Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Nanoteknologi menjadi salah satu bidang ilmu Fisika, Kimia, Biologi, dan Rekayasa yang penting dan menarik beberapa tahun terakhir ini. Jepang dan Amerika Serikat merupakan dua negara terdepan dalam riset nanoteknologi (Poole & Owens 2003). Berdasarkan data tahun 2004, pemerintah Jepang mengeluarkan dana riset sebesar 875 juta dolar (Kallender 2004) sedangkan Amerika Serikat sebesar 1,3 milyar dolar pada tahun 2006 (USGAO 2008). Penelitian nanobiosistem dan biomedis bahkan telah menjadi prioritas di beberapa negara maju termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, dan Cina (Malsch 2005). Penggunaan nanopartikel sebagai pembawa obat dan sistem pengantar obat telah berkembang beberapa tahun terakhir. Ukuran nanopartikel yang kecil menyebabkan ekstrak mudah larut dan memiliki efisiensi penyerapan yang tinggi di usus (Poulain & Nakache 1998). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ragam sumber daya alam terbesar di dunia (Matthews 2002). Ragam tanaman herbal yang cukup melimpah di Indonesia merupakan sumber yang tidak akan pernah habis dikembangkan menjadi obat (Nurkhasanah 2006). Salah satu tanaman herbal yang dapat dimanfaatkan dalam teknologi nanobiomedis adalah temulawak. Ekstrak temulawak diketahui memiliki khasiat sebagai antibakteri (Rukayadi & Hwang 2006), antijamur (Rukayadi & Hwang 2007), antioksidan, dan antiinflamasi (Lim et al. 2005). Akan tetapi, konsumsi ekstrak temulawak secara oral menimbulkan rasa getir pada lidah serta memiliki bioavailabilitas rendah. Hal ini disebabkan ekstrak temulawak memiliki kelarutan rendah dalam saluran pencernaan sehingga sulit masuk ke plasma darah (Marczylo et al. 2007). Salah satu upaya yang telah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penyalutan dengan partikel nano. Enkapsulasi dengan menggunakan nanopartikel menyebabkan ekstrak mudah menyebar dalam darah dan lebih akurat dalam mencapai target (Poulain & Nakache 1998). Salah satu penyalut yang aman digunakan dalam teknologi nanoenkapsulasi adalah kitosan. Kitosan merupakan hasil ekstraksi limbah kulit hewan golongan Crustacea (Hu et al. 2007). Limbah kulit hewan golongan Crustacea yang cukup melimpah di Indonesia berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku kitosan.

Salah satu hewan golongan tersebut adalah udang. Produk limbah kulit udang di Indonesia mencapai 325.000 ton per tahun (Prasetyo 2006). Kitosan telah dibuktikan mampu menghambat penyerapan lemak oleh tubuh (Kaats et al. 2006). Kitosan juga banyak digunakan sebagai penyalut obat dengan tujuan mengoptimalisasi penyerapan obat pada sel target. Desai & Park (2005) membuktikan bahwa mikrosfer kitosan yang berikatan silang dengan tripolifosfat dapat digunakan sebagai peyalut obat dengan metode pengeringan semprot (spray drying). Selain itu, kitosan bersifat biodegradabel, biokompatibel, nonimunogenik, serta nonkarsinogenik sehingga cocok digunakan dalam teknologi farmasi (Hejazi & Amiji 2003). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk pembuatan nanopartikel adalah ultrasonikasi. Nanopartikel kitosan larut air yang diperoleh dari hasil ultrasonikasi dapat digunakan sebagai penyalut retinol. Nanopartikel retinol tersalut kitosan memiliki ukuran 50 200 nm sesuai dengan jumlah retinol yang mengisi kitosan (Kim et al. 2006). Akan tetapi belum ada penelitian mengenai nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan. Penelitian ini bertujuan memperoleh nanopartikel ekstrak temulawak dengan metode ultrasonikasi serta karakterisasi morfologi, gugus fungsi, dan derajat kristalinitas nanopartikel yang diperoleh. Hipotesis yang diajukan adalah metode ultrasonikasi dengan variasi waktu sonikasi, penambahan TPP, dan seleksi metode pengeringan dapat menghasilkan nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inovasi teknologi pembuatan nanopartikel ekstrak temulawak dengan penyalut kitosan untuk pengobatan. Selain itu, penggunaan kitosan dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai guna kitosan dalam bidang kesehatan.

TINJAUAN PUSTAKA
Nanopartikel Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel dalam rentang ukuran 1 1000 nm (Jain 2008). Penelitian nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas seperti dalam bidang lingkungan, elektronik, optis, dan biomedis.

Jain (2008) mengklasifikasikan nanopartikel menjadi lima macam berdasarkan jenis materi partikel yaitu kuantum dot, nanokristal, lipopartikel, nanopartikel magnetik, dan nanopartikel polimer. Kuantum dot merupakan kristal berukuran nano dari suatu bahan semikonduktor yang bersinar atau berfluoresens apabila dikenai dengan cahaya seperti laser. Kuantum dot memiliki sifat tidak stabil dan sulit larut sehingga penggunaan kuantum dot harus ditanamkan dalam bahan penjerap karet. Beberapa kristal yang sering digunakan sebagai kuantum dot adalah kadmium selenida (CdSe) dan seng selenida (ZnSe). Pembuatan nanopartikel kuantum dot menggunakan gas mikroemulsi pada suhu kamar. Teknik ini memanfaatkan fase terdispersi dari berbagai mikroemulsi untuk beberapa nanoreaktor yang identik. Kuantum dot banyak digunakan sebagai penanda dalam pelacakan protein pada sel hidup, biosensor, ekspresi gen, pengambilan gambar sel hidup secara in vitro, dan melacak keberadaan sel kanker dengan bantuan Magnetic Resonance Imaging (MRI) secara in vivo. Partikel yang termasuk dalam kuantum dot selain CsSe dan ZnSe adalah nanopartikel emas dan nanopartikel silika (SiO2). Nanopartikel emas digunakan untuk mengetahui keberadaan timbal dalam DNA. Molekul DNA yang melekat pada nanopartikel emas menghasilkan warna biru pada spektroskopi. Keberadaan senyawa timbal mengakibatkan putusnya ikatan molekul DNA dengan nanopartikel emas sehingga menyebabkan perubahan warna menjadi merah. Nanopartikel emas juga dapat digunakan sebagai biosensor dalam mendeteksi adanya penyakit. Metode biosensor menggunakan nanopertikel emas ini lebih akurat dibanding penggunaan molekul fluoresens lainnya karena lebih banyak salinan antibodi dan DNA yang dapat melekat pada nanopartikel emas. Nanopartikel silika diperoleh dari ekstrak cangkang silika hasil sedimentasi alga. Nanopartikel ini telah digunakan dalam sistem pengantaran obat dan terapi gen (Jain 2008). Lipopartikel adalah matriks berukuran nano yang dikelilingi oleh lipid bilayer dan ditanamkan dalam protein membran integral. Jenis nanopartikel ini digunakan dalam biosensor, pengembangan antibodi, penelitian mengenai struktur reseptor kompleks, dan mikrofluida (Jain 2008). Nanopartikel magnetik merupakan bahan penting untuk sortasi sel, pemisahan protein,

dan pengukuran molekul tunggal. Partikel yang digunakan pada aplikasi tersebut harus memenuhi persyaratan seperti keseragaman ukuran, paramagnetik kuat, dan stabil dalam lingkungan larutan penyangga garam (Jain 2008). Beberapa penelitian mengenai nanopartikel telah diaplikasikan secara luas dalam bidang industri. Pembuatan pipa nano karbon (carbon nanotubes) telah digunakan dalam pembuatan elektroda baterai dan peralatan listrik lainnya (Poole & Owens 2003). Pengembangan nanoteknologi dalam industri tekstil terbukti mampu melindungi kain dari paparan bakteri. Penggunaan nanopartikel perak oksida (AgO2) tersalut kitosan dapat digunakan sebagai pelindung kain agar warna kain tidak mudah luntur dan lebih tahan terhadap paparan bakteri. Nanopartikel perak oksida tersalut kitosan yang diperoleh dengan metode emulsifikasi ini berdiameter kurang lebih 300 nm. Pengujian antibakteri dilakukan dengan kapas dan menunjukkan aktivitas antibakteri yang tahan lama hingga 20 kali pencucian kapas (Hu et al. 2007). Penggunaan nanopartikel dalam bidang pertanian dapat menghindari fitotoksisitas pada tanaman dengan menggunakan herbisida terhadap gulma yg bersifat parasit. Nanopartikel herbisida dapat meningkatkan penetrasi melewati kutikula dan jaringan tanaman dan mengatur pelepasan herbisida dalam gulma (Luque & Rubiales 2009). Di bidang makan dan minuman, penggunaan nanopartikel dengan penyalut seng oksida (ZnO) dapat melindungi senyawa asam linoleat terkonjugasi dan asam linoleat gamma terhadap suhu tinggi diatas 50 C. Penyalut seng oksida juga dapat mencegah terjadinya autooksidasi pada kedua asam lemak tersebut (Won et al. 2008). Nanopartikel dapat digunakan sebagai pengantar obat melalui berbagai jalur pengiriman. Nanopartikel sangat penting dalam pengantaran obat secara intravena sehingga dapat melewati pembuluh darah terkecil secara aman. Penggunaan nanopartikel juga dapat memperluas permukaan obat sehingga meningkatkan kelarutan obat dalam sistem pengantaran obat melalui saluran pernapasan (Jain 2008). Beberapa jenis nanopartikel yg dapat digunakan sebagai pengantar obat antara lain nanopartikel emas (Radt et al. 2004), nanopartikel kalsium fosfat (Morcol et al. 2004), nanopartikel siklodekstrin (Memisoglu-Bilensoy & Hincal 2006), dan nanopartikel kitosan (Xu et al. 2003).

Nanopartikel emas digunakan sebagai pengatur pelepasan obat dalam tubuh. Proses pelepasan obat pada sel target dapat dikendalikan dengan pelapisan nanopartikel emas pada dinding partikel polimer pengantar obat. Dinding polimer pengantar obat akan terbuka apabila nanopartikel emas terkena sinar laser dari luar tubuh. Kelebihan nanopartikel emas sebagai sistem pengantar obat adalah pengendaliannya dapat dilakukan secara eksternal. Pada umumnya pelepasan obat dikendalikan oleh perubahan lingkungan pada sel target (Radt et al. 2004). Nanopartikel kalsium fosfat digunakan dalam sistem pengantaran insulin secara oral. Nanopartikel kalsium fosfat yg terisi insulin direaksikan dengan polietilen glikol (PEG) dan diendapkan dengan kasein sehingga dapat dikonsumsi secara oral. Dosis tunggal dari campuran tersebut diujikan terhadap mencit yang mengalami diabetes non obesitas sebelum dan sesudah makan untuk mengamati aktivitas glikemik. Hasil pengujian menunjukkan kadar hipoglikemik yang berkepanjangan setelah pemberian secara oral nanopartikel kalsium fosfat-insulin pada mencit yang mengalami diabetes. Nanopartikel kalsium fosfat melindungi insulin dari degradasi ketika melewati lingkungan asam lambung (Morcol et al. 2004). Siklodekstrin merupakan kelompok oligosakarida siklik dengan permukaan luar yang bersifat hidrofilik dan pusat rongga yang bersifat lipofilik. Nanopartikel siklodekstrin digunakan untuk meningkatkan kelarutan dan stabilitas senyawa dalam air (MemisogluBilensoy & Hincal 2006). Nanopartikel kitosan dibentuk dengan ikatan ionik dengan tripolifosfat (TPP). Penggunaan nanopartikel kitosan dapat meningkatkan efisiensi protein Bovine Serum Albumin (BSA) tersalut kitosan hingga 90%. Ukuran nanopartikel kitosan-BSA yang dihasilkan mencapai 110-180 nm. Efisiensi nanoenkapsulasi meningkat seiring bertambahnya konsentrasi BSA (Xu et al. 2003). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan dalam ukuran nanometer mampu meningkatkan kelarutan dan penyerapan oleh tubuh. Selain itu, penggunaan obat-obatan dalam skala nano dapat mengurangi dosis obat yang dapat mengakibatkan efek samping pada beberapa pasien (Malsch 2005). Penggunaan nanopartikel dalam mendeteksi dan mengobati sel target yang terkena kanker lebih efektif

dibanding obat kanker biasa (Sunderland et al. 2006). Senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan umumnya memerlukan penyalut agar aktivitas antioksidan tetap optimal. Mozafari et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan nanopartikel senyawa antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, karotenoid, dan fenol dengan penyalut asal lemak seperti nanoliposom, arkaeosom, dan nanokokleat mampu memberikan perlindungan yang signifikan terhadap senyawa antioksidan. Penggunaan penyalut berbahan dasar lemak dapat meningkatkan potensi pengiriman intraseluler. Nanoenkapsulasi memiliki banyak keuntungan antara lain melindungi senyawa dari penguraian, meningkatkan akurasi obat pada target, dan mengendalikan pelepasan senyawa aktif seperti obat (Mozafari et al. 2006). Pengendalian pelepasan obat dilakukan agar penggunaan obat lebih efisien, untuk memperkecil efek samping, serta untuk mengurangi frekuensi penggunaan obat (Babtsov et al. 2005). Senyawa aktif yang dienkapsulasi umumnya yang mudah bereaksi dengan senyawa lain, cenderung tidak stabil, atau memiliki waktu paruh eliminasi yang singkat (Birnbaum & Peppas 2003). Senyawa aktif dapat terletak tepat di tengah-tengah kapsul dan bertindak sebagai intinya, atau tersebar di seluruh kapsul atau tidak terpusat pada satu titik saja (Mozafari et al. 2006). Polimer yang bisa digunakan pada proses enkapsulasi suatu senyawa aktif adalah yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel. Hal ini disebabkan produk yang dihasilkan akan dimasukkan ke dalam tubuh baik secara oral maupun intravena. Selain itu, polimer sebagai penyalut tidak boleh bereaksi secara kimia dengan senyawa aktif yang dibawa. Polimer yang dapat digunakan untuk proses enkapsulasi antara lain alginat, kitosan (Ain et al. 2003) dan etilselulosa (Warsiti 2008). Kitosan Kitosan merupakan senyawa berbobot molekul besar yang memiliki rantai (1-4)-2-amino-2-deoksi-Dpolisakarida glukosa dengan rumus kimia (C6H11NO4)n. Gugus amino menggantikan OH pada atom C2 (Gambar 1) (Muzzarelli & Peter 1997). Kitosan memiliki bobot molekul besar, tidak bersifat racun, larut dalam asam pada suhu kamar, tidak larut dalam pelarut organik seperti metanol, mampu mengikat air, dan mampu membentuk penyalut (Alasalvar & Taylor 2002).

Gambar 1 Struktur kimia kitosan (Muzarelli & Peter 1997). Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan kitosan adalah kulit, kepala, atau cangkang dari hewan golongan Crustacea yang mengandung kitin (Alasalvar & Taylor 2002). Kitosan diperoleh dari deasetilasi kitin yang merupakan biopolimer alami. Kitosan dapat diproduksi dari limbah udang hasil industri pangan asal laut. Pemanfaatan limbah tersebut sekaligus meningkatkan produktifitas industri pangan asal laut (Suyatma et al. 2004). Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia dengan nilai ekspor antara 850 juta hingga 1 miliar dolar per tahun. Data Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa areal tambak udang nasional pada tahun 2003 seluas 478.847 hektar dengan volume produksi 191.723 ton atau 400 kg per hektar. Jumlah tempat pengolahan udang di Indonesia mencapai sekitar 170 tempat dengan kapasitas produksi sebesar 500.000 ton per tahun. Proses pembekuan udang dilakukan dalam bentuk tanpa kepala dan tanpa kulit. Bagian kepala dan kulit sebesar 60 hingga 70 persen dari berat udang menjadi limbah (Prasetyo 2009). Pengolahan produk kitosan dalam negeri diharapkan dapat menciptakan nilai tambah dari limbah kulit udang dan menanggulangi masalah pencemaran limbah kulit udang. Kitosan telah digunakan dalam bidang pertanian, pengolahan air, industri pangan, industri kosmetika, farmasi, kedokteran, industri aneka (seperti industri cat dan tekstil), bioteknologi, dan sektor industri lainnya. Dalam bidang makanan, kitosan dapat berfungsi sebagai bahan pembentuk gel, pembentuk tekstur, dan pelembut (Hirano 1996). Dalam bidang kesehatan dan farmasi, kitosan dapat digunakan sebagai diet serat dan obat penurun kandungan kolesterol di dalam darah (Hennen 1996). Glukosamin dari kitosan juga telah dipdroduksi secara luas. Produk glukosamin dapat dikonsumsi langsung atau dalam bentuk suplemen (Alasalvar dan Taylor 2002). Kitosan bersifat biokompatibel, biodegradabel dan non toksik. Beberapa

penelitian menunjukkan penggunaan kitosan dapat diterima oleh tubuh dan tidak menimbulkan gejala klinis. Menurut laporan Wedmore et al. (2006), kitosan digunakan untuk mencegah pendarahan tentara Amerika Serikat pada saat perang di Irak. Data penelitian menunjukkan 97% kasus pendarahan dapat dihentikan dengan penggunaan kitosan sebagai pengganti obat anti pendarahan. Sebanyak 62 dari 64 pasien berhasil dihentikan pendarahan dengan menggunakan kitosan sedangkan 2 pasien lainnya tidak bisa dihentikan pendarahan karena terkena luka yg cukup dalam. Kitosan juga mulai banyak digunakan dalam teknologi pengantar obat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kitosan sebagai pengantar obat meningkatkan efisiensi obat tanpa menimbulkan efek samping pada tubuh. Nanopartikel kitosan yang ditambahkan gugus tiol mampu meningkatkan penyerapan teofilin dalam pengobatan penyakit asma. Teofilin merupakan obat antiinflamasi yang sering digunakan dalam pengobatan asma melalui intranasal. Efek antiinflamasi teofilin ditunjukkan dengan adanya penurunan eosinofil dalam cairan Bronchoalveolar lavage (BAL) hingga 20%. Penggunaan nanopartikel kitosan sebagai pembawa tiofilin menunjukkan penurunan eosinofil hingga 35% pada tikus (Lee et al. 2006). Nanopartikel kitosan sebagai pengantar obat mata juga menunjukkan adanya peningkatan efisiensi penyerapan. Selama ini pengobatan penyakit mata terhambat oleh sistem pertahanan kompleks sel epitel konjugtiva pada kornea mata sehingga penyerapan obat kurang efisien. Penggunaan nanopartikel kitosan sebagai pengantar obat fluorescein isothiocyanate-bovine serum albumin (FITC-BSA) pada kelinci yg mengalami inflamasi pada kornea mata menunjukkan penurunan secara signifikan ketika diamati dengan mikroskop konvokal. Pengamatan efek samping pemberian nanopartikel kitosan dilakukan setiap 30 menit selama 6 jam. Hasil pengamatan menunjukkan tidak adanya efek samping dan kelinci tetap nyaman sehingga kitosan aman dikonsumsi dan dapat diterima oleh sel kornea (Enriquez de Salamanca et al. 2006) Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Temulawak merupakan tanaman obat berbatang semu. Tanaman ini memiliki tinggi antara 1-2 meter dan berwarna hijau atau

coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna, bercabang kuat, dan berwarna hijau gelap. Temulawak di Indonesia dikenal dengan berbagai nama daerah seperti temulawak di Sumatra; koneng gede, temu raya, temu besar, aci koneng, koneng tegel, dan temulawak di Jawa; temulobak di Madura; tommo di Bali; tommon di Sulawesi Selatan; atau karbaga di Ternate (Dalimartha 2000). Secara lengkap taksonomi temulawak adalah sebagai berikut: Dunia Plantae, Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Keluarga Zingiberaceae, Genus Curcuma, dan Spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan dari tanaman ini adalah rimpang temulawak. Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan baku obat dapat dibedakan menjadi beberapa fraksi yaitu fraksi pati, kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri (Sidik et al. 1995). Selain ketiga fraksi tersebut, masih terdapat kandungan lain dalam rimpang temulawak yaitu lemak, serat kasar, dan protein (Suwiah 1991). Senyawa aktif yang banyak dimanfaatkan dari ekstrak tanaman temulawak adalah kurkuminoid dan xantorizol. Presentase komposisi ekstrak temulawak dapat dilihat pada Tabel 1. Fraksi kurkuminoid merupakan komponen yang memberi warna kuning berbentuk serbuk dengan rasa pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam glasial, alkohol hidroksida, tidak larut dalam air, memiliki aroma yang khas, dan tidak bersifat toksik. Kurkuminoid rimpang temulawak terdiri atas desmetoksikurkumin dan kurkumin yang memiliki rumus struktur C21H20O6 (Gambar 2) dan bobot molekul 368 g/mol (Sidik et al. 1995). Hal ini berbeda dengan kandungan kurkuminoid pada rimpang kunyit (Curcuma domestica Vahl.) yang memiliki komponen lain yaitu bisdemetoksikurkumin di samping memiliki kedua komponen di atas. Sifat menarik dari bisdemetoksikurkumin ini adalah aktivitas kerjanya terhadap sekresi empedu yang antagonis dengan kurkumin dan desmetoksikurkumin. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan rimpang temulawak sebagai sumber kurkuminoid lebih menguntungkan dibandingkan dengan rimpang kunyit walaupun kandungan rimpang temulawak lebih rendah dari rimpang kunyit Kandungan kurkuminoid rimpang temulawak kering berkisar 3.16 % sedangkan kurkuminoid rimpang kunyit sebesar 6.9 % (Afifah et al. 2003).

Tabel 1 Kandungan kimia ekstrak temulawak hasil ekstraksi alkohol 70% (Sembiring et al. 2006) Kandungan ekstrak temulawak Minyak atsiri Kurkumin Xantorizol Kadar (%) 6,48 1,36 1,86

Gambar 2

Struktur kimia kurkumin (Ravindran et al. 2007).

Xantorizol merupakan komponen khas minyak atsiri hasil ekstraksi menggunakan metanol dari famili Zingiberaceae dan Astericeae seperti rimpang temulawak. Komponen ini termasuk dalam kelompok seskuiterpen tipe bisabolen (Aguilar et al. 2001). Xantorizol memiliki rumus molekul C12H22O7 dengan bobot molekul 218.335 g/mol (Gambar 3) (Sidik et al. 1995). Xantorizol merupakan antibakteri yang memiliki spektrum luas terhadap aktivitas antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit manusia. Xantorizol secara efisien dapat menghambat infeksi pada gigi dan penyakit kulit, dapat dimanfaatkan pada berbagai produk, misalnya digunakan sebagai agen antibakteri, pasta gigi, sabun, pembersih mulut, permen karet, dan kosmetik yang memerlukan aktivitas antibakteri. Aktivitas antibakteri dari xantorizol mempunyai stabilitas yang baik terhadap panas yaitu masih terdapat aktivitas antibakteri pada temperatur tinggi antara 60-120 C (Hwang 2004). Xantorizol diketahui dapat menghambat pertumbuhan berbagai macam bakteri seperti Streptococcus mutans, S. sobrinus, S. Bifidobacterium bifidum, salivarius, Staphylococcus aureus, dan beberapa bakteri lainnya. Di antara bakteri-bakteri tersebut, yang mengalami hambatan pertumbuhan paling besar adalah Streptococcus mutans. Xantorizol mampu menghambat bakteri S. mutans pada konsentrasi yang rendah yaitu 0.0002 % (b/v) sebagai konsentrasi hambat minimum (Hwang 2004).

Gambar 3

Struktur kimia xanthorrizol (Ravindran et al. 2007).

Pembuatan Nanopartikel Sediaan nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode. Hingga saat ini, ada enam metode pembuatan nanopartikel yang sering digunakan yaitu metode emulsifikasi spontan atau difusi pelarut, salting out, fluida superkritis, polimerisasi monomer, polimer hidrofilik, dan dispersi pembentukan polimer (Soppimath et al. 2001). Metode emulsifikasi spontan menggunakan prinsip difusi antara pelarut larut air seperti aseton atau metanol dengan pelarut organik tidak larut air seperti kloroform dengan penambahan polimer. Difusi yang terjadi antara dua pelarut tersebut mengakibatkan emulsifikasi pada daerah di antara dua fase pelarut. Partikel yang berada di antara dua fase pelarut tersebut berukuran lebih kecil dari pada kedua fase pelarut itu sendiri (Soppimath et al. 2001). Metode salting out merupakan modifikasi dari metode emulsifikasi spontan. Penggunaan pelarut organik pada metode emulsifikasi spontan dapat membahayakan lingkungan serta sistem fisiologis sehingga diperlukan pemisahan pelarut organik (Soppimath et al. 2001). Metode fluida superkritis menggunakan senyawa yang memiliki suhu dan tekanan di atas titik kritis. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain karbon dioksida, air, dan gas metan. Senyawa ini digunakan sebagai pengganti pelarut organik yang berbahaya bagi lingkungan (Soppimath et al. 2001). Metode polimerisasi monomer menggunakan senyawa polialkilsianoakrilat (PACA). Metil atau etil sianoakrilat dimasukkan dalam media asam dengan penambahan surfaktan. Monomer sianoakrilat ditambahkan dalam campuran yang sedang diaduk dengan magnetic stirrer. Senyawa obat ditambahkan baik sebelum penambahan monomer maupun setelah reaksi polimerisasi. Suspensi nanopartikel yang terbentuk dimurnikan dengan ultrasentrifugasi (Soppimath et al. 2001).

Metode polimer hidrofilik tidak memerlukan surfaktan seperti metode polimerisasi monomer. Polimer yang digunakan dalam metode ini merupakan polimer larut air seperti kitosan larut air, natrium alginat dan gelatin. Nanopartikel umumnya terbentuk secara spontan ataupun dengan penambahan pengemulsi (Soppimath et al. 2001) Metode evaporasi pelarut menggunakan pelarut organik seperti diklorometan, kloroform atau etil asetat untuk melarutkan polimer. Senyawa obat atau pengisi ditambahkan dalam campuran kemudian diemulsifikasi dengan penambahan surfaktan. Homogenasi atau sonikasi dilakukan agar emulsi menjadi stabil. Nanopartikel kemudian dikeringkan untuk memperoleh produk dalam bentuk serbuk nanopartikel. Metode ini sangat cocok dilakukan untuk skala laboratorium (Soppimath et al. 2001). Ultrasonikasi Ultasonik merupakan vibrasi suara dengan frekuensi melebihi batas pendengaran manusia yaitu di atas 20 KHz (Tipler 1998). Ultrasonikasi merupakan salah satu teknik paling efektif dalam pencampuran, proses reaksi, dan pemecahan bahan dengan bantuan energi tinggi (Pirrung 2007). Batas atas rentang ultrasonik mencapai 5 MHz untuk gas dan 500 MHz untuk cairan dan padatan (Mason & Lorimer 2002). Penggunaan ultasonik berdasarkan rentangnya yang luas ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah suara beramplitudo rendah (frekuensi kebih tinggi). Gelombang beramplitudo rendah ini secara umum digunakan untuk analisis pengukuran kecepatan dan koefisien penyerapan gelombang pada rentang 2 hingga 10 MHz. Bagian kedua adalah gelombang berenergi tinggi dan terletak pada frekuensi 20 hingga 100 KHz. Gelombang ini dapat digunakan untuk pembersihan, pembentukan plastik, dan modifikasi bahan-bahan organik maupun anorganik (Mason & Lorimer 2002). Ultrasonikasi dengan intensitas tinggi dapat menginduksi secara fisik dan kimia. Efek fisik dari ultrasonikasi intensitas tinggi salah satunya adalah emulsifikasi. Beberapa aplikasi ultrasonikasi ini adalah dispersi bahan pengisi dalam polimer dasar, emulsifikasi partikel anorganik pada polimer dasar, serta pembentukan dan pemotongan plastik (Suslick & Price 1999). Efek kimia pada ultrasonikasi ini menyebabkan molekul-molekul berinteraksi

sehingga terjadi perubahan kimia. Interaksi tersebut disebabkan panjang gelombang ultrasonik lebih tinggi dibandingkan panjang gelombang molekul-molekul. Interaksi gelombang ultrasonik dengan molekulmolekul terjadi melalui media cairan. Gelombang yang dihasilkan oleh tenaga listrik diteruskan oleh media cair ke medan yang dituju melalui fenomena kavitasi akustik yang menyebabkan kenaikan suhu dan tekanan lokal dalam cairan (Wardiyati et al. 2004). Ultrasonikasi pada cairan memiliki berbagai parameter seperti frekuensi, tekanan, suhu, viskositas, dan konsentrasi suatu sampel. Aplikasi ultrasonikasi pada polimer berpengaruh terhadap degradasi polimer tersebut (Wardiyati et al. 2004). Karakterisasi Nanopartikel Ukuran nanopartikel yang sangat kecil memerlukan karakterisasi yang berbeda dengan mikromolekul pada umumnya. Karakterisasi nanopartikel kitosan dapat dilakukan secara fisiologi dan struktur fisik. Beberapa karakterisasi fisiologis yang telah dilakukan antara lain stabilitas nanopartikel dalam larutan garam, nilai pH, serta fenomena agregrasi akibat pengaruh suhu dan waktu (Kauper et al. 2007). Poole & Owens (2003) membagi metode karakterisasi fisik nanopartikel menjadi tiga macam yaitu metode kristalografi, mikroskopi, dan spektroskopi. Kristalografi dengan menggunakan sinar X sangat berguna untuk mengidentifikasi kristal isomorfik yaitu kristal yang memiliki kesamaan struktur tetapi berbeda dalam pola-pola geometrisnya. Metode mikroskopi dapat digolongkan menjadi mikroskop elektron transmisi, mikroskop elektron payar, dan mikroskop medan ion. Karakterisasi dengan spektroskopi dapat menggunakan fotoemisi, spektroskopi resonansi magnetik, spektroskopi infra merah (Fourier Transform Infra Red/ FTIR), dan spektroskopi sinar X (X ray diffractometry/ XRD). Mikroskop elektron payaran (SEM) digunakan dalam pengamatan morfologi dan penentuan ukuran nanopartikel. Metode ini merupakan cara yang efisien dalam memperolah gambar permukaan spesimen. Cara kerja mikroskop ini adalah dengan memancarkan elektron ke permukaan spesimen. Informasi tentang permukaan partikel dapat diperoleh dengan pengenalan probe dalam lintasan pancaran elektron yang mengenai permukaan partikel. Informasi juga dapat dibawa oleh probe yang menangkap

elektron pada terowongan antara permukaan partikel spesimen dengan tip probe atau sebuah probe yang menangkap gaya dorong antara permukaan dengan tip probe (Poole & Owens 2003). Analisis difraksi sinar X (XRD) menggunakan prinsip emisi sinar X yang dihasilkan oleh tumbukan elektron dan atom Cr, Fe, Co, Cu, Mo, atau W. Analisis XRD dapat memberikan informasi mengenai struktur sampel seperti parameter kisi, orientasi, dan sistem kristal. Analisis XRD juga berguna untuk mengindentifikasi fase sampel semi kuantitatif, dengan menghitung fraksi volume suatu sampel dan perbandingan fraksi area kristalin terhadap fraksi total area (Poole & Owens 2003). Spektroskopi infra merah (FTIR) digunakan untuk mengidentifikasi gugus kompleks dalam senyawa tetapi tidak dapat menentukan unsur-unsur penyusunnya. Pada FTIR, radiasi infra merah dilewatkan pada sampel. Sebagian radiasi sinar infra merah diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu vibrasi spesifik sama dengan frekuensi radiasi infra merah yang langsung menuju molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan menggambarkan penyerapan dan transmisi molekuler. Transmisi ini akan membentuk suatu sidik jari molekuler suatu sampel. Karena bersifat sidik jari, tidak ada dua struktur molekuler unik yang menghasilkan spektrum infra merah yang sama (Kencana 2009).

BAHAN DAN METODE


Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk pembuatan nanopartikel ekstrak temulawak adalah labu Erlenmeyer 600 mL, 250 mL, gelas piala, neraca analitik, magnetic stirrer, gelas ukur 100 mL, pipet Mohr 5 mL, 25 mL, ultrasonikator, pengering beku, pengering semprot Buchi 190. Alat yang digunakan untuk karakterisasi nanopartikel ekstrak temulawak adalah penyalut JFC 1600, mikroskop elektron payaran (scanning electron microscopy/SEM) JSM 6510, defraktometer sinar X (X ray diffractometry/ Fourier XRD), dan spektrofotometer Transform Infra Red (FTIR). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kitosan, tripolifosfat (TPP), ekstrak temulawak, asam asetat 2%, etanol 70%, dan akuades.

Anda mungkin juga menyukai