Isi Kalau melihat dari riwayat kehadirannya yang begitu panjang, praktis semua warga Indonesia dibayangi oleh korupsi sejak sebelum lahir. Inti ceritanya dari dulu sampai hari nanti sebenarnya serupa, yakni menggunakan kekuasaan dan pengaruh untuk keuntungan
pribadi. Pelaku, cara, besaran, dan kecanggihannya yang terus berganti dan berkembang sesuai zaman. Meski demikian, rasanya perhatian masyarakat luas tidak pernah sebesar seperti terlihat pada satu dasawarsa terakhir ini. Dalam hal ini kalangan cendekiawan dan seniman sudah jauh lebih dulu tergugah untuk melihatnya sebagai sesuatu yang salah dan harus dilawan. Dalam International Anti Corruption Conference IX di Durban Afrika Selatan tahun 1999, disimpulkan sebuah rekomendasi yang menarik untuk disorot, yaitu seni anti korupsi. Strategi ini direkomendasikan sebagai upaya penyadaran massal kepada publik untuk bersama-sama melawan korupsi melalui medium seni. Hal ini cocok dengan modus korupsi pejabat kita. Korupsi dilakukan secara masal, maka kita lawan dengan massal pula. Sebenarnya perbincangan mengenai seni anti korupsi ini bukan hal baru, tapi tetap perlu diperbincangkan untuk selalu menyegarkan ingatan kita bahwa seni sangat diharapkan perannya menghabisi korupsi. Seni konon kabarnya memiliki bahasa universal dan tidak hanya bisa menyentuh rasa tapi juga logika. Itulah kelebihan medium seni sebagai media propaganda anti korupsi. Kemudian, seni juga bisa dikonsumsi secara massal oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini berbeda dengan tulisan-tulisan ilmiah di media massa atau aksi-aksi mahasiswa anti korupsi. Kita semua masih ingat bagaimana Bento-nya Iwan Fals bisa menggelorakan kesadaran banyak orang tentang korupnya orde baru. Seni anti korupsi telah menggejala sejak lama di Indonesia, tapi kontribusnya masih belum optimal. Optimalisasi peran seni bisa dilakukan dengan konsolidasi kekuatan seniman melalui kantong-kantong seni yang peduli dan terus menerus mempropagandakan anti korupsi. Sebagai publik kitapun harus mau mengapresiasi produk seni anti korupsi tersebut, hingga seni anti korupsi bisa hidup. Seni anti korupsipun harus muncul dalam beragam ruang publik. Bila perlu sebelum mulai belajar di sekolah atau aktivitas di kantor
dinyanyikan mars anti korupsi, juga jangan lupa sebelum mulai sidang dewan terhomat dinyanyikan mars anti korupsi pula. Oke kan? Bayangkan saja bila seni dijadikan basis perjuangan melawan korupsi. Mulai dari bangun tidur, di sekolah, ataupun di kantor, orang di Republik ini disuguhi dengan semangat anti korupsi oleh televisi dan radio yang memulai siaran dengan Indonesia Raya dan Mars Anti Korupsi. Harian umum yang memuat halaman khusus seni anti korupsi, sehingga para esais dan cerpenis mampu menghantam korupsi dengan penanya, dan sebagainya. Sungguh betapa tak nyaman para koruptor hidup disini dan betapa bingungnya orang yang berniat korupsi. Langkah ini disamping menghajar koruptor juga mengandung nilai pendidikan bagi generasi berikut. Ide ini mungkin akan menyulut kritik dari penganut paham seni untuk seni, tapi bahkan para seniman sekalipun tidak mungkin tega melihat kekayaan bangsa yang juga milik kita digerogoti garong berdasi. Kesimpulan Esensi kesenian adalah menyarankan setiap orang untuk berbuat baik. Sementara muatan kesenian adalah refleksi dari ihwal menggetarkan dan menggentarkan yang terjadi dalam masyarakat. Korupsi yang semakin menjadi-jadi di Indonesia dapat diberantas dengan bantuan media seni. Seni yang memiliki kelebihan dapat menyentuh perasaan dan logika seseorang akan menjadi sangat berguna jika dijadikan sebagai propaganda anti korupsi . Dalam kaitan itulah upaya karya-karya seni yang berniat melawan korupsi mesti terus didukung pertumbuhannya. Dengan adanya penanaman mental anti korupsi, akan terlahir generasi yang memiliki kebiasaan berfikir, berniat dan bertindak yang selalu dibingkai oleh nilai kejujuran dan dapat membaca situasi sosial kemasyarakatan tanpa hanya mementingkan kepentingan pribadi.