Anda di halaman 1dari 6

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY & NGOs DALAM ERA GLOBALISASI

Pendahuluan

Di era globalisasi seperti sekarang ini, orientasi dari sebuah usaha adalah mencari keuntungan semata (profit-oriented). Prinsip dasar yang kemudian diterima secara luas dalam dunia usaha adalah business is business. Dengan berpegang pada prinsip ini, sebuah perusahaan bisa menghalalkan segala macam cara untuk bisa meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sehingga seringkali terjadi gesekan-gesekan kepentingan baik di dalam internal perusahaan sendiri ataupun antara perusahaan dengan pihak eksternal. Namun, saat ini perusahaan tidak hanya dituntut untuk mencari keuntungan semata dan menghalalkan segala macam cara untuk meraihnya, tetapi juga harus memperhatikan tanggung jawab sosial dimasyarakat yang berguna untuk menjaga kelangsungan perusahaan itu sendiri. Untuk itu, sudah hampir beberapa tahun belakangan ini sering kali kita dengar istilah Corporate Social Responsibility atau yang biasa disingkat dengan CSR. Organisasi Non Pemerintah (NGOs) atau yang lebih dikenal dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat sipil dan beberapa kalangan akademis adalah kelompok pendukung CSR. Di berbagai tempat, kenyatan berkali-kali memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan yang hanya mau mengeruk keuntungan finansial dan mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan, bukan saja mendapat tentangan dari warga sekitar, tapi juga tekanan yang hebat dari LSM-LSM (NGOs) yang sepak terjangnya tidak mengenal batas wilayah Saat ini, banyak perusahaan yang menyadari bahwa menerapkan konsep CSR merupakan investasi yang baik untuk perkembangan serta kelangsungan bisnis mereka. Mengingat aktivitas CSR di era globalisasi ini dianggap sebagai rujukan untuk menilai potensi keberlangsungan suatu perusahaan dan kalangan investor, khususnya di dunia internasional. Corporate Social responsibility (CSR) dan Non Govermental Organizations (NGOs) Defenisi dari CSR itu sendiri telah dikemukakan oleh banyak pakar. Di antaranya adalah defenisi yang dikemukan oleh Magnan & Ferrel yang mendefenisikan CSR sebagai : A business acts in socially responsible manner when its decision and actions account for and balance diverse stakeholder interest. Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholder yang beragam dalam setiap

keputusan dan tindakan yang diambil para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab. Sedangkan Komisi Eropa membuat defenisi yang lebih praktis yang pada galibnya bagaimana perusahaan yang secara sukarela memberikan kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih. Sedangkan Elkington mengemukakan bahwa sebuah perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada peningkatan kualitas perusahaan ( profits); masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet earth). The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam pubilkasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, sebagai: Continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workface and their families as well as of the local community and society at large . Maksudnya adalah komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. Rumusan atau defenisi atau pengertian yang diberikan di atas menunjukkan kepada masyarakat bahwa setidaknya ada tiga hal pokok yang membentuk pemahaman atau konsep mengenai CSR. Ketiga hal tersebut adalah: 1. Bahwa sebagai suatu artificial person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak dapat menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap keadaan ekonomi, lingkungan maupun sosialnya 2. Keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan ( sustainability) perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stakeholders-nya dan bukan hanya shareholders-nya. Para stakeholders ini, terdiri dari shareholders, konsumen, pemasok, klien, costumer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan (the local community and society at large ) 3. Melaksanakan CSR berarti juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui usaha yang dijalankan dan/atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR adalah bagian terintegrasi dari kegiatan usaha (business), sehingga CSR berarti juga menjalankan perusahaan atau korporasi untuk memperoleh keuntungan. Sementara Non Govermental Organization (NGOs) atau lebih dikenal dengan Lembaga swadaya masyarakat adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.

Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb : a. Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara b. Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba) c. Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi Latar Belakang dan Perkembangan Corporate Social Responsibility Revolusi industri pada dekade 19-an, telah mengakibatkan adanya ledakan industri. Di era itu, korporat memandang dirinya sebagai organisasi yang bertujuan mengeruk keuntungan semata. Kontribusinya terhadap komunitas hanya berupa penyediaan lapangan kerja dan mekanisme pajak yang dipungut pemerintah. Padahal, komunitas membutuhkan lebih dari itu. Kegiatan ekonomi yang dilakukan korporat telah membawa kerusakan pada lingkungan, yang acap kali biaya pemulihannya dibebankan pada komunitas/pemerintah. Seiring perkembangan teori manajemen, periode 1970-an korporat pun mulai menyadari pentingnya peran lingkungan internal dan eksternal terhadap keberadaanya. Komunitas tidak lagi dianggap sebagai konsumen semata, melainkan juga sebagai mitra ( partnership). Maka lahirlah istilah CSR atau tanggung jawab sosial korporat. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR yang palling primitif: kedermawaan yang bersifat karitatif. Tanggung jawab sosial korporasi (Corperate Social Responsibility) telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Komisi Masyarakat Eropa menyebutkan 4 (empat) faktor yang mendorongnya perkembangan CSR, yaitu: 1. Kepedulian dan harapan baru komunitas, konsumen, otoritas publik, dan investor dalam konteks globalisasi dan perubahan industri berskala besar 2. Kriteria sosial memberi pengaruh besar dalam pengambilan keputusan investasi individu dan institusi baik sebagai konsumen maupun investor 3. Meningkatnya kepedulian pada kerusakan lingkungan yang disebabkan kegiatan ekonomi 4. Transparansi kegiatan bisnis akibat perkembangan media teknologi komunikasi dan informasi modern. Manfaat Corporate Social Responsibility Dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada 3 (tiga) hal, yaitu profit, lingkungan, dan masyarakat. Dengan diperolehnya laba, perusahaan dapat memberikan deviden bagi pemegang saham, mengalokasikan sebagian laba

yang diperoleh guna membiayai pertumbuhan dan pengembangan usaha di masa depan, serta membayar pajak kepada pemerintah. Dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada lingkungan sekitar, perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan demi terpeliharanya kualitas kehidupan umat manusia dalam jangka panjang. Perusahaan juga ikut mengambil bagian dalam aktivitas manajemen bencana. Manajemen bencana di sini bukan hanya sekedar memberikan bantuan kepada korban bencana, namun juga berpartisipasi dalam usaha-usaha mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan dampak bencana melalui usaha-usaha pelestarian lingkkungan sebagai tindakan preventif untuk meminimalisir bencana. Di Amerika Serikat beredar wacana bahwa apabila suatu perusahaan berpartisipasi dalam isu-isu sosial, tidak hanya perusahaan tersebut akan kelihatan baik di mata para konsumen, investor, dan analisis keuangan, tetapi perusahaan tersebut akan memiliki reputasi yang baik di mata congress, atau bahkan di dalam ruang pengadilan apabila terlibat dalam suatu perkara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Business for Social Responsibility, adapun manfaat yang dapat diperoleh oleh suatu perusahaan yang mengimplementasikan CSR antara lain: 1. Peningkatan penjualan dan pangsa pasar (increased sales and market share) 2. Memperkuat posisi nama atau merek dagang (strengthed brand positioaning) 3. Meningkatkan citra perusahaan (enhanced corporate image clout) 4. Meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi, dan mempertahankan pegawai (increased ability to attract, motivate, and retain employees ) 5. Menurunkan biaya operasi (decreasing operating cost) 6. Meningkatkan daya tarik bagi investor dan analis keuangan ( increased appeal to investors and financial analysts) Penerapan CSR : Implementasi dan Paradigma Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung jawab Sosial Perusahaan bukan merupakan wacana yang baru lagi tapi telah dilaksanakan oleh sebagian besar perusahaan besar dan menengah , swasta, domestik, nasional maupun internasional. Kalau dulu implementasi CSR kebanyakan masih sebatas pada pemberian beasiswa suatu perusahaan kepada siswa sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Sarjana. Tapi kini, bentuk implementasi CSR bisa bermacammacam, dari memberi bantuan kepada para korban bencana alam hingga penghijauan. Saat ini masih banyak perusahaan yang mengartikan Corporate Social Responsibility (CSR) hanya sebagai kegiatan filantropis yang bersifat sesaat atau jangka pendek. Sesungguhnya

Kegiatan CSR tak sekadar memberi sumbangan kepada masyarakat di sekitar perusahaan. Mereka juga melibatkan masyarakat dalam kegiatan bisnis di perusahaan. Adapun motivasi yang mendorong perusahaan untuk melakukan CSR ada bermacammacam. Kegiatan kedermawanan sosial perusahaan dapat dikategorisasikan ke dalam tiga tahap atau paradigma yang berbeda. Tahap pertama adalah corporate charity, Tahap kedua corporate philantrophy, Tahap ketiga adalah corporate citizenship. Motivasi dasar ketiga paradigma ini dapat dibedakan dari motivasi agamis dan tradisi (charity) , norma dan etika universal (pemerataan social), dan kontribusi atau keterlibatan social. Tidak semua perusahaan mempunyai komitmen kuat untuk melaksanakan CSR yang baik. Banyak perusahaan yang melihat CSR sekedar sebagai kosmetik untuk mendapatkan legitimasi yang dapat mempengaruhi opini publik terhadap perusahaan. Untuk perusahaan yang berorientasi mencari keuntungan , hakekat CSR yang sukarela ditambah dengan lemahnya penegakan hukum di Indonesia membuat mereka mudah untuk menghindari keharusan melaksanakan CSR. Sebaliknya, bagi perusahaan yang sungguh-sungguh mempunyai komitmen untuk menjalankan tanggung jawab sosial, lemahnya hukum membuat mereka frustasi. Berapa pun besarnya CSR yang mereka salurkan untuk menyokong pembangunan komunitas, tetap saja ada protes, boikot, atau pun ancaman fisik yang menempatkan perusahaan pada situasi dilematis. Kesimpulan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep yang menggambarkan tanggung jawab perusahaan terhadap tindakan dan kebijakan perusahaan yang berdampak terhadap lingkungan alam dan komunitas dimana perusahaan itu beroperasi. Kegiatan CSR yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar sebagian besar masih bersifat karitatif, tidak diselenggarakan secara terencana dan bersifat temporer atau berorientasi jangka pendek. CSR masih dianggap sebagai bentuk kegiatan amal perusahaan. Dengan demikian, motivasi untuk menjalankan CSR lebih didorong oleh kesadaran sosial spiritual. Belum banyak perusahaan yang menjadikan CSR sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang atau sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial atau etika bisnis perusahaan.

Fenomena CSR merupakan bukti bahwa perumusan problem atau kepentingan publik tidaklah mudah. Aktivitas dan keputusan lembaga apapun yang berdampak pada kepentingan orang banyak dapat dipandang sebagai problem atau kepentingan public. Adanya CSR berimplikasi pada locus studi administrasi publik. Locus studi administrasi negara tidak lagi pada kelembagaan negara yang memegang mandat kepentingan publik, tapi mencakup semua lembaga negara, privat/bisnis maupun non profit (NGOs) - sepanjang lembaga-lembaga ini melaksanakan kepentingan publik atau tindakannya berdampak kepada kepentingan publik. Corporate Social Responsibility (CSR) dipahami oleh sebagian besar perusahaan sebagai tanggungjawab sosial yang bersifat sukarela Karena itu adanya aturan yang menjadikan CSR sebagai kewajiban mendapat tantangan dari para pelaku bisnis. Untuk mengeliminir prasangka negatif dunia usaha, negara harus mengefektifkan perannya sebagai penyedia enabling environment . Pemerintah jangan hanya memposisikan diri sebagai pemberi komando, regulator atau pengawas CSR. Pemerintah harus banyak menjalankan aktivitas nonregulatori seperti penyelenggarakan pelatihan atau pendampingan CSR, koordinasi pelaksanaan CSR antardepartemen maupun antar stakeholder, membiayai penelitian-penelitian tentang CSR, memberikan insentif untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang baik dan memberi disinsentif bagi mereka yang berkinerja buruk. Agar tidak terjadi penyalahgunaan CSR perlu dikembangkan standard penilaian dan mekanisme pengawasan yang transparan, adil dan akuntabel. Untuk itu perlu adanya lembaga pengawas CSR yang independent yang terdiri dari para pakar CSR, pakar lingkungan, pemerintah dan masyarakat setempat Yang terpenting , pemerintah jangan sekali-kali menjadikan CSR sebagai alat untuk menambah pundi-pundi pendapatan negara atau daerah ataupun media untuk mengalihkan sebagian tanggungjawab negara ke sektor bisnis. Lembaga negara juga tidak boleh berperan sebagai agen CSR. Lembaga negara harus netral, peran negara sebatas sebagai mediator dan fasilitator CSR. Pelaksana dan otoritas implementasi diserahkan sepenuhnya pada sektor bisnis atau sektor ketiga (NGOs non-profit). Kesediaan lembaga negara sebagai agen pelaksana CSR akan membuka peluang kolusi antara korporasi dan negara.

Anda mungkin juga menyukai