Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN

Pengertian Enzim
Enzim adalah biomolekul yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Hampir semua enzim merupakan protein. Pada reaksi yang dikatalisasi oleh enzim, molekul awal reaksi disebut sebagai substrat, dan enzim mengubah molekul tersebut menjadi molekul-molekul yang berbeda, disebut produk. Hampir semua proses biologis sel memerlukan enzim agar dapat berlangsung dengan cukup cepat. Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi dan dengan demikian mempercepat proses reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa. Reaksi-reaksi yang berlangsung didalam tubuh makhluk hidup terjadi pada suhu 27C (suhu ruang) misalnya pada tumbuhan atau pada suhu 39C, misalnya didalam tubuh hewan beradarah panas. Pada suhu tersebut proses oksidasi akan berjalan lambat. Agar reaksi-reaksi berjalan lebih cepat diperlukan katalisator. Katalisator adalah zat yang dapat mempercepat reaksi tetapi zat itu sendiri tidak ikut bereaksi. Katalisator didalam sel makhluk hidup disebut Biokatalisator atau enzim. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 _ 1011 kali lebih cepat daripada apabila reaksi tersebut dilakukan tanpa katalis. Hampir setiap reaksi kimia dalam sistem biologis dikatalis oleh enzim. Sintesis enzim terjadi di dalam sel dan sebagian besar enzim dapat diekstraksi dari sel tanpa merusak fungsinya. Bahan tempat enzim bekerja disebut substrat. Bahan baru atau materi yang dibentuk sebagai hasil reaksi disebut produk.

Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang meningkatkan aktivitas enzim. Banyak obat dan racun adalah inihibitor enzim. Berdasarkan strukturnya, enzim terdiri atas komponen yang disebut apoenzim yang berupa protein dan komponen lain yang disebut gugus prostetik yang berupa nonprotein. Gugus prostetik dibedakan menjadi koenzim dan kofaktor. Koenzim berupa gugus organik yang pada umumnya merupakan vitamin, seperti vitamin B1, B2, NAD+ (Nicotinamide Adenine Dinucleotide). Kofaktor berupa gugus anorganik yang biasanya berupa ion-ion logam, seperti Cu2+, Mg2+, dan Fe2+. Beberapa jenis vitamin seperti kelompok vitamin B merupakan koenzim. Jadi, enzim yang utuh tersusun atas bagian protein yang aktif yang disebut apoenzim dan koenzim, yang bersatu dan kemudian disebut holoenzim.

Enzim yang memerlukan ion logam sebagai kofaktornya dinamakan metaloenzim.. Ion logam ini berfungsi untuk menjadi pusat katalis primer, menjadi tempat untuk mengikat substrat, dan sebagai stabilisator supaya enzim tetap aktif. Tabel 1. Beberapa enzim yang mengandung ion logam sebagai kofaktornya Ion logam Zn 2+ Enzim Alkohol dehidrogenase Karbonat anhidrasa Karboksipeptidasa Mg2+ Fosfohidrolasa Fosfotransferasa Fe2+ / Fe3+ Sitokrom Peroksida Katalasa Feredoksin Cu2+/ Cu+ Tirosina Sitokrom oksidasa K+ Na+ Piruvat kinasa (juga memerlukan Mg2+) Membrane sel ATPasa ( juga memerlukan K + dan Mg2+)

Penggolongan (Klasifikasi) enzim 1. Hidrolase Hidrolase merupakan enzim-enzim yang menguraikan suatu zat dengan pertolongan air. Hidrolase dibagi atas kelompok kecil berdasarkan substratnya yaitu : A. Karbohidrase, yaitu enzim-enzim yang menguraikan golongan karbohidrat. Kelompok ini masih dipecah lagi menurut karbohidrat yang diuraikannya, misal :

a. Amilase, yaitu enzim yang menguraikan amilum (suatu polisakarida) menjadi maltosa 9 suatu disakarida). 2 (C6H10O5)n + n H2O
amilum maltosa

n C12H22O11
amilase

b. Maltase, yaitu enzim yang menguraikan maltosa menjadi glukosa C12H22O11 + H20
maltosa glukosa

2 C6H12O6
maltase

Sukrase, yaitu enzim yang mengubah sukrosa (gula tebu) menjadi glukosa dan fruktosa. Laktase, yaitu enzim yang mengubah laktase menjadi glukosa dan galaktosa. Selulase, enzim yang menguraikan selulosa ( suatu polisakarida) menjadi selobiosa ( suatu disakarida). Pektinase, yaitu enzim yang menguraikan pektin menjadi asam-pektin. c. Esterase, yaitu enzim-enzim yang memecah golongan ester. Contoh-contohnya : Lipase, yaitu enzim yang menguraikan lemak menjadi gliserol dan asam lemak. Fosfatase, yaitu enzim yang menguraikan suatu ester hingga terlepas asam fosfat. d. Proteinase atau Protease, yaitu enzim enzim yang menguraikan golongan protein. Contoh-contohnya: Peptidase, yaitu enzim yang menguraikan peptida menjadi asam amino. Gelatinase, yaitu enzim yang menguraikan gelatin. Renin, yaitu enzim yang menguraikan kasein dari susu. e. Oksidase dan reduktase , yaitu enzime yang menolong dalam proses oksidasi dan reduksi. Enzim Oksidase dibagi lagi menjadi;

f. Dehidrogenase : enzim ini memegang peranan penting dalam mengubah zat-zat organik menjadi hasil-hasil oksidasi. g. Katalase : enzim yang menguraikan hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. h. Desmolase , yaitu enzim-enzim yang memutuskan ikatan-ikatan C-C, C-N dan beberapa ikatan lainnya. Enzim Desmolase dibagi lagi menjadi : Karboksilase : yaitu enzim yang mengubah asam piruyat menjadi asetaldehida. Transaminase : yaitu enzim yang memindahkan gugusan amine dari suatu asam amino ke suatu asam organik sehingga yang terakhir ini berubah menjadi suatu asam amino. Enzim juga dapat dibedakan menjadi eksoenzim dan endoenzim berdasarkan tempat kerjanya, ditinjau dari sel yang membentuknya.Eksoenzim ialah enzim yang aktivitasnya diluar sel. Endoenzim ialah enzim yang aktivitasnya didalam sel. Selain eksoenzim dan endoenzim, dikenal juga enzim konstitutif dan enzim induktif. Enzim konstitutif ialah enzim yang dibentuk terus-menerus oleh sel tanpa peduli apakah substratnya ada atau tidak. Enzim induktif (enzim adaptif) ialah enzim yang dibentuk karena adanya rangsangan substrat atau senyawa tertentu yang lain. Misalnya pembentukan enzim beta-galaktosida pada escherichia coli yang diinduksi oleh laktosa sebagai substratnya. Tetapi ada senyawa lain juga yang dapat menginduksi enzim tersebut walaupun tidak merupakan substarnya, yaitu melibiosa. Tanpa adanya laktosa atau melibiosa, maka enzim beta-galaktosidasa tidak disintesis, tetapi sintesisnya akan dimulai bila ditambahkan laktosa atau melibiosa. Enzim bekerja dengan dua cara, yaitu menurut Teori Kunci-Gembok (Lock and Key Theory) dan Teori Kecocokan Induksi (Induced Fit Theory). Menurut teori kuncigembok, terjadinya reaksi antara substrat dengan enzim karena adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan situs aktif (active site) dari enzim, sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat berperan sebagai kunci masuk ke dalam situs aktif, yang berperan sebagai gembok, sehingga terjadi kompleks enzim-substrat. Pada saat ikatan kompleks enzim-substrat terputus, produk hasil reaksi akan dilepas dan enzim akan kembali pada konfigurasi semula. Berbeda dengan teori kunci gembok, menurut teori kecocokan induksi reaksi antara enzim dengan substrat berlangsung karena adanya

induksi substrat terhadap situs aktif enzim sedemikian rupa sehingga keduanya merupakan struktur yang komplemen atau saling melengkapi. Menurut teori ini situs aktif tidak bersifat kaku, tetapi lebih fleksibel. Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel tubuh. Sekarang, kira-kira lebih dari 2.000 enzim telah teridentifikasi, yang masing-masing berfungsi sebagai katalisator reaksi kimia dalam sistem hidup. Sintesis enzim terjadi di dalam sel dan sebagian besar enzim dapat diperoleh dengan ekstraksi dari jaringan tanpa merusak fungsinya. Koenzim Dalam peranannya ,enzim sering memerlukan senyawa organik tertentu selain protein. Ditinjau dari fungsinya, dikenal adanya koenzim yang berperan sebagai pemindah hidrogen, pemindah elektron, pemindah gugusan kimia tertentu (group transferring) dan koenzim dari isomerasa dan liasa. Contoh-contoh koenzim dan peranannya No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 . 11 . 12 . 13 . Kode NAD NADP FMN FAD Ko-Q sit Fd ATP PAPS UDP Biotin Ko-A TPP Singkatan dari Nikotinamida-adenina dinukleotida Nikotinamida-adenina dinukleotida fosfat Flavin mononukleotida Flavin-adenina dinukleotida Koenzim Q atau Quinon Sitokrom Ferredoksin Adenosina trifosfat Fosfoadenil sulfat Uridina difosfat Biotin Koenzim A Tiamin pirofosfat Yang dipindahkan Hidrogen Hidrogen Hidrogen Hidrogen Hidrogen Elektron Elektron Gugus fosfat Gugus sulfat Gula Karboksil (CO2) Asetil C2-aldehida

Susunan Enzim
Secara kimia, enzim tersusun atas dua bagian, yaitu bagian protein dan bagian bukan protein. 1. Bagian protein disebut apoenzim. Bagian protein bersifat labil (mudah berubah), misalnya terpengaruh oleh suhu dan keasaman. 2. Bagian yang bukan protein disebut gugus prostetik, yaitu gugus yang aktif. Bagian gugus prostetik ini dapat berupa logam besi, tembaga, seng (kofaktor) atau zat organik yang mengandung logam (koenzim). Ada pula enzim yang memiliki bagian prostetik yang tersusun atas vitamin B yang merupakan bagian aktif. Kemudian, gabungan apoenzim dan kofaktornya sehingga enzim menjadi aktif disebut holoenzim Pada keadaan abnormal atau aktivitas berlebihan suatu enzim dapat menimbulkan penyakit. Analisis enzim dalam serum dapat digunakan untuk diagnosis penyakit, seperti: infarktus otot jantung, prostat, hepatitis, dan lain-lain. Ditemukannya suatu enzim dalam darah dengan tingkat berlebihan sering kali menunjukkan adanya kerusakan sel di dalam organ yang sakit. Penyakit tertentu seperti hepatitis terinfeksi menyebabkan jaringan hati mengalami kerusakan akibat infeksi, sehingga terjadi pelepasan enzim hati ke dalam darah.

Aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu


Dalam batas-batas temperatur tertentu, kecepatan reaksi yang dikatalis enzim naik bila temperatur naik dan akhirnya enzim kehilangan semua aktivitas jika protein menjadi rusak akibat panas. Enzim bekerja optimal pada suhu 25-37C dan akan rusak atau mengalami denaturasi pada suhu tinggi. Biasanya enzim bersifat non-aktif atau reaksi menjadi lambat pada suhu rendah (0C atau dibawahnya), tetapi tidak rusak. Jika suhunya kembali normal enzim mampu bekerja kembali. Sementara pada suhu tinggi, enzim rusak dan tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini dikarenakan struktur protein yang menentukan aktiuvitas enzim, maka jika struktur ini terganggu aktivitas akan berubah. Protein-protein enzim bila dipanaskan pada suhu tinggi biasanya irreversible karena gaya-gaya ikatan yang penting rusak akibat meningkatnya getaran termal komponen atom-atomnya, yang merusak struktur tiga dimensinya.

Beberapa enzim memperlihatkan penurunan aktivitas secara tajam dalam kisaran sangat kecil setelah melewati titik mulainya denaturasi. Ini dikatakan sebagai pelelehan protein, dengan hilangnya gaya-gaya ikatan lemah yang penting secara tepat, analog dengan titik leleh dari senyawa organik sederhana. Pada suhu yang lebih rendah gaya-gaya lemah antara berbagai bagian dari subunit tunggal menjadi lebiih besar daripada gaya-gaya antar subunit.

Aktivitas enzim dipengaruhi oleh konsentrasi


Konsentrasi atau kadar enzim yang bereaksi sangat mempengaruhi aktivitas enzim yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai kecepatan reaksi (v). Naiknya kecepatan reaksi seiring dengan penambahan konsentrasi ini dapat dijelaskan menurut teori Kinetika atau Collison Theory, untuk reaksi kimia memasukkan 2 konsep penting, yaitu: 1. Untuk bereaksi, molekul-molekul harus saling membentur (yaitu dalam jarak pembentukan ikatan satunsama lain). 2. Untuk suatu benturan yang berhasil (yaitu menghasilkan suatu reaksi), molekulmolekul yang bereaksi harus mempunyai cukup energi untuk mengatasi sawar energi reaksi. Untuk berlangsungnya suatu reaksi harus terjadi benturan antar molekul-molekul, yaitu dalam jarak pembentukan ikatan satu sama lain, namum apabila jarak antar molekul ternyata sangan jauh seperti yang terjadi pada enzim yang memiliki konsentrasi rendah, maka benturan antar molekulnya pasti terjadi amat lambat dan pasti pula mempengaruhi besarnya laju reaksi dan tentunya berpengaruh pada aktivitas enzim yang bersangkutan. Tetapi pada enzim yang memiliki konsentrasi tinggi, jarak antar molekulnya amat rapat sehingga frekuensi benturannya tinggi dan energi yang dimiliki 8

oleh masing-masing molekulnya cukup sehingga kecepatan reaksi memiliki nilai yang tinggi dan reaksinya berlangsung lebih cepat. Jadi jumlah molekul yang ada harus mempunyai energi yang cukup untuk bereaksi dan frekuensi benturannya tinggi agar dapat terjadi reaksi yang maksimal.

Tata Nama Enzim


Pada saat baru beberapa enzim yang dikenal, penamaan enzim dilakukan tanpa memperhatikan acuan tertentu seperti emulsin, ptyalin. Penamaan tersebut tidak memberikan informasi yang jelas. Setelah makin banyak enzim ditemukan, enzimenzim tersebut diidentifikasi dengan penambahan akhiran ase pada nama substrat yang dikatalisisnya. Sebagai contoh misalnya enzim yang mengkatalisis pemecahan lipid (hidrolisis lipid = lipos) disebut lipase; Enzim yang menggunakan pati (amilum = amylos) sebagai substratnya disebut amilase. Seiring dengan perkembangan zaman, dimana makin banyak enzim yang ditemukan, para ahli biokimia berpendapat penamaan tersebut tidak memadai, ketika ditemukan berbagai enzim yang mengatalisis reaksi yang berbeda terhadap substrat yang sama. Misalnya ada beberapa enzim yang menggunakan glukosa 6 fosfat sebagai substrat yaitu fosfo heksosa isomerase, glukosa 6 fosfatase, glukosa 6 fosfat dehidrogenase dan fosfoglukomutase. Kenyataan tersebut dapat membingungkan, karena memberi nama yang sama pada enzim-enzim yang berbeda. Pada perkembangan berikutnya, akhiran -ase tetap digunakan, tetapi lebih ditekankan pada tipe reaksi yang dikatalisisnya (digunakan sebagai akhiran jenis reaksi yang dikatalisisnya). Sebagai contoh, enzim dehidrogenase mengatalisis pengeluaran hidrogen, sementara enzim transferase mengatalisis reaksi pemindahan gugus. Dengan semakin banyaknya enzim yang ditemukan, ketidakjelasan juga semakin tak terelakkan, dan kerap kali tidak jelas enzim mana yang tengah dibicarakan oleh seorang penyelidik. Untuk mengatasi permasalahan ini, International Union of Biochemistry (IUB) telah menyusun sebuah sistem yang kompleks tetapi tidak meragukan bagi peristilahan enzim yang didasarkan pada mekanisme reaksi, tetapi nama yang lebih pendek dan sudah sering digunakan sebelumnya tetap digunakan dalam buku ajar dan laboratorium klinik.

Sistem penamaan enzim menurut IUB berdasarkan 4 kaidah pokok, yaitu: 1. Enzim dibagi menjadi enam klas, berdasarkan jenis reaksi yang dikatalisisnya, masing-masing di bagi lagi menjadi 4-13 subklas. 2. Nama enzim terdiri atas 2 bagian. bagian pertama menunjukkan substrat, sedangkan bagian kedua menunjukkan tipe reaksi yang dikatalisisnya, ditambah akhiran ase. Contoh: Alkohol: NAD oksidoreduktase = alkohol dehidrogenase yang mengkatalisis di bawah ini: Alkohol + NAD+ -------+ aldehid atau keton + NADH + H+ Sebagai substrat enzim tersebut adalah alkohol, NAD+ bertindak sebagai kosubstrat, sedangkan oksidoreduktase menunjukkan bahwa enzim tersebut mengkatalisis reaksi oksidasi-reduksi. 3. Apabila diperlukan informasi tambahan, untuk menjelaskan reaksi, dapat dituliskan dalam tanda kurung pada bagian akhir. Sebagai contoh misalnya, enzim yang mengatalisis reaksi L-malat + NAD+ piruvat + CO2 + NADH + H + diberi nama 1.1.1.37 L-malat: NAD+ oksidoreduktase (dekarboksilasi). Enzim yang dimaksud mengkatalisis reaksi oksidasi reduksi yang disertai dengan pelepasan CO2 (dekarboksilasi). 4. Setiap enzim mempunyai nomor kode (EC) yang terdiri dari 4 nomor. Nomor pertama menunjukkan klas enzim yang bersangkutan (digit pertama), subklas (digit kedua), dan subsubklas (digit ketiga). Digit keempat adalah untuk enzim spesifik. Sebagai contoh misalnya enzim dengan EC 2.7.1.1. Enzim tersebut termasuk ke dalam klas 2 (transferase: lihat pembagian klas enzim), subklas 7 (transfer fosfat), subsubklas 1 (alkohol merupakan aseptor fosfat). Digit terakhir menunjukkan enzim yang bersangkutan, yaitu heksokinase atau ATP: D-heksosa 6 fosfotrasferase, sebuah enzim yang mengatalisis pemindahan fosfat dari ATP ke gugus hidroksil pada atom karbon keenam molekul glukosa.

10

BAB II TUJUAN PERCOBAAN

11

BAB III BAHAN DAN CARA


3.1 pengaruh temperatur terhadap aktivitas Enzim Amilase
Reagen dan bahan : Air liur, sumber amilum Larutan pati 0,4 mg/ml Larutan iodiom Prosedur : Tampung 2 ml air liur dalam tabung reaksi yang bersih dan kering Encerkan 10 X dengan air suling Siapkan 6 pasang tabung reaksi yang bersih dan kering tiap pasang tabung diberi tanda B untuk blanko, dan U untuk uji Pipetkan ke dalam tiap-tiap tabung : Larutan Larutan pati Tabung B 0,4 mL Diamkan 5 menit pada suhu masing-masing Air liur Campur baik-baik, diamkan 1 menit Larutan iodum (untuk 0,4 mL suhu 60 dan 1000 C dilakukan di luar pengagas) Air suling 9,2 mL 9 mL Segera baca serapan (A)pada panjang gelombang 680 nm. Hitung selisih serapan (A) antara tabung B (A pada t = 0 menit) dengan tabung U dari tiap suhu Keterangan : Pasangan pertama, ditempatkan pada bejana berisi es (00 C) Pasangan kedua ditempatkan dalam bejana berisi air yang suhunya dipertahankan 250C Pasangan ketiga di rak tabung reaksi, pada suhu ruang Tabung U 0,4 mL 0,2 mL 0,4 mL

12

Pasangan keempat ditempatkan dalam bejana berisi air yang suhunya dipertahankan 370 C Pasangan kelima ditempatkan dalam bejana berisi air yang suhunya dipertahankan 600 Pasangan keenam ditempatkan dalam bejana berisi air yang suhunya dipertahankan 600 C

3. 2. pengaruh kadar enzim terhadap aktivitas enzim


Tujuan : Membutikan bahwa kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus dengan konsentrasi enzim Reagen dan bahan : Air liur sebagai sember amilase tampung 2 mL air liur dalam tabung reaksi yang bersih dan kering Larutan pati 0,4 mL/dl Larutan iodium Prosedur : Encerkan air liur 100X, 200X, 300X, 400X dan 500X dengan air suling. Siapkan 5 pasang tabung reaksi yang bersih dan kering. Tiap pasangan tabung diberi tanda B untuk blanko dan U untuk uji.

Larutan Larutan pati

Tabung B Tabung U 0,4 mL 0,4 mL Inkubasi pada suhu 370C selama 5 menit Air liur diencerkan 0,2 mL Campurkan baik-baik, inkubasi 1 menit Larutan iodium 0,4 mL 0,4 mL Air suling 9,2 ml 9 mL

13

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil percobaan

14

4.1.1 Pengaruh Temperatur terhadap aktivitas enzim amylase Suhu 00c 250c Suhu ruang 370 C 600C 1000C AB 0,162 0,239 0,210 0,177 0,217 0,158 0,013 0,092 0,102 0,080 0,159 0,154 AU A/menit (v) 0,149 0,147 0,108 0,097 0,058 0,004

Peng aruh Tem peratur Terhadap AktivitasEnzim Am ilas e

0,2
K ecepatan Reaksi

0,1 5 0,1 0,0 5 0 0 25 suhu ruang


S uhu

37

60

100

4.1.2 Pengaruh kadar Enzim terhadap aktivitas Enzim Amilase Pengenceran Enzim 500X 400X 300X 200X AB 0.168 0,160 0,166 0,156 AU 0,123 0,117 0,098 0,066 A/menit (v) 0,045 0,043 0,068 0,09

15

100X

0,181

0,0208

0,153

Peng aruh K adar EnzimTerhadap AktivitasEnzim

0,2
K ecepatan Reaksi

0,15 0,1 0,05 0 500 X 400 X 300 X 200 X 100 X


P eng enceran Enzim

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


16

5.1 Pengaruh temperatur terhadap enzim amilase


Pada percobaan untuk mengetahui pengaruh terperatur terhadap aktivitas enzim amilase digunakan larutan pati yang dibagi dalam 2 tabung yakni tabung blanko dan uji yang kemudian didiamkan pada suhu yang bervariasi (0 0C, 250C, pada suhu ruang, 370C, 600C dan 1000C) selama 5 menit, dengan tujuan agar suhu larutan pati benar-benar mencapai suhu yang diingainkan . Pada tabung uji ditambahkan air liur 0,2 mL dan dicampur dengan baik lalu didiamkan 1 menit dengan tujuan agar larutan pati dapat bereaksi dengan air liur yang ditambahkan. Kemudian ditambahkan iodium pada kedua tabung. Selanjutnya pada tabung uji ditambahkan air suling sebanyak 9 mL, dan pada tabung blanko ditambah air suling sebanyak 9,2 mL. Setelah larutan pada kedua tabung tercampur sempurna, larutan tersebut diukur dengan spektrofotometer. Air liur dipilih digunakan pada percobaan ini karena air liur mengandung enzim amilase yang merupakan enzim berfungsi untuk memecahkan ikatan glikosik (ikatan khas yang terdapat pada karbohidrat baik monosakarida, disakarida, dan polisakarida) yang dimiliki oleh polisakarida, dengan perombakan oleh amilase suatu bentuk polisakarida dapat dirubah menjadi bentuk intermeditnya yaitu disakarida. Penambahan iodium disini bertujuan agar larutan air liur dan pati membentuk suatu kompleks berwarna yang sebanding dengan jumlah atau konsentrasi larutan sehingga dapat dibaca pada alat spektrofotometer. Senyawa berwarna ini akan mneyerap radiasi elektromagnetik dalam cahaya tampak dengan panjang gelombang antara 380-780 mm. Spektrofotometer digunakan untuk mengukur seberapa banyak pati yang bereaksi dengan enzim amilase dan juga karena panjang gelombang 680 nm masuk dalam rentang warna komplementer spektrofotometer visibel 400-800 nm. Pada tabung blanko maupun uji yang memberikan hasil absorbansi yang berbeda, dimana tabung blanko memiliki warna yang lebih gelap yang absorbansinya lebih besar, sedangkan pada tabung uji yang warna nya lebih terang, absorbansinya lebih kecil. Dari data ini maka bisa dihitung berapa kecepatan enzim amilase yakni dari selisih absorbansi blanko dengan uji dibagi dengan waktu, dalam hal ini 1 menit. Pada percobaan pertama digunakan tabung uji dan blanko yang telah diinkubasikan pada suhu 0 C. Dari percobaan ini diperoleh hasil serapan untuk tabung blanko (AB)

17

yakni sebesar 0.162 dan hasil serapan tabung uji (AU) sebesar 0.013. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.149 A/ menit. Pada percobaan kedua digunakan tabung uji dan blanko yang telah diinkubasikan pada suhu 25 C. Dari percobaan ini diperoleh hasil serapan untuk tabung blanko (AB) yakni sebesar 0.239 dan hasil serapan tabung uji (AU) sebesar 0.092. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.147 A/ menit. Pada percobaan ketiga digunakan tabung uji dan blanko yang diinkubasikan pada suhu ruang. Dari percobaan ini diperoleh hasil serapan untuk tabung blanko (AB) yakni sebesar 0.210 dan hasil serapan tabung uji (AU) sebesar 0.102. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.108 A/ menit. Pada percobaan keempat digunakan tabung uji dan blanko yang diinkubasikan pada suhu 37 C. Dari percobaan ini diperoleh hasil serapan untuk tabung blanko (AB) yakni sebesar 0.177 dan hasil serapan tabung uji (AU) sebesar 0.080. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.097 A/ menit. Pada percobaan kelima digunakan tabung uji dan blanko yang diinkubasikan pada suhu 60 C. Dari percobaan ini diperoleh hasil serapan untuk tabung blanko (AB) yakni sebesar 0.217 dan hasil serapan tabung uji (AU) sebesar 0.159. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.058 A/ menit Pada percobaan keenam digunakan tabung uji dan blanko yang diinkubasikan pada suhu 100 C. Dari percobaan ini diperoleh hasil serapan untuk tabung blanko (AB) yakni sebesar 0.158 dan hasil serapan tabung uji (AU) sebesar 0.154. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.004 A/ menit. Dari data diperoleh, enzim amilase pada suhu 0 C dapat bekerja efektif, kemudian pada suhu 25 C kerja enzim menurun, pada suhu ruang kerja enzim menurun, pada suhu 37 C kerja enzim menurun, pada suhu 60 C kerja enzim menurun, sampai pada suhu 100 C kerja enzim juga menurun. Dari hasil praktikum yang kami peroleh, dapat disimpulkan bahwa hasil kami tidak sesuai dengan teori yang ada. Secara teori, seharusnya pada percobaan ini enzim amilase bekerja secara optimum pada suhu 37 C, hal ini disebabkan karena enzim yang digunakan adalah enzim amilase yang bekerja optimal pada suhu tubuh manusia dan pada suhu inilah enzim tersebut dapat menjalankan fungsinya mengubah pati menjadi maltosa dengan baik. Suhu optimum yaitu suhu yang paling tepat bagi suatu reaksi yang menggunakan enzim tertentu. Setiap enzim memiliki suhu optimum tertentu yang berbeda-beda satu sama lain. Pada umumnya,

18

enzim mempunyai rentang suhu optimum 25-38 C. Dapat juga dikatakan bahwa secara umum enzim bekerja secara optimum pada temperatur sel atau di atas temperatur sel dimana enzim itu berada. Suhu optimal enzim juga bergantung pada lamanya pengukuran kadar yang digunakan untuk menentukannya. Semakin lama suatu enzim dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil, maka semakin besar kemungkinan enzim mengalami denaturasi. Suhu rendah yang mendekati titik beku (misal pada suhu 0 C) biasanya tidak merusak enzim, sehingga masih ada aktivitas enzim atau enzim dapat bekerja. Enzim tidak aktif pada suhu dibawah 0 C namun bila kembali pada suhu normal atau pada suhu optimumnya enzim dapat bekerja kembali. Pada suhu dimana enzim masih aktif, kenaikan suhu 10 C menyebabkan kecepatan reaksi enzimatis, bertambah 2x kali lebih besar. Pada umumnya, semakin tinggi suhu, semakin banyak enzim yang bekerja dalam reaksi sehingga semakin banyak terbentuk kompleks enzim-substrat. Hal ini menyebabkan amilum yang berikatan dengan iodium semakin sedikit sehingga terjadi penurunan derajat pewarnaan iodium dan larutan menjadi semakin terang. Jadi, reaksi akan semakin cepat terjadi sesuai dengan kenaikan suhu. Tetapi dalam kondisi tertentu, hal ini tidak berlaku karena enzim merupakan protein yang bisa mengalami proses denaturasi. Proses denaturasi adalah peristiwa perubahan konformasi alamiah menjadi bentuk tidak tentu. Pada enzim, kenaikan suhu pada saat mulai terjadi denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi dan akhirnya enzim akan rusak. Proses denaturasi ini disebabkan karena bagian aktif enzim teganggu dan konsentrasi efektif enzim menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya akan menurun. Energi kinetika molekul-molekul enzim menjadi sangat besar sehingga melampaui penghalang energi untuk memecahkan ikatan-ikatan sekunder yakni ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang lemah yang mempertahankan struktur sekunder-tersier enzim dalam keadaan aslinya atau katalitik aktif. Hal ini menyebabkan struktur sekunder dan tersier rusak diseratai penurunan aktivitas katalitik Pada sebagian besar enzim, denaturasi terjadi pada suhu diatas 60 C. Sehingga mulai pada suhu 60 C, kecepatan reaksi akan mengalami penurunan, dan akhirnya pada suhu 100 C enzim akan rusak yang berakibat kerja enzim menjadi sangat terganggu dan kecepatan reaksi menurun drastis. Pada kondisi tertentu, jika pemanasan dihentikan dan enzim didinginkan kembali, aktivitas enzim bisa kembali pulih karena denaturasi reversible. 19

Ketidaksesuaian hasil praktikum kami dengan teori yang ada, dapat disebabkan oleh beberapa faktor : Pengukuran yang kurang kuantitatif Pencampuran yang kurang homogen Larutan yang keluar dari tempat inkubasi suhu yang tidak segera ditindaklanjuti, menyebabkan suhu enzim menjadi naik-turun sehingga membuat kerja enzim tidak sesuai dengan teori yang ada. 5.2. Pengaruh kadar enzim terhadap aktivitas enzim amilase Pecobaan uji aktivitas enzin ini dilakukan untuk menunjukkan pengaruh kadar atau konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim. Pecobaan ini menggunakan pengenceran air liur 100x, 200x, 300x, 400x, dan 500x, larutan pati,larutan iodium, dan air suling. Setelah itu juga dilakukan inkubasi pati selama 5 menit pada suhu 37 C. kemudian pada tabung uji ditambahkan air liur 2 mL dan diinkubasi lagi selama 1 menit, hal ini ditujukan agar enzim amylase sudah bekerja cukup lama untuk mendegradasi pati yang ada. Selanjutnya pada kedua tabung ditambahkan iodium, dimana semakin banyak pati yang ada maka warna larutan juga semakin gelap. Setelah itu, masing-masing tabung ditambah air suling dengan ukuran untuk tabung uji ditambah 9 mL air suling, dan untuk tabung blanko ditambah 9.2 mL. Setelah ditambah air suling tersebut, kedua larutan di uji daya absorbansinya dengan spektrofotometer. Alat spektrofotometer berfungsi untuk mengukur jumlah atau kuantitas sinar yang diserap oleh suatu larutan pada panjang gelombang tertentu. Larutan pati (amilum) yang setelah ditambah iodium menghasilkan warna biru kehitaman pekat atau gelap, akan menghasilkan absorbansi yang besar. Sedangkan pada larutan yang encer atau berwarna terang akan menghasilkan absorbansi kecil. Misalnya pada air suling yang jernih akan menghasilkan absorbansi = 0. Pada proses penginkubasian pati dipilih suhu 37 C karena pada suhu tersebut, enzim dapat bekerja secara optimum. Selain itu proses penginkubasian yang dilakukan selama 5 menit ini juga dilakukan dengan tujuan agar enzim yang sudah ada bekerja secara optimal dalam memecah pati. Optimal yang dimaksudkan disini adalah pati yang sudah terdegradasi tidak terlampaui sedikit, atau juga tidak terlalu banyak. Suhu yang terlalu rendah akan mengakibatkan enzim tidak dapat bekerja dengan optimal, sedangkan padsa

20

suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan enzim terdenaturasi sehingga enzim rusak dan tidak dapat bekerja mendegradasi amilum. Larutan pati (amilum) yang digunakan dalam percobaan ini berfungsi sebagai substrat yang akan dikatalis oleh enzim. Amilum ditambah dengan air liur yang mengandung enzim amylase akan terhidrolisis sempurna manjadi maltosa karena enzim amylase akan memecah ikatan amilum menjadi maltosa. Larutan iodium disini, digunakan sebagai indikator karena iodium akan berikatan dengan amilum dan membentuk kompleks berwarna sehingga warna yang terbentuk dapat terbaca oleh spektrofotometer dan diukur absorbansinya. Iodium berikatan dengan amilum membentuk kompleks berwarna biru kehitaman karena molekul amilosa yang terdapat dalam amilum akan membentuk suatu senyawa kompleks dan molekul iod akan menyerap semua molekul amilum tersebut. Kompleks warna yang dihasilkan berbedabeda karena adanya perbedaaan konsentrasi enzim. Selanjutnya pengenceran yang dilakukan dengan penambahan air suling dalam percobaan ini dilakukan denagn tujuan untuk meratakan distribusi cahaya yang diserap dan untuk memecah terjadinya eksitasi molekul karena kehilangan energi akibat bentura dengan molekulnya sendiri dan bukan karena fluoresensi. Dengan kata lain, pengenceran dilakukan agar absorbansi dari zat tersebut dapat terbaca dalam penggunaan alat spetrofotometer. Aktivitas enzim amilase dapat ditentukan dengan mengukur hasil degrdasi amilum. Kemampuan enzim berbeda-beda walaupun konsentrasi larutan pati sama, tergantung dari konsentrasi enzim yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi enzim berarti semakin banyak kompleks enzim-substrat (E-S) yang terbentuk sehingga amilum yang berikatan dengan iodium semakin sedikit sehingga terjadi penurunan derajat pewarnaan iodium dan larutan menjadi semakin terang. Pada percobaan, dilakukan pengujian dengan membandingkan selisih antara tabung blanko dan uji pada masing-masing konsentrasi sehingga dapat diketahui kecepatan reaksinya. Pada percobaan pertama, digunakan tabung uji dan blanko dengan perlakuan pengenceran enzim 500x. Diperoleh hasil serapan tabung blanko (AB) yakni 0.168 dan hasil serapan tabung uji (AU) yakni 0.123. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.045 A/ menit. Pada percobaan kedua, digunakan tabung uji dan blanko dengan perlakuan pengenceran enzim 400x. Diperoleh hasil serapan tabung blanko (AB) yakni 0.160 dan 21

hasil serapan tabung uji (AU) yakni 0.117. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.043 A/ menit. Pada percobaan ketiga, digunakan tabung uji dan blanko dengan perlakuan pengenceran enzim 300x. Diperoleh hasil serapan tabung blanko (AB) yakni 0.166 dan hasil serapan tabung uji (AU) yakni 0.098. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.068 A/ menit. Pada percobaan keempat, digunakan tabung uji dan blanko dengan perlakuan pengenceran enzim 200x. Diperoleh hasil serapan tabung blanko (AB) yakni 0.156 dan hasil serapan tabung uji (AU) yakni 0.066. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.09 A/ menit. Pada percobaan kelima, digunakan tabung uji dan blanko dengan perlakuan pengenceran enzim 100x. Diperoleh hasil serapan tabung blanko (AB) yakni 0.181 dan hasil serapan tabung uji (AU) yakni 0.028. Maka kecepatan reaksinya adalah 0.153 A/ menit. Dari hasil praktikum yang kami dapat disimpulkan bahwa hasil praktikum kami tidak sesuai dengan teori yang ada, yang menyatakan bahwa kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi enzim. Semakin besar konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi juga akan naik karena terdapat banyak enzim yang dapat berikatan dengan substrat, maka kecepatan berikatan dari enzim semakin cepat pula karena semakin banyak pula bagian aktif dari enzim yang berikatan dengan substrat. Kesalahn pada kelompok kami ini disebabkan mungkin pengukuran yang kurang kuantitatif dan pencampuran yang kurang homogen Kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung dari pada salah satu faktor yakni konsentrasi enzim. Pada suatu konsentrasi tertentu kecepatan reaksi berbanding lurus dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Jadi semakin besar konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi enzim tersebut bertambah besar, sebaliknya jika semakin kecil konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi tersebut semakin menurun. Secara teori pada pengenceran yang kecil jumlah enzim yang terkandung dalam larutan di tabung uji, semakin banyak sehingga degradasi yang dilakukan enzim semakin banyak dan kecepatan reaksi semakin cepat karena sisi bagian aktif enzim terdapat banyak untuk bereaksi dengan substrat. Sedangkan pada pengenceran yang besar, jumlah enzim yang terkandung dalam larutan semakin saedikit, sehingga dapat diinkubasi banyak amilum yang belum terdegradasi. Hal ini membuat kecepatan reaksinya mengalami

22

penurunan, karena sisi bagian aktif enzim hanya sedikit dan tidak mencukupi untuk bereaksi dengan substrat, sehingga ada substrat yang tidak bereaksi dengan enzim. Pada percobaan dengan menggunakan pengenceran 500x, konsentrasi enzim sedikit sehingga amilum pada pati yang terdegradasi hanya sedikit. Dan ketika ditambah iodium larutan akan memberikan warna biru kehitaman pekat karena amilum yang berikatan dengan iodium banyak. Selain itu pengukuran dengan alat spektrofotometer menunjukkan arsobansi yang paling besar sehingga didapatkan selisih (A) antara blanko dan uji paling kecil. Pada percobaan dengan menggunakan penggenceran 100x, konsentrasi enzim banyak sehingga amilum pada pati yang terdegrasi semakin banyak. Dan ketika ditambah iodium, larutan akan memberikan warna yang paling terang (muda) karena amilum yang berikatan dengan iodium hanya sedikit. Selain itu pengukuran dengan alat spektrofotometer menunjukkan absorbansi paling kecil sehingga didapatkan selisih (A) antara blanko dan uji paling besar. Pada kurva pengaruh kadar enzim terhadapa aktivitas enzim, dapat terlihat bahwa semakin kecil pengenceran yang dilakukan maka kecepatan reaksi (V) juga semakin cepat. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim, maka enzim berkerja lebih optimal dan reaksi akan semakin cepat terjadi.

BAB VI

23

KESIMPULAN
I. Pengaruh Temperatur terhadap Aktivitas Enzim Amilase Kecepatan suatu reaksi enzimatik meningkat seiring dengan kenaikan suhu sampai pada batas suhu tertentu yang disebut suhu optimum. Suhu optimum pada enzim amilase 370 C. Kenaikan suhu yang terus-menerus tidak diikuti dengan kecepatan reaksi karena pada suhu tinggi, enzim akan mulai terdenaturasi sehingga terjadi penurunan aktivitas katalitiknya. II. Enzim tidak aktif pada suhu di bawah 00 C, tetapi suhu rendah yang mendekati titik beku tidak merusak enzim sehingga masih ada aktivitas enzim. Pengaruh Kadar Enzim terhadap Aktivitas Enzim Kecepatan suatu reaksi enzimatik dengan kadar substat yang sama meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi enzim. Pada pengenceran 500X, konsentasi enzim paling kecil sehingga reaksi berjalan lambat, sehingga pada pengenceran 100X, konsentasi enzim paling besar sehingga reaksi berjalan paling cepat.

DAFTAR PUSTAKA
24

Yazid, Estien. Nursanti, Lisda. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia untuk Mahasiswa Analisis. Yogyakarta: Penerbit: ANDI Hawab, H.M. 2003. Pengantar Biokimia. Malang: Penerbit Bayu Media Publishing. Toha, Abdul Hamid A. 2001. Biokimia : Metabolisme Biiomolekul. Bandung: Penerbit Alfabeta. Leftninger, Albert. L ; Thenawidjya, Maggy. 1988. Dasar dasar biokimia Jilid I . Jakarta: Penerbit Erlangga.

LAMPIRAN
25

Pengenceran 100x

Pengenceran 200x

Pengenceran 300x

Pengenceran 400x

Pengenceran 500x

26

Anda mungkin juga menyukai