Anda di halaman 1dari 3

MALPRAKTEK: KELALAIAN MEDIK VS KECELAKAAN MEDIK

Dr. Indra Z, Sp.THT-KL* * 1. Ketua IDI Cab. Aceh Utara-Lhokseumawe. 2. Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) Unimal.

Tanggal 7 Maret 2009 yang lalu IDI Cab. Aceh Utara-Lhokseumawe mengadakan seminar sehari bertempat di gedung ACC Unimal, dengan pemateri Dr. Sabir Alwi,SH,MH (Wakil Ketua MKDKI), dr. Rusmunandar, Sp.JP(K) (Ketua IDI Wilayah NAD) dan penulis sendiri. Pada acara tersebut timbul suatu hal yang menarik yaitu adanya perbedaan persepsi antara masyarakat dengan petugas medis dalam menginterpretasikan pengertian malpraktek. Masyarakat menganggap bahwa malpraktek dilakukan oleh seorang dokter, padahal malpraktek bisa saja dilakukan oleh profesi lain yang melakukan praktek seperti pengacara, notaris, dokter hewan, apoteker dan lain-lain. Istilah yang paling tepat bila kelalaian dilakukan oleh seorang dokter dalam praktek disebut degan malpraktek medik atau malpraktek kedokteran, namun oleh karena begitu gencarnya pemberitaan tentang malpraktek yang dilakukan oleh seorang dokter sehingga istilah malpraktek medik atau malpraktek kedokteran jarang digunakan. Sebagian masyarakat masih menganggap dokter melakukan malpraktek apabila terjadi hal-hal seperti: keadaan pasien memburuk dalam masa pengobatan/perawatan, pengobatan yang tidak sembuh-sembuh, terjadinya hal-hal yang tidak diingini, perawatan yang tidak memadai atau buruk, biaya yang mahal, komunikasi yang tidak memadai, tindakan atau sikap arogan atau kurang sopan dari dokter. Kemudian masyarakat menganggap suatu tindakan medis haruslah berhasil. Ketidakberhasilan selalu diakibatkan oleh kelalaian medis. Hal ini merupakan suatu anggapan yang keliru. Definisi. Tidak ada satu pun perangkat hukum yang secara jelas mendefinisikan pengertian malpraktek, baik itu undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, KUHP dan lain-lain , sehingga masing-masing pihak menginterpretasikan sendiri pengertian malpraktek. Defenisi yang paling sering digunakan dikalangan medis adalah definisi malpraktek yang dikeluarkan oleh World Medical Association (WMA) pada tahun 1992 yaitu: malpraktek medis berhubungan dengan kegagalan tenaga medis dalam melakukan prakteknya sesuai dengan standar pelayanan terhadap kondisi pasien, atau kurangnya kemampuan atau ketidak pedulian dalam penyediaan pelayanan terhadap pasien yang menjadi penyebab utama terjadinya cedera terhadap pasien. Dalam perspektif hukum, yang dimaksud dengan malpraktek: - Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh tenaga medis. - Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban. - Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kelalaian medik vs kecelakaan medis. Malpraktek medik secara umum dibagi atas 2 yaitu: Intentional/criminal/kesengajaan dan Negligence/culpa/kelalaian. Intentional/criminal malpractic sangat jarang terjadi dimana seorang dokter berniat dengan sengaja membunuh pasiennya. Sedangkan negligence/culpa yang sering menimbulkan sengketa medis adalah gross negligence/culpa lata/kelalaian berat, dimana akibat kelalaiannya mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merengut jiwa pasien.. Sementara culpa levis/kelalaian ringan jarang menimbulkan sengketa medis sesuai prinsip hukum de minimus curat lex (hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele). Untuk dapat menuntut terjadinya kelalaian berat pada pasien, penggugat harus dapat membuktikan 4 unsur berikut, yaitu: 1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien. 2. Dokter telah telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim digunakan. 3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. 4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar. Kecelakaan medis adalah suatu kejadian yang dapat terjadi pada pasien yang memang dapat diramalkan, walaupun dilakukan oleh tenaga yang terampil atau peralatan yang canggih atau disebut juga komplikasi dari suatu tindakan medik. Beberapa ahli menyebut kecelakaan medik sebagai kemalangan medik atau kejadian tak diharapkan/kejadian tak diinginkan. Sebagai contoh, tindakan medik penyuntikan yang menimbulkan reaksi alergi berupa anaphylactic shock dimana terjadi pembengkakan terutama pada saluran nafas yang bila tidak tertangani dalam waktu segera akan menyebabkan kematian. Kejadian ini sangat jarang terjadi dan petugas medis tidak dapat memprediksi bahwa pasien tersebut menderita reaksi alergi cepat pada golongan obat tertentu. Kecelakaan medis ini dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan dan tidak dihukum bila dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Bagaimanapun manusia juga mahluk ciptaan Allah SWT yang mempunyai keterbatasan. Untuk mencegah terjadinya anaphylactic shock dilakukan uji kulit (skin test) sebelum melakukan penyuntikan pada golongan obat tertentu yang disangkakan dapat menimbulkan anaphylactic shock seperti antibiotik dan lain-lain. Kemudian bila terjadi anaphylactic shock, petugas medis harus bisa menanganinya dalam waktu sesegera mungkin dengan penyuntikan adrenalin, antihistamin dan steroid. Apabila prosedur ini telah dilakukan dengan baik oleh dokter, maka dokter tersebut terbebaskan dari jerat hukum walaupun nyawa pasien tak tertolong. Perlu dipahami bahwa hubungan dokter pasien dalam perjanjian terapi merupakan perikatan yang berdasarkan daya upaya/usaha maksimal (inspannings verbintenis). Dokter harus berusaha semaksimal mungkin seseuai prosedur yang ada dalam mengobati pasiennya.Ini berbeda dengan perikatan yang berdasarkan hasil kerja (resultaats verbintenis), sebagai contoh perrjanjian dalam urusan kontrak bangunan, dimana bila pemborong tidak membuat rumah sesuai jadwak dan bestek yang telah disepakati maka pemesan dapat menunut pemborong. Kesimpulan Kecelakaan medis dapat terjadi pada pasien dan dokter harus berusaha semaksimal mungkin dalam menanganinya sesuai prosedur yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai