan, tersangka, barang bukti, saksi sebagai elemen semiotik) kini digunakan untuk mengaburkan realitas, memalsukan kebenaran dan keadilan. Realitas seperti inilah yang terdistorsi dan membawa kita kepada apa yang kita sebut sebagai puncak kekerasan, kekerasan yang paling halus, tetapi sekaligus kehalusan yang mengerikan, inilah sebuah kekerasan sempurna, dan itulah kejahatan sempurna. Ada banyak cara menuju kekerasan atau kejahatan sempurna:
a. Ketika kejahatan (negara) atau pengadilan begitu kolosal dan masif, sehingga melampui kemampuan perangkat hukum untuk mengusutnya b. Ketika kejahatan ditutupi oleh simulacra of crime yaitu ketika kejahatan begitu rapih direncanakan, diorganisir, dan dikontrol, sehingga ia melampui jangkauan perangkat hukum, seolaholah tidak ada barang bukti, tidak ada pelaku, tidak ada korban. c. Ketika kejahatan kekerasan berlangsung dengan tingkat ketidakterlihatan (Invisibility) yang sangat tinggi

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan sempurna adalah: kejahatan yang dengan jitu membunuh realitas, yang menikam kebenaran, yang menusuk keadilan, kejahatan yang begitu rapih direncanakan, diorganisir, dan dikontrol

Benar apa yang dikatakan oleh Arthur Brittan 48, bahwa baik diri maupun masyarakat dibentuk oleh unsur-unsur yang sama, yaitu disebut sebagai simbol-simbol. Contoh yang sangat jelas simbol linguistik. Dengan kata lain penulis hanya bisa mengetahui siapa sebenarnya penulis, karena orang lain mengatakan kepada penulis bahwa penulis adalah merupakan semacam objek sosial. Simbolis dalam hal ini berarti suatu alat yang kita gunakan untuk menghilangkan Chaos (kekacauan) dan absurditas. Menurut beberapa versi aliran interaksionisme, kita hidup di alam absurd sebagai mahluk yang dapat bertindak secara rasional. Tindakan-tindakan para aparatur pengadilan atau para praktisi pengadilan (Hakim, Jaksa, Pengacara), tentunya mereka saling berinteraksi dalam merumuskan kekerasan simbolik ini terhadap terdakwa. Kebanyakan terhadap mereka yang perkaranya tidak berbobot atau statusya lebih kering materinya. Kekerasan dalam pemeriksaan perkara pidana di PN-Karawang, sering muncul dalam berbagai bentuk. Secara simbolik dapat dilihat, adanya perlakuan yang tidak sama terhadap terdakwa dihadapan pengadilan (hakim). Misalnya apabila terdakwa yang dihadapkan mempunyai derajat lebih tinggi, perkara yang diperiksanya adalah lebih berbobot maka perlakuannyapun sangat istimewa, dari mulai pakaian sampai tempat duduk. Bedahalnya dengan terdakwa yang derajatnya lebih rendah, perkaranya lebih kering materinya, pakaian yang ia pakai diseragamkan dengan baju koko celana hitam dan sandal jepit. Tentunya secara simbolik, mereka telah dicap jahat selain adanya kasta dalam pengadilan. Perlakuan yang berbeda ini, menimbulkan rasa cemburu sosial antara terdakwa. Dengan salah seorang terdakwa saya pernah mengadakan wawancara, Mas..bagaimana dengan perlakuan terhadap saudara seperti ini, dengan pakaian koko, celana hitam, sandal jepit. Sementara lihat disamping anda sangat rapih sekali?. Terdakwa itu menjawab, ya mau bagaimana lagi, saya tak punya uang dan saya hanya melakukan perbuatan yang kecilkecilan. Memang dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam tindakan-tindakan para aparatur pengadilan tersebut, telah mempergunakan bentuk-bentuk fisik atau moral tertentu terhadap kelompok yang lebih kecil statusnya. Inilah yang dimaksud dengan kekerasan dalam bentuk simbolik, yang biasanya ditandai oleh ungkapan-ungkapan, atau

perkataan yang tidak mengindahkan terdakwa. Selain itu juga sangat tampak dalam cara pengadilan memperlakukan terdakwa dengan pakaian yang berbeda. D. Dari Mana Kita Mulai.....? 1. Menuju Efektivitas dan Membangun Kembali Sistem Peradilan Pidana Yang Humanis Harus diakui secara jujur bahwa dalam kenyataan bobroknya dunia peradilan di indonesia bukan semata-mata dipengaruhi oleh politik dan kekuasaan eksekutif tetapi juga dan malah porsi terbesarnya adalah lebih banyak disebabkan oleh persoalan moral49. Anthon F Susanto, dalam hal ini mengungkapakan:
Kebiasaan-kebiasaan buruk sering menghambat proses peradilan, seperti runtuhnya moralitas sistem budaya sebuah komunitas, ketidakseimbangan dalam mempergunakan berbagai jenis pertanggungjawaban (Manajerial, program, dan sosial) dan saling lempar tanggung jawab karena gemuknya organisasi peradilan. Pada tingkat yang lebih teknis, hambatan-hambatan ini juga menyangkut keberadaan pengawas publik yang tidak mampu, pegawai peradilan yang korup, spirit yang melutut, pembusukan peradilan dan perlakuan masa bodoh dari pejabat peradilan itu sendiri50.

Apabila moral yang dipertanyakan, Praktek peradilan di negara kita ini sering menunjukan kaburnya orientasi para penegak hukum antara menegakan hukum dan menegakan keadilan. Sebagaimana yang penulis kaji di lapangan PN-Karawang, berdasarkan beberapa orang responden (Hakim,Jaksa, Dan Pengacara), bahwa tujuan utama pemeriksaan perkara pidana di pengadilan adalah, untuk memenangkan perkara sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal seperti ini dapat penulis tafsirkan, bahwa sangat jauh sekali dengan tujuan menegakan hukum51. Berangkat dari teori Efektivitas hukum, atau bekerjanya hukum di pengadilan. Maka nilai-nilai yang tertuang dalam Due process model hanya ada dalam KUHAP belaka, tanpa ada dalam kenyataan sehari-hari (Praktek di pengadilan). Hal ini disebabkan karena keruntuhan moralitas dalam setiap pemeriksaan. Menurut paradigma defenisi sosial yang mencoba mengamati pengadilan dari teori Symbolic interactionism, bahwa fakta-fakta sosial tersebut yang ada di pengadilan tidaklah sebagai hal yang mengendalikan atau memaksa individu akan tetapi hanya sebagai kerangka kerja di mana interaksi simbolik itu terjadi, individu (para aparatur pengadilan) mencocokan tindakan mereka terhadap orang lain melalui proses interpretasi (penafsiran)

melalui proses ini para aktor membentuk kelompok sendiri (yang terdiri dari kelompok jaksa, pengacara, dan kelompoknya hakim). Dan kelompok-kelompok tersebut tidak berdiri sendiri dalam setiap tindakannya, akan tetapi menjadi tindakan seluruh aktor yang ada di dalamnya. Melaui cara pandang definisi sosial tersebut di atas, nilai-nilai due process model yang kaitannya dengan moral para penegak hukum, tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang menyimpang atau tidak. Akan tetapi moral tersebut dijadikan alat untuk memahami kehidupan sosial di pengadilan, dan yakin bagi sybmbolick interactionism, bahwa para aparatur pengadilan dengan segala tingkahlakunya tersebut mampu membangun dunianya sendiri. Pandangan defenisi sosial ini tentunya diingkari oleh pandangan efektivitas hukum, dalam teori efektivitas hukum dinyatakan bahwa setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peranan ditentukan tingkah-lakunya oleh pola-pola peraturan yang diharapkan daripadanya baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum. Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungannya dengan proses peradilan secara konvensional melibatkan pembicaraan tentang administrasi keadilan. Dari mulai masuknya perkara ke pengadilan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai kepada putusan hakim. Dari administrasi keadilan ini, Satjipto Rahardjo52 Memberikan Komentarnya. Pada administrasi keadilan pidana keadannya cukup berbeda. salah satu ciri yang menonjol adalah, bahwa pada administrasi ini badan-badan yang terlibat cukup banyak dan oleh karena itu benar-benar membutuhkan pengelolaan yang seksama. Badan-badan yang terlibat adalah: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Masalah yang paling rumit adalah bagaimana kita akan mengorganisasikannya badan-badan kepada satu kesatuan kerja, sedang masingmaing mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Perbedannya mungkin belum berarti apa-apa, tetapi apabila diingat bahwa semua badan itu mengurusi orang yang sama, yaitu tersangka, terdakwa atau terhukum, maka keadannya bisa lain. Apabila misalnya, masing-masing badan itu memegang teguh birokrasinya, maka efesiensi dari administrasinya bisa sangat terganggu Untuk menggambarkan kompleksitas badan-badan peradilan pidana tersebut, Satjipto Rahardjo menggambarkannya dengan bagan di bawah ini

Memperhatikan bagan tersebut, kita tampaknya memang harus menyetujui betapa kompleknya sebenarnya penyelenggaraan keadilan di bidang hukum pidana ini. Dan sebagaimana biasanya proses-proses yang melibatkan badan-badan dalam suatu sistem birokrasi, maka problem utama yang dihadapi adalah, Efesiensi kerjanya. Kecamankecaman yang bisa dilontarkan dalam hubungannya dengan administrasi yang demikian itu adalah ketidaksamaan perlindungan yang diberikan kepada tersangka, sehingga mengalami penderitaan lebih dari yang bisa diterima. Untuk mengukur bagaimana suatu badan peradilan itu dapat bekerja sesuai dengan nilai-nilai Due process model, maka dalam hal ini teori efektivitas hukum memberikan batasannya. 1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami 2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum
yang bersangkutan

3. Efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum 4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan
dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa 5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemapuan efektif53

Tentunya apabila pembicaraan ini dikaitkan dengan efektivitas hukum, maka setiap pengadilan itu merupakan respon terhadap susunan masyarakat yang menjadi landasannya.pengadilan di sini dimaksudkan sebagai pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat yang berdasarkan kesepakatan nilai-nilai di mana segenap anggota masyarakat itu menghayati nilai-nilai yang sama. Dari uraian di atas, bagaimana nilai-nilai Due process model itu diterapkan dalam lapangan, apakah efektif atau tidak ini tergantung kepada moral para penegak hukumnya sendiri. Penelitian ini tidak bisa menjawab, karena penelitian ini hanya menjelaskan bagaimana keefetivan tersebut sesuai dengan nilai-nilai pemeriksaan yang adil dan layak, yang kemudian paradigma defenisi sosial dijadikan alat untuk menjelaskan hal ini. Terhambatnya Due process model di lapangan, oleh faktor moralitas itu sendiri. Di samping terhambat oleh terdakwanya sendiri yang menyepakati akan nilai-nilai yang ada di lapangan tersebut. Tentunya, akan sedikit sekali dalam mengenali konflik atau tegangan. Biasanya hal ini dialami oleh banyak terdakwa yang kualitasnya lebih rendah, mereka menyatakan sepakat dengan apa yang dikatakan oleh hakim, dan jaksa.

Dalam perkara-perkara yang bobot materinya kecil, misalnya Pencurian kecilkecilan. Memang terdapat konflik di dalamnya, antara berita acara pemeriksaan (BAP), Dakwaan, dan Pembelaan sampai kepada putusan hakim, yang paling menonjol sekali dalam pembelaan konflik muncul di persidangan (bagi terdakwa yang di dampingi oleh penasehat hukum), akan tetapi pembelaan dibacakan oleh penasehat hukum (hanya sekedar) ingin dilihatnya bahwa mereka (tim penasehat hukum) sudah menjalankan peraturan yang telah ditentukan. Sedangkan bagi terdakwa yang tidak di dampingi oleh penasehat hukum, konflik jarang sekali muncul kepermukaan sehingga suasana sidang apa adanya sesuai dengan kehendak hakim, dari konflik seperti inilah dapat disimpulkan bahwa keadilan itu adalah seolah-olah disebut adil. Akan tetapi dalam perkara-perkara yang bobot materinya lebih besar, konflik itu benar-benar hidup dalam ruang persidangan. Sebenarnya dengan adanya konflik di persidangan, misalnya Jaksa, pengacara, hakim dalam beragumentasi tidak hanya sekedar ingin dilihat akan memacu kepada terjalinnya kerjasama dalam menumbuhkan rasa keadilan bagi terdakwa. Konflik dalam hal ini tidak berarti buruk, tetapi dengan adanya konflik mungkin suatu persoalan yang tengah dihadapi akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berge54 mengemukakan empat fungsi dari adanya konflik (masalah), yaitu, sebagai berikut :
1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas 2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lainnya 3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi. Misalnya, sebagai contoh dapat kita lihat dari protes perang Vietnam mendorong pemuda AS untuk aktif berkampanye untuk Mc.Carthy dan Mc Govern yang anti perang tersebut 4. Yang terakhir, konflik berfungsi sebagai komunikasi. Sebelum konflik mungkin kelompok tertentu tidak mengetahui posisi lawan, tapi dengan adanya konflik posisi dan batas antara kelompok menjadi semakin jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berdiri dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih cepat.

Dapat disimpulkan bahwa keefektivan hukum bekerjanya di pengadilan, sesuai dengan nilia-nilai Due process model adalah ditentukan oleh moralitas para penegak hukumnya sendiri dari berbagai badan peradilan pidana (Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan, dan Kantor Advokat). Selain ditentukan oleh adanya kesepakatan nilai-nilai dari terdakwanya sendiri. Untuk membatasi sistem peradilan pidana seperti apa yang diharapkan, dalam hubungannya dengan keefektivan hukum dalam bekerjanya di pengadilan adalah, perlu membangun sistem peradilan pidana yang mengacu kepada model keseimbangan kepentingan, di mana model ini memperhatikan pelbagai kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Selain itu juga kita harus membangun sistem peradilan pidana yang lebih humanis. Persoalan humanis dalam hukum pidana, sangat erat sekali dengan Pendekatan Humanistik. terlebih bagi bangsa Indonesia, yang berdasarkan pancasila dan garis pembangunannya bertujuan untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya. Dari pendekatan humanistik ini, dapat dimungkinkan adanya pengadilan pancasila. Asumsi ini didasarkan kepada mengapa hanya paham liberal saja yang menyelimuti pengadilan? Sedangkan pancasila sebagai dasar negara tidak dijadikan paham dalam pengadilan. Pengadilan pancasila dalam hal ini mencoba menawarkan suatu konsep yang lain terhadap pengadilan dalam mengatasi kehancuran moralitas para aparatur pengadilan itu sendiri. Pengadilan pancasila menawarkan untuk mengatasi kekurangan dari kualitas pengadilan liberal tersebut, dengan menambah pada aktivitas, kreataivitas dan keberanian para hukum. Dapat kita temukan dalam praktek peradilan sehari-hari, dengan kata-kata hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Undangundang No 4 Tahun 2004 Pasal 28, tetapi bunyi pasal ini hanya pemanis Undangundang belaka tanpa ada dalam aplikasinya. Untuk bisa memahami pengadilan seutuhnya, atau melihat kepada konteks sosialnya (masyarakat) maka kita harus berani mendekonstruksi paham pengadilan yang ada selama ini, dengan cara:
1 Kita harus berpikir kritis, dan mencoba menanyakan kembali apakah pengadilan sebagai lembaga yang tidak memihak ini sudah benar-benar dilaksanakan dalam praktek? dan apakah ketentuan dalam Pasal 4 Undang-undang No 4 Tahun 2004,

yang menyebutkan peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhannan yang maha esa, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak di luar kekuasaan kehakiman dilarang. Sudah benar-benar diterapkan? 2 Harus mulai dipertanyakan falsafah apa yang menyelimuti pengadilan kita sekarang ini? Sudah sering kita mendengar nilai dan wawasan seperti pancasila, kekeluargaan, keselarasan, keseimbangan manusia seutuhnya. Akan tetapi nilainilai seperti itu tidak begitu jelas mewadahi pengadilan kita

Dari dua cara tersebut, maka perlu adanya perubahan stuktur pengadilan atau sistem yang ada selama ini. Mungkin yang menjadi persoalannya adalah kalau sistem atau stukturnya yang dirubah tentunya akan berubah pula aturan dasarnya atau Perundang-undangannya, dalam hal ini pengadilan pancasila tidak mengharuskan untuk mengubah yang demikian itu, cukup dengan menerapkan budaya hukum pancasila atau budaya hukum kekeluargaan. Sesuai dengan pandangan pengadilan pancasila ini, yang tujuannya adalah membentuk manusia indonesia seutuhnya. Pemahaman kita akan menjadi lebih jelas dan holisitik, dengan merenungkan pendapatnya seorang guru besar hukum pidana, yaitu Barda Nawai Arief56, yang memberikan komentarnya.
Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut (membentuk manusia indonesia seutuhnya), maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting karena hanya kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusian, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai-nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.

Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada sipelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusian dan nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Dari uraian di atas, karena sistem peradilan pidana untuk melaksanakan pidana terhadap pelaku kejahatan, di samping dapat menjamin hak-hak asasi manusi, dalam setiap proses pemeriksaan baik di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. peradilan pidana sesuai dengan pendekatan humanistik, harus dapat memberikan nilai-nilai yang positif bagi sipelaku kejahatan (tersangka, atau terdakwa). Soedarto57, menjelaskan lebih lanjut tentang pendekatan humanistik, ia mengatakan.

Pembaharuan hukum pidana tetap berkisar kepada manusia sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama. Pengertian humanisme dalam sistem peradilan pidana terkandung pula di dalamnya mengenai Akuntabilitas sistem peradilan, yaitu sejauh mungkin peradilan pidana mendapatkan kepercayaan masyarakat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Kongres PBB Ke-9 Tahun 1995 di kairo. Yang telah menghasilkan: 1. Penyelenggaraan /adminisator peradilan (pidana) bertanggungjawab bagi
terselenggaranya Peradilan pidana yang efesien dan manusiawi

2.Manajemen peradilan pidana merupakan bagian dari administrasi publik yang


bertanggungjawab kepada masyarakat luas

3.Penyelenggaraan peradilan pidana harus merupakan bagian dari kebijakan


pembanguan sumber daya yang berkelanjutan.

Melihat penjelasan di atas, ternyata apabila kita akan membangun kembali pengadilan kita, maka cukup banyak yang harus dilakukan, dan banyak pihak pula yang pada harus berpartisipasi, Membatasi mulai dari peraturannya, pengadilan hakim-hakimnya, pada aspek advokatnya,dunia profesi, budaya pejabat pemerintah, sserta budaya masyarakat umumnya. pembangunan hanya birokrasinya dan manajemennya saja, bisa ditafsirkan hal itu akan membelokan kita dari kenyataan yang ada. Kenyataan yang cukup luas, kompleks, yang tengah dihadapi oleh pengadilan tersebut. Dari banyaknya kritik terhadap paham liberal tersebut, salah satunya adalah yang dilontarkan oleh pendekatan humanistik. Seharusnya peradilan pidana harus sudah bisa membangun sistem peradilan yang humanis, dan menuju kepada pembentukan hukum responsif, yang lebih mengarah kepada pembentukan dan pemberian keadilan subtantif. 2. Peningkatan Kualitas Kesadaran Peran dan Tanggung Jawab Aparatur Peradilan Pidana Peradilan pidana sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ia merupakan suatu sistem. Yang tentunya mempunyai masukan dan keluaran dalam arus perkara, di mana seorang (tersangka, terdakwa, terhukum) yang masuk dengan harapan keluar menjadi lebih baik dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga peradilan pidana sangat erat kaitannya dengan istilah administrasi keadilan, di mana ia mempunyai hubungan dengan ilmu manajemen. Dalam hal ini ilmu

manajem sangat bermanfaat dalam penyelesaian perkara di pengadilan. A. Mukti Arto58, telah menyebutkan manfaat dari ilmu manajemen. 1. Memahami bentuk, jenis dan sifat-sifat sengketa itu sendiri. Di samping untuk menggali sumber-sumber sengketa 2. Mencari dan menemukan alternatif pemecahannya dengan berbagai pisau analisis dan teknik pemecahan masalah-masalah pengambilan keputusan 3. Menjadi seni dan ilmu dalam penyelesaian perkara secara efektif dan efesien dengan hasil yang memuaskan. Dalam hal ini hakim dapat mengatur perkara dengan sebaik-baiknya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, pembiyaan, pengawasan, sampai kepada pengendalian hasil-hasilnya. Layaknya ilmu manajemen yang digunakan dalam sistem peradilan pidana tentunya mempunyai tanggung jawab terhadap publik atau para pencari keadilan. Dalam kaitannya dengan masalah tanggungjawab, sistem peradilan pidana sangat erat sekali dengan akuntabilitas peradilan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang skripsi ini, bahwa akuntabilitas peradilan adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, melaporkan, menjelaskan, memberi alasan, menjawab, memikul tanggungjawab, serta memberi perhatian dan tunduk kepada penilaian (Judgement) dari luar. Maka dari itu lembaga peradilan, seperti halnya lembaga lainnya tidak lepas dari peranan dan tanggung jawab. Soerjono Soekanto59, menyebut bahwa peranan atau role merupakan hak-hak dan kewajiban. Dengan peranan yang berupa hak dan kewajiban inilah lembaga peradilan dapat eksis dalam menghasilkan berbagai macam putusan. Seperti yang penulis dapatkan hasil di lapangan PN-Karawang, tanggung jawab lembaga peradilan ini lebih banyak memperhatikan peranan-peranan yuridis, daripada peranan non yuridis. Tentunya dalam melaksanakan tanggung jawab ini lembaga peradilan hanya menerapkan pasal-pasal belaka. Besar kemungkinan lembaga ini akan bergeser menjadi lembaga pinggiran. Dengan adanya peranan yuridis, maupun non yurisidis lembaga peradilan dituntut memikul tanggungjawab ada yang berupa tanggungjawab yuridis ada pula yang non yuridis. Menurut Rusli Muhamad60, tanggung jawab yuridis berarti pengadilan harus dapat mengupayakan agar aturan-aturan hukum dapat ditegakan dan diterapkan dalam dunia nyata. Aktivitas lembaga peradilan demikian itu pada dasarnya adalah berupaya membandingkan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya masih abstrak, karena dengan melaui bekerjanya lembaga peradilan itu, hukum baru dapat diwujudkan.

Untuk lebih mempertajam pengertian ini, Satjipto Rahardjo61, menjelaskan, bahwa kehadiran lembaga hukum itu merupakan konsep-konsep hukum yang notabennya bersifat abstrak. Melaui lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah hal-hal yang bersifat abstrak tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan. Sedangkan tanggung jawab non yuridis berarti lembaga peradilan berkewajiban untuk mengusahakan terwujudnya ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan dalam masyarakat. Tanggung jawab ini sebagai manifestasi dari peranan sosiologis dan politis yakni membawa negara kita kepada tujuan-tujuan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan nilai-nilai luhur pancasila Pertanggungjawaban pengadilan (peradilan) pidana baik secara yuridis atau secara non yuridis, perlu memeperhatikan beberapah hal sebagai berikut 1 Menempatkan aparatur hukum pada posisi netral dan tidak dibebani oleh komitmen politik. 2 Dibutuhkan kontrol internal dan eksternal terhadap lembaga peradilan 3 Mendorong responsibilitas dan akuntabilitas peradilan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang lebih manusiawi, bermartabat, dan berkeadilan62 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peningkatan tanggungjawab lembaga peradilan pidana, dapat kita lihat dari kemampuan lembaga peradilan untuk menyelesaikan masalah kejahatan secara adil, dengan cara:
1 2 3 4 5 6 7 Pastikan bahwa terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektiv Pastikan bahwa rakyat (masyarakat) tidak diabaikan untuk diwakili secara efektiv Ciptakan kondisi yang mendukung ke arah penilaian yang adil dan nalar Mungkinkan pemerosesan suatu perkara dengan kecepatan yang terukur Kurangi sampai minimum beban di pundak pihak-pihak yang berperkara Kurangi sampai minimum beban dari pihak-pihak lain Kurangi sampai minimum ongkos-ongkos perkara63

Dengan memperhatikan poin-point di atas, di harapkan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu perkara, tidak hanya memiliki tanggungjawab secara yuridis saja (menerapka hukum) belaka. Akan tetapi lembaga peradilan memiliki tanggungjawab sosial. 3. Perubahan Cara Pandang : Peningkatan Kualitas Teoritik. Cara pandang seorang ahli hukum, dengan cara pandangan seorang ahli sosiologi tentunya akan jauh berbeda, bahwa seorang ahli hukum akan memandang segalanya dari

peraturan yang berlaku, akan tetapi seorang ahli sosilogi (Hukum) akan berusaha menjelaskan, menguraikan dan penuh dengan kecurigaan intelektual. Pandangan seorang praktisi pengadilan (hakim, jaksa, pengacara) tentunya akan berpandangan sesuai dengan pekerjaannya, seorang hakim tidak mungkin menjelaskan sebab-sebab pencurian misalnya, dalam sidang. Akan tetapi ia hanya akan menguraikan unsur-unsur pencurian, yang terdapat dalam Pasal 362 KUH-Pidana. Cara pandangan yang demikian itulah yang memandang hukum dari segi normatif belaka sedangkan dari sisi sosiologi tidak dipandangnya. Padahal kalau kita lihat kenyataanya dalam lapangan, hukum itu bukanlah peraturan-peraturan belaka, akan tetapi merupakan juga ide, kultur, dan cita-cita. Memang cara pandang yang demikian itu tidaklah salah, karena memang itu tugasnya para praktisi hukum. Keterampilan dalam melakukan penerapan hukum tidak diragukan lagi, karena telah yakin bahwa hampir keseluruhan penegak hukum memiliki keterampilan itu. Pemikiran-pemikiran seperi ini telah di pengaruhi oleh pendidikan mereka yang telah di perolehnya selama menjalankan studinya di SI. Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan hukum SI adalah lebih terpokuskan kepada cara pandang yang positivisme64. Yaitu yang selalu mendasarkan atas Undangundang yang berlaku, cara pandang positivisme hukum ini lahir dan mendapat pengaruh dari aliran filsafat positivisme pada abad ke-1965 pada abad inilah positivisme berkembang, penerima warisan pemikiran-pemikiran hukum pada masa sebelumnya yang bersifat idealistis tersebut. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang terjadi pada abad ke-1966 menimbulkan semangat yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Dalam pembahasan ini sebelum penulis, menguraikan, menjelaskan dari perubahan cara pandang yang harus di miliki oleh para aparatur peradilan pidana, penulis terlebih dahulu akan membahas Positivisme hukum, sebagai bekal para sarjana hukum yang terjun ke lapangan (hakim, jaksa, polisi) khusunya yang di miliki oleh mereka yang pendidikan hukumnya SI, karena menurut pandangan penulis ini sangat berhubungan erat dengan kualitas dari para penegak hukum tersebut. Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positifisasi norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius)

agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege) 67 Pemikiran positivisme dalam hukum lahir bersama dengan kelahirannya negara moderen, sebelum kelahiranya positivisme dalam hukum. masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan dengan Interactional law, atau Customary law, sebaliknya positivisme kental dengan pendokumenan dan pemformalan hukum dalam wujudnya sebagi The statutorinees of Law. Atau dengan istilah Unger disebut sebagai, Bureauractic Law. Maka hukum setelah datangnya poisitivistik menjadi mekanistik, deterministik, dan linear.68 Adanya keharusan untuk berpikir yuridis, menerapkan peraturan pada kenyataan, serta menafsirkannya memang. Itu sudah menjadi tuntutan dari keahlian seorang sarjana hukum (SI). Namun kemampuan berpikir seperti ini tidaklah menjadi ukuran tingginya kualitas personil para aparatur pengadilan. Rusli Muhamad, dalam hal menegaskan
Tingginya kualitas penegak hukum harus diukur dari adanya kerseimbangan antara kemampuan praktik, dan kemampuan teoritik, kemampuan teoritik yang dimaksudkan adalah selain adanya penguasaan ilmu hukum, memiliki juga kemampuan berpikir yang komprehensip dan rasional69

Dalam hal ini lembaga pendidikan hukum (SI) ikut juga bertanggungjawab, dalam menentukan cara pandang atau arah pemikiran seorang praktisi hukum. Mengapa demikian hukum itu bukanlah dunia yang penuh mekanistis, formalitas, dan teknologis. Melainkan dengan sarat akan ide, perasaan dan misi kultural.70 Seperti halnya Hans Kelsen, Austin, para mahasiswapun merumuskan defenisi hukum sebagai suatu sistem pemecahan konflik sosial yang bersifat tidak memihak, netral, dan objektif, tentunya pengertian ini adalah pengertian yang resmi dalam kalangan mahasiswa hukum SI, karena mereka diharapkan menjadi pelaku hukum ( Jaksa, Hakim, Pengacara) Maka jelaslah bahwa pertanyaan tersebut, akan mendapat jawaban diarahkannya pendidikan hukum kepada Dunia yang penuh dengan keteraturan. Dunia hukum yang pekerjaanya membuat peraturan akan tetapi tidak pernah mengetahui realitas yang sebenarnya, dunia hukum akan lebih kental dengan peraturan jika mereka (mahasiswa hukum SI) digiring dan didik oleh sekumpulan kasus-kasus.

Dalam pada itu, pelajaran hukum yang selama ini disampaikan dalam kurikulum pendidikan hukum SI adalah lebih kentara dalam bentuk kasus-kasus atau perkara berikut peraturan perundang-undangannya. Hal ini dapat kita buktikan diakhir studi hukum SI, mahasiswa biasanya diberikan pelajaran mengenai cara-cara menyelesaikan permasalahan dari mulai membikin surat kuasa, sampai kepada pembuatan undang-undang. Yang biasanya diajarkan dalam mata kuliah Litigasi, atau Non Litigasi. Bagi para pengajar sendiri, Master, atau Guru Besar, apresiasi kritis terhadap implikasi sosial, ekonomi, dan politik dari hukum nampaknya dianggap tidak penting maka dengan demikian bagi kebanyakan lulusan Pendidikan hukum SI menguasai ribuan kasus dan persoalan.71 Apakah ini yang hendak menjadi tujuan dari pendidikan hukum SI ataukah ini yang menjadi arah bagi Ilmu hukum yang diajarkan pada program SI ? untuk menjawab pertanyaan ini tidak bisa untuk sampai kepada jawaban yang final, tidak bisa untuk sampai kepada puncaknya72 Positivisme hukum sebagai salah satu varian radikal dari paradigma CartesianNewtonian, telah menempatkan hukum sebagai sesuatu yang mekanistis, linear, deterministik, dan materialistik, layaknya sebagai ilmu-ilmu alam. yang menjadi bagian dari peradaban moderen ini73 banyak mengedepankan hasrat untuk menguasai serta untuk mengeksploitasi dunia (hukum) melaui cara pandang materialistik seperti yang diuraikan Comte, Kelsen, dan Austin. Tetapi dalam kehidupan nyata positivisme ini banyak fungsi dan manfaatnya, di samping terdapatnya kelemahan. Dalam kehidupan sosial yang nyata, positivisme hukum juga mengakui bahwa keberadaan hukum berdampingan dengan aturan-aturan moral, bahkan hubungan antara hukum dan aturan serta patokan moral merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, meskipun hubungan tersebut tidak nampak secara langsung.74 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran para aparatur pengadilan (jaksa, Pengacara, dan Hakim) hanya mampu berpikir secara yuridis saja, yang penuh dengan gaya-gaya positivismenya. Mereka hanya memainkan peraturan saja, dan telah menjadikan dirinya sebagai tawanan Undang-undang. Tuntutan jaksa penuntut umum, hanya sesuai dengan Pasal yang dilanggar oleh terdakwa di luar itu tidak bisa di tuntutnya karena dengan alasan belum ada aturannya. Dan hakim hanya akan memeriksa sesuai

dengan tuntutan jaksa saja, pengacara hanya akan membela sesuai dengan aturan yang dilanggar oleh terdakwa. Memang tidak salah para aparatur pengadilan dalam bekerja, karena itulah yang harus mereka kerjakan. Jika hal ini dikaitakan dengan konsep pendidikan hukum, maka sangat jelas sekali adanya kekeliruan dalam menanamkan konsepnya Kekeliruan pendidikan hukum yang selalu menggunakan otak kirinya dalam berpikir dan berpandangan. Menurut Taufik Pasiak75, arah penggunaan otak kiri menjadi keliru dalam penerapannya di pendidikan, karena paradigma ini didasarkan atas:
1 Ukuran kecerdasan nilai matematika dan bahasa. 2 Kunci kesuksesan adalah nilai-nilai IQ ( Intellgence Quotient)eperti nilai rapor, atau IPK 3 Oreintasi pada pemecahan masalah

Tentunya dengan hanya mengandalkan kemampuan otak kiri ini, maka jelas seorang calon Hakim, jaksa, pengacara akan selalu menghapal Undang-undang belaka. Dan kemudian di terapkannya kepada pemecahan masalah yang dia temukan dalam pengadilan atau masyarakat. Sangatlah jelas kemapuan dalam berpikir seperti demikian tersebut, akan mengurangi lembaga peradilan dari pikiran-pikiran yang sosiologis, tentunya yang berurat akar dalam otak meraka hanyalah Undang-undang belaka. ini menjadi polemik yang sangat besar, lantas bagaimana peningkatan kualitas teoritik dari para teoritisi hukum ini. Karena cara berpikir kritis, atau teoritis hanya dapat di peroleh di S2.dan S3. tentunya sangat repot bagi mereka untuk berpikir secara ktitis, sebab pendidikannya mengharuskan demikian. Bedahalnya dengan S2 dan S3, yang berpikirnya di arahkan kepada cara berpikir ilmiah. Karena ini adalah menjadi kendala bagi para penegak hukum, maka apa yang harus dilakukan dalam memberikan solusi terhadap permasalahan ini, dalam hal ini penulis memberikan sedikit solusi:
1 Dalam pendikan hukumnya (SI) perlu mengubah cara pandang terhadap hukum, artinya pandangan secara Undang-undang belaka tidak sepenuhnya merupakan pandangan yang seutuhnya. 2 Lebih ditingkatkan kemampuan berpikir sosiologis dalam tingkat pendidikan SI 3 Di harapkan seorang Hakim, jaksa atau pengacara, dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Serta dapat menjadikan sistem yang berlaku dalam masyarakat, menjadi kontribusi bagi sistem peradilan pidana.

4 Lebih diperketat persyaratan menjadi seorang praktisi hukum (jaksa, hakim, atau pengacara), minimal mereka yang lulusannya S2.

Dengan hal itulah, setidaknya cara berpikir seorang yuris atau praktisi hukum lebih mengarah kepada pembaharuan hukum. Barangkali yang menjadi pemikiran dalam upaya peningkatan kualitas teoritik ini lewat jenjang pendidikan hukum S2 adalah masalah pendanaan bagi instansi yang bersangkutan. Untuk menanggulangi masalah pendanaan ini, diharapkan sepenunya bagi lembaga pendidikan hukum SI dapat mengubah cara pandangnya terhadap hukum. dengan tidak hanya mengandalkan teori yang formalpositivistis saja. Sangat diharapkan dalam peningkatan teoritik ini, khususnya dalam pendidikan hukum SI. yang akan mengeluarkan calon-calon hakim, jaksa, pengacara dan aparatur hukum lainnya. Dapat memberikan cara-cara berpikir sosiologis, di samping memberikan cara berpikir yuridis. Solusi berpikir secara sosiologis untuk mengatasi keterbatasan teoritik para aparatur pengadilan atau para calon hakim, jaksa, pengacara dan penegak hukum lainnya. yang kebanyakan adalah lulusan SI, ditawarkan dalam tulisan ini dengan dasar pertimbangan bahwa sebelumnya kita (hamba hukum) harus sepakat dari perbedaan cara berpikir dari orang awam, sosiolog, dan filosof. Seandainya kita sepakat bahwa yang membedakan ketiga aktor tersebut adalah logika berpikirnya, maka kita akan mudah untuk bisa memahami bagaimana cara berpikir sosiologis itu? Orang awam dalam pemahaman Berger dan Luckman 76 dinamakan sebagai Man on the street yang cenderung untuk melihat dan memahami gejala sosial tanpa mempertanyakan hakikat atau eksistensi dari gejala itu, orang awam akan memahaminya secara taken for granted, sehingga tidak perlu mempersoalkan lebih lanjut. Dari cara berpikir orang awam ini, dapat diketengahkan sebuah contoh: dalam persidangan hakim yang akan memeriksa, dan mengadili. Tidak mungkin mempertanyakan kenapa pembunuhan hukumannya harus lima belas tahun, tentunya hakim hanya akan menerapkan apa adanya sesuai dengan bunyi aturan tersebut. Tidak hanya hakim, para aparatur pengadilan lainnya yang bersikap taken for gtanted , dapat ditafsirkan sebagai bagian dari orang awam.

Lain halnya apabila kita melihat cara berpikir seorang filosofis. Dalam berpikir ia akan selalu mempertanyakan yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cara berpikir sosiologis akan memiliki cara pemahaman yang berbeda dengan cara berpikir orang awam dan seorang filosofis. Seorang sosilog tidak dapat berperilaku taken for granted dalam berpikir akan tetapi ia lebih suka untuk menerangkan, menjelaskan, dan kemudian menguraikannya dari situasi yang tengah dihadapi. Menurut Berger & Luckman,77 berpikir secara sosiolog memilki logika berpikir dalam posisi diantara orang awam dan filosofis. Misalnya, seorang hakim yang berpikir sosiologis tidak akan menganggap bahwa perbuatan pembunuhan itu adalah suatu perbuatan yang buruk dan dilarang oleh hukum, akan tetapi sebagai fakta sosial. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana seorang sosiologi memperlakukan fakta sosial tersebut. Orang awam mungkin akan beranggapan jika perbuatan pembunuhan dianggap sebagai fakta sosial, tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan, maka hukum tidak tegak. Dan seorang filosofis, mungkin akan mengatakan dari mana asalnya pembunuhan itu terjadi?, mengapa sampai terjadi pembunuhan? Dan untuk apa melakukan pembunuhan?. Untuk menyikapi semuanya ini, sosiolog akan memperlakukan fakta sosial itu sebagai yang diamati, dipahami, dideskripsikan, dianalisis, dan kemudian disimpulkan78 Dengan kata lain, fakta sosial yang ditangkap oleh seorang sosiolog akan dipertanyakan eksistensinya dalam masyarakat, dan diamati bagaimanakah kecenderungannya. Contoh sosiolog tidak akan mempertanyakan nilai-nilai kebaikan, akan tetapi melihatnya sebagai objek studi. Kemudian sosiologi mempertanyakan bagaimanakah mekanisme sosialnya sehingga nilai-nilai kebaikan dapat dipelihara?, dan kemudian sosiolog mempertanyakan bagaimana persepsi masyarakat tentang nialai-nilai tersebut?. Dari cara berpikir sosiolog terssebut, diharapkan bagi calon hakim, jaksa, dan pengacara atau penegak hukum lainnya menanamkan berpikir ini dan menambah kreativitasnya, serta mencoba untuk menemukan hal yang baru, Seperti yang dikatakan oleh Holmes, the life of the law has not been logic, it has been expererience. Berpikir untuk menemukan sesuatu yang baru, penuh dengan kreativitas, dalam lapangan psikologis, seorang dapat berpikir secara kreatif dengan melatih dirinya untuk

menghasilkan produk-produk yang kratif, Bobbi De Porter 79, dalam hal ini telah memberikan resep dalam berpikir kreatif.
1 Dalam berpikir janganlah gampang merasa puas, jangan menerima apa adanya. Kita boleh melihat sama dengan apa yang dilihat oleh orang lain. Namun, kita harus berpikir dengan yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Kita harus berpikir yang berbeda 2 Jangan terpaku pada satu cara, jangan kaku dalam berpikir, tempuh jalan lain untuk menempuh suatu tujuan. Jangan selalu mengikuti jalan yang sama menunju suatu tempat 3 Pertajam keingintahuan. Jadikan kata Why, sebagai panduan keingintahuan. Tanyakan mengapa sesuatu ini menjadi begini.

Dengan berpikir secara sosiologis tersebut di atas, semoga perubahan cara pandang dalam rangka memperkaya khazanah pengetahuan sosiologi hukum dapat dimanfaatkan untuk merubah cara pemikiran hukum yang selalu menggunakan otak kirinya, pemikiran yang selalu undang-undang. Diharapkan dengan cara berpikir sosiologis ini, pengadilan sebagai lembaga terakhir untuk mencari keadilan dapat berperan sesuai dengan fungsinya, pengadilan tidak lagi hanya memainkan peraturan belaka. Akan tetapi menjadi lembaga yang benar-benar dapat memberikan keadilan subtantif, dan dapat menumbuhkembangkan peradilan pidana yang lebih humanis.

Alumni FH Unpas: Bandung, angkatan 2001. Magister Ilmu Hukum Unpas: Bandung, angkatan 2005. 1 Dalam sistem, komponen-komponen yang mencirikan suatu sistem adalah; adanya suatu kompleks keseluruhan yang terdiri dari sejumlah elemen. Ada bagian yang menjadi bagian dari sistem tersebut; Yang dicirikan oleh adanya interrelasi, saling mempengaruhinya bagian-bagian yang ada; Adanya suatu kesatuan yang terintegrasi, bagian-bagian yang ada merupakan suatu kesatuan, yang otonom dibandingkan dengan keseluruhan-keseluhan lainnya, dengan demikian keseluruhan tersebut membentuk sebuah entitas;Yang diarahkan kearah pencapaian sasaran tertentu; Tujuan yang memberi makna bagi keberadaan sistem tersebut. Lihat dalam. Karhi Nisjar & Winardi. Teori Sistem & Pendekatan Sistem Dalam Bidang Manajemen. CV. Mandar Maju: Bandung, 1997. hlm. 2-dst. 2 Romli Atmasasimita Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Criminal Justice System): Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionisme. Putra Abardin: Jakarta, 1996. hlm: 8-32. 3 Dikatakan dalam Bab Menimbang Sub C UU No 8 Tahun 1981, bahwa bahwa pembangunan hukum nasional dalam bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsinya dan wewenang masingmasing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. 4 Romli Atmasasimita Sistem Peradilan Pidana Indonesia Op cit hlm 33. lihat juga dalam tulisannya yang lain StrategiPembinaan Pelanggaran hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Alumni Bandung 1982 hlm 70. 5 Sistem dalam hal ini, berarti bahwa ilmu hukum tidak melihat hukum sebagai suatu Chaos atau Mass of rules tetapi hukum hukum dilihatnya sebagai Stucturered whole atau sistem hukum merupakan sistem berarti hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang saling berkaitan erat satu sama lainnya. Lihat dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar, Leberty 2002 Yogyakarta. hlm:115.

6 Romli Atmasasimta, Sistem Peradilan pidana, Op cit hlm 14. menurut Andi Hamzah, istilah Criminal Justice System, di indonesia mulai ramai dipakai isitilah sistem peradilan pidana terpadu sebagai salinan istilah Intergated Criminal Justice system bahkan konsorium ilmu hukum yang diketuai oleh Prof Mochtar Kusumaatmadja, pernah merencanakan akan mengganti mata kuliah hukum acara pidana menjadi sistem peradilan pidana, yang kemudian dibagi menjadi dua, yaitu sistem peradilan pidana indonesia dan sistem peradilan pidana umum (perbandingan). Rencana ini oleh Andi Hamzah mendapat tanggapan, bahwa istilah hukum acara pidana di satu pihak dan sistem peradilan pidana di lain pihak sangat berbeda ruang lingkupnya. Kalau hukum acara pidana hanya mempelajari hukum maka sistem peradilan pidana lebih luas, juga meliputi juga yang bukan hukum. Menurut John Miler, sistem peradilan pidana mulai dari pembentukan UU pidana, sampai pada pembinaan narapidana hingga keluar dari lembaga pemasyarakatan. Sedangkan hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Selanjutnya lihat dalam, Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia Sinar Grafika, 2001 Jakarta hlm 2-3. 7 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan pidana Op cit. Menindak lanjuti Pendapat dari Remington dan Ohlin, Romli Atmasasmita pun mengetengahkan pendapatnya dari Hagan, Dalam hal ini hagan telah membedakan antara Criminal Justice Proces (CJP) dengan Criminal justice System (CJS). CJP, adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya, sedangkan CJS, adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 8 Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi, Pidato pengukuhan Penerimaan jabatan guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Indonesia, 1993:1, yang kemudian dikutip oleh Romli Atmasasmita Sistem Peradilan Pidana Ibid Dalam kesempatan yang lain Mardjono, mengemukakan bahwa CJS adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan, menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 9 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Ibid, hlm 15. 10 Herbert L. Packer. The Limit of Criminal Sanction. California: Stanford University Press, 1969, hlm: 153. 11 Herbert L. Packer. The Limit of Criminal Sanctiuon.Ibid: 154 12 Herbert L. Packer, The Limits Of criminal Sanction, California, Ibid: 13 Ansorie (et al) Hukum Acara Pidana. Angkasa: Bandung, 1994. hlm: 6 Mereka menyebutkan bahwa Dalam Crime Control Model, Fungsi utama penegakan hukum berusaha menekan kejahatan sebab dengan jaminan ketertiban, anggota masyarakat dapat dijamin kebebasannya. Model ini menuntut sebanyak mungkin aktivitas kejahatan dikenai sanksi. Polisi diberi kepercayaan untuk menangkap dan juga menahan orang-orang yang tidak bersalah yang juga dicurigai melakukan kejahatan. Dalam model ini dalam tingkat tertentu kesalahan atau kekeliruan aparat hukum cenderung ditolelir. 14Ansorie (et al) Hukum Acara Pidana, Ibid. Yang dimaksud dengan Efesiensi adalah: kemampuan pihak yang berwenang untuk melakukan penahanan, pemidanaan, dan pembinaan pelaku kejahatan yang diketahui melakukan perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu model ini mengutamakan efesiensi dalam pencegahan kejahatan. Model ini dinamakan juga dengan model Assembly Line Conveyor Belt atau sistem Ban Berjalan. Dengan mengandalakan pada sistem Ban Berjalan tersebut, tentunya ada tindakan-tindakan yang dapat dilakukan tanpa dianalisis secara seksama, dan hal seperti itu akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum. 15 Romli Atmasasmita, Sistem peradilan pidana, Op cit hlm 19. 16 Romli Atmasasmita Sistem peradilan pidana, Ibid:19 17 Menurut Paul B. Wetson Dan Kenneth M. Weels Adversary System ia menuliskan The system of Criminal justice in the united States of America is know as the adversary system and it is based on fight theory each party fight to discover and disclose evidence favorable to this side dipergunakan dalam peradilan Amerika Serikat. Yang didasarkan pada perdebatan teori ( fight theory) di mana setiap pihak (jaksa dan Penasehat hukum) berusaha menemukan dan mengungkapkan bukti-bukti yang menguntungkan bagi pihak-pihak dengan demikian mereka tidak mencari kebenaran hakiki, akan tetapi mereka mengejar kebenaran hakiki. Lihat dalam Djisman Samosir Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia Op cit: 35. Selanjutnya Djisman Mengatakan bahwa Adversary system bukan maksud untuk menemukan kebenaran hakiki, maka tidak mungkin untuk diterapkan dalam masyarakat indonesia, karena hukum acara pidana kita mengendaki kebenaran hakiki. Selanjutnya dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dikatakan, bahwa tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana jujur dan tepat dengan tujuan untuk

mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer ini, selain dilandasi oleh Adversary system, juga dilandasi oleh, yang oleh Griffiths disebut sebagai Battle model. Merupakan pertentangan kepentingan antar individu dan negara yang tidak dapat dipertemukan kembali (Irreconcilable disharmony of interests), sehingga apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang secara sistematis, harus di tempatkan dalam proses yang menempatkan dia sebagai seorang yang dijadikan objek dalam penyelengaraan peradilan pidana. Griffiths, menentang kedua model ini, karena menurutnya masyarakat tidak dapat diperbaiki atau dinetralisasi dari kejahatan selama kita tidak berpikir di dalam pertimbangan kepentingan atau keuntungan di dalam memahami kejahatan dan penjahat. Menuruntnya, Peradilan pidana harus berlandaskan cinta kasih sesama hidup atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan ( Mutually suportive and state of love). Selanjuntya Griffiths menyatakan bahwa setiap kehidupan dalam masyarakat, hubungan antara penjahat dengan masyarakat hendaknya dilandasi oleh cinta kasih yang berkelanjutan sebagaimana yang terjadi dalam keluarga kecil. 18 Bandingkan dengan tujuan hukum acara pidana yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan. 19 Achmad Ali, Sosiologi Hukum: Kajian empiris Terhadap Pengadilan, BP Iblam, 2004, Jakarta, hlm 12-14. 20 Anthon F Susanto Makna Realitas Kontrol Dalam Pemeriksaan Perkara pidana, Dalam Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Unpas,Volume 2 Nomor 2 Juli-Desember 2001, hlm 59. selanjutnya dengan mengutip dari Caiden, Anthon F susanto, Menjelaskan bahwa. Responsibilitas biasanya menunjuk pada otoritas bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan, dan kekuasaan untuk mengawasi. Liabilitas, sering diasumsikan sebagai tugas untuk memperbaiki, menggantikan kerugian, membalas jasa. Akibat segala kesalahan atau kemiskinan penilaian atas dampak kebijakan, sedangkan akuntabilitas, adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, melaporkan, menjelaskan, memberi alasan, menjawab, memikul tanggungjawab. Memberi perhatian dan tunduk kepada penilaian (Judgement) dari luar. 21 Herbert L Packer The Limit Of The Criminal Sanction, Op cit: 153-154. 22 Sikap diskriminatif tidak terlihat di permukaan terutama dalam tata norma (Undang-undang) namun bisa dipahami dengan melihat perilaku dan tindakan aparatur peradilan melalui konteks (relasi dan interaksi) tahapan pemeriksaan. Lihat Anthon F Susanto. Menuju Kejahatan Sempurna (Makna simbolik kekerasan dalam proses peradilan pidana) Dalam Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep Dan implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat (Editor: Muladi), Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm:113. 23 Anthon F susanto, Menuju Kejahatan Sempurna, Ibid, hlm 112. 24 Hendaknya dibedakan dengan istilah Peradilan, istilah pengadilan berasal dari kata Adil memperoleh imbuhan dan awalan (prefike) Pe Dan akhiran (sufiks) An, lihat dalam Anton M Moeliono, Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta, 1990, hlm 6-7. Pengadilan terjemahan dari Court, menunjuk pada wadah, badan, lembaga, atau institusi. Sedangkan peradilan terjemahan dari judiciary digunakan untuk menunjukan pada fungsi, proses atau cara memberikan keadilan. 25 Simulation of Court, yaitu pengadilan yang berlangsung pada tingkat citraan ( Image), yang di dalamnya dicari citraan kebenaran (image of truth), bukan kebenaran sejati. simulasi pengadilan hanya menghasilkan simulakra keadilan (Simulacra Of justice), yaitu keadilan yang ditampilkan dalam wujud citraan yang terdistrosi, menyimpang, terdeviasi, bahkan terputus, dari kebenaran yang sesungguhnya. dalam simulasi hukum, pemeriksaan, penyidik, penyelidikan, pengadilan, penjatuhan Vonis, berlangsung dalam mekanisme seolah-oleh (as if), dalam wujud citraan kamuflase, sebagai cara untuk menutupi realitas sesungguhnya. dalam wacana simulation of court, di mana pengadilan, misalnya memang menghadirkan tersangka yang faktual, jaksa yang faktual, saksi yang faktual, di sebuah geduang pengadilan yang faktual. akan tetapi semua yang hadir itu belum tentu nyata. di sini, perbedaan antar fakta ( fact) dan yang nyata (Real), harus ditegaskan kembali. Dalam hal ini Fakta Hukum adalah orang, benda, bangunan, saksi, atau barang bukti, yang hadir secara fisik ( Fresence), yang bisa dipoto, divideokan, atau difilmkan, menjadi sebuah image dalam sebuah media. Realitas Hukum, adalah apa yang sesungguhnya terjadi di balik fakta dan image tersebut. singkatnya fakta hukum tidak selalu merupakan realitas hukum, disebabkan fakta tersebut secara semiotik dapat merupakan tanda palsu, tanda menipu, tanda dusta, ketika tanda-tanda ini diterapkan dalam dunia hukum, maka hukum dikuasai oleh image. Lihat dalam

Yasraf Amir Piliang, Posrealitas:Realitas Kebudayaan, Dalam era Posmetafisika, Jalasutra Yogyakarta, 2004, hlm. 306-dst. 26 Yasraf Amir Piliang, Posrealitas:Realitas Kebudayaan, Dalam era Posmetafisika, Ibid, hlm. 298. Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk yang nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asal-usul, atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi nampak nyata. 27 Satjipto Rahardjo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana kontrol Sosial Dalam Jurnal ilmu Hukum Pidana Dan Kriminologi Volume I/Nomor I/1998, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm 97. 28Cara memandang hukum dalam realitasnya adalah bukan memandang hukum dalam kenyataan bentuk pasalpasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-hari. Maka dengan demikian orang yang mempelajari hukum dalam realitasnya perlu mengamati praktek-praktek hukum dalam masyarakat, selanjutnya lihat Otje Salman Dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 2004, Hlm 5. 29 Pendekatan kritis disini perlu kita ketahui sebagai: Cara pandang yang lebih mengarah pada proses-proses terbentuknya realitas sosial, cara pandang ini akan digunakan dalam membahas dan memahami, mempertanyakan realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari terutama dihubungkan dengan tujuan kehidupan masyarakat dan bernegara, yakni dalam mencapai masyarakat yang adil dan makmur sebagai mana tersurat dalam pancasila dan undangUndang Dasar 1945. Selanjutnya lihat I.S. susanto, Pendekatan Kritis Terhadap Realitas Sosial, tulisan dalam lokakarya Nasional untuk pengembangan sumber daya IMKA,di karang pandan,12-17 agustus 1992. 30 Perlu diketahui dalam bagian ini, bahwa Sosiologi Mikro atau Mikrososiologi Hukum, Adalah konsep sosiologi hukum yang diturunkan dari fisika moderen yang telah membedakan antara Makrofisika, Dan Mikrofisika Makrofisika dikuasai oleh hal-hal suatu ketetapan yang berdasarkan perkiraan mengenai kemungkinankemungkinan, sedangkan Mikrofisika adalah berdasarkan perkiraan-perkiraan tentang elektron-elektronnya, gelombang-gelombang dan Kuantum-Kuantum. Yang didalamnya ada hal-hal yang tidak menentu jauh lebih banyak. Konsep inilah oleh sosiologi diambilnya, sehingga dengan konsep ini sosiologi mikro memiliki tugas untuk menelaah (Studiying) hubungan fungsional antara kenyataan sosial dan jenis-jenis hukum. Pembahasan lebih lanjut lihat: Alvin S. Johnson, Sociologi Of Law, yang diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, PT. Rineka Cipta, Anggota IKAPI, Jakarta, 1994, hlm189-dst. Menurut Soetandyo Wigdjosoebroto, dalam Hukum: Paradigma, Metode, Dan Pilihan Masalahnya, ELSAM-HUMA, Jakarta, 2004, hlm 205. bahwa teori mikro adalah: teori yang dibangun atas landasan paham paradigmatis bahwa dalam kehidupan manusia, yang kian bersifat semiotik dewasa ini. objek dalam ilmu sosial ini yang sesungguhnya itu bukan lagi (Cuma) perilakuperilaku sosial manusia yang kasat mata saja, tetapi juga nota bennya adalah perilaku-perilaku yang pada dasarnya harus-perilaku refleksi pola-pola stuktur dunia sosial yang makro dan normatif.ilmu kajian ilmu sosial ini sesungguhnya tak lain adalah seluruh makna kultural yang simbolis. 31 Filsafat Positivisme adalah merupakan paham yang menuntut agar setiap metodologi yang di pikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memberlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis. sebagai suatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Paham ini kemudian diaplikasikan terhadap hukum, agar hukum melepaskan pemikiran metayuridis sebagaimana yang dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Maka dari itulah norma hukum harus eksis dengan alamnya yang positif. (hukum yang tertulis, atau hukum yang dipastikan, dinyatakan). Selanjutnya mengenai hal ini dapat dilihat dalam, Soetandyo Wignjosoebroto, HUKUM: Paradigma, Metode, Dan Dinamika Masalahnya. Ibid, hlm 95-96. 32 Selznick, 1968, yang dikutip oleh David N. Schiff, Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial. Dalam Adam Podgorecki & Chirostopher J. Whelan, Sociological Approaches To Law, yang diterjemahkan oleh Rnc Widyaningsih & G. Kartasaspoetra, Bina Aksara, Jakarta, 1987, Hlm 261 33 J.Maxwell Atkinson, Pendekatan Etnometodologi Terhadap Studi sosiologi Hukum, Dalam Adam Poggorecki & Chirostopher J. Whelan, Sociological Approaches To Law, yang diterjemahkan oleh Rnc Widyaningsih & G. Kartasaspoetra, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 362. 34 Anthon F Susanto, Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, LITIGASI-UNPAS, Volume 3, Nomor 1 Januari-Juni 2002, hlm 26. 35 Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi, Pidato pengukuhan Penerimaan jabatan guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Indonesia, 1993:1. 36 Romli Atmasasmita Sistem Peradilan Pidana Op cit: 42.

37 Satjipto Rahardjo, Pemberdayaan Mahkamah Agung, Dalam Gema Clipping Service, Mei II 1997, hlm 1. yang kemudian dikutip oleh; Rusli Muhamad, Urgensi Dan Upaya Lembaga Peradilan, Dalam Jurnal Ilmu Hukum UII, No 9 Vol 4 1997, hlm 36. 38 Sam S. Souryal, Ethic in Criminal Justice, Cipta Manunggal, Jakarta, 1990, hlm: 457. 39 Hukum represif, dalam hal ini memandang penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak Masyarakat. menurut Nonet & Selznick, kekuasaan pemerintah bersifat represif jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka, atau dengan mengingkari legitimasi masyarakat. Represif menunjukan ciri, bahwa (a) Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan Negara Disurbodinasikan pada tujuan negara. (b) Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. dalam persfektif resmi yang terbangun manfaat dari keraguan (The benefit of the doublt) masuk ke sistem, dan kenyamanan administrasi menjadi titik berat perhatian. (c) Lembagalembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat kekuasaan yang indefenden; mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otopritas politik (d) Sebuah rezim Hukum berganda (dual law), melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan mengkosolidasikan dan melegitimasi pola-pola subrodinasi sosial. (e) Hukum pidana merefleksi nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang akan datang. Lihat dalam Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, ( Terjemahan) Ford Foundation HUMA, Jakarta, 2003:23-26. 40Responsif menunjukan ciri bahwa : (a) Dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam pertimbangan hukum.(b)Tujuan membuat kewajiban hukum semakin problematik, sehingga mengendurkan klaim hukum terhadap kebutuhan dan membuka kemungkinan bagi suatu konsepsi tatanan publik yang semakin tidak kaku dan semakin bersifat perdata (Civil sebagai lawan dari publik) (c) Karena hukum memiliki keterbukaan dan fleksibilitas, advokasi hukum memasuki dimensi politik. yang lalu meningkatkan kekuatan yang dapat membantu mengoreksi dan mengubah institusi hukum, namun yang juga mengancam memperlemah intregasi institusional. Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Ibid Hlm 59. 41 Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah sosiologis, PT. Suryandaru Utama: Semarang, 2005. 42 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, pembebasan, dan Pencerahan,UMY: Surakarta, 2005. Hlm: 68. 43 Satjipto Rahardjo, Supremasi Hukum Yang Benar, Kompas, 2003. 44 Menurut penulis kondisin lembaga peradilan seperti ini (Moderen), jauh lebih baik daripada kondisi sebelumnya (pra moderen), pada saat sekarang dunia peradilan (pidana) hanya sibuk dengan urusan penerapan pasal-pasal belaka, hanya menerapkan pasal dari setiap undang-undang. Akan tetapi kalau kita lihat dari karakteristik umum tatanan-tatanan hukum bangsa-bangsa tuna aksara, dunia peradilan tidak hanya berurusan dengan penerapan pasal belaka. Dunia peradilan pada masa itu lebih mengusahakan daya dan upaya penyelesaian perkara yang memberikan kepuasan kepada semua pihak, perundingan-perundingan untuk semua itu dilaksanakan berlangsung lama terkadang berhari-hari. Lebih jelas dapat di baca John Gilissen & Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Op cit, hlm 41-43. 45 Nonet & Selznick, telah meringkas karakter dari hukum otonom sebagai berikut: (a) Hukum terpisah dari politik, secara khas, sistem hukum ini menyatakan kemandiriaan kekuasaan peradilan dan membuat garis tegas antara fungsi legislatif dan politik. (b) Tertib hukum mendukung model peraturan( Model of rules) fokus peraturan membantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para pejabat maupun risiko campur tangan lembagalembaga hukum itu dalam wilayah politik. (c) Prosedur adalah jantung hukum, keteraturan dan ketertiban (Fairnes) dan bukannya keadilan subtantif, merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari tertib hukum. (d) ketaatan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan hukum positif. kritik terhadap hukum harus disalurkan melaui proses politik. Hukum otonom pada prinsipnya, berpusat kepada hakim dan terikat pada peraturan. Hakimlah yang menjadi sumber tatanan hukum, bukan polisi atau legislator. Di sini hakim memasukan nilai-nilai otonomi hukum, kewajaran, serta retribusi dan dengan demikian menjadi penting secara simbolis. Ia adalah juru bicara bagi hukum sebagai keadilan, daripada hukum sebagai keinginan politik. Peraturan yang dijalankan oleh hakim tersebut, diartikan sebagai sebuah norma dengan cakupan dan aplikasi yang sudah tertentu sifatnya. Philipe Nonet & Philip Sellznick, Hukum Responsif. Op cit Hlm 43. 46 E.Zainal Abidin, Budaya Hukum Dalam Peradilan Di Indonesia Dalam Jurnal Ilmu Hukum UII, No 9 Vol 4 1997, hlm 45. 47 Yasraf A piliang, Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam Era posmetafisika, Op cit hlm 172. 48 Arthur Brittan, Dimensi simbolis dari hukum Dan Kontrol Sosial, dalam Adam Podgorecki CJ Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap hukum, Bina aksara, Jakarta, 1987, hlm 283. 49 Moh.Mahfud MD, Politik Hukum : Indefendensi Lembaga Peradilan, dalam Dalam Jurnal Ilmu Hukum UII, No 9 Vol 4 1997, hlm 31.

50 Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita, PT. Refika Aditama: Bandung, 2005. 51 Sementara kalau kita melihat tujuan hukum, bahwa hukum itu semata-mata untuk menemukan keadilan (Teori etis), kedua tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagian yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-bayaknya (The greatest good of the greatest number) . Ketiga tujuan hukum adalah ketertiban. Lihat dalam Esmi Warasih, Pranata Hukum Opcit, hlm 24-25., Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Skesta, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm 23-28..,L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Terjemahan), PT Pradya Paramita, Jakarta, 1993, hlm 1-10. 52 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op cit, hlm 185. 53 Esmi Warasih, Pranata Hukum Op cit hlm 105-106. 54 George Ritzer Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda ,Op cit hlm 29. 56 Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 37. penulis menyesuaikan pendapat dari Barda nawai arief ini dengan cara pandang pancasila terhadap pengadilan. Karena ditinjau dari sudut filsafat analisis tentang pancasila tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan analisis tentang manusia dan nilai-nilai kehidupannya, sangat penting pengadilan pancasila untuk diterapkan dalam praktek peradilan kita saat ini, karena dalam pancasila itu sendiri terkandung nilai-nilai yang mengutamakan harkat dan martabat manusia. Sesuai dengan asas persamaan di muka hukum, dalam praktek peradilan pidana kita, sebaiknya nilai-nilai pancasila ini diterapkan demi menjung-jung pemeriksaan yang adil dan layak. selain itu juga dalam makna pancasil terkandung penafsiran yang oleh notonogoro dikatakan hendaknya kita selalu ingat kepada kesamaan kedudukan kodrat dan kesamaan kodrat kita sekalian. Lebih lanjut tentang penafsiran atas makna pancasila ini dapat dibaca dalam E Sumaryono Etika Hukum & Relevansi Teori hukum kodrat Thomas Aquinas, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2002 hlm 227-286. 57 Soedarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, yang dikutip oleh Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Ibid, hlm 40. 58 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan: Kritik Dan solusi terhadap Praktek Peradilan Perdata Di indonesia, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000. Hlm:198. 59 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, jakarta, Rajawali Press, 1983, hlm 11. 60 Rusli Muhamad, Urgensi Dan Upaya Revitalisasi, Op cit: 41. 61 Rusli Muhamad, Urgensi Dan Upaya Revitalisasi, Ibid. 62 Fadilah putra & Saipul arief, Kapitalisme Birokrasi,PUSPEK Averros,Lkis, 2001, Hlm 52. 63 J W La Patra, Analizing The Criminal Justice system, Op cit, hlm 65. yang kemudian dikutip oleh Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op cit: 187. 64 Lihat Catatan kaki no. 31 65 Pada abad ke-19, refleksi kefilsafatan yang abstrak spekulatif dan tidak pernah mencapai penyelesaian masalahmasalahnya secara defenitif, secara umum mengalami kemerosotan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan ilmu-ilmu positif, terutama fisika, dengan metode dan aflikasinya (teknologi dan industri) mengalami kemajuan yang pesat dengan hasil-hasilnya yang gemilang. Selanjutnya dapat di lihat dalam B. Arief Sidharta, Disiplin Hukum: Tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, Disampaikan pada Ulang Tahun Ke-4 Fordiskum Bandung, 20 Juli 2001.(Tidak diterbitkan). 66 Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum Ibid, 267. Bahkan pengertian negarapun pada abad ke-19 telah mengalami perubahan. dalam anggapan-anggapan para filsuf jerman dari abad ke-19, nega hukum lebih dipandang sematamata sebagai pelajaran tentang kedaultan dari parlemen, Lihat catatan kaki(142) dalam Khudaifah Dimiyati, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhamadiyah Universitas Prees, 2003, hlm: 61. 67 Soetandyo Wigjonsoebroto, Hukum Paradigam, Metode dan Dinamika Masalahnya Opcit hlm 96. Dalam halaman sebelumnya ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Positivisasi Hukum adalah suatu proses politik hukum yang amat menentukan perkembangan hukum sebagi suatu Applied Art (yang dalam bahasa inggris disebut Jurisfrudence) yang dalam bahasa indonesia adalah disebut ilmu hukum. Positivisasi Hukum beserta dasar-dasar rasionalisasinya yang sarat dengan sistematisasi doktin-doktrinnya sebagaimana dianjurkan menjelang pecahnya Revolusi Perancis 1789. 68 Achmad ali, Keterpurukan hukum Di Idonesia, Op cit, hlm 39. 69 Rusli Muhamad, Urgensi Dan Upaya Revitalisasai, Op cit, hlm 40. 70 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari hukum Di Indonesia,Op cit. 71 Erlyn Indarti, Quo Vadsi Pendsidiakn hukum: Suatu renungan Bagi Paradigma Baru Dalam hukum, Dalam Wajah hukum Di Era Reformasi, Citra Aditya Bakti Bandung, 2000, hlm 13.

72 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana.Citra aditya Bakti. Bandung, 1998, hlm 95-128. dalam hal ini telah mengatakan sulit kiranya untuk mengadakan pengembangan hukum atau pembaharuan hukum kalau pendidikan hukum SI yang dijarakan pada pola positivistik terus. Demikian pula dengan ilmu, teori hukum yang positivistik yang lebih ditekankan pada pengetahuan yang langsung berhubungan dengan hukum positif, kebiasan menerima, memahami dan menerapkan peraturan. ini tentunya akan sulit untuk dijadikan pengembangan dalam ilmu atau teori hukum. Secara logis kita dapat menarik sebuah kesimpulan: karena lulusan SI langsung terjun kemasyarakat, maka dengan sendirinya mereka akan tahu kenyataan yang sebenarnya. Seperti apa masyarakat itu, apakah masyarakat mengingankan adanya model lain dalam hukum. Tentunya bagi merekalah sangat diharapkan adanya perubahan dalam cara memandang hukum. Karena yang diajarkan hanya Hukum dan Kekuasaan, hanya bagaimana menerapkan hukum dalam kasus-kasus tertentu, maka mereka akan kesulitan di dalam memahami perubahan. Padahal merekalah yang selalu aktif menyaksikan perubahan karena mereka langsung terjun dalam kenyataan. 73 Positivisem hukum, dikatakan sebagai bagian dari peradaban moderen karena cara pandangnya mengikuti paradigma Cartesian-Newtonian. Menurut Fritjof Capra, cara pandang dunia dari manusia moderen adalah selalu mendasarkannya kepada pandangan dunia mekanistik, linear seperti yang dijelaskan oleh Cartesian-Newtonia. Lihat dalam Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Op cit hlm 2. 74 E sumaryono banyak membahas hal ini, pikiran-pikirannya mengenai positivisme hukum dapat dibaca dalam bukunya Etika Hukum Op cit hlm184-188. 75 Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ (Antara Neurosains dan Alquran), Mizan,Bandung2004, hlm 102. 76 Peter L Berger & Luckman, Tafsir sosial atas kenyataan: Sebuah risalah tentang pengetahuan sosiologis, LP3S, Jakarta, 1987. 77 Peter L Berger & Luckman, Tafsir sosial atas kenyataan: Sebuah risalah tentang pengetahuan sosiologis, Ibid. Di lain kesempatan ia mengatakan Peter L. dalam bukunya Humanisme Sosiologis, yang diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae dari judul aslinya Invitation To Sociology, A Humanistic Perspective dan diterbitkan oleh inti Aksara, Jakarta 1985 hlm.40-77. Telah menjelaskan bahwa pemahaman sosiologis memiliki beberapa ciri adalah sebagai berikut: a) Paham sosiologis memiliki Motif Penelanjangan: adalah berusaha mengetahui apa yang berada dibalik kenyataan sosial yang diterima oleh banyak orang. Bersifat metodologis, ingin mengetahui seluruh proses sosial (Aspek metodologis) yang terjadi dan bukan motif psikologi b) Motif Kurang Hormat: dalam arti selalu mempertanyakan apa yang ada dan tidak menerima sesuatu kenyataan sudah terjadi semestinya, ini tidak berarti revolusioner dan tidak konservatif c) Motif Untuk tidak Menisbikan Kenyataan: adalah nilai-nilai pemikiran manusia karena memandangnya dikondisikan menurut tempat dan waktu, oleh karena hidup dimasyarakat moderen, d) Motif Kosmopolitan: adalah motif sosiologi yang bersifat terbuka terhadap dunia luas memerdekan orang dalam rangkaian kejadian-kejadian dari kehidupan manusia yakni memberikan kesempatan berpikir terhadap cara-cara berpikir dan bertindak yang lain. 78 Heru Nugroho, Menumbuhkan ide-ide kritis, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2002, hlm 85. 79 Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ (Antara Neurosains dan Alquran) , Ibid, hlm 102. Untuk lebih jelasnya tentang bagaimana cara berpikir kreatif ini, Danah Zohar dan Ian Marshaal, telah menjelaskan. Dengan menggunakan kecerdasan spritual (SQ). Mengenai hal ini dapat di baca dalam bukunya SQ: Spritual Intellegence-The Ultimate Intelligence, (Terjemahan): SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spritual Dalam Berpikir intregralistik Dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung, 2001.

Anda mungkin juga menyukai