Anda di halaman 1dari 5

SUPPLY AND DEMAND DALAM PENDIDIKAN KEJURUAN A.

Pendahuluan Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang dikembangkan untuk menyiapkan dan/atau meningkatkan kualifikasi sumber daya manusia sebagai tenaga kerja terlatih memasuki dunia kerja yang menguntungkan bagi

dirinya. Dimasa yang akan datang orientasi pengembangan pendidikan kejuruan akan diarahkan kepada program-program keahlian yang dapat

memberikan pengetahuan, keterampilan, sikap kerja, pengalaman, wawasan, cara-cara berfikir kritis, kemampuan berkomunikasi efektif baik secara oral dan tertulis, berjiwa entrepreneurship, mampu mengakses dan menganalisis informasi, memiliki rasa ingin tahu dan mampu berimajinasi, serta memiliki jaringan yang dapat membantu diri siswa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pilihannya. Yang dicari dan dipilih oleh siswa pendidikan kejuruan adalah program keahlian yang memiliki prospek karir yang baik dan menguntungkan dimasa depan (Smith-Hughes :1917; Thompson: 1973; Gill, Dar, & Fluitman:2000; Dedi Supriadi:2002). Link and Match sebagai dasar pembaharuan pendidikan kejuruan dilaksanakan dengan dual-based program, pendewasaan manajemen sekolah, pengembangan unit produksi. Terjadi penataan dan pembaharuan dimensidimensi pendidikan kejuruan dari: (1) Supply Driven ke Demand Driven; (2) pendidikan berbasis sekolah (school based) menjadi pendidikan berbasis ganda (dual based); (3) pengajaran berbasis mata pelajaran (subject matter)

menjadi pengajaran berbasis kompetensi (competencies based); (4) program dasar yang sempit (narrow based) ke program dasar yang mendasar (broad based); (5) pendidikan formal yang kaku menjadi pendidikan formal yang luwes (multi entry-multi exit); (6) tidak mengakui keahlian dari luar sekolah menjadi mengakui kompetensi yang diperoleh dari manapun dan dengan cara apapun (recognition of prior learning=RPL); (7) pemisahan yang tegas antara pendidikan dan latihan menjadi pengintegrasian pendidikan dan latihan; (8) pendidikan bersifat terminal (dead end) menjadi pendidikan berkelanjutan (bridging program); (9) manajemen terpusat (sentralistik) menjadi

manajemen mandiri (desentralistik). B. Masalah Supply and Demand Secara empiris telah terjadi kekurang-sepadanan antara Supply dan Demand keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurang cocokan kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh. Hal-hal tersebut dapat dilihat dari berbagai friksi, antara lain, friksi tingkat pendidikan, friksi komptensi, dan friksi substansi. Pertama, friksi tingkat pendidikan ditandai oleh kekurangsesuaian antara kebutuhan, terhadap lulusan suatu tingkat pendidikan tertentu, dengan persediaannya. Friksi ini

menyebabkan ketidakseimbangan dalam bursa kerja dan menyebabkan menumpuknya lulusan program pendidikan pada tingkat tertentu, namun justru kekurangan pada segmen yang lainnya. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SLKTP Tamat SMU Tamat SMK Tamat PT (D) Tamat PT (S1) Jumlah
Tabel 1. Analisis

Kebutuhan (000) -3.900.1 954.7 8.429.5 2.164.1 382.7 1.411.9 1.551.0 343.7 173.2 11.510.7

% -33.9 8.3 73.2 18.8 3.3 12.3 13.5 3.0 1.5 100

Persediaan (000) 0.0 1.817.2 2.530.2 2.104.0 153.4 2.191.0 2.041.8 393.3 630.6 11.861.5

% 0.0 15.3 21.3 17.7 1.3 18.5 17.2 3.3 5.3 100

Keseimbangan (000) 0 862.5 -5.899.5 -60.1 -229.3 779.1 490.8 49.6 457.4 350.8

Keseimbangan antara Kebutuhan dan Penyediaan Tenaga Kerja menurut Tingkat Pendidikan Sampai Pelita VI

Sementara pada tingkat pendidikan di atasnya, jumlah permitaan dengan persediaan yang ada, cenderung jumlah persediaan lebih tinggi dibanding kebutuhan. Sebenarnya bisa dilakukan menurunan kualifikasi untuk kepentingan penyerapan kesempatan kerja, namun justru disitulah eksistensi pendidikan terganggu dalam persepsi masyarakat.

Kenyataan tersebut

sama sekali

tidak menapik

keberhasilan

pembangunan pendidikan, sehingga tingkat pendidikan masyarakat lebih meningkat. Namun, masalahnya terletak pada perencanaan pendidikan yang tidak melihat pendidikan sebagai wacana yang dipenuhi oleh disparitas, baik pada tataran input, proses, maupun output. Kedua, friksi komptensi sebagai akibat lemahnya perencanaan penetapan bidang keilmuan. Polarisasi yang tajam antara program pendidikan eksak dan non-eksak menyebabkan lulusan dengan kompetensi tertentu lebih banyak menganggur ketimbang pada program kompetensi lainnya.

Penjurusan yang kaku serta sikap arogansi keilmuan telah membawa lulusan suatu lembaga pendidikan terpojok pada satu sisi yang "gelap" tanpa memiliki pilihan yang lain. C. Kesimpulan Orientasi supply driven pada pendidikan kejuruan dan vokasi yang didasarkan pada kebutuhan sosial masyarakat, bukan demand driven yang dipacu pada kebutuhan pasar kerja. Sehingga banyak di jumpai

penggagguran. Oleh sebab itu unutk mengurangi angka pengaguran perlu diterapkan system demand drive yang beroentas pada kebutuhan pasar kerja, bukan dari kebutuhan sosial masyarakat. Namun penerapan pendekatan supply driven menjadi demand driven pada pendidikan kejuruan (SMK) masih belum memperoleh tanggapan positif dari masyarakat. Padahal, sistem demand driven dirancang yang dipicu kebutuhan pasar kerja, karena pada dasarnya program pendidikan kejuruan

berorientasi kebutuhan nyata pasar kerja. Dengan demikian, peran aktif dunia usaha dan industri dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan sangat diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai