Anda di halaman 1dari 14

Mendengar judulnya saja telah menggelitik hati ini, siapa lagi kalau bukan kita yang notabenenya sebagai

calon Pengangguran Terdidik. Mungkin banyak diantara kita yang telah memiliki asumsi-asumsi mengapa hal tersebut sering kali terjadi, ada yang berfikir, mahasiswanya saja yang tak kompeten, ada juga yang berkata, bahwa hal ini salah Universitas (red-fakultas) semata, karena mereka yang menyelenggarakan pendidikan. Namun ada juga yang berkata lebih bijak, mungkin ini kontribusi bersama antara universitas dan mahasiswa dalam menyumbang angka pengangguran terdidik. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah penganggur terdidik yang telah menamatkan sampai dengan februari 2009 telah mencapai 1,1 juta orang. Secara persentase, jumlah penganggur terdidik juga meningkat drastis. Penganggur terdidik tercatat mencapai 12% pada Februari 2009, yang juga meningkat dua kali lipat dari persentase pada 2004 yang hanya mencapai 5,7% (BPS, 2009). Ironisnya, peningkatan penganggur di kalangan terdidik terjadi pada saat jumlah pengangguran secara keseluruhan mengalami penurunan, baik dalam persentase maupun secara absolute. BPS menunjukkan bahwa jumlah persentase pengangguran terus menurun dari 9,86% dari angkatan kerja pada 2004 menjadi 8,14% dari angkatan kerja 2009. Demikian pula secara absolute, jumlah penganggur turun dari 10,25 juta orang pada 2004 menjadi 9,26 juta orang pada 2009. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa penyebab melonjaknya angka penanggur terdidik ini? Dari wacana public yang berkembang saat ini, tercatat ada 3 penyebab utama, yaitu fenomena parasit lajang, informalisasi pasar serta anggapan adanya ketidaksesuaian pendidikan yang ada dengan kebutuhan pasar kerja (Media Indonesia edisi 24 Agustus 2009). Pertama fenomena parasit lajang, menurut pakar ekonomi Profesor Aris Ananta dari National University of Singapore, merupakan sebutan bagi para generasi muda yang manja dan terlalu bergantung pada orangtua dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, dengan kata lain adanya jaminan kelangsungan hidup meski mereka tidak bekerja. Dengan demikian, bagi sebagian besar dari mereka, tidak bekerja tidak menjadi sebuah masalah besar. Kedua, informalisasi pasar kerja dan tidak sesuainya antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini dapat kita lihat dengan semakin sempitnya lapangan kerja pada sektor formal yang ada. Ciri dari lapangan kerja informal antara lain bersifat tidak tetap, upah rendah, bahkan tidak mendapat kompensasi sama sekali, dan memiliki tingkat produkitvitas yang rendah. Dengan berkurangnya lapangan kerja formal, maka mau tidak mau para penganggur terdidik akan mencari alternative lain untuk mensiasatinya, salah satunya beralih ke lapangan kerja informal. Ketiga, tidak sinkronnya antara pendidikan dengan kebutuhan pasar pun menjadi salah satu penyebab mengapa pengangguran terdidik terus meningkat dari tahun ke tahun. Argument ini biasa di ungkapkan oleh para pakar pendidikan di dalam negeri. Argument ini kurang lebih menyatakan bahwa pendidikan tinggi Indonesia kurang lebih memberikan pelatihan dan ilmu yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang ada, mereka terkesan mengejar kuantitas lulusan tanpa memperhatikan kualitas para lulusan. Implikasinya adalah perlu ada penambahan pendidikan agar sesuai dengan permintaan pasar kerja yang ada, untuk mengurangi penganggur angkatan kerja terdidik.

Berikut table yang menunjukkan pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan 2004-2009 : Table 1. Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan 2004-2009. Tingkat pendidikan yang ditamatkan Tidak lulus SD SD SMP SMA Diploma I/II/III/ Akademi Universitas Total Sumber : BPS Alhasil dari uraian di atas, tentu menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi kita, terutama calon pengangguran terdidik dan tentunya penyelenggara pendidikan, dalam hal ini pendidikan tinggi yang posisi nya berdekatan dengan maa rantai lapangan pekerjaan. Semoga tulisan ini dapat menjadi refleki kita bersama dalam persiapan menuju dunia yang sebenarnya, dunia yang kita rindukan ketika kita masih kuliah, namun seketika menjadi dunia yang kita takuti ketika kita baru saja mendapat gelar sarjana (bagi mahasiswa yang tak bersiap), dunia yang di impikan manusia tidak hanya untuk melanjutkan hidup, namun tentunya untuk terus berkontribusi dan berkarya.
Jumlah pengangguran pada Agustus2012mencapai7,2 juta orang, denganTingkat Pengangguran Terbuka (TPT) cenderung menurun,dimana TPTAgustus 2012 sebesar 6,14 persen turun dari TPT Februari2012 sebesar 6,32 persen dan TPT Agustus 2011 sebesar 6,56 persen. Pada Agustus 2012, TPT untuk pendidikan menengah masih tetap menempati posisi tertinggi, yaitu TPT Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 9,87 persen dan TPT Sekolah Menengah Atas sebesar 9,60 persen. Jika dibandingkan keadaanAgustus 2011,TPT pada hampir semua tingkat pendidikan cenderung turun, kecuali TPT untuk tingkat pendidikan SD kebawahnaik sebesar 0,08 persen

2004

2005

2006

2007

208

2009

1.004.296 2.275.281 2.690.912 3.695.504 237.251

1.012.711 2.540.977 2.680.810 3.911.502 322.836

849.425 2.675.459 2.860.007 4.047.016 297.185

666.066 2.753.548 2.643.062 3.745.035 330.316

528.195 2.216.478 2.166.619 3.369.959 519.987

2.620.049 2.054.682 2.133.627 1.337.586 486.399

348.107 385.418 375.601 409.890 626.202 626.621 10.251.351 10.854.254 11.104.693 10.547.917 9.427.590 9.258.964

Tabel 6 TingkatPengangguranTerbuka(TPT)PendudukUsia 15 TahunKe Atas MenurutPendidikanTertinggiyangDitamatkan,20112012 (persen)

PendidikanTertinggi yang Ditamatkan (1) SD ke bawah SekolahMenengahPertama SekolahMenengahAtas SekolahMenengahKejuruan Diploma I/II/III Universitas Jumlah 3,37 7,83 12,17 10,00 11,59 9,95 6,80

2011 (2) 3,56 8,37 10,66 10,43 7,16 8,02 6,56 (3) 3,69 7,80 10,34 9,51 7,50 6,95 6,32 (4)

2012 (5) 3,64 7,76 9,60 9,87 6,21 5,91 6,14

Jumlah pengangguran pada Agustus 2010 mencapai 8,3 juta orang atau 7,14 persen dari total angkatan kerja. Secara umum Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) cenderung menurun, dimana TPT Agustus 2010 sebesar 7,14 persen turun dari TPT Februari 2010 sebesar 7,41 persen dan TPT Agustus 2009 sebesar 7,87 persen. Jika dibandingkan keadaan Februari 2010 TPT pada hampir semua tingkat pendidikan cenderung turun, kecuali TPT untuk tingkat pendidikan SD kebawah yang mengalami kenaikan sebesar 0,10 persen. Pada semester ini, TPT untuk pendidikan Diploma dan sarjana masih tetap mendominasi, yaitu masing masing sebesar 12,78 persen dan 11,92 persen

Tabel 6 TingkatPengangguranTerbuka(TPT) MenurutPendidikanTertinggiyangDitamatkan,20082010 (persen)

2008 Agustus Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (1) SD Ke Bawah Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Kejuruan Diploma I/II/III Universitas Jumlah (2) 4,57 9,39 14,31 17,26 11,21 12,59 8,39 (3) 4,51 9,38 12,36 15,69 15,38 12,94 8,14 Februari

2009 Agustus Februari

2010 Agustus

(4) 3,78 8,37 14,50 14,59 13,66 13,08 7,87

(5) 3,71 7,55 11,90 13,81 15,71 14,24 7,41

(6) 3,81 7,45 11,90 11,87 12,78 11,92 7,14

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG. Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan. Opini

yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor. Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu. Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia. Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul Investement in human capital dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi. Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Tuntutan akan mutu pendidikan di Indonesia merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak karena kualitas/ mutu pendidikan di Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Hal ini bisa terlihat dari beberapa indikator diantaranya lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Dengan kondisi tersebut sulit mengharapkan mereka menjadi agen perubahan social sebagaimana yang diharapkan masyarakat luas (media Indomesia, 22-12-2005). Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia disorot pula karena deraan jumlah lulusan sekolah atau lembaga pelatihan yang menganggur. Pengangguran lulusan sekolah merupakan salah satu dari sekian banyak isu pendidikan dan ketenagakerjaan yang banyak mendapat perhatian.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas kami mencoba untuk memaparkan beberapa hal antara lain : A. Pengertian Pengangguran Terdidik dan Jenis jenis Pengangguran

B. Mutu Pendidikan dan Pengangguran Lulusan C. Pencarian Kerja dan Masa Tunggu D. Fenomena Pekerjaan Modern E. Posisi Pendidikan Pada Era Ekonomi Modern

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pengangguran Terdidik dan Jenis-jenis Pengangguran Pengangguran terdidik adalah seseorang yang telah lulus pendidikan dan ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Para penganggur terdidik biasanya dari kelompok masyarakat menengah keatas yang memungkinkan adanya jaminan kelangsungan hidup meski menganggur. Pengangguran terdidik sangat berkaitan dengan masalah pendidikan di Negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas dan pandangan masyarakat. Pada masyarakat yang sedang berkembang, pendidikan dipersiapkan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfaatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan. Penyebab utama pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan berkembangnya lapangan kerja yang tidak sesuai dengan jurusan mereka, sehingga para lulusan tersebut tidak terserap kedalam lapangan kerja yang ada. Faktanya lembaga pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan pencari kerja bukan pencipta kerja. Berdasarkan penggolongan ini pengangguran dapat dibedakan kepada jenis pengangguran berikut : 1. Pengangguran normal atau friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidak sesuaian antara lowongan pekerjaan dengan pencari kerja. 2. Pengangguran siklinal adalah pengangguran yang menganggur akibat dari imbas naik turunnya siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada pencari kerja. 3. Pengangguran structural ( structural unemployment ) adalah keadaan dimana penganggur yang sedang mencari pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pembuka lapangan kerja. 4. Pengangguran tehnologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau pergantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin. . Berdasarkan kepada ciri pengangguran yang berlaku, pengangguran dapat pula digolongkan sebagai berikut :

1. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment). Pengangguran terbuka adalah tenaga kerja yang sungguh sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.

2. Pengangguran Terselubung atau Tersembunyi (Disguissed Unemployment) Penganggurn terselubung atau tersembunyi adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu, misalnya pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. 3. Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment). Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus menganggur. 4. Setengah Menganggur (Under Unemployment). Pengangguran setengah menganggur adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah pengangguran ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Adapun factor- factor yang menyebebkan meningkatnya pengangguran terdidik adalah sebagai berikut : 1. Ketidakcocokan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja), ketidakcocokan ini bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau nasalah keahlian khusus. 2. Terbatasnya daya serap tenaga kerja disektor formal ( tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar member tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sector formal yang jumlahnya relative kecil. 3. Belum efesiennya fungsi pasar kerja. Disamping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancer menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja diluar bidangnya. Kemudian factor gengsi juga menyebabkan lulusan akademi atau universitas memilih menganggur karena tidak sesuai dengan bidangnya. 4. Budaya malas juga sebagai salah satu factor penyebab tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia.

B. Mutu Pendidikan dan Pengangguran Lulusan. Bangsa Indonesia kini sedang dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan yang sangat krusial dan multidimensional. Hampir semua bidang kehidupan berbangsa, bernegara dan

bermasyarakat, mengalami krisis yang berkepanjangan. Reformasi yang digulirkan bangsa Indonesia melalui gerakan mahasiswa hingga saat ini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Banyak kalangan berpendapat bahwa persoalan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia disebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah, baik secara akademis maupun non akademis. Menilai kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa secara umum dapat dilihat dari mutu pendidikan bangsa tersebut. Sejarah membuktikan bahwa kemajuan dan kejayaan suatu bangsa di dunia ditentukan oleh pembangunan dibidang pendidikan. Wajah pendidikan di Indonesia kerap disorot karena deraan jumlah lulusan sekolah atau lembaga pelatihan yang menganggur. Pengangguran lulusan sekolah merupakan salah satu dari sekian banyak isu pendidikan dan ketenagakerjaan. Melihat fenomena pengangguran ini, lembaga sekolah ditantang untuk melakukan prakarsa dalam meningkatkan mutu. Namun demikian prakarsa mutu proses dan produk pendidikan bukan semata urusan komunitas sekolah, melainkan bersentuhan dengan factor eksternalnya. Kondisi eksternal yang kurang kondusif, anomaly perilaku masyarakat pada jaring jarring kemasyarakatan, beban ekonomi, beban tugas-tugas pembelajaran dan sebagainya tidak boleh mengurungkan niat guru untuk mendapatkan luaran pendidikan yang bermutu. Mutu pendidikan dapat dilihat dari empat perspektif, yaitu masukan, proses atau transformasi, luaran atau prestasi belajar, dan dampak atau utilitas lulusan. Dengan demikian , kebiasaan kita menilai mutu proses pembelajaran, dan lebih khusus lagi mutu sekolah, dengan melihatnya dari persfektif luaran atau prestasi belajar anak didik tidaklah tepat. Luaran itu dapat berupa kognitif, afektif, psikomotor, emosi, dan spirit untuk hidup. Jadi tugas utama guru bukanlah mentransmisikan ilmu, apalagi hanya sebatas menuangkan materi pembelajaran seperti layaknya mengucurkan air kedalam botol. Tugas mereka adalah menciptakan kondisi agar anak dapat mempelajari cara belajar (learning how to learn). Mereka dituntut dapat mendidik anak menjadi orang yang memiliki standar perolehan pendidikan secara baik dengan proses yang baik, karena tugas guru adalah memandu anak belajar bagaimana belajar. Pendidikan dan pekerjaan, meskipun berbeda substansi dan kelembagaannya, memiliki kaitan yang erat. Sekolah merupakan lembaga utama yang paling dirasakan kepentingannya oleh kaum muda peminat pendidikan, sementara dunia kerja adalah bagian dari proses hidup yang menjadi perhatian utama orang dewasa. Sebutan kaum muda dan orang dewasa hanyalah soal waktu, sementara kemampuan dan ketrampilan yang diperoleh melalui pendidikan bersifat sepanjang hidup, meskipun sebagian diantaranya berpotensi terlupakan. Karenanya lembaga sekolah didorong menjadi penghasil pekerja terampil dan spisialis di bidangnya (Dobson dan Swaford,1980). Di banyak Negara digunakan manpower-planning (Blaug,1970) untuk menghubungkan luaran ekonomi, kebutuhan pekerja, dan persyaratan persekolahan, walaupun seleksi kelas social pada pencapaian pendidikan tetap dominan seperti halnya terjadi pada masyarakat kapitalis.

C. Periode Pencarian Kerja dan Masa Tunggu.

Meskipun terjadi peningkatan formasi lapangan kerja, karena jumlah lulusan sekolah meningkat pesat, muncullah pengangguran terdidik. Hal ini telah mengakibatkan tekanan yang cukup besar pada bursa tenaga kerja, khususnya pada wilayah perkotaan. Di samping itu, tradisi lulusan lebih memilih jenis pekerjaan ketimbang memaknai hakekat bekerja sangat potensial melahirkan mereka sebagai pengangguran. Gambaran yang paling menonjol dari pengangguran di wilayah perkotaan Negara-negara berkembang terkonsentrasi pada usia muda berumur 15- 24 tahun. Jumlah mereka mencapai dua atau tiga kali dari rasio seluruh seluruh pekerja di negara-negara berkembang. Karena adanya perluasan pendidikan belakangan ini, tidak mengherankan kalau pengangguran itu didominasi oleh orng-orang yang relative berpendidikan baik. Kajian mengenai kaitan antara periode pencarian kerja dan masa tunggu atau periode sebelum mendapatkan pekerjaan setelah lulus melahirkan empat preposisi 1. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar kemungkinan upah yang ditawarkan, namun semakin lama kemungkinan periode pencari kerja. 2. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi kesempatan untuk mendapatkan biaya selama menganggur, namun semakin pendek kemungkinan periode pencarian kerja. 3. Semakin besar bantuan financial dari keluarga semakin lama periode pencarian kerja. Periode pencarian kerja yang bersifat terikat merupakan akibat dari informasi bursa tenaga kerja yang semakin luas dan berkurangnya aspirasi terhadap tingkat kebutuhan tenaga yang lebih rendah.

D. Fenomena Pekerjaan Modern. Pendidikan dan pelatihan dengan pekerjaan memiliki kaitan yang sangat erat, karena sebagian persyaratan kerja tidak dapat dipenuhi, kecuali melalui lembaga pendidikan dan pelatihan. Sekolah merupakan institusi yang memainkan mekanisme penting dalam menentukan mobilitas social dan kedudukan populasi di dalam lini pekerjaan dari generasi ke genersi. Pada banyak Negara, sekolah direncanakan dan ditetapkan berdasarkan kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan, pemberdayaan peserta didik, dan memproduk angkatan kerja. Istilah pendidikan terkadang disalah artikan dengan sekolah. Perlu diketahui dan disadari oleh semua manusia normal bahwa sekolah bukan satu-satunya bentuk real dari praksis pendidikan. Memang sekolah dasar hingga merupakan wahana pendidikan yang dominan pada masyarakat industri modern. Setiap masyarakat memiliki presepsi khusus terhadap pekerjaan, sejalan dengan pandangan hidup tempat masyarakat tersebut terorganisasi. Pada masyarakat tradisional, orang dewasa harus mampu memperoleh sandang dan pangan secara langsung sebagai perolehan dari mata pencahariannya. Dan pada masyarakat industry maju, orang dewasa harus berfungsi sebagai seorang pekerja pada perusahaan yang besar dan dengan segala birokrasi kerjanya. Sebagian proses kerjanya tidak selalu behubungan langsung dngan kebutuhan sehari- hari dan pekerjaan yang dilakukan menjadi rutinitas, dengan pengulangan- pengulangan kerja yang tinggi. Dari bekerja itulah, pekerja mendapat upah untuk pemenuhan keperluan hidupnya.

Keperluan hidup itu tidak selalu identik dengan sandang, pangan, dan papan, melainkan juga sangat mungkin untuk rkreasi, berpesta, dan biaya social lainnya. Menurut Dreeben (1968), pekerjaan pekerjaan modern pada dunia industry, bercirikan : 1. Tempat kerja terpisah dari rumah tangga 2. Ada perbedaan antara pekerja sebagai seorang pribadi dan posisinya dalam jabatan 3. Kebanyakan pekerjaannya dalam skala tinggi dan impersonal dicirikan oleh bentuk kekuasaan yang birokratis dan professional. 4. Akuntabilitas individu dalam pekerjaan dan tugas dinilai berdasarkan standar kompetensi yang diset oleh organisasi dan diurus oleh supervisor. 5. Individu menjadi diafiliasikan dengan organisasi kerja lebih didasari atas pengaturan kontrak yang dapat diakhiri ketimbang hubungan kekeluargaan atau etnis yang secara permanen.

Pada organisasi kerja modern, perbandingan beban kerja dan kedudukan adakalanya dipisahkan atas jenis kelamin dan cirri personal yang lain. Pada banyak masyarakat, wanita banyak sekali terjun dalam jenis pekerjaan rumah tangga, seperti pembantu, tukang jahit, pelayan, guru SD, perawat, sedangkan dikantor- kantor, mereka jarang ditemukan menempati jabatan jabatan tinggi professional dan kepenyeliaan (supervisor) dibandingkan pria. Juga pada pekerjaan pekerjaan yang berisiko tinggi yang menuntut kekuatan fisik yang kuat dan memakan waktu lama, pekerja pria lebih dominan ketimbang wanita. Pada sisi lain ditemukan juga system pemisahan kerja berdasarkan kelompok etnis, imigran, dan orang desa, dan hal itu kerap kali berimplikasi pada struktur upah atau gaji. Organisasi kerja modern , karenanya sangat kompleks dan menempatkan begitu banyak control selama aktivitas kerja dan menentukan tugas kerja alamiah berdasarkan syarat- syarat yang ditetapkan oleh perusahaan atau pemiliknya, bukan atas kebutuhan dasar pekerjanya. Pekerja kadang- kadang ditempatkan pada posisi antagonis terhadap pekerja yang lain dan mereka tidak memiliki control selama aktivitas kerjanya. Beberapa kelompok social ada dibawah hierarki, sementara kelompok yang lain berada di tengah atau sebagai pimpinan puncak. Secara organisasi, sekolah memiliki hierarki dan memiliki birokrasi dengan control yang relative ketat pada tingkat dewan pendidikan, administrator, director, kepala sekolah, dan lain-lain. Guru melaksanakan sekaligus mengawasi proses kerjanya yang prosedurnya telah dibuat sedemikian rupa dan terorganisasi menurut tingkatannya. Proses kerja guru dan murid telah ditata sedemikian rupa agar implementasinya pada aktivitas sekolah tidak dicampuri oleh banyak pihak, apalagi mengarah pada hal- hal yang bersifat non akademik. Desain dan perencanaan serta implementasi kurikulum, paedagogik, kursus- kursus, seleksi buku teks, dan metode evaluasi diset oleh proses administrasi tertentu dengan atau tanpa dibantu oleh tenaga ahli.

E. Posisi Pendidikan Pada Era Ekonomi Modern Memperkuat posisi pendidikan terus dugelindingkan meskipun secara umum pendidikan kita masih tetap dider permasalahan. Penguatan itu menjadi sebuah keharusan ketika modernitas di bidang ekonomi berlangsung sangat luas dan cepat. Analisis atas kinerja pendidikan di Indonesia, sejak dahulu hingga sekarang, membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Kelemahan-kelemahan mendasar itu dideskripsikan sebagai berikut : 1. Bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi. Kelemahan itu mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substantive, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrument pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan dsbnya tidak hanya substansinya yang belum komprehensif, melainkan criteria keberhasilan untuk masing-masingnya belum ditetapkan secara taat asas. Kemampuan pendekatan proses beroperasi menuju capaian substantive kerap kali mengalami kendala karena berbenturan dengan prilaku birokrasi, apatisme, disiplin rendah, biaya yang kurang, instrument prilaku yang tidak valid, sifat kompetitif yang belum tumbuh, dan dukungan masyarakat yang rendah. 2. Masalah pendanaan. Komitmen pemerintah Indonesia mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai oleh masyarakat, meskipun sangat mungkin baru sampai seperti itulah kemampuan yang ada. Telah muncul tuntutan dari semua lini, baik ilmuan, praktisi pendidikan, eksekutif, pimpinan partai politik, politisi, dan sebagainya untuk mendongkrak anggaran pendidikan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam rangka pelaksanaan pendidikan di Indonesia, anggaran pendidikan itu diperoleh dari masyarakat dan pemerintah. 3. Masalah Kultural Masalah cultural yang dimaksudkan disini bermakna bahwa reformasi pendidikan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di lembaga itu. Reformasi pendidikan akan diterima secara antusias, apatis, atau ditolak oleh khalayak. Kelompok antusias memandang usaha reformasi sebagai langkah awal menuju kemajuan yang bermakna. Kelompok apatis adalah orang-orang yang memandang, ada atau tidak ada reformasi, dia tidak peduli atau dia akan tetap begitu. Kelompok yang menolak adalah mereka yang memandang bahwa tradisi yang ada harus dipertahankan alias kelompok status quo. Ketiga kelompok itu akan tetap ada pada reformasi manapun, meskipun jumlah untuk tiap kelompok dapat saja berubah melalui sosialisasi, pelibatan tugas, pengkondisian, insentif financial, disiplin administrasi, atau bahkan pemaksaan. 4. Faktor geografis Bagi perguruan tinggi di luar jawa. Factor ini menjadi kendala dilihat dari aspek mobilitas tenaga edukatif, kecendruangan memilih program studi atau jurusan oleh mahasiswa, kerjasama kelembagaan, kedekatan dengan sumber informasi, jaringan teknologi informasi, dan sebagainya. Factor geografis ini pula yang menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan

pendidikan yang bermutu karena peserta didik menyebar mulai dari kota metropolitan Jakarta hingga lembah baliem di Irian atau suku Kubu di Jambi

MENGURANGI PENGANGGURAN TERDIDIK

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia kembali memunculkan satu problem yang signifikan, yaitu besarnya angka pengangguran terdidik. Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik. Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan pula, jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen. Pendikan dan Lapangan Kerja Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja, sehingga lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja. Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan. Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.

Pengangguran terdidik harus dikurangi dari dua sisi,yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak. Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Prosesnya selama ini adalah product oriented, yaitu dunia pendidikan lebih fokus pada upaya menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun kualitas dan karakteristik seperti apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja? Oleh karena itu, labour market oriented, saat ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik. Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.

Kewirausahaan Mengurangi pengangguran pada umumnya, dan pengangguran terdidik pada khususnya, mengingatkan kita pada harapan akan tumbuhnya enterpreneurship atau kewirausahaan. Namun, seperti tercatat dalam Sensus Ketenagakerjaan Nasional 2007, hanya 5 persen dari jumlah angkatan kerja kita yang berminat pada kewirausahaan. Selebihnya, mayoritas berlomba-lomba menjadi karyawan (bekerja pada pihak lain untuk mendapatkan upah atau gaji). Padahal ada harapan kewirausahaan sebagai langkah untuk pemberdayaan angkatan kerja menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri dan orang lain. Kewirausahaan juga diragukan dapat menjadi solusi apabila tidak ada dukungan dari sistem ekonomi pasar yang lebih besar. Usaha-usaha mandiri apalagi yang kecil, bisa mati apabila tidak ada industri besar dan investor besar yang menopang. Sebetulnya, di sini peran dan tantangan Pemerintah signifikan, yaitu menciptakan iklim yang kondusif untuk menarik investor sehingga kewirausahaan dalam negeri dapat hidup.

Pendidikan Profesional Sejalan dengan perubahan kebijakan pendidikan berdasarkan pasar kerja (labour market based) seperti dijelaskan di atas, pendidikan profesional dapat menjadi langkah yang tepat. Bidang-bidang usaha membutuhkan tenaga-tenaga profesional. Perbankan membutuhkan tenaga profesional perbankan yang handal, telekomunikasi membutuhkan tenaga profesional yang handal, begitu pula bidang lainnya. Pelaku usaha tahu lebih tepat bagaimana karakter dan kualifikasi yang dibutuhkan. Pelaku usaha ini, apalagi korporat besar, dapat menyelenggarakan lembaga pendidikan profesional sesuai bidang dan kebutuhan masing-masing. Menyebut beberapa contoh, seperti Institut Bank Indonesia, Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, adalah beberapa contohnya. Bila korporat-korporat besar di berbagai bidang-bidang kerja dapat menyelenggarakan lebih banyak program pendidikan seperti itu, tentunya akan ada penyerapan angkatan belajar ke lembaga pendidikan dengan output berdasarkan kebutuhan pasar kerja. Pemerintah dapat mendukung dengan memberikan insentif-insentif yang relevan. Perusahaan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) dan para filantrofi lainnya dapat merespons pula dengan program bantuan dan beasiswa, yang pastinya juga dibutuhkan. Dengan demikian, diharapkan pengangguran terdidik dapat dikurangi, dan yang ada adalah angkatan belajar yang terserap ke lembaga pendidikan profesional yang tahu persis kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja. Kepastian SDM profesional dapat menarik kepercayaan investor untuk menanamkan modal, yang artinya adalah membuka lapangan pekerjaan pula, sebagai salah satu mata rantai solusi pengurangan pengangguran.

Anda mungkin juga menyukai