Anda di halaman 1dari 41

BAB I PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan

yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning merupakan proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat kompleks (Safar, 2000). Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non infeksi pun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian (Sunatrio, 1998). Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu-satunya jawaban tersedia di dalam 1

ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya (Sunatrio, 1998). Adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat, fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjal pun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator tersebut (Safar, 2000). Kematian somatik merupakan fase kematian di mana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktivitas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu dua jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu dua jam diantaranya itulah yang dikenal sebagai fase mati batang otak. Jika dalam jarak waktu tersebut tindakan supporting life non therapy seperti penghentian resusitasi, maka tindakan yang dilakukan oleh dokter dapat dikatakan sebagai bentuk euthanasia (Safar, 2000). Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif/positif (taisir al-maut al-faal) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa(4):92 Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi, tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri (Qardhwai, 2000).

Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan derita dan distres yang tak perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi atau informasi sering menimbulkan kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah mencabut pipa ventilator, menghentikan bantuan hidup dan sebagainya. Perlu dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu melepas ventilator, dokter tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang meninggal, tetapi sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang telah meninggal (Achadiat, 2005). Dalam Islam, penggunaan mesin life support jika tidak memberikan kearah perbaikan pasien seperti pada lanjut usia, maka diwajibkan untuk menghentikan penggunaan alat-alat life support karena menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam karena yang lebih utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si mayit yang dalam kondisi MBO.

I.2 Permasalahan 1. Bagaimana definisi dan penentuan (diagnosis) mati ditinjau dari kedokteran ? 2. Bagaimana diagnosis dan gejala-gejala mati batang otak ditinjau dari kedokteran ? 3. Bagaimana pandangan kedokteran mengenai supporting life therapy ? 4. Bagaimana pandangan Islam mengenai supporting life therapy pada kondisi mati batang otak ?

I.3 Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui perkembangan teknologi kedokteran modern dalam

mendiagnosis kematian seseorang ditinjau kedokteran dan Islam. 2. Tujuan Khusus 1. Diketahuinya definisi kematian dan penentuan diagnosis kematian ditinjau dari kedokteran. 2. Mengetahui definisi mati batang otak termasuk dalam diagnosis dan gejala-gejalanya. 3. Mengetahui pandangan kedokteran mengenai supporting life therapy. 4. Mengetahui pandangan Islam mengenai supporting life therapy pada kondisi mati batang otak

I.4 Manfaat 1. Bagi penulis, yaitu menambah pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan kematian dan bagaimana cara penulisan skripsi yang baik dan benar. 2. Bagi Universitas YARSI yaitu menambah sumber pengetahuan dalam kepustakaan Universitas YARSI mengenai mati batang otak ditinjau dari Kedokteran dan Islam. 3. Bagi masyarakat yaitu mengetahui pengertia kematian pada bidang medis sehingga dapat mempersiapkan diri dalam menghadapinya.

BAB II TINJAUAN ETIKOLEGAL PENGGUNAAN MESIN LIFE SUPPORT PADA PASIEN DENGAN MATIN BATANG OTAK DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1.

PENDAHULUAN Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan

yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia (Safar, 2000). Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non infeksi pun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian (Muhiman, 2000).

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu-satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.

2.2.

KEMATIAN DALAM SUDUT PANDANG KEDOKTERAN Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak pernah

diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi. Pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu: somatic death (kematian somatik) dan biological death (kematian biologik) (Sunatrio, 1998). Tanda-tanda kematian somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat respirator tersebut dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda kematian somatik lainnya. Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah ada, sebelum terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus, walaupun berada pada tempat yang berbeda selama mendapat perawatan yang memadai (Sunatrio, 1998). Jadi dengan demikian makin sulit seorang tenaga kesehatan menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu dari tanda kematian somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian

manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. 2.2.1. Definisi Mati Adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat, fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator tersebut. Resusitasi mutakhir dalam dunia kedokteran telah membawa perubahanperubahan pada definisi kematian dan pembagian kematian tersebut (Safar, 2000). 1. Mati klinis Merupakan salah satu bentuk kematian di mana terjadi henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada awal proses ini pemberian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal. 2. Mati biologis Merupakan kematian semua organ yang selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira satu jam 7

tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari. Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat, denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada kematian normal seperti ini tidak bertujuan dan tidak berarti lagi. 3. Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa jantung pada organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang terus berlangsung sesudah jantung pertama kali berhenti mengakibatkan kematian dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death). Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol listrik membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal. 4. Mati serebral (kematian korteks) Merupakan kematian di mana terjadi kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan batang otak. 5. Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan otak berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya

tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur (Safar, 2000).

2.3.

MATI BATANG OTAK DALAM KEDOKTERAN Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation,

apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan (susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan) yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana. Dengan alat kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati batang otak sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam. Kematian somatik merupakan fase kematian di mana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu dua jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu dua jam diantaranya itulah yang dikenal sebagai fase mati batang otak (Sutcliffe, 2003). Mati batang otak yang merupakan kondisi terjadi diantara kematian somatik, di mana tidak didapati tanda-tanda kehidupan, dan kematian biologis. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk kematian yang dikenal sebagai mati otak dalam dunia kedokteran. Seseorang yang dalam kondisi mati otak, tanda-tanda kehidupan dapat kembali lagi jika dilakukan resusitasi yang memberikan hasil maksimal. Penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini terbukti reversibel, jantung kadang-kadang dapat terus berdenyut selama satu pekan atau lebih, atau bahkan

sampai 14 hari, dengan sebagian besar otak mengalami dekomposisi. Dengan kondisi seperti ini jantung dapat terus berdenyut sampai 32 hari (pada seorang anak umur 5 tahun) (Jennet, 2001). Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO). Penghentian total sirkulasi ke otak normotermik selama lebih dari 10 menit tidak kompatibel dengan kehidupan jaringan otak. Jadi penghentian fungsi jantung mengakibatkan MO dalam beberapa menit, sedangkan penghentian fungsi otak mengakibatkan kehilangan fungsi jantung dalam beberapa jam atau hari (Gorman, 2000). Kebanyakan kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan hukum sekarang ini mendefinisikan kematian suri dalam pengertian MO walaupun jantung mungkin masih berdenyut dan ventilasi buatan dipertahankan. Akan tetapi banyak pula yang memakai mati batang otak sebagai konsep MBO. Menurut IDI (1988), seseorang dinyatakan mati bila (IDI, 1988); a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti, atau b. Telah terbukti terjadi MBO. Secara klasis dokter menyatakan mati berdasarkan butir (a) tersebut dan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam atau di luar rumah sakit. Fungsi spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti setelah dicoba melakukan resusitasi darurat. Pada resusitasi darurat, di mana tidak mungkin menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1) terdapat tanda-tanda mati jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai resusitasi, pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah pengaruh barbiturat atau anestesia umum (IDI, 1988).

10

Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Menurut Sunatrio (2006), batasan mati ini mengandung dua kelemahan. Yang pertama, pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi otak, nafas dan jantung telah berhenti, namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. Yang kedua, dengan adanya kata-kata denyut jantung telah berhenti, maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan/organ (IDI, 1988). 2.3.1. Diagnosis Mati Batang Otak Diagnosis mati batang otak atau mati batang otak (MBO) barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti jantung akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi keluarga pasien dan staf perawatan. Selain itu, terapi yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi keluarga pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan seringkali dilakukan (Zamperetti, 1999).

11

Penerimaan batang otak sebagai sumber kehidupan dan penghentian ventilasi sebagai akibat diagnosis MBO potensial sulit bagi orang awam untuk menerimanya. Tidaklah mudah untuk memberitahu famili pasien, yang berwarna merah, hangat dan kelihatannya bernafas dengan nyaman pada ventilator, mati. Bahkan lebih sulit lagi jika famili pasien melihat gerakan pasien yang dinyatakan dokter timbul pada tingkat spinal dan tidak mengindikasikan fungsi otak. Masyarakat di negara maju seperti Inggris sangat mempercayai dokter dan biasanya tidak dijumpai kesulitan tatkala dibuat diagnosis MBO (Sutcliffe, 2003). Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak, pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran (Sutcliffe, 2003). Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang otak (IDI, 1988). Prasyarat-prasyarat tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Pada hakekatnya sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa pasien komatous dan bergantung pada ventilator dan mempunyai kondisi yang konsisten dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi batang otak. Pasien dengan MBO tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan diagnosis MBO kadang-kadang menyarankan dokter seniornya untuk melakukan testing pada pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini

12

menonjolkan tiga hal. Pertama dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI yang memang belum tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan langkah-langkah yang harus dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang otak. Kedua adalah adanya kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada pasien-pasien ini dapat mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi individual untuk tiap pasien dan sangat kontras dengan diagnosis MBO yang identik bagi semua pasien. Hal ketiga adalah perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel yang cukup untuk menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah cedera kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan henti jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis serta investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma yang reversibel yang menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya sedatif, analgetik dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran atau arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35C. Intoksikasi obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma primer ataupun faktor penunjang (IDI, 1988).

13

Tabel 1. Meneggakkan Diagnosis Mati Batang Otak Prasyarat Pasien koma dengan ventilator Diagnosis dan kerusakan struktural otak menyebabkan koma Ekslusi Obat-obatan, hipotermia, gangguan metabolik Tes Refleks batang otak negatif Sumber ; IDI (1988)

yang

Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan gangguan yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya yang sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema serebri, hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi prasyaratprasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit. Tabel 2. Beberapa Kesukaran dalam Diagnosis Mati Otak Hasil pemeriksaan Kemungkinan Kausa Pupil terfiksasi Obat antikolinergik, obat pelumpuh otot. Refleks okulovestibular (-) Obat penekanan vestibular Penyakit sebelumnya Tidak ada nafas Henti nafas pasca hiperventilasi Obat pelumpuh otot Tidak ada aktifitas motorik Obat pelumpuh otot Locked in state Obat sedative EEG isoelektrik Obat sedative Anoksia Hipotermia Ensefalo Sumber ; IDI (1988) Pada hakekatnya sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa pasien komatous dan bergantung pada ventilator dan mempunyai kondisi yang konsisten dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi batang otak. Pasien dengan MBO tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan diagnosis MBO kadang-kadang menyarankan dokter seniornya

14

untuk melakukan testing pada pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini menonjolkan tiga hal (Safar, 2000); 1. Dokter yang bekerja di Intensive Care Unit (ICU) perlu lebih dahulu mengkaji langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI yang memang belum tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan langkah-langkah yang harus dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang otak. 2. Adanya kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada pasien-pasien ini dapat mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi individual untuk tiap pasien dan sangat kontras dengan diagnosis MBO yang identik bagi semua pasien. 3. Perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel yang cukup untuk menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah cedera kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan henti jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis serta investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma yang reversibel yang menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya sedatif, analgetik dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran atau arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35C. Intoksikasi obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh

15

dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma primer ataupun faktor penunjang. 2.3.2. Pemeriksaan Tambahan dalam Penentuan Mati batang otak Dalam membuat diagnosis MBO kadang-kadang dijumpai kesukaran. Bila dokter yang bertugas masih ragu-ragu mengenai: a) diagnosis primer, b) kausa disfungsi batang otak yang reversibel (obat atau gangguan metabolik), c) kelengkapan tes klinis, maka hendaknya jangan dibuat diagnosis (Safar, 2000). Sebelum melakukan tes formal, harus dipastikan dulu bahwa pasien tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang. Bila ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea dalam keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa lima refleks batang otak. Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter

16

atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super spesialis (Safar, 2000). Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas. Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre. Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan (IDI, 1988). Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan gangguan yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya yang sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema serebri, hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi prasyaratprasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien sudah dirawat di rumah sakit jauh lebih lama. CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga untuk memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum. Kompresi arteri dan vena mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh sumbatan aquaduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahan-perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah edema. Interpretasi

17

perubahan-perubahan ini pada seksi aksial tradisional CT Scan memerlukan pengalaman. Herniasi otak, bagi dokter nonradiologis, paling mudah dilihat pada citra CT koronal (Plum dan Posner, 2002).

2.4.

ASPEK ETIKOLEGAL PENGGUNAAN MESIN LIFE SUPPORT PADA PASIEN DENGAN MATI BATANG OTAK Diagnosis mati batang otak ditegakkan dengan cara tidak benar, sehingga ada

pasien yang sudah dinyatakan MBO ternyata tetap hidup; dan pada kasus lain pasien menjadi mati padahal sebenarnya bukan MBO dan masih mungkin dapat diselamatkan (Safar, 2000). Sebagai contoh telah terjadi kasus berikut ini: Seorang pasien koma dikonsulkan ke dokter spesialis saraf. Setelah memeriksa dokter tersebut menyatakan mati batang otak dan memberitahu famili pasien yang kemudian bersiap-siap untuk mengubur jenazah. Namun ada dokter spesialis anestesiologi yang mengetahui proses tahapan-tahapan dalam menegakkan diagnosis mati batang otak, sehingga pasien tetap dirawat terus dan akhirnya sadar dan tetap hidup. Jadi diagnosis MBO di sini tidak betul karena tidak mengikuti tahapan diagnosis MBO. Setelah pasien dinyatakan MBO, dokter yang merawat menyatakan bahwa ventilator belum bisa dilepas karena belum ada izin dari famili pasien. Di sini, seakan-akan famili pasien yang menentukan kematian pasien tersebut. Seorang pasien dalam kondisi MBO, tetapi tim dokter yang merawat melanjutkan tidak ventilasi buatan, dan tidak memberikan terapi sebagaimana layaknya pasien dalam keadaan terminal. Dengan demikian seseorang yang dalam kondisi tersebut yang dapat menjadi hidup kembali, tetap tidak mendapat terapi secara medis sehingga seseorang tersebut dalam kondisi mati biologis. Ini berarti dokter tersebut telah

18

melakukan euthanasia, baik itu atas keinginan keluarga. Tindakan medis ini disebut sebagai tindakan euthanasia aktif, untuk membedakan dari istilah euthanasia pasif. Euthanasia pasif adalah keputusan medis untuk menghentikan sama sekali pengobatannya. Namun istilah euthanasia pasif tidak lagi dipakai karena masalah etika kedokteran sudah dapat diatasi. Euthanasia pasif biasanya diganti dengan sebutan membiarkan pasien meninggal karena harapan hidup sudah tidak ada lagi (supporting non life therapy) (Herawan, 2005). Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) merumuskan tiga pengertian berkaitan dengan euthanasia, yaitu: (1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk beriman dengan nama Allah SWT di bibir; (2) Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang; dan (3) Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Pada penjelasan pasal 10 Kodeki, ditegaskan bahwa seorang dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seseorang yang menderita sakit, atau jelasnya melakukan euthanasia (Achadiat, 2005). Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas mengenai kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa kematian adalah hilangnya nyawa seseorang, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut. Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran masa kini, detak jantung dan napas seseorang dapat terus dipertahankan karena fungsi otonomnya (dengan bantuan peralatan medis tertentu), walaupun sebenarnya otak atau batang otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah yang di kalangan kedokteran dikenal sebagai keadaan vegetatif ( vegetative state). Kasus Mary-Ann Quinland di AS, misalnya, pernah bertahan dalam keadaan seperti ini selama hampir 14 tahun, sebelum keluarganya meminta keputusan pengadilan agar alat-alat bantu mediknya dicabut saja dan setelah itu ia meninggal dunia dalam

19

pengertian yang sebenar-benarnya (Achadiat, 2005). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu. Pasal 344 yang dikenal sebagai pasal euthanasia, misalnya, menyebutkan "Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan bersangkut paut dengan masalah euthanasia (Achadiat, 2005). Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga media dan dokter), sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat dari pasal 334 di atas, yang jelas-jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien/keluarganya. Menariknya, UU No. 23/1992 tentang kesehatan (yang dikenal sebagai UU Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi soal euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa pasal KUHP tadi masih belum memberikan batasan yang tegas dalam hal euthanasia (Hanafiah dan Amir, 1999). Penggunaan mesin life support pada pasien dengan MBO termasuk dalam perawatan paliatif. Menurut WHO pada 1990 perawatan paliatif adalah perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan kuratif. Berdasarkan definisi ini maka jelas Perawatan Paliatif hanya diberikan kepada penderita yang penyakitnya sudah tidak resposif terhadap pengobatan kuratif. Artinya sudah tidak dapat disembuhkan dengan upaya kuratif apapun. Tetapi definisi Perawatan Paliatif menurut WHO 15 tahun kemudian sudah

20

sangat berbeda. Definisi Perawataan Paliatif yang diberikan oleh WHO pada tahun 2005 bahwa perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan/berduka. Di sini dengan jelas dikatakan bahwa Perawatan Paliatif diberikan sejak diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak meperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih bisa disembuhkan atau tidak, mutlak Perawatan Paliatif harus diberikan kepada penderita itu. Perawatan Paliatif tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih diteruskan dengan memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang berduka. Perawatan paliatif tidak hanya sebatas aspek fisik dari penderita itu yang ditangani, tetapi juga aspek lain seperti psikologis, sosial dan spiritual. Tujuan yang akan dicapai dalam perawatan paliatif dibuat dengan memperhatikan hal realistik yang ingin dicapai oleh pasien. Menurut penelitian pada pasien kanker stadium terminal, keinginan mereka adalah terbebas dari keluhan fisik yang menimbulkan penderitaan, tetap dilibatkan dalam pengambilan keputusan akan tindakan yang akan dilakukan, menghindari intervensi yang sia sia yang hanya memperpanjang proses kematian seperti penggunaan ventilator. Sedang bagi keluarga hal hal di bawah ini sangat penting ketika menghadapi pasien dalam saat saat akhir kehidupan, yaitu: bisa mendampingi pasien, bisa membantu atau melakukan sesuatu untuk pasien, diberi keyakinan bahwa pasien dalam keadaan nyaman, mendapat informasi tentang kondisi terakhir, mendapat keterangan pada saat kematian sudah dekat, diberi kesempatan untuk mengekspresikan emosinya, mendapat dukungan pada saat menghadapi saat sulit tersebut dari petugas kesehatan dan teman serta keluarga lain. Mengingat hal tersebut di atas, tempat perawatan

21

menjadi hal yang perlu diputuskan oleh pasien dan keluarganya, sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat terwujud (Achadiat, 2005). Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang sangat rumit pada pasien dengan MBO. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari : Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?, dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?, apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ? apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai pilihan yang ada) ?. (Achadiat, 2005). Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih terdapat fungsi yang baik dari satu aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik, sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada pasien MBO perlu waktu untuk upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita. Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
1.

Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau wali keluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission maker.

2.

Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hukum, harta benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi

22

kepentingan

penderita

yang

disebut

badan

perlindungan

hukum

(guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994). Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dibanding keadaan de-jure oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional. Oleh karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi dapat menyebabkan penderita mengambil keputusan yang salah (antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah yang live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai (Achadiat, 2005). Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik. Arahan keinginan yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan keputusan pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan apabila arahan tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum, asalkan terdapat saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut diucapkan. Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang disebut sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu pernyataan dari penderita saat masih kapabel secara fungsional didepan seorang petugas hukum

(pengacara/notaries). Testament kematian ini bisa memberi kekuatan hukum atas tindakan dokter untuk memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan pemberian alat bantu perpanjangan hidup.

23

Salah satu aspek etika yang penting dan tetap kontroversial pada pasien MBO adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya perpanjangan hidup yang lain (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa muda hal ini sering kali tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup penderita masih akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang kejam ( futile treatment). Dikatakan sebagai kekejaman fisiologik bila terapi/tindakan yang diberikan tidak akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada kesehatan penderita. Kekejaman kuantitatif bila tindakan atau terapi tampaknya tidak ada gunanya. Kekejaman kualitatif bila tindakan atau terapi perpanjangn hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup penderita. Walaupun sering menimbulkan tanggapan emosional dari keluarga, penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi

pertimbangan yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak. Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi untuk suatu saat menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi (Achadiat, 2005). Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu dihentikan (Pearlman, 2000). Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaan terminal tidak terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa sebagaian besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena itulah perawatan paliatif bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan bagian yang penting dari pelayanan pasien dengan MBO. Dari prinsip otonomi

24

seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus diberitahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas pertimbangan keluarga hal ini sering tidak dilaksanakan.

25

BAB III TINJAUAN ETIKOLEGAL PENGGUNAAN MESIN LIFE SUPPORT PADA PASIEN DENGAN MATI BATANG OTAK DITINJAU DARI AGAMA ISLAM

3.1.

Mati Batang Otak dalam Pandangan Islam Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation,

apparent death) dalam dunia kedokteran adalah suatu kondisi dimana ketiga sistem penunjang kehidupan (susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan) yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana, sedangkan dengan alat kedokteran modern ketiga sistem tersebut masih dapat dibuktikan berfungsi. Kematian dalam dunia kedokteran juga dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase somatik di mana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifitas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu dua jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu dua jam diantaranya itulah yang dikenal sebagai fase mati batang otak (Sutcliffe, 2003). Mati batang otak merupakan kondisi antara kematian somatik dan kematian biologis. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk kematian yang dikenal sebagai mati otak dalam dunia kedokteran. Seseorang yang dalam kondisi mati otak, tandatanda kehidupan dapat kembali lagi jika dilakukan resusitasi yang memberikan hasil maksimal. Penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini terbukti reversibel, jantung kadang-kadang dapat terus berdenyut selama satu pekan atau

26

lebih, atau bahkan sampai 14 hari, dengan sebagian besar otak mengalami dekomposisi. Dengan kondisi seperti ini jantung dapat terus berdenyut sampai 32 hari (pada seorang anak umur 5 tahun) (Jennet, 2001). Mati masih misteri saat ini. Meskipun demikian, keyakinan bahwa yang hidup akan mati, itu pasti ada. Medis klinis sering menggunakan definisi mati adalah penghentian komplit dari semua fungsi vital sesuatu yang hidup tanpa kemungkinan dihidupkan lagi. Ilmu kedokteran forensik melihat kepastian adanya kematian dengan munculnya lebam mayat. Secara sederhana sering mati didefinisikan dengan menggunakan TRIAS BICHAT, yaitu berhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu sistem saraf, jantung, dan paru secara permanen (IDI, 1988). Berhentinya fungsi respirasi, fungsi saraf, dan fungsi sirkulasi membuat orang disebut mati. Berhenti ketiga organ vital ini sering disebut sebagai mati somatik. Menentukan waktu mati menemukan kesulitan, karena kematian dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sudut pandangan budaya atau sosiologis, maka waktu kematian dari tiap-tiap daerah mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Sebuah tradisi di negara Jepang orang baru akan disebut mati jika denyut jantungnya benar-benar sudah berhenti. Sementara orang di Jawa akan menentukan kematian jika mayat sudah teraba dingin. Mungkin di daerah lain akan menentukan mati berbeda pula (Muhiman, 2000). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, di dalam surat keputusannya membuat definisi mati sebagai berikut: Seseorang dinyatakan mati bilamana: a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau b. Bila telah terbukti terjadi kematian otak. Seseorang dinyatakan mati jika fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible, yaitu misalnya pada kematian normal yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat. Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pada suatu saat ketika jantung dan organ-organ lain secara keseluruhan juga terpengaruh oleh penyakit tersebut, sehingga orang yang bersangkutan tidak 27

mungkin untuk hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada keadan ini tidak berarti lagi (IDI, 1988). Sudut pandang dari ilmu pengetahuan mengenai kematian juga berbeda-beda. Jika melihat kehidupan badani ini hanya ditentukan oleh tiga organ vital (jantung, paru dan otak), maka berhentinya fungsi dari tiga organ tersebut maka masuk dalam kategori mati. Perkembangan iptek memungkinkan membuat jantung dan paru atau pernafasan- artifisial. Fungsi dari kedua organ ini sudah ada alat gantinya, sementara fungsi otak sampai saat ini belum ada, sehingga kematian ditentukan oleh tidak berfungsinya otak. Jika seorang seorang pasien, jantung dan paru-parunya diberi alat bantu maka penentuan kehidupan dari badan manusia itu hanya dari keberadaan fungsi otaknya (Achadiat, 2005). Kematian otak (cerebral death) merupakan akhir dari kehidupan. Otak terdiri dari beberapa bagian, yaitu otak besar, otak kecil, dan batang otak. Dari ketiga bagian otak tersebut batang otak merupakan bagian yang paling tahan terhadap risiko kematian akibat hipoksia-anoksia. Sehingga, terjadi reduksi jika melihat dari keberadaan bagian fungsi otak terhadap kematian. Jika kematian otak terjadi pada batang otak (mati batang otak = MBO), maka korban sudah dapat ditetapkan mati (Safar, 2000). Pembahasan tentang definisi mati telah dibahas dalam Islam. Definisi hidup menurut syarak jika atau karena ia memiliki ruh, sebagaimana dinyatakan dalam ayat al-Quran:

Artinya : Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. ( Q. S. Al-Sajdah (32):9 )

28

Kata hidup kadang digunakan dalam berbagai maksud, di antaranya untuk potensi/daya tumbuh yang ada pada tumbuhan dan hewan seperti terdapat dalam alQuran :

Artinya : Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Q.S. Al-Anbiya (21):30 ) Kadang ditunjukkan adanya potensi rasa seperti yang dimiliki pada hewan. Kadang-kadang pada adanya potensi intelektual sebagaimana dimiliki pada manusia, seperti terdapat dalam ayat :

Artinya : Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. ( Q. S. Al-Anam (6): 122 ) Bisa juga menunjukan pada kehidupan ukhrawi yang abadi tidak akan mengalami mati, seperti dinyatakan dalam ayat;

Artinya : Dia mengatakan: Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini. (Q. S. Al-Fajr (89): 24 ) Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak, penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan makanan. Hidup 29

merupakan kebalikan dari mati. Dalam Islam atau hukum apapun, masalah kematian sebagai suatu keniscayaan. Dalam keyakinan Islam yang menentukan adalah Allah semata, sebagaimana dinyatakan dalam ayat al-Quran :

Artinya : Tiaptiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (Nya). (Q.S. Yunus (10): 49) Kendati banyak ayat al-Quran dan hadist nabi menyebutkan masalah titik waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan. Hadits hanya menjelaskan mati terjadi pada saat ruh dicabut yang akan diikuti oleh pandangan mata. Titik pencabutan ruh disinggung dalam al-Quran :

Artinya : Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (Q.S. al-Waqiah (56): 83-84) Pada saat itu akan dicabut ruhnya, seseorang akan mengalami sakratul maut, seperti dinyatakan dalam ayat:

Artinya : Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenarbenarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya. (Q.S. Qaaf (50): 19)

30

3.2.

Aspek Etikolegal Penggunaan Mesin Life Support Therapy pada Pasien dengan Mati Batang Otak dalam Islam Manusia memang tidak berkuasa untuk mematikan dirinya di dalam agama

Islam, tetapi Allah telah melapangkan jalan untuk mati dalam Islam bagi manusia. Jika seseorang menghendaki untuk mati dalam Islam, maka hendaklah ia menjalankan segala perintah Allah yang diwajibkan atasnya, dan senantiasa mengikuti segala petunjuk-Nya. Demikianlah cara memilih mati di dalam Islam, dengan mencintai mati di dalam Islam, berharap dan berazam (bertekad bulat) untuk mencapainya. Di samping itu, hendaklah dia membenci mati di dalam kepercayaan selain Islam, dan senantiasa berdoa, memohon, dan meminta kepada Allah Taala agar Dia berkenan mewafatkannya sebagai seorang Muslim (Qaradawi, 2000). Dengan itulah Allah menyifatkan para Nabi-Nya dan orang-orang shalihin dari hamba-hamba-Nya. Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Yusuf putera Nabi Yaqub dalam mengharapkan wafat di dalam Islam:

Artinya : Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih (QS. Yusuf (12):101) Begitu pula Allah telah menceritakan tentang ahli sihir Firaun yang bertaubat dan beriman pada Allah, lalu Firaun mengancam mereka dengan siksaan.

Artinya : Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami sebagai Muslim (berserah diri kepada Allah). (Q.S. Al-Araf (7):126)

31

Kemudian Allah menceritakan pula tentang Nabi Ibrahim as dan Nabi Yaqub as, yang keduanya telah berwasiat kepada anak-cucunya agar mati dalam keadaan Islam.

Artinya : Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub. (Ibrahim berkata): Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. (Q.S. al-Baqarah (2):132) Ditegaskan kembali bahwa tindakan penghentian bantuan medis setelah pasien dinyatakan MBO bukan tindakan eunathasia karena euthanasia dilakukan pada pasien yang masih hidup sedangkan bila pasien dinyatakan mbo maka pasien tersebut dinyatakan sudah mati. Di masyarakat yang kerap terjadi adalah, kita sering menunggu seseorang yang untuk mendapatkan mati secara klasik atau mati alami tanpa bantuan life support seperti ventilator. Selama ini, banyak yang dilakukan pun adalah menunggu mati klasik tadi. Namun, ada pula kasus yang memperlihatkan bahwa meski sudah dinyatakan mati secara medis, namun ventilator tidak dilepas. Ini tidak boleh dilakukan (Achadiat, 2005). Keputusan hidup matinya seseorang, memang itu adalah kuasa Tuhan. Hanya saja, sejauh ketika didiagnosis otaknya masih berfungsi, maka ventilator tetap dipasang. Tapi, kalau otaknya sudah tak berfungsi atau mati, ventilator dicabut. Ini adalah istilah euthanasia pasif, pasien diberi kesempatan untuk mati secara wajar. Kapan seseorang itu dinyatakan mati secara medis? Memang hal ini belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat. Sebenarnya kita tak boleh memperpanjang hidup dari pasien yang sudah dinyatakan MBO. Berdasrkan fatwa IDI dalam Pedoman Etik Spesialis Anastesi, dalam penentuan mati secara medis,

32

dinyatakan bahwa bila seseorang sudah jelas, lewat beberapa pengujian dan diagnosis, ternyata sudah MBO atau MO, maka dinyatakan mati dan ventilator harus dicabut (Achadiat, 2005). Hal tersebut dilakukan karenna adanya beberapa pertimbangan dalam menentukan MBO seseorang, yaitu (Muhiman, 2000): 1. Menghentikan usaha yang sia sia atau tak jujur, yang disebabkan oleh pencarian keuntungan. Jelas, bila kita mengambil keuntungan dari pasien, ini tidak etis. 2. Dengan pencabutan ventilator, bisa menghilangkan stress keluarga, juga menghemat biaya. 3. Dalam agama manapun tentang seseorang yang mati. Bila memang sudah meninggal, kita tidak boleh menyakiti mayat. Di agama Islam, mayat harus sesegera mungkin dikuburkan, kalau diperpanjang lagi hidup pasien yang sudah jelas MBO dengan ventilator, jelas ini merupakan siksaan. 4. Ada pengecualian bagi pasien yang mengalami MBO sebagai donor organ. Bila memang diketahui pasien sebagai pendonor, maka ketika dinyatakan mati, ventilator tetap dipasang hingga organ yang didonorkan diangkat. Setelah itu ventilator dicabut. Islam sangat menghargai jiwa, lebih- lebih terhadap jiwa manusia. Banyak ayat al-Quran maupun hadits Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al-Nafs). Oleh karenanya, seseorang tidak diperkenankan melenyapkannya tanpa ada alasan syari yang kuat (hak). Manusia dilarang memperlakukan jiwa manusia dengan tidak hormat, Allah memberikan ancaman tegas bagi mereka yang meremehkannya (Qaradhawi, 1999). Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan sesuai dengan

33

aturan Pidana Islam. Inipun dilakukan dalam rangka memelihara dan melindungi manusia secara keseluruhan, sebagaimana tergambar dalam penegasan Allah dalam al-Quran:

Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.. (Q.S. Al-Baqarah (2): 179) Orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan syari yang dibenarkan sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat al-Quran:

Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Q. S. Al-Maidah (5): 32) Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang dapat merusak atau menghilangkan jiwa manusia dengan hukuman berat dan setimpal dalam bentuk qishash atau diyat. Dampak dari kerusakan sosial sebagai akibat dari pembunuhan seperti digambarkan dalam ayat di atas, menurut para ahli tafsir, tidak hanya berlaku bagi Bani Israil saja tetapi juga manusia seluruhnya (Qaradhawi, 1999).

34

Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan derita dan distres yang tak perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi atau informasi sering menimbulkan kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah mencabut pipa ventilator, menghentikan bantuan hidup dan sebagainya. Perlu dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu melepas ventilator, dokter tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang meninggal, tetapi sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang telah meninggal (Achadiat, 2005). Jika keluarga si sakit memahami agama dengan baik dan benar serta mengerti hakikat masalah yang sebenarnya, niscaya akan timbul keyakinan bahwa yang lebih utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si mayit, yang dalam kondisi mati batang otak, adalah menghentikan penggunaan peralatan tersebut. Maka ketika itu akan berhentilah aliran darahnya, dan dengan demikian semua orang tahu bahwa dia benar-benar sudah meninggal dunia. Dengan begitu, keluarga si sakit dapat menghemat tenaga dan biaya. Disamping itu, tempat tidur bekas si sakit dan

peralatan-peralatan tersebut dapat dimanfaatkan pasien lain yang memang masih hidup (Shihab, 2000). Menurut syara', seseorang dianggap telah mati dan diberlakukan atasnya semua hukum syara' yang berkenaan dengan kematian, apabila telah nyata padanya salah satu dari dua indikasi berikut ini (Shihab, 2000): 1. Apabila denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti secara total, dan para dokter telah menetapkan bahwa keberhentian ini tidak akan pulih kembali. 2. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak 35

berfungsi. 3. Dalam kondisi seperti ini diperbolehkan melepas instrumen-instrumen yang dipasang pada seseorang (si sakit), meskipun sebagian organnya seperti jantungnya masih berdenyut karena kerja instrumen tersebut. Dari penjelasan di atas, mati batang otak merupakan suatu kondisi mati batang otak di mana dalam Islam kondisi tersebut dinyatakan sebagai bentuk kematian. Dalam kondisi tersebut hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban penderita seperti shalat, puasa dan lain sebagainya dalam urusan syariat akan gugur (Shihab, 2000). Ulama menyatakan bahwa hukum berobat termasuk penggunaan mesin life support ditentukan berdasarkan illat, situasi, dan kondisi, hukum dapat sunnah, wajib, mubah, atau haram. Jika tidak ada harapan sembuh sesuai dengan sunnatullah dan hukum kausalitas, sesuai dengan diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, dan hanya menyusahkan berbagai pihak terkait, maka tidak seorang pun yang mengatakan sunnah apalagi wajib (Zuhroni, 2010). Apabila penderita dengan MBO diberi berbagai macam cara pengobatan dengan cara minum obat, suntikan, dan sebagainya atau menggunakan alat-alat pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan teori kedokteran modern dalam waktu yang relatif lama tetapi penyakitnya tetap saja tidak berubah maka melanjutkan pengobatan seperti itu tidak wajib dan tidak pula sunnah, bahkan mungkin kebalikannya (tidak mengobatinya) adalah wajib atau sunnah (Zuhroni, 2010). Membiarkan penderita dengan MBO dalam kondisi dengan mesin life support hanya akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih

36

dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan keluarganya dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin memakan waktu relatif lama (Zuhroni, 2010). Sebagian ulama mewajibkan menghentikan penggunaan alat-alat life support karena menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam dengan alasan tindakan itu berarti menunda pengurusan jenazah dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian warisan, menunda masa iddah bagi isterinya dan hukum-hukum lain yang terkait dengan kematian. Juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya, juga memberi mudarat kepada orang lain dengan menghalangi mereka memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang yang telah MBO (Zuhroni, 2010). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan mesin life support pada penderita MBO yang terdiagnosa oleh dokter dengan kompetensinya (dokter spesialis saraf dan anastesi) hukumnya bisa menjadi tidak wajib karena kurangnya manfaat dari penggunaan alat tersebut dan memperpanjang penderita dari penderita. Oleh karena itu, pasien yang dalam kondisi MBO perlu segera diselesaikan sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan pasien seperti keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris dan

utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu.

37

BAB IV KAITAN PANDANGAN ANTARA ILMU KEDOKTERAN DAN ISLAM MENGENAI TINJAUAN ETIKOLEGAL PENGGUNAAN MESIN LIFE SUPPORT PADA PASIEN DENGAN MATI BATANG OTAK

Berdasarkan uraian di atas, penulis mendapatkan kaitan antara pandangan Kedokteran dan Islam, yaitu sebagai berikut: Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan (susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan) yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana. Dengan alat kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati batang otak yang merupakan kondisi terjadi di antara kematian somatik, di mana tidak didapati tanda-tanda kehidupan, dan kematian biologis. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk kematian yang dikenal sebagai mati otak dalam dunia kedokteran. Seseorang yang dalam kondisi mati otak, tanda-tanda kehidupan dapat kembali lagi jika dilakukan resusitasi yang memberikan hasil maksimal. Penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini terbukti reversibel, jantung kadang-kadang dapat terus berdenyut kembali. Oleh karena itu, dalam kondisi MBO penggunaan mesin life support merupakan salah satu bentuk perawatan paliatif yaitu perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan. Tujuan yang akan dicapai dalam penggunaan alat tersebut dibuat dengan memperhatikan hal realistik yang ingin dicapai oleh pasien MBO. Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi pengertian penggunaan 38

peralatan tersebut. Menurut pandangan Islam memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia positif) seperti melepas mesin life support dengan tujuan menghilangkan penderitaan pasien MBO dengan memberhentikan bantuan hidup pada kondisi MBO, tidak diperkenankan oleh syara'. Pasien dengan MBO dalam kondisi yang tidak memberikan respon positif terhadap mesin life support ditentukan berdasarkan illat, situasi, dan kondisi, hukum dapat sunnah, wajib, mubah, atau haram. Jika tidak ada harapan sembuh sesuai dengan sunnatullah dan hukum kausalitas, sesuai dengan diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, dan hanya menyusahkan berbagai pihak terkait, maka tidak seorang pun yang mengatakan sunnah apalagi wajib Kedokteran dan Islam tidak bertentangan tentang penggunaan mesin life support yang merupakan salah satu bentuk perawatan maksimal pada pasien dengan MBO yang dapat memberikan respon terhadap penggunaan mesin life support. Namun jika diagnosa MBO yang telah ditegakkan oleh dokter dimana dengan penggunaan mesin tersebut tidak memberikan kearah perbaikan pasien seperti pada lanjut usia, maka diwajibkan untuk menghentikan penggunaan alat-alat life support karena menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam.

39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

KESIMPULAN 1. Definisi mati dalam dunia kedokteran mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di mana terdapat dua tahap yaitu somatic death (kematian somatik) dan biological death (kematian biologik). 2. Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan (susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan) yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana tetapi dengan alat kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Kondisi ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam. 3. Penggunaan supporting life therapy pada kondisi mati batang otak merupakan perawatan paliatif dimana perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan kuratif. Seorang dokter secara etika harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi pengertian mengenai penggunaan alat tesebut kapan digunakan dan kapan dihentikan. Adanya komunikasi yang baik dokter dan pasien (keluarga) menghindari tindakan sembrono dokter yang dapat menimbulkan derita dan distres bagi keluarga. Kekurangan komunikasi atau informasi sering menimbulkan kesalahpahaman 4. Penggunaan mesin life support yang merupakan salah satu bentuk perawatan

40

maksimal pada pasien dengan MBO yang dapat memberikan respon terhadap penggunaan mesin life support. Namun jika diagnosa MBO yang telah ditegakkan oleh dokter dimana dengan penggunaan mesin tersebut tidak memberikan kearah perbaikan pasien seperti pada lanjut usia, maka diwajibkan untuk menghentikan penggunaan alat-alat life support karena menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam karena yang lebih utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si mayit yang dalam kondisi MBO

5.2.

SARAN 1. Bagi masyarakat masyarakat agar dapat mengetahui informasi mengenai mati batang otak dan sikap apa saja yang perlu dilakukan dalam kondisi tersebut. 2. Untuk dokter agar selalu menjaga etik kedokteran dan moral kedokteran ini dengan sebaik-baiknya. Para dokter Indonesia adalah the guardians , pengawal etik, pengawal moral dan pengawal hukum, sebagai advokator, sebagai profesional, dan sebagai perilaku pengubah ( the agent of change ) untuk kemaslahatan dan kemanusiaan yang beradab. 3. Untuk ulama agar dapat menjadi tempat konsultasi masyarakat mengenai kesehatan dalam Islam.

41

Anda mungkin juga menyukai