Anda di halaman 1dari 9

Kisah Wanita yang Menikahi Lima Pria Yahoo!

SHE Rab, 20 Mar 2013 09:51 WIB Satu pria memiliki banyak istri mungkin sudah biasa, tapi jika sebaliknya, akan menjadi berita besar. Di desa Dehradun, India utara, poliandri bukanlah hal aneh. Adat di sana justru mengharuskan para wanita menikah dengan pria, sekaligus semua saudara kandungnya. Itulah yang terjadi pada wanita 21 tahun bernama Rajo Verma. Secara resmi, Rajo bersuamikan Guddu. Mereka menikah secara agama Hindu. Setelah itu, Rajo juga menikahi empat saudara laki-laki Guddu yakni Baiju (32), Sant Ram (28) Gopal (26), dan Dinesh (19).

"Kami semua berhubungan seks dengannya [Rajo], tapi tak pernah merasa cemburu, kami keluarga besar yang bahagia," ujar Guddu si suami pertama, seperti dikutip dari DailyMail. Rajo pun tampaknya tak keberatan dengan adat yang berlaku. Dulu ibunya juga melakukan hal yang sama, yaitu menikahi tiga pria yang bersaudara. "Awalnya mungkin aneh. Tapi aku menyayangi mereka semua," ujar Rajo. Tradisi Hindu kuno memang mengajarkan praktik poliandri. Salah satu cerita paling populer adalah kisah Drupadi yang menikahi Pandawa bersaudara. Walau kini poliandri telah jarang tapi masih terjadi di beberapa daerah, hal. Para pelaku poliandri percaya, mereka dapat mempertahankan tanah keluarga jika terus melestarikan adat tersebut. Kembali ke Rajo, kini wanita muda itu telah memiliki satu putra yang bernama Jay. Sayangnya ia sendiri tak tahu siapa ayah kandung dari para putranya. Rajo mengungkap, ia bercinta dengan

kelima suaminya secara bergiliran setiap hari di atas lantai hanya dengan beralaskan selimut. Lagi-lagi, tampaknya hal tersebut bukan masalah baginya. "Aku merasa lebih dicintai ketimbang istri-istri lain pada umumnya," ujar Rajo lagi.

Apa arti dari jender? Jender berasal dari bahasa Latin, yaitu genus, berarti tipe atau jenis. Jender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya. Jender juga sangat tergantung kepada tempat atau wilayah, misalnya kalau di sebuah desa perempuan memakai celana dianggap tidak pantas, maka di tempat lain bahkan sudah jarang menemukan perempuan memakai rok. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan. Misalnya kalau dulu pekerjaan memasak selalu dikaitkan dengan perempuan, maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurusi dapur atau susah karena harus tergantung kepada perempuan untuk tidak kelaparan. Apa arti dari jender Bagaimana bentuk hubungan jender ? Hubungan jender ialah hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan jender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedaan suku, agama, status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut)

Apakah ketidakadilan jender itu? Ketidakadilan jender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan jender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengkibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.

Sebagai contoh dari ketidakadilan jender pada remaja adalah jika terjadi kehamilan pada remaja putri yang masih sekolah maka hanya remaja putri tersebut yang dikeluarkan dari sekolah sementara remaja putra yang menghamili tidak dikeluarkan. Seharusnya jika mungkin, kedua-duanya tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya. Apakah ketidakadilan jender itu Indeks Pembangunan Jender (Gender-related Development Index = GDI) GDI mengukur pencapaian dimensi dan variabel yang sama seperti HDI, namun menangkap ketidakadilan dalam hal pencapaian antara laki-laki dan perempuan. HDI hanya disesuaikan ke bawah akibat ketidaksetaraan jender. Semakin besar perbedaan jender dalam pembangunan asasi manusia, maka semakin rendah pula GDI di negara tersebutdibandingkan dengan nilai HDI-nya

Ukuran Pemberdayaan Jender (Gender Empowerment Measure = GEM) GEM menunjukkan apakah perempuan dapat memainkan peran yang aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik. GEM ditekankan pada partisipasi, guna mengukur ketidaksetaraan jender di bidangbidang penting dari partisipasi ekonomi dan politik serta dalam hal pengambilan keputusan

GEM melacak prosentase perempuan yang duduk di parlemen, yang menjadi administrator dan manajer serta tenaga profesional dan pekerja teknis dan pangsa pendapatan upah perempuan bila dibandingkan dengan prosentase laki-laki. Berbeda dari GDI, GEM menampilkan

ketidak-setaraan kesempatan di daerahdaerah tertentu. (HDR, 1998, halaman 15) Ukuran Pemberdayaan Jender By www.ar.itb.ac.id/wdp/.PENGANTAR Pengertian Jender

GENDER DAN KOMUNIKASI Robin Lakoff (dalam Griffin, 2003) mencoba mengklasifikasikan keberaturan pembicaraan perempuan, dan membedakan antara woman talk dari man talk. Ia mengklaim bahwa percakapan perempuan mempunyai karakter sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. Ditandai apologis. Pernyataan tidak langsung. Pertanyaan yang minta persetujuan Mengkualifikasikan. Perintah yang sopan. Menggunakan istilah color. Cenderung menghindari bahasa vulgar. Sedikit berbicara, banyak mendengarkan.

Sementara itu, penelitian Griffin (2003), yang berdasarkan pada refleksi personal, menemukan tiga pola perbedaan antara perempuan dan laki-laki sebagai berikut: a) ada lebih banyak persamaan antara laki-laki dan perempuan dari pada perbedaannya. b) ada variabilitas yang besar berkenaan gaya komunikasi antara laki dan perempuan. Feminis vs maskulinitas. c) sex adalah fakta, gender sebagai gagasan. Dalam pembahasan mengenai gender dan komunikasi, Griffin menyadur tiga buah pemikiran sebagai berikut: Genderlect Styles (dari Deborah Tannen); Standpoint Theory (dari Sandra Harding dan Julia Wood); dan Muted Group Theory (dari Cheris Kramarae). 1. Genderlect Styles (dari Deborah Tannen). Deborah Tannent mendiskripsikan ketidakmengertian (misunderstanding) antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada pelayanan status dan kemandiriannya.

Genderlect Styles membicarakan gaya bercakap-cakap- bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar. Perbedaan-perbedaan itu terletak pada: Kecenderungan feminis versus maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis untuk membangun relationship; menunjukkan responsif. Komunitas maskulin menyelesaikan tugas; menyatakan diri; mendapatkan kekuasaan. Perempuan berhasrat pada koneksi versus laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power). Raport talk versus report talk. Perbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik. Report talk adalah istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya, pokoknya sampai. Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan yang terkategorikan sebagai berikut: a. Publik speaking versus private speaking, dalam kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik, laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah; menyampaikan informasi; meminta persetujuan. b. Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, dan nilainilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki lebih banyak bercerita dibanding perempuankhususnya tentang guyonan. Cerita guyonan merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status. c. Listening, perempuan cenderung menjaga pandangan, sering manggut, berguman sebagai penanda ia mendengarkan dan menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha mengaburkan kesan itu- sebagai upaya menjaga statusnya. d. Asking questions, ketika ingin bicara untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan. Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai powerkekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus ketidaksetujuan

dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah. e. Conflict, perempuan memandang konflik sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun kurang suka memeliharanya. 2. Standpoint Theory (dari Sandra Harding dan Julia Wood). Sandra harding dan Julia Wood sepakat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perspektif terpisah, dan mereka tidak memandangnya sebagai sesuatu yang setara. Lokasi-lokasi yang berbeda dalam hirarkhi sosial mempengaruhi apa yang dilihat. Mereka beranggapan bahwa perempuan dan minoritas yang lainnya mempersepsi dunia secara berbeda daripada kelompok yang berkuasa. Standpoint merupakan tempat dari mana melihat pemandangan dunia, apapun sudut pandangnya. Sinonim dari istilah ini adalah perspektif; view point, out look; dsb. Dasar filosopi teori ini adalah perjuangan klas- seperti filsafati kaum proletar karya Karl Marx dan Friederich Engels. Sandra harding dan Julia Wood menganjurkan harus ada perjuangan terhadap diskriminasi gender. Mereka tidak mencirikan perbedaan gender pada insting atau biologis atau intuisi, tetapi perbedaan itu sebagai hasil harapan-harapan budaya dan perlakuan kelompok dalam hal menerima kelompok yang lain. Budaya tidak dialami secara identik, budaya adalah aturan hirarkhi sehingga kelompok yang punya posisi cenderung menawarkan kekuasaan, kesempatan pada anggotaanggotanya. Dalam hal ini teori ini menyatakan bahwa perempuan terposisikan pada hirarkhi yang rendah dibanding posisi laki-laki. Gender adalah sistem makna, sudut pandang melalui posisi dimana kebanyakan laki-laki dan perempuan dipisahkan secara lingkungan, material, simbolis. 3. Muted Group Theory (dari Cheris Kramarae). Berdasarkan analisis feminis, Cheris Kramarae memandang pembicaraan laki-laki dan perempuan sebagai pertukaran yang tidak setara antara mereka yang mempunyai kekuasaan di masyarakat dan yang tidak. Ia meyakini bahwa kurang bisanya mengartikulasikan diri/memperjuangkan diri dibanding laki-laki di sector public- sebab kata dalam bahasa dan norma-norma yang mereka gunakan itu telah dikendalikan laki-laki. Sepanjang pembicaraan perempuan sebagai tentatif dan sepele, posisi dominan laki-laki aman. Kramarae yakin bahwa kebisuan perempuan itu cenderung menipis, kontrol mereka dalam kehidupan kita akan meningkat. Cheris Kramarae (dalam Sendjaja:1994) mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut:

Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.

Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi lebih dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.

Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai komunikasi perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian. a) Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki. b) Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan. c) Perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendiri di luar sistem laki-laki yang dominan. d) Perempuan cenderung untuk mengekspresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki. e) Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional. f) Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer dalam masyarakat luas; konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa. g) Perempuan memiliki konsepsi humoris yang berbeda dari pada laki-laki. Diposkan oleh ADI PRAKOSA di 18.30 by_http://adiprakosa.blogspot.com/2007/12/gender-dankomunikasi.html

Anda mungkin juga menyukai