Lomba Puisi Kalsum
Lomba Puisi Kalsum
Aku mendulang tawa di genangan embun hingga terdapati kilau kata dalam cerita tentang malaikat dan bidadari yang ditugaskan penghuni langit menaburkan warna pelangi di sela rajutan awan
Ketersipuanku memantul dalam bayang matamu lalu sebisa mungkin kuselimuti rahasia hati agar kau tak mampu mendengar degup jantungku meski jarak kita hanya enam belas jengkal
Aku memuja cermin yang memantulkan cahaya pelita karena di bias sinar itu senyummu tergurat dalam keindahan
Cinta telah melunturkan rasa maluku tatkala aku menatap sudut parasmu dengan serpihan harapan selalu seperti ini adanya kita
SUARA CINTA
Bila hanya sekeping cinta maka tak akan terdengar gemerincing hati laksana bertepuk sebelah tangan hanya mencipta hening hampa kecemasan akan menganga di rongga-rongga hati kepiluan dan cinta hanya semburan ludah basi.
Seharusnya tak perlu memberi ruang harapan pada jiwa letih yang mencabik waktu dalam pencarian.
Sebenarnya hujan telah menggoreskan pesan pada para pendeta penghuni lonceng-lonceng gereja tentang dusta penggembala yang tak jujur dalam penghitungan domba-domba berbulu sutra.
Atau para pemintal benang yang begitu letih memintal benang menjadikanya kapas kembali.
EMBUN MERAH
Duduklah di sampingku sambil kita menatap angin akan kuceritakan padamu tentang sungai bernyanyi
Jangan berisik! dengarkan kisahku tentang rumput kering yang mengharap embun merah
Dan nanti kaupun akan aku kisahkan tentang bulan yang begitu bulat memayungi bidadari
Kau cukup menyimak ucapanku hingga kau memahami aku seorang pengecut yang selalu takut dengan gejolak hati
Jangan kau mengerutkan keningmu saat mendengar kisahku tentang jantungku yang bergoncang keras manakala malaikat langit mengecup keningku
Sekarang kau boleh pergi sampaikan gemuruh bimbangku pada lebaran rumput di pegunungan katakan aku masih menadah embun merah dengan belanga rengat
Dia masih berdiri di pintu pagar itu hanya berdiri dengan sorotan tajam menghujam tepat di pintu pagar itu tak beranjak dari satu jam yang lalu
Dia lelaki itu seolah enggan meninggalkan kenangan pada helai rumput pada tangkai kembang bogenvil
pada kerikil-kerikil kecil pada cat kusam terkoyak yang menempel di julir pagar itu
Dia tetap berdiri dengan tarikan napas berat seolah enggan menghapus cerita yang tertulis di tiap helai pagar itu
Hingga senja mulai luruh menyeret langkah beratnya meninggalkan semua kisah yang dia pahat pada keping pagar itu Martapura, 5 Januari 2012
ITULAH AKU Akulah si Angsa buruk rupa dengan moncong lebar memanjang dan jalan yang berlenggok tak sempurna bulu-buluku teramat buruk dan berwarna kusam
angsa yang selalu bermimpi menjadi cendrawasih yang memiliki bulu indah dengan aneka warna hingga mampu memikat pangeran istana kaca
Tak pernah letih aku meniti pelangi agar aku mampu menatap ujung mahkotamu meski sayapku luruh di sengatan merah senja namun aku tak pernah menyerah
Ya, itulah aku si Angsa buruk rupa yang tak pernah letih membingkai bulan untuk menerangi redup matamu
Maaf aku tak membencimu selama kau tak mengetahui warna rinduku
Tapi mungkinkah kau tahu? Namun kau bodoh! Atau Kau hanya berlagak bodoh
Hmmm bisa jadi aku yang bodoh benar-benar bodoh mungkin juga aku berlagak bodoh
Maaf setelah kupikirkan aku tetap membencimu sebelum kau tahu seringai nakalmu masuk dalam ruang lamunanku
Kurasa kau tahu hanya saja kau menutup hidungmu yang tak mancung Agar tak kau cium aroma khayalku yang menelusuri tiap lekuk kurusmu
Maaf dengan kesadaran penuh aku membencimu sebelum kau menghujat kebodohanku yang terlalu lancang menarikmu dalam waktuku
Aku tetap membencimu sebelum kau tahu betapa berartinya dirimu dalam sisa napasku
KEKASIH
Kekasih kau bagaikan aliran sungai dengan arus yang deras tanpa rasa takut kau telusuri selah lembah batu-batu mencari kehidupan
Kekasih telah kau lelehkan gumpalan awan di genggamanmu hingga malam menyanyikan keheningan dan sunyi adalah gemerisik angin
Kekasih kau akan tersesat bila tanpa aku sama seperti aku yang tak lengkap tanpa dirimu
Kekasih aku adalah kau dan kau adalah aku kita adalah matahari dan bumi kita adalah langit dan bulan kita adalah suara yang menyeru di setiap jiwa jiwa kita adalah taburan cahaya kita adalah gelap kita adalah kekasih
Kekasih telah kau isi tiap relung dengan butiran cinta hingga tasbih tasbih jamrut dan biji muntiara bergemerincing di sela jemari para peri
Kekasih kita telah menyatu dalam asma dalam husna dalam asma husna
Kekasih namamu runcing belati menoreh pagi siang malam menikam detik waktuku dalam bait rinduku
Ini puisi! benar benar puisi pasti ini serangkai puisi sebab di sini tertulis tentang hidup mati cinta benci rindu bertaut kasih sayang keraguan pengharapan pengorbanan
Ini puisi! karena di sini tertulis tentang gunung tercabik banjir membahana alam yang porak poranda
Lihat! Tertulis di sini tentang perawan desa dengan kebayanya melenggok di alur jalan setapak memandang kuyu pada anak sungai
yang semakin mengering dan hilang kejernihan airnya atau para gembala yang mengisi padang rumputnya lantaran telah berubah menjadi galian-galian hati serakah
Ya! Ini puisi! benar benar puisi yang memuisikan tangis negeri yang memuisikan kaum serakah yang memuisikan para penghulu negeri yang memuisikan semburan ludah busuk dari janji janji yang tumpah ruah dalam bak sampah
Dan aku oh ternyata akupun puisi yang dengan hati terbelah menangisi puisi Negeriku!
Juga aku yang memuisikan dirimu dalam waktu yang tak berkesudahan menyimpan rindu menyakitkan
Aku jatuh cinta pada malam dan nyanyian angin yang tersangkut di ujung-ujung ranting
Aku jatuh cinta Pada hening batu-batu hitam terpoles kabut berembun
Aku jatuh cinta Pada harum belukar basah bekas hujan senja
Aku jatuh cinta merindukan cicit burung penghisap madu dan rimbun lembah-lembah perawan
Aku merindu pada angkuh bukit-bukit berbatu yang di sela tubuhnya mengalir sungai-sungai bening
Luka mataku terhunus di poranda bukit perih jantung tahumbalang hutan lembah derita burung kehilangan rindang ratap tangis bumi berkoreng
Aku jatuh cinta pada cintaku sendiri sebab hatiku isi bumi yang dialiri sungai bening rindu
SINGGASANA LARA
Sajak bertutur tentang daun kering penuh retak di tiap ujung hingga pangkal kering kerontang ketandusan di musim penghujan
tangis tak terdengar bahkan isak terhenti jauh sebelum tawa usai
Syair kudendangkan tentang satu legenda duhai jiwa setunggal nyawa kesedihan amat berantai
Kisah duka menyebar ke pelosok mimpi malam jejak menapaki pecahan beling kucuran kepiluan tumpah di ujung-ujung angin menyebar tembus langit kusam
Aku dalam singgasana lara bagaikan ratu tak bermahkota kesedihan teramat setia bergumul dalam tawa luka