Anda di halaman 1dari 14

Limfoma Hodgkin Insidensi Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000 penderita per tahun.

Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 35 tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada golongan umur lebih muda. Etiologi Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang kurang jelas dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada persentase yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.

Klasifikasi Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin. Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang sedikit atau kurang luas yang sklerotik. Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit, eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg. Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat. Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau limfoma nonHodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif. Tabel 1. Klasifikasi histopatologik morbus Hodgkin
(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)

Bentuk (LP)

Tipe utama Sub-tipe lymphocyte predominance Nodular Difus

Frekuensi }5% 70-80% 10-20% }1%

Bentuk nodular sclerosis (NS) Bentuk Mixed Cellulating (MC) Bentuk Lymphocyte Depletion (LD)

Reticular Fibrosis difus

Gambar 1. Bentuk histopatologik limfoma hodgkin

Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh data biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas. Manifestasi klinis Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe, biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m. sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul dari kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang keras, teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah supraklavikula, atau disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati halus.

Gambar 2. Mekanisme pembesaran kelenjar limfe

Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 2030% kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15% kasus disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol. Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi virus lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat diadakan biopsi untuk penentuan diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi harus disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan DNA untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe.

Gambar 3. Pembesaran kelenjar limfe

Diagnosis Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar dan lien. Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed Stenberg yang merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas pada limfoma Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks untuk mencari kalau ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut ada dua kemungkinan, CT-scan atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-scan. Jika

ini negatif, diperlukan limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat kelenjar yang mempunyai struktur abnormal tetapi tidak jelas membesar, sehingga mungkin tidak terlihat pada CT-scan. Keuntungan limfangiografi di samping itu adalah bahwa kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga perjalanan penyakit dapat diikuti dengan foto polos abdomen biasa. Pengeboran tulang pada umumnya juga harus dikerjakan, dan jelas jika ada simptom B. Tetapi, dalam hal misalnya stadium I tanpa keluhan arti diagnostiknya hanya sedikit dan pemeriksaan itu tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran mengenai sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan dengan pemeriksaan rutin penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini masih diteliti. Jika kelenjar limfe juga meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga digunakan pada akhir terapi untuk mengetahui apakah ada massa sisa, misalnya di dalam mediastinum, yang masih mengandung tumor yang aktif. Ini mempunyai arti prognostik. Laparotomi untuk penetapan stadium dengan splenektomi dalam periode 19701980 sering digunakan untuk kelengkapan pemeriksaan stadium. Ternyata bahwa pada 20-30% kasus terdapat sarang-sarang occult di limpa dan kelenjar limfe. Digunakan terminology stadium klinik (sebelum laparotomi) dan stadium patologik (sesudah laparotomi diikuti splenektomi). Kira-kira 20-30% penderita dalam stadium klinik I atau II ternyata sebenarnya berada dalam stadium III. Sebaliknya 10% penderita dalam stadium III ternyata sebenarnya berada dalam stadium I atau II. Laparotomi untuk menetapkan stadium juga menunjukkan keberatan, seperti morbiditas operasi, mortalitas (1%) dan kenaikan kemungkinan infeksi, terutama sepsis pneumokokus. Juga dinyatakan bahwa kemungkinan untuk leukemia sekunder menjadi lebih besar sesudah splenektomi. Laparotomi dengan splenektomi sebagai penetapan stadium pada waktu ini sebenarnya sudah tidak dikerjakan lagi. Jika seorang penderita harus menjalani splenektomi diperlukan vaksinasi pneumokokus.

Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma Hodgkin Anamnesis Gejala-gejala B Anamnesis keluarga Mononukleosis infeksiosa sebelumnya Kelenjar-kelenjar : lokalisasi & besarnya Pembesaran hepar, limpa Pemeriksaan THT pada kelenjar leher LED, Hb, leukosit, trombosit Faal hati dan ginjal SLDH X-thorax CT-scan toraks-abdomen Limfangiogram Biopsi tulang Yamshidi Gallium Scan tulang Biopsi hepar Stadium Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Dalam suatu pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan. Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60% penderita penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.

Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan roentgen

Pemeriksaan sumsum tulang Dipertimbangkan/jika indikasi scan ada

Gambar 4. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

Tabel 3. Pembagian stadium morbus Hodgkin Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik atau organ (IE) Stadium Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi II diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang sama diafragma (IIE) Stadium Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma III (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE). Stadium Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau IV lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe. Terapi Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif sesudah terapi pertama. Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan atau dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan antara radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi. Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin Terapi pertama Stadium I II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya lapangan mantel saja

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan radioterapi - Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan involved field radiation Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi Stadium IIIB Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi IV 1. Stadium klinik I dan II Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di atas diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah paraaortal dan limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah ini, seperti ternyata dari hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu berlangsung 4 minggu untuk daerah mantel dan sesudah periode istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe paraaortal dan limpa. Dengan terapi ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama adalah kira-kira 75%, ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa periode bebas penyakit 5-7 tahun berarti penyembuhan. Residif terutama terjadi pada tahun-tahun pertama sesudah terapi. Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II diberikan penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa, kelenjar iliakal dan kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam lapangan penyinaran. Karena itu dipertimbangkan pada wanita muda untuk menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran. Jika kelainan di perut sangat voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan radioterapi. Ada beberapa perkecualian terhadap garis pedoman standar ini. Dalam halhal tertentu hanya dapat dipertimbangkan penyinaran lapangan mantel, misalnya pada stadium I terbatas pada wanita-wanita, dengan lokasi tinggi di leher. Pengalaman menunjukkan bahwa lokasi occult di dalam perut, jadi residif disitu, jarang terdapat. Ada 3 golongan penderita dalam stadium klinik I dan II yang untuknya radioterapi saja tidak memberi hasil yang optimal. Kelompok pertama terdiri atas penderita yang mempunyai mediastinum sangat lebar (lebar mediastinum misalnya > 1/3 diameter toraks, diukur setinggi vertebra torakal 5-6). Penderita ini

sering mendapat residif di paru atau dalam mediastinum jika hanya diberikan radioterapi saja. Dalam hal ini lebih dipilih kombinasi kemoterapi dan radioterapi. Golongan kedua terdiri atas penderita yang meskipun dalam stadium II mempunyai berbagai lokalisasi kelenjar limfe, misalnya bilateral di leher, mediastinum atau aksila. Pengalaman menunjukkan bahwa pada penderita yang diberikan radiasi saja sering (40-50%) timbul residif, juga kalau perut atas ikut diberi sinar. Juga laju endap darah yang tinggi atau umur lebih dari 50 tahun tampaknya memperbesar kemungkinan residif. Golongan ketiga terdiri atas wanita muda. Ada laporan bahwa penyinaran lapangan mantel yang diberikan pada wanita antara 15-25 tahun, sesudah 10-15 tahun memberikan kemungkinan karsinoma payudara yang meningkat. Ini menjadi alasan bagi kelompok ini untuk di terapi dengan kemoterapi dalam kombinasi dengan penyinaran terbatas, dengan sebagian besar menghindari payudara. Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini pada umumnya ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko tambahan diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah kardial. Dalam hal ini dipilih kombinasi kemoterapi, dengan efek samping relatif sedikit, dan radioterapi terbatas pada daerah yang terkena. Sementara sebaiknya kombinasi ini tidak digunakan dahulu di luar penelitian.

Gambar 5. Jenis-jenis radioterapi

1. Stadium IIIA Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat

perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi total node). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB IV. 2. Stadium IIIB IV Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990). Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja. Persentase remisi komplit adalah 80%, dengan 60% kemungkinan penyembuhan. Sesudah periode istirahat biasanya 2 minggu seri berikutnya diberikan, dengan kadang-kadang mengatur kembali dosisnya atas dasar jumlah leukosit dan trombosit. Mengenai lamanya terapi berlaku aturan bahwa diberikan terapi sampai tercapai remisi komplit, diteruskan dengan 2 terapi konsolidasi. Jika cepat terjadi remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi 8 seri. Lebih lama dari ini tidak ada artinya. Pertanyaannya adalah apakah ada artinya bila pada kemoterapi diberikan penyinaran tambahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Ini tidak seluruhnya jelas. Kemungkinan residif lokal di daerah yang disinar dapat diperkecil, tetapi belum jelas dibuktikan bahwa kemungkinan kurasi menjadi lebih baik. Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul kemudian. Pada terapi MOPP pada laki-laki terjadi sterilitas yang menetap dalam persentase yang tinggi. Sebaiknya sebelum mulai terapi harus dibicarakan dengan penderita resiko infertilitas dan kemungkinan pembekuan spermanya. Meskipun pada terapi MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga harus dilakukan pembekuan sperma. Pada wanita harus diperhatikan kemungkinan amenorrhea jika mereka lebih tua

daripada 25-30 tahun. Pada wanita lebih muda kemungkinan cukup besar bahwa siklus dan fertilitasnya tetap utuh. Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki maupun wanita fertilitas lebih dapat dipertahankan pada terapi ABVD. Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua seperti leukemia sekunder dan limfoma non-Hodgkin (Van Leeuwen, 1994). Kemoterapi memegang peran dalam hal ini. Terapi MOPP terkenal tidak baik dalam hal terjadinya leukemia sekunder. Kemungkinannya adalah 5% sesudah 10 tahun. Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil tampaknya merupakan penyebab terbesar. Ini juga menjadi alasan bahwa akhir-akhir ini lebih disukai skema-skema dengan mengurangi obat pengalkil atau sama sekali tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD. Tabel 5. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin Dosis (mg/m2) Hari ke- 1 5 8 15 MOPP Nitrogen 6 i.v. ++ mustard Vinkristin 1,4 i.v. ++ Procarbazine Prednisone 100 p.o. 25 p.o. ChlVPP Chlorambusil 6 p.o. Vinblastin Procarbazine 6 i.v. Prednisone ++ 100 p.o. 25 p.o. ABVD Adriamisin Bleomisin Vinblastin DTIC 25 10 i.v. i.v. ++ ++

6 250 MOPP/ABV Nitrogen mustard Vinkristin Procarbazine Prednisone Adriamisin Vinblastin Bleomisin 6 1,4 100 40 35 6 10 CEP CCNU Etoposid prednimustin

i.v. i.v. i.v. i.v. p.o. p.o. i.v.

++ ++ + + +

i.v. + i.v. +

80 100 80

p.o. p.o. p.o.

Keterangan : + dosis sekali diminum tiap hari berkelanjutan

Penanganan residif Jika penderita hanya disinar pada terapi pertama dan kemudian mengalami residif, maka dia harus ditangani dengan kemoterapi. Hasil-hasilnya dapat disamakan dengan penderita yang dalam instansi pertama ditangani dengan kemoterapi. Pada residif sesudah kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval akhir terapi sebelumnya dan residifnya. Prognosis penderita dengan residif selama atau segera sesudah (kurang dari 1 tahun) akhir kemoterapi pertama adalah buruk. Terapi dengan skema lain yang disebut skema non cross resistant, ditambah dengan radiasi jika memungkinkan, memberi 20% kemungkinan ketahanan hidup lebih lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan MOPP/ABV dan selama atau segera sesudah itu mendapat residif, akan lebih sukar lagi

untuk menemukan terapi lini kedua, karena hampir semua obat yang aktif telah terpakai dalam skema ini. Jika residif timbul belakangan ternyata dengan kemoterapi yang sama atau dengan alternatif yang non cross resistant, ditambah dengan radioterapi jika masih memungkinkan, dapat dicapai remisi jangka panjang pada 30-40% penderita. Baik untuk residif dini maupun jangka setengah panjang sedang diadakan penelitian mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi sumsum tulang autolog (ABMT). Prinsipnya adalah diambil sumsum tulang dan dibekukan. Kemudian penderita diberi kemoterapi yang biasa dipakai untuk mencapai remisi sebaik mungkin, kemudian diadakan intensifikasi dengan kemoterapi dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang yang tersimpan untuk memperpendek periode pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat banyak pengalaman dalam hal ini. Sedang diadakan penelitian acak untuk menunjukkan golongan penderita mana yang dengan prosedur demikian itu mendapat kenaikan kemungkinan kesembuhan dibanding dengan terapi standar. Perkembangan yang lebih baru sebagai pengganti sumsum tulang adalah sel induk perifer (PSC) dipanen dari darah dan dikembalikan pada penderita. Sel-sel induk ini dapat dimobilisasi dengan satu kuur kemoterapi dengan memberikan G-CSF (Granulocyte stimulating factor). Efek tindakan ini adalah bahwa sesudah penurunan singkat jumlah sel darah putih dalam darah perifer, jumlah itu meningkat lagi dengan penambahan sel muda (diantaranya sel induk dengan CD34-positif). Ini melalui leukoferesis dapat dikumpulkan dan dibekukan. Jika kemudian sel induk itu diberi dosis tinggi kemoterapi dan diinfuskan, dengan cepat akan terjadi perbaikan nilai darah perifer lagi. Perbaikan ini umumnya lebih cepat daripada jika sumsum tulang yang dikembalikan (Richel, 1993). Tabel 6. Pilihan terapi residif pada morbus Hodgkin Terapi residif Sesudah Kemoterapi, seperti pada penderita yang tidak diterapi radioterapi sesudah kemoterapi Interval pendek Kemoterapi lain dengan obat-obat yang tidak dipakai

Interval panjang

sebelumnya, dengan radioterapi dalam penelitian; kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT Kemoterapi sama atau lain, jika mungkin dengan radioterapi dalam penelitian kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT

Pada residif yang timbul sesudah waktu lama, artinya lebih lama daripada 5-7 tahun sesudah akhir kemoterapi pertama, pada umumnya diusahakan dengan kemoterapi yang sama, atau variannya, dengan tambahan radioterapi untuk menginduksi remisi kedua. Ini dapat berhasil pada residif lambat. Dalam hal ini orang tidak akan tergesa-gesa memberikan dosis tinggi kemoterapi diteruskan dengan ABMT. Tindakan ini baru akan dilakukan pada residif kedua. Skema yang dipakai pada residif lambat atau pada situasi paliatif adalah skema CEP yang diberikan per oral. Posted On: January 3rd, 2010 Posted In: Ilmu Bedah Tags: Hodgkin, Imunitas, limfoma, reed-sternberg

Anda mungkin juga menyukai