Anda di halaman 1dari 22

METODOLOGI STUDI ISLAM

I. Pengantar Umum MSI adalah Ilmu yang membahas tentang cara mengkaji Islam. Pengkajian dilakukan baik dari dimensi normatif, dimensi historis, maupun dimensi aktualnya. Secara historis para ulama sangat beragam dalam menggunakan cara itu, sebagai akibatnya hasil ijtihad mereka pun berbeda. Perbedaan itu tentunya telah menambah khazanah intelektual Islam dalam pentas sejarah pemikiran Islam. Namun demikian tidak sedikit pula kaum muslimin terjebak dengan perbedaan itu sehinga melahirkan sikap yang eksklusif. Ketika dunia Islam mencapai puncak kemajuan justru dunia Barat berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terutama ketika gereja masih mendominasi sistem kehidupan masyarakat Eropa ketika itu. Nanti setelah terjadi kontak antara dunia Islam dengan Barat, barulah mereka tersadar akan ketertinggalan mereka yang sudah sangat jauh dengan kemajuan di negara negara Islam. Dunia Islam pernah menjadi adi kuasa selama 12,5 abad. Setelah itu barulah dunia Islam mengalami kemunduran. Kondisi dunia Islam secara sangat mengejutkan yang pernah menjadi adi kuasa selama 12,5 abad, tiba-tiba terjatuh sehingga menjadi negara-negara lemah dan akhirnya menjadi sasaran penjajahan negara-negara Eropa. Padahal Eropa sendiri pada mulanya adalah murid dari negara Islam. Pertanyaannya kemudian adalah ada apa dengan dunia Islam (kaum muslim). Mengapa dengan cepat mengalami kemunduran dan menjadi lumpuh bahkan bertekuk lutut di hadapan dominasi kekuasaan negara-negara Eropa. Sampai saat ini memasuki abad 21, belum ada negara Islam pun di dunia ini yang mampu menyaingi kemajuan negara Eropa. Lalu dimana letak kehebatan Islam sebagai agama yang mulia, dan kaum muslimin itu dikatakan sebagai khaira ummah. II. Pengertian Metodologi Studi Islam (MSI) 1. Etimologis (Bahasa): Metodologi dari kata method artinya cara dan logos artinya ilmu. Jadi metodologi artinya ilmu tentang cara. Studi dari kata study artinya belajar mendalam atau mengkaji. Islam artinya agama Islam yang berarti keselamatan, kedamaian.

2. Terminologi (istilah): MSI adalah ilmu yang mempelajari tentang cara mengkaji Islam. III. Kegunaan Mempelajari MSI Kegunaan Memnpelajari Metodologi Studi Islam adalah untuk menghindari pemahaman yang parsial terhadap Islam. Pemikir Islam bernama Nasruddin Razak mengemukakan 4 cara metode memahami Islam: 1. Islam harus dipelajari dari sumber yang asli. 2. Islam harus dipelajari secara integral. 3. Islam harus dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh ulama besar. 4. Islam hendaknya dipejari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam alIV. Mengapa manusia membutuhkan agama Perlunya manusia terhadap Agama setidaknya dilatarbelakangi tiga hal: 1. Latar belakang fitrah. Latar belakang fitrah ini mengandung arti bahwa ada perjanjian primordial antara manusia dengan Allah swt. Hal itu ditegaskan dalam al-Quran Surah al-Araf ayat [7]:172 Artinya: Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi. 2. Kelemahan dan kekurangan manusia. Manusia memiliki banyak keterbatasan sehingga membutuhkan agama dalam mengarahkan dan membimbing untuk menyadari kelemahan dan kekurangannya. 3. Tantangan manusia. Manusia akan menemukan banyak tantangan dalan hidupnya. Salah satu tantangan itu datang dari orang kafir yang akan menghalangi umat manusia untuk mengabdi kepada Allah. Hal ini dapat ditemukan pada firman Allah Swt dalam al-Quran Surah al-Anfal [8]: 36. Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan hartanya itu buat merintangi manusia dari jalan Allah. Quran.

V. Islam dan Kebudayaan Budaya berasal dari kata budi artinya akal dan daya berarti kekuatan, usaha. Jadi kebudayaan adalah hasil karya dari akal manusia yang sudah melekat dalam suatu lingkungan 2

atau masyarakat. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Dengan demikian kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan pewarisnya. Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. * agama bersifat mutlak. * budaya bersifat relatif. Sebagian besar budaya berdasarkan pada agama, tetapi agama tidak berdasarkan pada budaya. * agama bersifat primer. * budaya bersifat sekunder. Tanpa adanya unsur budaya maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Seperti halnya dengan agama Islam, jika tidak bersentuhan dengan budaya maka akan sulit untuk memahaminya. Oleh karena itu pengamalan setiap ajaran agama sangat tergantung dengan budaya dimana agama itu berkembang.

METODOLOGI TAFSIR
Setidaknya ada beberapa asumsi dan landasan filosofis tentang al-Qur`an sebagai sumber utama ajaran Islam: 1) al-Qur`an sebagai wahyu, adalah produk dialogis antara Tuhan dan 3

realitas sosial; 2) tidak ada segala sesuatu yang terlalaikan dalam al-Qur`an (Q. S. al-Anm [6]: 38); 3) al-Qur`an yang menjadi kitab suci terakhir berfungsi sbg mushaddiq lim bain yadaihi (spt dalam Q.S. Ali Imrn [3]: 3) :

3 : ) ).
(Dialah Allah) yang menurunkan kitab (al-Qur`an) dengan benar sebagai pembenar bagi (kitab suci) sebelumnya. Dan Dia (juga) menurunkan kitab Taurat dan Injil (Q.S. Ali Imrn: 3).

Ayat di atas dianggap sebagai barometer peradaban kemanusiaan paling mutakhir. Persoalan Penafsiran Tekstual & Kontekstual : - Penafsiran tekstual adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan makna tekstualnya. Sedang penafsiran kontekstual adalah menafsirkan al-Qur`an dengan memperhatikan aspek di luar teks, seperti setting sosial di masa turunnya ayat. - Terhadap beberapa ayat yang bercorak doktrin-absolut (spt dlm akidah), penafsiran tekstual dianggap paling cocok dan mendekati kebenaran. Sedang ayat-ayat non doktrinal-absolut (spt sistem sosial), penafsiran kontekstual dianggap paling sesuai. - Pada dasarnya, setiap al-Qur'an memiliki dua mata sisi: absolut dan relatif. Yang absolut mengacu pada keseluruhan teks sbg wahyu Allah dan menjadi realitas historis. Sedang yang relatif mengacu pada konteks (di balik teks) sbg produk dialogis turunnya al-Qur'an saat itu, sehingga memberi ruang bagi re-interpretasi, reaktualisasi, dan re-konstruksi. Dilihat dari sumber pengambilan, maka tafsir terdiri atas: 1. Tafsir bil-Matsur Tafsir bil-Matsur ialah tafsir yang berdasarkan pada penafsiran al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah. Mufasir yang menempuh cara seperti ini hendaknya menelusuri lebih dulu atsaratsar yang ada mengenai makna ayat kemudian atsar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat bersangkutan. Dalam hal ini mufasir tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar. Juga hendaknya meninggalkan hal-hal yang tidak berguna untuk diketahui selama tidak ada riwayat sahih mengenainya.

2. Tafsir bir-Rayi

Tafsir bir-Rayi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbath) yang didsarkan pada rayu semata. Menafsirkan al-Quran dengan rayu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surah al-Isra[17]: 36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Dari segi pembahasan tafsir terdiri atas: 1. Tafsir Tahlily Tafsir tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya. Metode ini penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang tersusun di dalam mushhaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Mufasir juga mengemukakan munasabah ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut antara satu dengan yang lain. Begitu pula mufassir membahas mengenai sabab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul atau sahabat atau para tabiin. Di antara contohnya: Jmi al-Bayn an Tawl al-Qurn (karya Ibn Jarir al-Thabari), Tafsr al-Qurn al-Azhim (karya Ibnu Katsir), Al-Kasysyf (karya al-Zamakhsyari), Tafsir al-Manr (karya Muh. Rasyid Ridha), dll. 2. Tafsir Ijmaly Tafsir ijmaly adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushhaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian, metode ini mengikuti cara dan susunan al-Quran yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan lainnya. Contohnya Tafsr al-Jallain (karya al-Suyuthi dan al-Mahalli), Tafsr al-Qurn al-Karm (karya Muhammad Farid Wajdi).

3. Tafsir Maudhui 5

Tafsir maudhui adalah suatu metode tafsir dengan cara menghimpun ayat-ayat alQuran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayatayat tersebut. Langkah selanjutnya penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya dengan metode maudhui dengan meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar yang digunanakan oleh penafsir untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya. Contoh untuk metode ini adalah al-Insn fi alQuran (karya Mahmud al-Aqqad), al-Rib f al-Qurn (karya A.A. alMaududi) dan Wawasan Alquran (karya Quraish Shihab). 4. Tafsir Muqaran Tafsir muqaran adalah membandingkan adanya kemiripan antara ayat dan ayat, ayat dan hadis, ayat dan pendapat para sahabat dan tabiin. Perbandingan ini meliputi redaksi, asbb al-nuzl, hukum, dsb. Contoh: al-Bahr al-Muhth (karangan Ibn Hayyan), Nazm al-Durar f Tansub al-yt wa al-Suwar (karya Burhanuddin al-Biqa). Dilihat dari segi corak, maka tafsir terdiri atas: 1. Tafsir Sufi Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan tafsir al-Isyari, yaitu mentakwil ayat-ayat berbeda dengan arti zhahirnya, berdasar pada isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang dimaksudkan. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syaratsyarat: a. Tidak menafikkan arti zhahir ayat. b. Didukung oleh dalil syara tertentu. c. Tidak bertentangan dengan syara dan akal. d. Penafsir tidak boleh mengklaim bahwa itulah satu-satunya tafsir yang dimaksud dan menafikan sepenuhya arti zhahir, akan tetapi ia harus mengakui arti zahir tersebut lebih dahulu.

2. Tafsir Fiqhi 6

Berbarengan dengan lahirnya tafsir bil matsur lahir pula tafsir fiqhi, dan samasama dinukil dari Nabi Muhammad saw. tanpa pembedaan antara keduanya. Para sahabat setiap menemukan kesulitan untuk memehami hukum yang dikandung oleh al-Quran langsung bertanya kepada Nabi dan beliau langsung menjawab. Jawaban Rasulullah ini, disatu pihak adalah tafsir bil matsur dan di pihak lain sekaligus sebagai tafsir fiqhi. Sepeninggal rasulullah, para sahabat langsung mencari keputusan hukum dari alQuran dan berusaha menarik kesimpulan hukum syariah berdasarkan ijtihad. Hasil ijtihad mereka ini disebut tafsir fiqhi. Demikian pula halnya yang terjadi di masa dan dikalangan para tabiin. 3. Tafsir Falasafi Latar belakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena tersebar luasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan pada masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat karya filosof Yunani. Tokoh-tokon Islam yang membaca buku-buku filsafat tersebut terbagi dua golongan, ada yang menerima tetapi ada pula yang menolak. Golongan yang menerima filsafat ini di dalam menafsirkan al-Quran berupaya mengkompromikan atau mencari tittik temu antara filsafat dengan agama serta berusaha untuk menyingkirkan segala pertentangan. Penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Quran semata-mata berangkat dari sudut pandang teori-teori filsafat. Corak penafsiran alQuran seperti inilah disebut corak falsafi. Dilihat dari sudut Aliran, maka tafsir al-Quran terdiri atas: 1. Tafsir Mutazilah Tafsir mutazilah adalah suatu aliran penafsiran al-Quran dengan menggunakan dalil-dalil yang berdasar pada ajararan pokok mutazilah dengan mengedepankan pendekatan rasional. Penafsirnya selalu berusaha memahami al-Quran dengan berpijak pada paham teologi mutazilah. 2.Tafsir Syiah Seperti halnya dengan tafsir mutazilah, para penafsir dari aliran syiah juga di dalam menfsirkan al-Quran sangat dipengaruhi oleh latar belakang teologi syiah. Penafsir corak syiah ini juga di dalam menafsirkan al-Quran senantiasa berdasar pada pemahaman syiah.

Empat Kitab Tafsir Terkemuka tetap menjadi rujukan penting hingga kini
7

Tekad dan keinginan untuk memahami kandungan Alquran, telah terbentuk sejak lama. Para ,hahabat, tabi'in maupun murid-murid mereka menjalankan amalan mulia ini dengan tujuan ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW merupakan yang pertama kali menerangkan, mengajarkan sekaligus menafsirkan Alquran. Beliau menjadi sumber utama rujukan tafsir, dan menjadi tempat bertanya bagi para shahabat, maupun umat ketika itu. Karena kedekatan dengan Rasulullah, para shahabat pun mengetahui makna, maksud dan rahasia-rahasianya. Mereka terutama Khulafa' Ar-Rasyidin, Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa AlAsy'ari dan Abdullah bin Az-Zubair. Dari para shahabat inilah, kegiatan kian berkembang, karena sepeninggal Rasulullah, mereka lantas menjadi guru bagi para tabi'in. Sejumlah ahli tafsir pun bermunculan disejumlah pusat-pusat pendidikan ISlam semisal di Irak, Makkah dan Madinah. Di antara para ahli tafsir terkemuka, tersebutlah empat yang utama, yang karyakarya kitabnya telah memberikan pengaruh besar hingga kini. Mereka adalah Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (224 - 310 H), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H), Imaduddin Abul Fida' Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H) dan Jalal ad-Din al-Mahali. Tafsir al-Thabari. Berjumlah 12 jilid, adalah tafsir tertua. Tafsir ini telah menjadi referensi utama bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Penjelasan Rasulullah, pendapat shahabat, dan tabi'in menjadi dasar utama penjabaran, untuk kemudian ulama ini mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Apabila dalam satu ayat, muncul dua pendapat atau lebih, maka akan disebutkan satu persatu lengkap dengan dalil dan riwayat para shahabat dan tabi'in yang mendukung masing-masing pendapat, untuk selanjutnya mentarjih (memilih) mana yang lebih kuat dari sisi dalilnya. Di samping itu, juga dijabarkan harakat akhir, mengistimbat hukum jika ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum.

Tafsir Ibnu Katsir 8

Imam Asy-Syaukani ra, mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan salah satu kitab tafsir terbaik, jika tidak bisa dikatakan sebagai yang terbaik. Sementara Imam As-Suyuthi ra menilai tafsirnya menakjubkan, dan belum ada ulama yang menandinginya. Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir adalah alumnus akhir madrasah tafsir dengan atsar. Ulama ini juga tercatat salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra (wafat tahun 774 H). Tafsir Alquran Ibnu Katsir terdiri dari 10 jilid. Penafsirkan ayat-ayat Alquran dilakukan dengan sangat teliti, yang menukil perkataan para salafus shaleh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami, menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Selain itu, disebutkan pula hadis-hadis yang berhubungan dengan sebuah ayat, serta penafsiran para shahabat dan tabi'in. Beliau juga sering mentarjih di antara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang sahih atau yang dhoif (lemah). Tafsir AI-Qurtuby Secara keseluruhan, kitab tafsir ini terdiri dari 11 jilid, lengkap dengan daftar isinya. Menurut beberapa ulama, keistimewaan dari kitab tafsir ini yakni membuang kisah dan sejarah, dan diganti dengan hukum serta istimbat dalil, juga menerangkan qiroat, nasikh dan mansukh. Gaya penulisannya khas ulama fikih. Beliau banyak menukil tafsir dan hukum dari para ulama salaf, dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Pembahasan suatu permasalahan fiqiyah pun dilakukan dengan sangat detil. Tak hanya itu, al-Qurtuby tidak segan mengadakan riset mendalam untuk memperjelas kata-kata yang dianggap sulit. Tafsir AI-Jalalain Merupakan kitab tafsir klasik dari ulama Sunni terkenal. Pertama kali disusun oleh Imam Jalal ad-Din al-Mahali pada tahun 1459, kemudian disempurnakan oleh sang murid, Jalal ad-Din as-Suyuti tahun 1505. Tafsir ini memiliki metode penjelasan yang singkat, merujuk kepada pendapat yang paling kuat, pemaparan i'rab yang dipandang perlu, dan penjelasan singkat terhadap segi qira'at yang diperselisihkan. Sejumlah ulama semisal Sulaeman bin Umar al-Ajiliy al-Syafi'i yang lebih populer dengan sebutan al-Jamal (w. 1204 H), pernah memberikan komentar terhadap tafsir al-Jalalain. Dalam mukadimahnya, al-Jamal menyebutkan bahwa yang ia lakukan terhadap al-Jalalain adalah memperjelas pelik-pelik penafsiran yang masih samar dengan merujuk beragam kitab tafsir dan pemikiran rasional. METODOLOGI HADIS 9

Nabi Muhammad saw. Menurut al-Quran adalah Rasulullah, Nabi terakhir, pembawa agama Islam. Perilakunya merupakan uswah hasanah dan kehadirannya selain membawa berita yang menggembirakan dan menakutkan juga merupakan rahmat bagi seluruh alam. Karena keberadaannya itu, seluruh ucapan, tingkah laku ataupun taqrir beliau menjadi ikutan umat Islam, terutama bagi para sahabat. Perhatian para sahabat Nabi terhadap hadis tidak diragukan lagi. Hanya saja para sahabat itu terkadang tidak mengambil hadis dari Nabi secara beramai-ramai, tetapi terkadang satu, dua, tiga atau lebih dan bahkan sampai banyak sahabat yang mendengar atau menyaksikan perbuatan Rasullah. Demikian pula para sahabat ketika menyampaikan hadis kepada para tabiin terkadang banyak dan terkadang sedikit dan seterusnya sampai kepada sanad tingkat pertama. Begitu pula dengan kemurnian hadis mulai tercemar ketika beragamnya kepentingan individu dan golongan merasuki umat Islam. Pemalsuan ini dimulai ketika terjadinya kekacauan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Para lawan politiknya mulai menggunakan hadis-hadis palsu untuk mempertahankan dan memperkokoh kedudukan mereka. Hal tersebut menjadikan generasi-generasi berikutnya harus lebih selektif dalam menerima hadis. Mereka harus mengetahui kualitas hadis. Perkembangan Intelektual Jelang Kelahiran Nabi saw : - Di masa Jahiliyah, perkembangan literasi (baca tulis) sudah berlangsung cukup lama. Ada tradisi positif yang dimiliki bangsa Arab Jahiliyah Makkah, khususnya di Kabah. Mereka menjadikan Baitullah ini sebagai pusat perdagangan dan perlombaan berbagai keterampilan, termasuk lomba membaca syair-syair Arab yang dikenal indah itu. Di antara tokoh yang terkenal dengan gubahan syairnya yang indah adalah Abu Thalib, Hamzah, dan Zubair (tiga bersaudara anak Abdul Muthalib yang menjadi garis keturunan nabi Muhammad saw). - Melihat perkembangan di atas, agak susah diterima bila makna umm (tidak bisa baca-tulis) ditujukan pada Muhammad saw, karena beberapa alasan: 1) Q.S. al-Arf [7]: 157 dan Q.S. al-Jumuah [62]: 2; 2) ketika wahyu pertama diturunkan, Jibril menyuruh Nabi saw membaca, tapi Nabi saw menjawab: (saya bukan seorang pembaca); 3) nenek moyang Nabi saw yang ahli baca-tulis. - Pada tahun 300 SM, terdapat prasasti dalam bentuk tulisan Arab kuno yang terdapat di dinding kuil (gereja) di Suriah.

10

Muhammad sbg Sumber Sunah : - Dalam menjalankan risalah kenabiannya, Muhammad saw memiliki banyak fungsi: ayah, suami, kakek, penglima perang, pemimpin agama, dan lainnya. Keragaman peran dan fungsi Nabi saw itu, tentu mengundang pertanyaan: bagaimana membedakan di antara kata-kata, sikap, dan perbuatan Nabi saw sbg ajaran agama dan bukan? - Nabi dianggap sebagai penafsir tunggal terhadap wahyu Allah. Di dalam al-Qur`an disebutkan :

. . . 4 1 : ). ).
Demi bintang ketika terbenam, kawanmu [Muhammad] tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiada yang diucapkannya itu [al-Qur'an] menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan-nya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [padanya] (Q.S. al-Najm: 14).

Mengenal Unsur-unsur Hadis : - Perhatikan hadis berikut :

) ) .
Penjelasan : Dari Adam sampai Abu Hurairah disebut rangkaian sanad. Redaksi sampai disebut matan. Al-Bukhari disebut sebagai rw (periwayat) terakhir dan sanad awal. Abu Hurairah disebut sebagai rw (periwayat) pertama dan sanad terakhir. Pembagian Hadis Ditinjau Dari Sudut Kualitas Jumhur muhadditsin membagi hadis ditinjau dari segi kualitas para perawi, matan dan ketersambungan sanadnya menjadi tiga yaitu: 1. Hadis sahih 2. Hadis Hasan 3. Hadis dhaif

11

A. Hadis Sahih Menurut Ibnu al-Shalah, hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat.Para ahli hadis tidak berbeda dalam mendefinisikan hadis sahih, walaupun redaksi mereka bermacam-macam sehingga dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dapat dikatakan sahih harus memenuhi beberapa syarat yaitu: 1. Bersambung sanadnya Yang dimaksud dengan bersambung sanadnya yaitu setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar mengambil langsung hadis tersebut dari rawi sebelumnya dari sanad pertama (mukharrij) sampai akhir sehingga tidak ada yang terputus. Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung bila salah seorang atau lebih dari rangkaian perawinya terputus. 2. Keadilan para rawinya Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi terimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta dan lain-lain yang dapat merusak harga diri seseorang. Adil harus memiliki sifat: a. Istiqamah dalam Islam b. Baik akhlaknya c. Tidak fasiq (antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil apalagi dosa besar) d. terpelihara kehormatan dirinya. 3. Perawinya bersifat dhabith Perawinya harus bersifat dhabith artinya perawi hadis tersebut dapat menguasai hadisnya dengan baik dengan hapalannya yang kuat dan mengerti dengan apa yang diriwayatkannya. Hapal apa yang diriwayatkan kepada muridnya jika ia memberikan hadis dengan hapalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan jika ia meriwayatkan dari kitabnya, serta memahami dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, jika ia meriwyatkan menurut maknanya saja. Persyaratan ini tentunya menghendaki agar seorang rawi tidak melalaikannya dan tidak semaunya ketika ia menerima dan menyampaikannya.

12

4. Tidak rancu (syudzudz) Tidak ada kerancuan (syudzudz) dalam matan hadis itu artinya hadis tersebut tidak kontradiktif dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah. Kondisi dianggap rancu bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya baik dari kekuatan daya hapalnya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadzd atau rancu. Karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadis yang bersangkutan. 5. Tidak ada cacat (illat) Maksudnya adalah hadis tersebut terbebas dari penyakit dari cacat yang menodai kesahihan hadis tersebut, seperti meriwayatkan hadis secara muttashil terhadap hadis mursal. Jadi hadis yang mengandung cacat bukan hadis sahih. Lima syarat tersebut di atas merupakan ukuran kesahihan hadis. Faktor keadilan dan kedabithan rawi dapat menjamin keaslian hadis. Bersambungnya sanad dengan keseluruhan rawi yang terdapat dalam hadis tersebut akan menghindarkan tercemarnya hadis yang bersangkutan dari awal disabdakannya oleh Rasulullah saw. sampai pada periwayat terakhir. Dengan tidak adanya kejanggalan dalam matan ataupun sanad dalam hadis tersebut merupakan bukti keaslian hadis dari hal-hal yang dapat mencurigakan. Tidak adanya cacat menunjukkan keselamatan hadis yang bersangkutan dari hal-hal samar yang dapat membuatnya cacat ketika diperhadapkan pada syarat-syarat kesahihan lainnya. Para ahli hadis mengklasifikasikan hadis sahih menjadi dua: 1. Sahih li dzatihi, yaitu hadis yang mengandung sifat qabul tertinggi. Hal ini karena hadis tersebut memenuhi lima persyaratan kesahihan hadis., sehingga tidak memerlukan lagi hal lain untuk menguatkannya. Jadi, kesahihannya itu datang pada diri hadis itu sendiri. Contoh:


Hadis ini diriwayatkan oleh imam Bukhari dengan sanad Adam bin Ilyas, Syubah, Ismail bin Abi Khalid/ Abdullah bin Abu al-Safar, al-Syaby, Abdullah bin Amr. Rawi dan sanad Bukhari ini telah memenuhi lima syarat hadis sahih di atas. 13

2. Sahih li ghairihi, yaitu hadis yang syarat-syaratnya berkurang dari tingkatan tertinggi disebabkan ketidaksempurnaan dhabath (berarti hanya berkualiatas hasan li dzatihi), tetapi kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan adanya periwayatan lain sehingga hadis tersebut naik derajatnya menjadi sahih. Hal ini disebabkan kesahihannya itu datang dari jalan yang lain. Contoh:


Salah seorang rawi dari sanad hadis ini ada yang bernama Muhammad bin Amr. Dia termasuk orang kepercayaan tetapi hapalannya oleh ulama diperslisihkan kesempurnaannya. Tapi rawi-rawi yang lain pada sanad hadis ini semuanya tsiqah. Karenanya kualitas hadis ini hasan li dzatihi. Akan tetapi kekurangan tersebut tertutupi dengan adanya periwayatan lain meriwayatkan hadis ini. Dengan demikian hadis ini naik derajatnya menjadi sahih li ghairihi. Kehujjahan hadis sahih Hadis sahih hukumnya maqbul dan menjadi hujjah dalam menetapkan hukumhukum syara, serta mengamalkannya adalah wajib dan ini disepakati oleh para ulama, bahkan mereka berhujjah dengannya dalam menetapkan akidah-akidah agama apabila hadis itu menunjukkan keqathiannya sehingga mencapai batas-batas tingkatan mutawatir. Para ulama telah menyusun sejumlah kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis sahih. Kitab-kitab yang dimaksud adalah: 1. Al-Muwaththa karya Imam Malik bin Anas 2. Al-Jami al-Shahih al-Bukhari karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari al-Jufi (194 H -256 H). 3. Sahih Muslim karya Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi (206 H 261H). 4. Sahih Ibnu Khuzaimah karya Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (w. 311 H). 5. Sahih Ibnu Hibban, karya al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busti (w. 354 H).

14

6. Al-Mukhtarah, karya al-Hafizh Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Maqdisi (w. 643 H). B. Hadis Hasan Para ulama hadis beragam dalam mendefinisikan hadis hasan. Disini penulis hanya mengemukakan satu diantaranya yang tampak lebih simpel yaitu definisi yang dikemukakan oleh oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, bahwa hadis hasan ialah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil, akan tetapi berkurang kedhabitannya tanpa syadz dan illat.Dengan demikian, perbedaan antara hadis sahih dan hadis hasan terletak pada kekuatan daya hapal (dhabth) perawinya. Hadis sahih diriwayatkan oleh rawi yang sempurna daya hapalnya yakni kuat hapalannya dan tinggi tingkat akurasinya, sedang rawi hadis hasan rendah tingkat daya hapalnya. Klasifikasi hadis hasan dibagi kepada dua bagian: 1. Hasan li dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat hasan, sebagaimana disebutkan dalam tarif hadis hasan. 2. Hasan li ghairihi, yaitu hadis dhaif yang sebab-sebab kedhaifannya bukan karena kefasikan atau kebohongan perawinya, tetapi hanya karena buruk hapalannya, tidak dikenal identitasnya (mastur) dan menyembunyikan cacat (mudallis), kemudian ada hadis lain semisal dan semakna atau karena banyak yang meriwayatkannya. Tentang kehujjahan hadis hasan, Imam Bukhari dan Ibnul Araby, menolaknya sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Tetapi al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzainah dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat apabila hadis hasan tersebut ternyata isinya bertentangan dengan hadis yang berkualitas sahih, maka yang diambil haruslah hadis yang berkualitas sahih.Diantara sumber-sumber hadis hasan adalah: 1. Al-Jami karya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Turmudzi (209 H 279 H). 2. As-Sunan karya Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats al-Sijistani (202 H 273 H). 3. Al-Mujtaba karya Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib al-Nasai (215 H 303 H). 4. Sunan al-Mushthafa karya Ibnu Majah Muhammad bin Yazid al-Qazwini (209 H 273H). 5. Al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hambal (164 H 241 H). 6. Al-Musnad karya Abu Yala al-Maushili Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna (210 H 307 H).

15

C. Hadis Dhaif Hadis dhaif adalah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis sahih dan hadis hasan. Alasan pemberian predikat dhaif kepada suatu hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat diterimanya sebuah hadis menunjukkan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan tidak sesuai keadaan semula. Dengan demikian, jelaslah kehati-hatian muhadditsin dalam menerima hadis sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadis itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadis itu dan menyimpulkannya sebagai hadis dhaif. Klasifikasi hadis dhaif sangat banyak macamnya. Untuk itu dalam hal ini akan diuraikan beberapa macam hadis dhaif dikelompokkan berdasarkan alasan kedhaifannya. 1. Hadis dhaif yang disebabkan keterputusan sanad diantaranya: a. Muallaq, yaitu hadis yang gugur seorang perawinya atau lebih dari awal sanadnya secara berurutan. b. Mursal, yaitu hadis yang gugur perawinya pada akhir sanad setelah tabiin. c. Mudhal, yaitu hadis yang di dalam sanadnya ada dua orang perawi yang gugur atau lebih dimana saja letak kegugurannya dengan syarat berurutan. Seperti gugurnya perawi dari sahabat dan tabiin atau tabiin dan tabi tabiin. d. Munqhathi adalah hadis yang pada sanadnya ada seorang perawi yang gugur atau pada sanad tersebut disebutkan seorang perawi yang tidak dikenal identitasnya. e. Mudallas, terbagi atas dua: mudallas isnad yaitu apabila seseorang perawi meriwayatkan hadis dari perawi yang pernah dijumpainya, akan tetapi tidak pernah mendengarnya secara langsung, atau meriwayatkan dari seorang perawi yang sejaman tapi tidak pernah berjumpa. Mudallas syaikh yaitu apabila seorang perawi meriwayatkan hadis dari gurunya kemudian ia menyebut nama gurunya dengan nama, sebutan, nasab atau lainnya yang tidak terkenal agar tidak diketahui. 2. Hadis dhaif yang disebabkan cacatnya syarat keadilan. a. Maudhu yaitu hadis yang dinisbahkan kapada Rasulullah saw. dengan cara dibuat-buat dan bohong. Para ulama sepakat untuk tidak membolehkan periwatan hadis ini bagi yang mengetahuinya dalam pengertian apapun, kecuali dengan menjelaskan kemauduannya.

16

b. Matruk, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam meriwayatkan hadis, orang yang banyak melakukan kebohongan, tampak kefasikannya dalam berprilaku dan berbicara atau oleh seseorang yang pelupa. c. Munkar, yaitu apabila hadis itu berlainan dengan hadis yang diriwayatkan dengan perawi yang tsiqah, atau jika perawinya tidak adil dan dhabith walaupun hadisnya tidak menyimpang. d. Majhul, yaitu hadis yang dalam sanadnya ada perawi yang tidak dikenal orangnya atau keadaanya. 3. Hadis dhaif yang disebabkan hal-hal lain diantaranya adalah: a. Maqlub, yaitu hadis yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadis lain) disebabkan mendahulukan atau mengakhirkan. Penukarbalikan ini adakalanya terjadi pada matan atau sanad. b. Mudtharib, yaitu hadis yang diriwayatkan dalam bentuk yang bermacammacam dengan sama kuat, sehingga pertentangannya tidak mungkin dipersatukan, dinasakh atau ditarjih. c. Syadz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyalahi (baik dalam matan maupun sanad) perawi yang lebih tsiqah dengan menambah atau mengurangi tanpa ada kemungkinan untuk dipersatukan. Kehujjahan hadis dhaif Terdapat dua pendapat tentang boleh tidaknya hadis dhaif diamalkan. Pendapat pertama mengatakan bahwa hadis dhaif sama sekali tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk fadhail alamal. Perdapat tersebut dikemukakan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu al-Araby. Pendapat kedua mengatakan hadis dhaif boleh dijadikan hujjah atau diamalkan hanya pada fadhail al-amal dengan syarat: 1. Para rawinya tidak terlalu lemah; 2. Masalah yang dikemukakan mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh alQuran dan hadis sahih; 3. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hambal, Abdurrahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar al-Atsqalani.

17

Diantara sumber-sumber hadis dhaif adalah: 1. Al-Maudhuat karya al-Imam al-Hafizh Abu Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi (w. 597 H). 2. Al-Laali al-Mashnuah fi al-Ahadits al-Maudhuah karya al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H). 3. Al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dhaif karya al-Hafizh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H). 4. Al-Mashnu fi al-Hadits al-Maudhu karya Ali al-Qari (w. 1014 H). Pembagian Hadis Ditinjau Dari Sudut Kuantitas Para sahabat mengambil hadis dari Nabi, terkadang dengan jalan musyafahah (lisan) atau menyaksikan perbuatan dan taqrir Nabi secara langsung. Sahabat yang mendengar atau menyaksikan langsung tersebut terkadang hanya didengar oleh seorang saja, dua atau beberapa orang saja, dan terkadang pula didengar dan disaksikan oleh jamaah. Atas dasar banyak dan sedikitnyalah yang meriwayatkan hadis tersebut dari Nabi, maka para ulama membagi hadis kepada dua bagian yaitu: 1. Hadis Mutawatir 2. Hadis Ahad Pembagian ini tidak disepakati oleh ulama ushul sebab mereka menjadikan hadis masyhur sebagai bagian tersendiri yang terpisah dari hadis mutawatir dan ahad, sehingga pembagian hadis dari segi jumlah periwayatannya menuurut ulama ushul dan golongan Hanafiah terdiri dari tiga yaitu mutawatir, masyhur dan ahad. Ulama hadis yang membagi kepada dua bagian karena memasukkan hadis masyhur sebagai bagian dari hadis ahad. A. Hadis Mutawatir Menurut istilah, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang adil dan siqah, yang berasal orang adil dan siqah pula sampai kepada Nabi. Pada pengertian yang lain bahwa hadis mutawatir adalah suatu hadis hasil tanggapan panca indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul untuk bersepakat berdusta.

18

Berdasarkan pengertian di atas, maka secara rinci syarat-syarat hadis mutawatir sebagai berikut: 1. Periwayatan yang disampaikan oleh periwayat-periwayat tersebut harus berdasarkan pada tanggapan panca indera. 2. Jumlah periwayat harus mencapai suatu ketentuan yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. 3. Periwayat yang banyak itu harus terdapat dalam semua tingkatan sanad, mulai dari awal sampai akhir. Ulama hadis mengklasifikasi hadis mutawatir kepada tiga yaitu mutawatir lafzhi, mutawatir manawy, mutawatir amaly. a. Mutawatir Lafzhi, yaitu suatu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dan dari orang banyak pula dengan susunan lafazh yang sama mulai dari sanad pertama sampai pada sanad terakhir dimana mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. b. Mutawatir Manawi, adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dan dari orang banyak pula dengan makna yang sama, meskipun lafaznya berbeda. c. Mutawatir Amali yaitu sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa itu dari agama dan telah mutawatir di antara umat Islam, bahwa Nabi telah mengerjakannya atau menyuruhnya atau selain dari itu dan dapat diterapkan atasnya tarif ijma. Kehujjahan hadis mutawatir Ulama sepakat bahwa hukum hadis mutawatir adalah qathi al-subut (yakin). Oleh karena itu umat Islam wajib untuk mengamalkannya. Umat Islam yang menolak keberadaan hadis mutawatir dianggap kafir. Semua hadis mutawatir tergolong maqbul, sehingga pembahasan mengenai keadaan rawi dalam kaitan ini tidak menjadi masalah penting.Hadishadis mutawatir dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang masyhur yang secara khusus menghimpun hadis-hadis mutawatir. Kitab-kitab tersebut antara lain: 1. Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi (w. 911 H). 2. Nazhur al-Mutanatsir Min alAhadits al-Mutawatir karya Muhammad Jafar alQathhani.

19

3. Ittihaf Dzawy al-Fadhail al-Musytahirah Baina Waqaa Min al-Ziadah Ala Azhar al-Mutanatsirah fi al-Ahadits al-Mutawatirah karya Syekh Abdul Azis al-Gamary. B. Hadis Ahad Hadis ahad ialah hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Hadis seperti ini mungkin saja diriwayatkan oleh satu, dua, tiga orang atau lebih. Perbedaan jumlah periwayat dalam menetukan hadis ahad oleh ulama mengklsifikasikannya kepada tiga bagian yaitu masyhur, `Aziz dan gharib. 1. Hadis Masyhur yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga sanad atau lebih pada setiap tingkatan selama belum mencapai derajat mutawatir. Penamaan masyhur terhadap suatu hadis, oleh sebagian ulama tidak melihat kuantitas periwayatnya tetapi melihat popularitasnya dikalangan masyarakat tertentu. Sehingga terkadang ada hadis masyhur hanya dikalangan ulama fiqhi atau ulama kalam, ulama hadis ataupun hanya masyhur dikalangan masyarakat umum. 2. Hadis `Aziz yaitu hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada tiap tingkatan sanad. Kemestian periwat dua orang pada masing-masing tingkatan sanad sangat sulit ditemukan. Oleh karena itu Ibnu Hajar al-Astqalani memberikan komentar bahwa kemestian periwayat dua orang pada tiap thabaqat tidak mesti, tapi cukup dua orang periwayat tersebut ada dalam tingkatan sanad meskipun tidak memenuhi pada masing-masing thabaqat. 3. Hadis Gharib yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat saja. Kesendirian periwayat tersebut tidak mesti terjadi pada semua tingkatan sanad, tapi boleh jadi hanya terjadi pada sebahagian tingkatan sanad. Kehujjahan hadis ahad Menurut jumhur ulama bahwa hadis ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, wajib diamalkan sekalipun zhanni dan tidak meyakinkan seperti hadis mutawatir. Sementara itu ada ulama yang sangat selektif dalam menjadikan hadis ahad sebagai hujjah. Mereka hanya memilih hadis ahad yang berkualitas sahih, sedangkan hadis ahad yang berkualitas dhaif mereka hanya mengambilnya sebatas fadhail al-amal.

20

IJTIHAD SBG DINAMIKA AJARAN ISLAM Dasar Filosofis & Definisi : - Ketika membincang ijtihad, salah satu rujukan hadis terkenal yang dijadikan dalil naqli oleh para ulama adalah :

` ) ).
Artinya:

Dari Hannad, dari Waqi, dari Syubah, dari Abu Aun al-Tsaqaf, dari alHarits, dari Amr, dari para sahabat Muadz (bin Jabal) bahwa Rasulullah saw mengutus Muadz ke negeri Yaman, bersabda, Bagaimana kamu memutuskan suatu perkara ?; Muadz menjawab, Berdasarkan kitab Allah (al-Qur`an). Rasulullah saw bertanya lagi, Jika tidak ditemu-kan di dalam kitab Allah?; Muadz menjawab, Berdasarkan sunah rasul-Nya. Nabi saw bertanya kembali, Jika tidak ditemukan di dalam sunah rasul-Nya?; Muadz menjawab, Saya berijtihad berdasarkan pikiran. Rasulullah saw menanggapi, Alhamdulillh, Allah telah memberi petunjuk pada utusan Rasulullah saw (H.R. al-Tirmidz). Defenisi Ijtihad Ada beberapa definisi tentang ijtihad: 1).Pengerahan segala kemampuan untuk menetapkan hukum-hukum tertentu yang diambil dari dalil-dalil terperinci; 2).Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu (hukum) yang zhann (relatif) dari hukum-hukum syariah; 3).Pengerahan segala kemampuan (intelektual) untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Etika, Syarat-syarat, dan Ragam Berijtihad : - Pada dasarnya, setiap manusia yang berakal dan memiliki kemampuan dalam disiplin ilmu tertentu, diperbolehkan berijtihad. Dalam wilayah teks-teks ekonomi misalnya, yang sangat dianjurkan untuk berijtihad adalah kaum ekonom Muslim yang juga memiliki concern di bidangnya. Ayat-ayat tentang rib (sebagian menyebut bungan

21

bank) perlu dikaji oleh kaum ekonom. Demikian juga bidang lainnya, seperti: politik, sosial-budaya, dan lainnya; termasuk agama. Namun begitu, beberapa ulama memberi beberapa syarat berijtihad: 1) memiliki niat dan tujuan yang baik; 2) mengetahui bahasa Arab beserta cabang-cabangnya, karena al-Qur`an dan hadis ditulis dalam bahasa Arab; 3) mengetahui ijm (kese-pakatan pendapat) dan ikhtilf (perbedaan pendapat) ulama; 4) mengetahui ushl fiqh, nsikh manskh (teks pengganti/pembatal dan yang diganti/dibatalkan) dalam al-Qur`an dan hadis; 5) memahami maqshid al-syarah (tujuan-tujuan syara). Ada 2 corak ijtihad: fard (individual) dan ijtim (sosial). Hasil dari ijtihad fard biasanya tidak mengikat, bersifat personal, dan lokal. Sedang ijtihad ijtim biasanya mengikat, bersifat sosial, dan berlaku umum, seperti fatwa MUI tentang larangan melakukan euthanasia.

Ijtihad di Masa Depan : - Di masa depan, umat Islam menghadapi banyak tantangan seiring perkembangan dan gerak dinamika zaman. Kasus-kasus mutakhir seperti: bayi tabung, kloning, euthanasia, dll, adalah sederetan PR bagi kaum mujtahid/intelektual Muslim, karena al-Qur`an dan hadis memang tidak menyinggung secara eksplisit.

22

Anda mungkin juga menyukai