Anda di halaman 1dari 3

RHINITIS MEDIKAMENTOSA

HISTOLOGI RHINITIS MEDIKAMENTOSA Banyak perubahan yang ditemukan dalam studi histologis pada Rinitis Medikamentosa (liat tabel 3). Adanya gangguan pada fungsi silia hidung (nasociliary), seperti yang telah diungkapkan pada tahun 1934, yang diperkuat dengan studi uncontrolled pada pengobatan kelinci yang salah satu dari keduanya diterapi dengan efedrin 1% dengan sodium sulfathiazol atau naphazoline 4 kali sehari. Pada kelinci tersebut ditemukan hilangnya yang dimulai pada hari ke-5, terdapat kerusakan sel epitel mukosa hidung pada minggu pertama dan edema di minggu kedua. Edema lapisan subepitel diikuti dengan fibrosis dan hipertrofi selama minggu ketiga. Selanjutnya terjadi kerusakan seluler dengan diikuti edema dan produksi mucus yang terjadi selama minggu ketiga dan keempat. Disorganisasi seluler total dicatat pada minggu kelima dan sel epitel berubah dari sel kolumner bersilia menjadi tidak bersilia, sel skuamous kompleks pada minggu kedelapan. Pembuluh darah mulai berdilatasi tetapi semakin lama menjadi sklerosis dan konstriksi. Talaat et al menggunakan mikroskop electron pada model kelinci untuk membandingkan mukosa hidung normal dengan mukosa yang diberikan efedrin 1% selama 2 dan 3 minggu. Kelinci dengan efedrin selama 2 minggu berkembang menjadi abnormal microtubules lacking the normal 9+2 structure; Sebaliknya. Mikrotubulus menempel bersama dengan kelompok club-like homogen. Edema disebabkan oleh pemisahan sel epitel. Desmosom, yang mengubungkan sel-sel pada lapisan sel basalis dekat lamina basalis, menurun. Lapisan subepitel juga mengalami edema dan mengandung fibril kolagen yang tersusun secara ireguler. Setelah 3 minggu terapi, ditandai penurunan jumlah silia pada permukaan epitel. Terjadi edema kembali pada epitel. Dilatasi dan kongesti vaskular terjadi pada tunika venula dengan peningkatan jumlah lubang pada sel endothelial junction. Membran dasar juga menebal. Tabel 3. Perubahan Patologis pada Rhinitis medikamentosa - Hilangnya silia hidung dan perubahan pada struktur silia hidung (nasosiliar) - Metaplasia sel skuamosa - Peningkatan produksi mucus - Perubahan sel epitel dari kolumner bersilia menjadi skuamous kompleks tanpa silia - Penggundulan sel epitel - Peningkatan ruang interseluler, vascular, fibrosis dan edema pada lapisel sel epithelial - Hiperplasia sel goblet - Peningkatan reseptor growth factor epidermal pada lapisan sel epithelial - Peningkatan limfosit, fibroblast dan sel plasma.

Pada studi lainnya, Rinitis Medikamentosa pada babi guinea disebabkan oleh pemberian 2 tetes naphthazoline nitrate 0.05% kedalam lubang hidung sebanyak 3 kali sehari. Hewan tersebut kemudian disembelih pada minggu ke-2, 4, 6, 8, 12, 16 dan spesimen dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama diteliti histopatologi dengan menggunakan mikroskop cahaya dan kelompok lainnya dengan studi histokimia. Jumlah sel goblet meningkat sampai dengan minggu ke-6, kemudian menurun. Peningkatan jumlah limfosit, sel plasma dan fibroblast, metaplasia sel skuamosa, peningkatan

vaskularitas, hiperplasia glandular, dan edema juga terlihat selama studi ini. Peningkatan enzim kolinesterase ditemukan pada keseluruhan studi pada serabut saraf kolinergik di sekitar kelenjar. Mengakibatkan penurunan respon parasimpatik. Studi histokimia mengungkapkan adanya peningkatan aktivitas ensim suksinat dehidrogenase, alpha esterase, alkali fosfatase dan asam fosfatase. Suh et al telah mengevaluasi efek phenylephrine dan oksimetazolin pada 90 ekor kelinci sehat menggunakan mikroskop elektron dan cahaya. Kelinci-kelinci tersebut dibagi menjadi 3 kelompok : phenylephrine topikal, oksimetazolin topikal, dan saline topikal yang dilakukan selama 1, 2, atau 4 minggu. Setelah 2 minggu, kelompok kelinci yang diberi phenylephrine atau oksimetazolin, mengalami kehilangan mukosiliar, terjadi infiltrasi sel mukosa, limfosit primer dan edema subepitel. Hilangnya silapada permukaan epitel meningkat pada minggu ke-4 pada kedua kelompok, baik yang diberi phenylephrine dan oksimetazolin dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, mitokondria, vakuola endoplasma dan vesikel sitoplasma ditemukan pada kelompok dekongestan hidung setelah 2 dan 4 minggu. Sinusitis maksila purulen akut hanya terjadi pada kelompok phenylephrine pada minggu ke 4. Hasil studi pada manusia tidak meyakinkan. Contohnya, xylometazolintelah dilaporkan tidak mempengaruhi fungsi silia hidung. Petruson dan Hannson menggunakan mikroskop elektron dan rhinomanometry posterior untuk meneliti 20 orang sehat setelah menggunakan xylometazolin (1 mg/mL) selama 6 minggu, 0.15 mL, 3 kali sehari. Tidak ada perubahan morfologi pada ruang interseluler (intercellular space), membrane dasar atau tunika propria di mukosa hidung setelah 6 minggu penggunaan. Lima subjek berkembang menjadi infeksi virus respirasi atas selama percobaan. Subjek ini juga tidak menunjukkan penurunan transport mukosiiar atau kongesti reaktif setelah terapi. Studi lainnya menunjukkan tidak ada perkembangan kongesti rebound pada subjek normal setelah penggunaan xylometazolin selama 3 minggu, tetapi RM merupakan perkembangan dari subjek dengan rhinitis non alergi. Lin et al menggunakan mikroskop elektron dan immunohistokimia untuk membandingkan mukosa nasal pada subjek kontrol dan individu dengan rhinitis hipertrofi kronis atau RM. Subjek dengan RM memiliki hiperplasia sel goblet yang paling menonjol dan level reseptor growth factor epidermis tertinggi pada lapisan basal dari hiperplasi epitelium. Reseptor growth factor epidermis merupakan hal yang penting dalam diferensiasi dan proliferasi sel epitelial. Hal itu terlihat di penyakit keganasan dan hipersekretori jalan nafas tetapi jarang terlihat pada jaringan hidung normal. Pada sebuat studi yang dilakukan oleh Graf dan Juto, tidak ada kongesti rebound yang terjadi pada pengamatan 8 orang relawan sehat setelah penggunaan oksimetazolin 10 hari. Akan tetapi, ditemukan pembengkakan ulangan (rebound) setelah penggunaan 30 hari. Studi lain yang dilakukan Graf dan Juto menunjukan peningkatan skor sensitivitas histamine dan sgejala kongesti nasal/hidung subjektif pada relawan sehat. Perubahan mulai hari ke-10 terapi oksimetazolin dan dilanjutkan sampai hari ke-30. Pada studi dengan 30 orang subjek yang terdiagnosa RM sekunder terhadap naphazoline, menunjukkan adanya destruksi dari silia hidung dan sel mitokondria epithelial. Selain itu terjadi pembengkakan epithelium hidung sekunder karena dilatasi arteriolar, infiltrasi mononuclear, dan sekresi

dan hyperplasia glandula. Pembersihan mucus hidung pada kelompok ini diperpanjang menggunakan sakarin. Studi pada manusia menunjukkan bahwa dekongestan hidung menyebabkan RM pada subjek dengan kongesti hidung sebelumnya, dan kongesti rebound dapat berkembang pada subjek sehat setelah penggunaan 10 hari.

Anda mungkin juga menyukai