Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagenvascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagenvascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004). Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh. Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).

2.2 EPIDEMOLOGI SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 1564 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbedabeda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi

antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.3 ETIOLOGI Faktor Resiko terjadinya SLE 1) Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut 2) Faktor Resiko Hormon Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini. 3) Sinar UV Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah 4) Imunitas Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T 5) Obat Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin

6) Infeksi Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi 7) Stres Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.

2.4 KLASIFIKASI Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. 1. Discoid Lupus Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005). 2. Systemic Lupus Erythematosus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998). 3. Lupus yang diinduksi oleh obat Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

2.5 PATOFISIOLOGI

Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

2.6 KRITERIA SLE Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu : 1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan 2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANAsebelumnya 3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar) 4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit 5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit 6. Salah satu Kelainan darah; anemia hemolitik, Leukosit < 4000/mm, Limfosit<1500/mm, Trombosit <100.000/mm

7. Salah satu Kelainan Ginjal; Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis : Pleuritis, Perikarditis

9. Salah satu kelainan Neurologis; Konvulsi / kejang, Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan 11. Salah satu Kelainan Imunologi Sel LE+ Anti dsDNA diatas titer normal Anti Sm (Smith) diatas titer normal Tes serologi sifilis positif palsu

2.7 MANIFESTASI KLINIS Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. Muskuloskleletal Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan

kebanyakanmenderitaar tr itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerahtersebut. Integumen Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar

matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal. Sistem Neuron Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakanbeberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi. Sistem Hematologi Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun. Sistem Kardiovaskuler Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat darikeadaan tersebut. Sistem Respirasi Pada lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaantersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG Anti ds-DNA Batas normal : 70 200 IU/Ml Negatif Positif : < 70 IU/mL : > 200 IU/mL

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Antinuclear antibodies (ANA) Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive

Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

2.9 PENGOBATAN SLE Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000). Terapi nonfarmakologi Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan

produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002). Terapi farmakologi Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. NSAID Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan

hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002). Antimalaria Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat

antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor (TNF- ). Kortikosteroid Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan

tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-,

metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Siklofosfamid Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan

resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit. Terapi hormon Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998).

2.10

PENGKAJIAN 2.10.1 PENGKAJIAN Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien. Kulit : Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher. Kardiovaskuler : Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga. Sistem Muskuloskeletal : Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

Sistem integumen : Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupukupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

Sistem pernafasan : Pleuritis atau efusi pleura. Sistem vaskuler : Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

Sistem Renal : Edema dan hematuria. Sistem saraf : Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

2.10.2 MASALAH KEPERAWATAN 1. Nyeri 2. Keletihan 3. Gangguan integritas kulit 4. Kerusakan mobilitas fisik 5. Gangguan citra tubuh

2.10.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. 2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik. 4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik. 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

2.10.4 INTERVENSI 1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan Intervensi :

Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian) Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi. Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah. Intervensi : Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya. Rujuk dan dorong program kondisioning. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik. Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal. Intervensi : Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi : Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik. Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan enyakit. Intervensi : Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun. Tujuan : pemeliharaan integritas kulit. Intervensi : Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi Hilangkan kelembaban dari kulit Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas. SLE dapat menyerang berbagai sistem organ dan keparahannya berkisar dari sangat ringan sampai berat. Etiologi belum dipastikan, secara garis besar dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu endokrinmetabolik, lingkungan dan genetik. Pencetus fungsi imun abnormal mengakibatkan pembentukan antibodi yang ditujukan terhadap berbagai komponen tubuh. Tidak ada suatu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnosis SLE. Masalah yang paling sering dirasakan pasien adalah keletihan, gangguan integritas kulit, gangguan citra tubuh dan kurang pengetahuan untuk mengambil keputusan mengenai penatalaksanaan mandiri.

3.2 KRITIK DAN SARAN Penulis menyadari bahwa dalam penyusunanya, besar harapan kami kepada para pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih sempurna.

Anda mungkin juga menyukai