Anda di halaman 1dari 59

Pemilu 2009 paling rusuh bagian 29878

Gus Dur Mending kita rusuh ngapain kok


repot mendingan kita…………..pasang SDSB
Porkas gitu aja kok repotttttttttttt repot
Emang tabloid aksi membleee gitua aja kok
repott itu tabloid editor memblee bossssssssss

Tabloid aksi Riwayatmu kini


u peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok
.... korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB, dsb.
..... Monitor program installation, registry changes and file access down to ......
Tidak menyebut langsung buah lengkeng, redaktur ahli Tabloid SENIOR ini ...
Wendo dan Tujuh Samurai

Oleh : Agus Sopian

RESMINYA, ia bernama Sarwendo. Lantaran dianggap kurang komersial dan ... ngepop,
ia mengubahnya jadi Arswendo. Di belakangnya, ia bubuhkan nama sang ayah. Jadilah ia
Arswendo Atmowiloto. Untuk menyapa, Anda tak perlu bersusah-payah menyebut
selengkap-lengkapnya. Cukup memanggil Wendo, pasti ia menoleh.

Lebih 10 tahun silam, tabloid yang dipimpinnya, Monitor, membuat semacam angket.
Ekornya, publik tak cuma kaget. Tapi juga marah. Ia dituding menghina Nabi
Muhammad S.A.W. Ia dihujat melukai hati kaum Muslim, warga mayoritas di Indonesia.

Kemarahan itu mereka luapkan dalam aksi-aksi unjuk rasa sepanjang akhir Oktober
hingga awal November 1990. Klimaksnya, Wendo ditahan. Dari sini klimaks-klimaks
lain bermunculan: organisasi wartawan tempatnya berlindung mencabut status
keanggotaannya, perusahaan tempatnya bekerja mempreteli seluruh jabatannya,
pengadilan tempatnya mencari selarik sinar keadilan malah menggodamnya dengan
hukuman maksimal.

Jangan tanya Monitor, anak rohani kreativitas Wendo. Sebelum dirinya benar-benar
masuk bui, tabloid “ser dan lher” itu sudah tewas di tangan penguasa.

Kekusutan nasib Wendo tak hanya sampai di sana. Keluarganya, yang semula hidup
berkecukupan, tiba-tiba kelimpungan. Cecilia Tiara, si bungsu, terpaksa bersekolah
sambil berjualan kue buatan ibunya. Separuh harta mereka ludes dipakai mengongkosi
perkara Wendo. Perkara Monitor juga.
Wendo habis?

KEAHLIANNYA melukis tato menyelematkan Wendo. Tak berani menato orang, sandal
jepit jadi sasaran. Dalam sehari, Wendo bisa menggambari sandal sampai berpuluh-puluh.
Sandal yang mulanya cuma berharga Rp 500, bisa ia lego dengan harga Rp 2.000 - Rp
2.500 setelah ditato.

Belakangan, ia mengajarkan keahliannya pada anak-anak buahnya. “Saya punya anak


buah sampai 700 orang. Saya jadi bos yang tak terlawan. Bener-bener bos dari yang bos,”
kata Wendo kepada saya dengan nyengir khasnya.

Seperti bos gangster dalam kisah-kisah mafioso, hari-hari Wendo berikutnya hampir tak
pernah luput dari kawalan. Minimal ada dua “letnan” Wendo yang sangat setia dan
berjanji mati untuknya. “Saya nggak tahu siapa mereka sebenarnya. Saya namai mereka
Charlie dan Safei,” ungkap Wendo. Charlie berasal dari Manado, Safei dari Madura.

Pernah suatu ketika Wendo berjalan-jalan menghirup angin. Charlie dan Safei tiba-tiba
berlari menyalip. Orang di depan Wendo, mereka pukul bergantian. Wendo terpana. Dan
setelah menguasai diri, Wendo menghardik mereka, “Ngapain kamu mukul-mukul orang.
Kan dia nggak salah?”

“Dia ngalangin jalan, Bos,” Safei menjawab.

“Kamu tahu,” Wendo menyunggingkan senyum pada saya, “orang nginjek bayangan
saya, bisa dipukul. Itu real.”

O ya, A.M. Fatwa dan Tony Ardhie itu, yang awalnya amat ditakuti Wendo, ternyata tak
membuatnya menderita. Alih-alih menyengsarakannya, mereka malah menyambut hangat
sebuah jalinan persahabatan. Wendo punya kesan, Fatwa dan Ardhie bukanlah manusia-
manusia pemberang. Mereka lembut hati.

Tahu aturan main, penjara jadi ramah buat Wendo. Sipir-sipir jadi sahabatnya pula. Ruang
komunikasi yang dulunya sempit, jadi serasa longgar. Wendo menggunakan ruang ini
untuk mulai mengintensifkan aktivitas menulisnya, yang sempat tertunda untuk beberapa
waktu lama karena larangan membabi-buta.

Ingat inspeksi, ingat sensor. Ingat sensor, Wendo jadi ingat pengalaman yang
membuatnya senyum-senyum sendiri. Sudah jadi semacam memorandum of
understanding, setiap menyelesaikan tulisannya, Wendo harus menyetor kepada sipir
untuk disensor.

Saat sedang malas menulis, sang sipir datang lagi, “Sensor ... sensor ....”

Wendo angkat tangan.


Sipir itu bilang “Mana ini lanjutannya?”

Ha ... ha ... ha ... kembali Wendo tergelak, “Rupanya gara-gara nyensor jadi suka baca
novel.”

Selama di sel, Wendo menghasilkan artikel. Jumlahnya puluhan. Belum lagi tiga naskah
skenario, tujuh novel, dan beberapa cerita bersambung. Sebagian di antaranya ia kirimkan
ke redaksi suratkabar seperti Kompas, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. Tentu saja
dengan alamat gadungan dan identitas palsu. Untuk alamat, ia acap menggunakan “Jalan
Bekasi Raya 45.”

“Sampai tahun 1995 saya belum pake nama sendiri. Saya cuma ingin membuktikan
bahwa saya profesional di bidang ini,” ungkapnya. Sekadar untuk menyebut contoh,
Wendo menggunakan nama Sukmo Sasmito untuk Sudesi (Sukses dengan Satu Istri),
novelnya yang dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Sedangkan untuk
cerita bersambung Auk di Suara Pembaruan, Wendo memakai nama Lani Biki,
kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng ia pungut sekenanya. Masih ada nama
lain yang juga dipakainya. Katakanlah Said Saat atau B.M.D. Harahap.

Produktivitas tulisan Wendo yang boleh dikata luar biasa untuk ukuran narapidana, tak
datang dengan sendirinya. Insipirasi dan ilhamnya menulis, antara lain datang dari
pergumulannya dengan perpustakaan yang ia bangun di bloknya. “Wendo biasa kejam
pada dirinya. Waktu di Monitor dulu, ia punya daftar buku yang harus dibacanya dalam
sebulan,” kata Veven Sp. Wardhana, salah seorang koleganya yang sama-sama merintis
Monitor.

“Siapa pun boleh membaca di situ,” kata Wendo tentang perpustakaan miliknya, yang
juga memuat semacam koran dinding. “Syaratnya cuma dua. Satu, kaki harus bersih.
Dua, sudah mandi.”

WENDO lahir di Harjopuran, Surakarta, pada 26 Nopember 1948. Ia anak ketiga dari
enam bersaudara. Sarono adalah sulung mereka, yang di belakang hari mengubah
namanya jadi Satmowi Atmowiloto. Di bawah Sarono berturut-turut Kamtinah, Wendo,
Kamtari, Sarsidi, dan Kusukaningsih. Sarsidi, yang tak pernah melepaskan nama
baptisnya, Gregorius, kelak ikut Wendo mengeloni Monitor.

Ayah mereka, Djoko Kamit, kemudian mengganti namanya jadi Atmo Wiloto, meninggal
pada 1960 dalam usia 68 tahun atau saat Wendo duduk di bangku kelas lima sekolah
dasar. Sang ayah lulusan AMS (Algemene Middelbare School), setingkat sekolah
menengah atas. Menjelang hayatnya berakhir, ia bekerja di balai kota Surakarta sebagai
staf bagian hukum dengan golongan pegawai II-C. Sedangkan ibu mereka, Sardjiem,
meninggal pada 1965. Praktis, di usia 17 tahun Wendo jadi anak yatim-piatu.

Sejak ayahnya meninggal, mereka hidup dari uang pensiunan dan sewaan pendopo rumah
yang disulap jadi Sekolah Dasar Negeri Harjopuran. Bagi mereka, sekolah itu jelas
mendatangkan berkah. Wendo dan saudara-saudaranya hanya perlu beberapa langkah dari
tempat tidur untuk menuntut ilmu.

Selepas sekolah dasar, Wendo remaja belajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri IV
Banjarsari dan Sekolah Menengah Negeri II Margoyudan. Kini ia harus berjalan berkilo-
kilometer untuk menuntaskan pendidikannya.

Wendo hampir tak pernah mendapat uang saku untuk jajan. Tapi ia bukan tipe manusia
melankolis dan terus-menerus meratapi nasib, yang makin hari makin terasa kalau ia dan
saudara-saudaranya ternyata miskin. Majalah Tempo pada 1990 pernah secara dramatis
mendeskripsikan kemiskinan mereka, yang untuk membeli beras saja terpaksa harus
mencongkel beberapa lembar genting untuk dijual.

Di sela-sela waktu kerjanya, Wendo meluangkan waktu membaca komik dan cerita
wayang. Pengarang favoritnya R.A. Kosasih dan B. Ardi Soma. Kedua-duanya komikus
asal Bandung dan sangat terkenal dalam dekade 1970-an. “Mungkin kamu benar gara-
gara itu daya khayal saya kuat sekali,” kata Wendo pada saya, di awal November 2001.

Daya khayal itu pula agaknya yang menuntun Wendo ke dunia tulis-menulis. Awalnya,
saat duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas, tahun 1967, iseng-iseng Wendo
membuat tulisan. Ia mengirimkannya ke Gelora Berdikari, suratkabar mingguan di
kotanya. Ia kaget sendiri sebab tanpa dinyana tulisannya ternyata dimuat. Tak perlu
menunggu berhari-hari, ia segera mendatangi kantor redaksi mengambil honor sekalian
berkenalan. “Lupa berapa honornya, Rp 150 atau Rp 1.500. Tapi kira-kira cukup untuk
makan tiga harilah,” kata Wendo.

Tamat sekolah menengah atas, Wendo girang betul begitu dinyatakan mendapat beasiswa
ikatan dinas dari Akademi Pos dan Telekomunikasi Bandung, pada 1968. Kegirangan
yang wajar, agaknya. Tidak banyak siswa yang mendapat keberuntungan seperti itu. Dari
sekian sekolah menengah atas yang bertebaran di Jawa Tengah, hanya dua orang yang
beruntung.

Hari-hari terakhir berangkat ke Bandung tiba. Pagi-pagi sekali Wendo keluar dari
rumahnya dengan membawa tiga setel pakaian di dalam tasnya. Ia berjalan sepanjang
lima kilometer dengan tujuan stasiun kereta api Solo-Balapan. Pukul 07.00 lebih Wendo
sampai di sana.

Di tengah arus manusia, Wendo menunggu kereta datang dengan hati gamang. Kereta api
ke Bandung biasanya berangkat dari Solo-Balapan sekitar pukul 09.00 kalau tidak ada
gangguan. Ini artinya, Wendo punya banyak waktu untuk mencari wajah-wajah yang
mungkin dikenalnya.

Sepanjang penantian Wendo berjalan hilir mudik. Sama sibuknya dengan kaki, lehernya
tengok kanan tengok kiri.
Dari sebelah timur, pukul 09.00 lebih, lokomotif mengasapi langit. Mestinya Wendo
senang sebab kota Bandung yang hendak ditaklukkannya tinggal hitungan jam. Tapi
Wendo justru tambah gamang. Kegetiran merambati sekujur dirinya.

Bahkan ketika kereta api berangkat, Wendo masih berdiri di sana. Rupanya, ia tak
berhasil mencari wajah-wajah yang dikenalnya. Ia tak punya duit untuk beli karcis.

Wendo putar badan. Sekali lagi ia menempuh perjalanan sepanjang lima kilometer,
menyusuri rute yang dijejaknya tiga jam lalu. Kali ini ia memikul beban harapan yang
baru saja hilang.

URUNG kuliah di Bandung, Wendo tidak terus-menerus menyumpahi takdirnya. Ia


kembali pada kegiatan yang telah dirintisnya: menumpahkan imaji-imajinya ke dalam
tulisan dan mengirimkannya ke berbagai media massa.

Sejumlah cerita pendek, baik dalam bahasa ibunya, bahasa Jawa, maupun bahasa
Indonesia, ia kirimkan ke Gelora Berdikari di Surakarta dan majalah Mekarsari
Yogyakarta. Jakarta pun ditembusnya. Majalah anak-anak Si Kuntjung sering memuat
karya Wendo. Belakangan, Wendo bergabung dengan suratkabar mingguan Dharma
Kanda terbitan Surakarta. Kegiatan jurnalistik mulai diotak-otik, menulis fiksi terus
didalami.

Mengikuti jejak kakaknya, Satmowi Atmowiloto, Wendo menginjakkan kaki di Jakarta


pada 1973. Di ibukota, sastrawan Julius Sijaranamual yang sudah lama menunggunya,
menyambut Wendo. Ia ditempatkan sebagai wakil pemimpin redaksi Astaga, majalah
humor yang didirikan Sijaranamual.

Dari Astaga yang mati muda, Wendo melangkah ke Midi, majalah remaja yang
diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia. Habis Midi, terbit Hai. Di majalah yang
disebut terakhir, Wendo benar-benar mengencangkan tali sabuk dan ngebut dengan
sejumlah karya-karya kreatifnya, mulai serial detektif Jawa Imung, petualangan Kiki dan
Komplotannya, serta cerita silat Senopati Pamungkas. Remaja generasi 1980-an, terutama
pembaca Hai, niscaya tahu buku Wendo yang sangat terkenal: Mengarang Itu Gampang.

Karya-karya itu sekaligus menunjukkan kelas Wendo sebagai wartawan-cum-pengarang


produktif. Dengan jumlah lebih 200 cerita pendek, puluhan novel, sejumlah cerita
bersambung, beberapa naskah drama, puluhan artikel lepas, esai, dan kolom,
produktivitas Wendo jelas tak terlawan oleh siapa pun pada masanya di Indonesia.

Tak usah mendiskusikan hubungan produktivitas dengan kualitas. Wendo agaknya


dengan mudah mematahkan teori yang tak jelas asal-usulnya itu. Simak saja daftar
pemenang sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan Dewan Kesenian
Jakarta. Sepanjang tahun 1970-an saja, Wendo tiga kali menyabet juara: 1972, 1974, dan
1975.
Tipikal tulisan Wendo biasanya ringan dan siap saji seperti fast food, renyah bagai
rempeyek, dan berasal dari dunia remaja. Tulisan mengenai televisi, lain lagi. Wendo bisa
saingan dengan seorang akademisi. Kalau perlu ia bermain-main dengan grafik, tabel,
angka-angka. Sejarah pun memberinya tempat sebagai kritikus televisi terkemuka.
Majalah mingguan Tempo pada 1990 menyebut Wendo sebagai pengamat televisi yang
jeli. “Kritik-kritiknya terus mengalir, tanpa peduli ditanggapi atau tidak,” tulis Putut
Trihusodo dari Tempo.

Kritik-kritik Wendo terhadap pertelevisian Indonesia, yang pada 1980-an dihegemoni


sepenuhnya oleh TVRI, tersebar di berbagai media, terutama Kompas yang jadi rumah
keduanya setelah Hai.

Sebagai kritikus televisi, Wendo mengatakan hampir tak pernah mematikan pesawat
televisi di ruang kerjanya. Kepada awak Monitor kelak, ia sering berujar, “TV itu
altarmu. Rezekimu.”

Ia telah membuktikan kata-katanya, paling tidak pada 1981.

Sekadar menyegarkan ingatan, terhitung sejak 1 April 1981, TVRI mengubah pola
siarannya, termasuk membuang siaran niaga. Pada tanggal itu, terlontar janji bahwa
TVRI hendak membenahi diri, mengurangi porsi berita-berita seremonial,
meminimalisasi laporan aktivitas pejabat.

Wendo sangsi. Maka, mata Wendo pun ditajam-tajamkan untuk memelototi layar kaca
secara intensif. Setahun.

Kesangsiannya melahirkan postulat. Demi memperkuat argumen-argumennya, Wendo


mengambil video recorder. Sepanjang April 1982, puncak pengamatannya, Wendo
merekam siaran berita TVRI. Hasilnya, ia presentasikan di suratkabar Kompas pada Juni,
tahun yang sama. Dalam artikel yang dilengkapi tabel-tabel itu, Wendo memperlihatkan
betapa masih dominannya suara pejabat. Itu pun didominasi pejabat tertentu. Tak ada
bantahan, tak ada gugatan. TVRI mati angin.

Bukan sekadar menonton. Referensi Wendo tentang masalah pertelevisian banyak


didapatkan selagi mengikuti The International Writing Program pada 1979, di Iowa,
Amerika Serikat. Program ini—didirikan Paul Engle dan Hualing Nieh Engle pada 1967
—dianggap berhasil mengentaskan ribuan penulis berbakat dari 100 negara lebih.
Beberapa nama penulis dan pengarang terkenal di Indonesia seperti Taufiq Ismail, Toeti
Herati Noerhadi, Nano Riantiarno, Sutardji Calzum Bahri, Ahmad Tohari, atau Putu
Wijaya tercatat pernah mengikuti program tersebut.

Mungkin karena kejeliannya itulah, Wendo akhirnya diserahi tanggung jawab untuk
mengurus Monitor.

Pada mulanya, Monitor berbentuk majalah. Diterbitkan oleh Direktorat Televisi


Departemen Penerangan pada 1972, Monitor lebih berfungsi sebagai gardu jaga TVRI.
Isinya, kalau tidak program acara, pastilah wejangan-wejangan petinggi TVRI, atau
orang-orang Departemen Penerangan lainnya. Tak usah diratapi kalau majalah ini mati
suri sejak 1973, setelah terbit 20-an nomor.

Pada Agustus 1980, Monitor dibangkitkan lagi di bawah bendera Yayasan Gema Tanah
Air. Berkaca pada pengalaman, redaksi Monitor versi baru tak lagi diasuh oleh para
pegawai negeri di lingkungan Departemen Penerangan. Tenaga-tenaga profesional
dipompakan ke situ untuk menjaga konsistensi, untuk tidak sekadar asal terbit. Salah
seorang di antaranya Lazuardi Ade Sage, yang ditunjuk sebagai redaktur pelaksana.

Debut manajemen baru ditandai oleh meluncurnya oplah sebanyak 25 ribu eksemplar.
Tak ada catatan yang dapat menjelaskan reaksi pasar terhadap Monitor yang berharga jual
Rp 500 itu. Yang hampir dapat dipastikan, sejak 1984 Monitor mulai limbung. Setahun
kemudian ngos-ngosan. Ia jadi “majalah tempo.” Tempo-tempo terbit, tempo-tempo
tidak. Akhirnya, lagi-lagi mati suri.

Di tangan Wendo, Monitor terbit tak lagi dalam format majalah menyerupai tipografi
Life; tapi tabloid dengan ketebalan 16 halaman, berukuran 285 x 410 milimeter.
Harganya dibandrol Rp 300.

Penerbit masih Yayasan Gema Tanah air, namun manajemen sepenuhnya dikendalikan
oleh Gramedia. Monitor pada gilirannya jadi ruangan yang sempurna buat
perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Suatu perselingkuhan antara orang-orang
Departemen Penerangan yang acap jadi semacam thypoon bagi kehidupan pers dan
orang-orang di Gramedia yang nyata-nyata telah memerankan dirinya sebagai tycoon
dalam industri pers Indonesia.

YAYASAN Gema Tanah Air, penerbit tabloid Monitor, sekurang-kurangnya dikuasai


pejabat Departemen Penerangan: Harmoko, Subrata, dan M. Sani.

Harmoko, siapa tak mengenalnya. Ia bekas wartawan yang di akhir kekuasaan rezim
Orde Baru menjadi tukang stempel pemerintah dalam kapasitasnya sebagai ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Saat itu, ia menjabat Menteri Penerangan, penentu hitam-
birunya pers Indonesia. Subrata—yang sebelumnya memangku jabatan pemimpin umum
tatkala Monitor masih berwajah majalah—adalah direktur TVRI. Di kemudian hari,
Subrata diangkat jadi direktur jenderal Pembinaan Pers dan Grafika dan menjadi sangat
terkenal ke seluruh dunia karena meneken surat pembunuhan terhadap mingguan Tempo,
Editor, Detik pada 1994. Lalu M. Sani, yang relatif tak dikenal dalam percaturan pers,
sehari-harinya memangku jabatan direktur radio Departemen Penerangan.

Kedudukan mereka di yayasan itu, menempatkan mereka sebagai para penguasa saham
Monitor. Bagian perorangan terbesar berada dalam genggaman Harmoko yang menguasai
saham sampai 30 persen. Kelompok Kompas Gramedia santer disebut-sebut menguasai
saham hingga mencapai 40 persen. Komposisi ini tak serta-merta mengamankan
kedudukan Gramedia selaku pemegang saham mayoritas. Sebab sekiranya terjadi
pertarungan zero-sum games dalam rapat umum pemegang saham, Gramedia mudah
ditikam oleh gabungan penguasa 60 persen. Opsi saham Wendo sebanyak lima persen,
agaknya lebih dimaksudkan untuk menjaga stabilitas Gramedia.

Ada perimbangan kekuatan jadinya. Perimbangan ini terelaborasikan dalam pohon


organisasi manajemen puncak. Harmoko komisaris utama; Godfather Gramedia Jakob
Oetama direktur utama; Wendo wakilnya. Secara kasat mata perimbangan pun dapat
terlukis dalam distribusi kekuasaan di tingkat kepala dan leher kepemimpinan Monitor.
M. Sani ditunjuk sebagai pemimpin umum menggantikan posisi Subrata. Di bawahnya,
sebagai wakil pemimpin umum tercantum nama Suyanto, yang tak lain adik Subrata.
Representasi Gramedia lebih ke tingkat operasional, dengan puncak kepemimpinan di
bahu Arswendo sebagai pemimpin redaksi.

Kehadiran Wendo di Monitor bukannya tanpa rintangan. Bahkan intrik-intrik di sekitar


pendirian Monitor agaknya lebih tertuju pada pribadi Wendo yang dianggap terlampau
cepat melesat. Sampai-sampai, di belakang hari, gaya rambut Wendo menyibak kening
dan ekspresinya dalam berbicara yang penuh percaya diri, diejek sebagai epigon Jakob
Oetama.

“Calon putra mahkota Kompas,” ledek di satu sudut.

“Karbitan,” kata sudut lain.

Wendo cuek.

Ia baru bangkit dari kursinya ketika modal disetor tak diterimanya secara utuh. Aturan,
mestinya ia menerima Rp 400 juta sebagai investasi awal, namun yang datang hanya Rp
300 juta. “Asem,” gerutunya.

Wendo kasak-kusuk cari tahu. Ia akhirnya paham juga, Rp 100 juta sengaja ditahan
lantaran manajemen Gramedia tak sepenuhnya mempercayai eksistensi Wendo. Rekor
kegagalan mengelola Astaga dan Midi, ditambah suara-suara sumbang saingan-
saingannya di tubuh Gramedia, agaknya mendeterminasi semua itu.

Soal lain muncul. Wendo yang terlalu bersemangat dengan persiapan, menginjak pedal
gas promosi sekencang-kencangnya. Tahu-tahu ia sudah menghabiskan uang sebesar Rp
56 juta. “Semua orang teriak-teriak. Mereka marahin saya,” tutur Wendo.

Apa boleh buat, nasi sudah jadi kerak. Wendo tak punya daya untuk bereaksi. Menghibur
diri, ia menerima kemarahan itu sebagai suatu ekspresi semangat kolegial yang sudah
mulai mengristal. Sungguh pun demikian, ada efek berantai yang mau tak mau harus
dirasakan Wendo dan anak buahnya. Mereka tak bisa membeli perabotan kantor, semisal
meubelair. Untunglah, kelak ada pembaca baik hati yang mau menyumbangkan meja-
kursi untuk mengisi ruang tamu. “Bukan kursi yang bagus-bagus bener, tapi cukuplah
untuk nyantai,” ucap Wendo.
Fasilitas yang minim ditafsirkan Wendo sebagai bekal semangat untuk memacu diri.
Diberi izin menerbitkan tabloid pun sebenarnya sudah membuatnya senang. Kini ia
tinggal mewujudkan mimpinya membidani lahirnya sebuah media yang tidak melulu
berpihak pada topik permasalahan, tetapi juga manusia-manusia yang menukangi topik
tadi. “Masyarakat Indonesia,” Wendo menuliskannya nanti dalam Telop, sebuah kolom di
halaman awal Monitor, “boleh diibaratkan sebuah kampung, bukan suatu kompleks real
estate, tapi juga bukan pemukiman suaka suku terasing. Di dalam sebuah kampung, kita
bisa lebih jujur dan berani untuk memuji, mencaci, memberi saran.”

Singkat kata, Monitor menurut Wendo tak disetel untuk menjadi, apa yang dia sebut “pers
priyayi.” Pernyataan ini, buat sebagian orang, dapat ditangkap sebagai sebuah tamparan
terhadap jurnalisme ala Kompas—yang selama ini dianggap melingkar-lingkar di wilayah
kepriyayian itu. Bagaimana sebetulnya jurnalisme Kompas? Kalau pandangan Jakob
Oetama dapat dianggap sebagai pemberi warna dominan terhadap cetak biru jurnalisme
Kompas, buku lawas Perspektif Pers Indonesia barangkali dapat menjelaskannya.

Di sana Jakob Oetama bertutur, bahwa kecenderungan eksekutif dan masyarakat


Indonesia adalah melihat persoalan dari satu segi sehingga get things done, mencapai
hasil, jadi prioritas. Kecenderungan ini mendesakkan dimensi cara, termasuk dimensi
permasalahan dan dimensi etikanya. Media seperti Kompas, lanjut Jakob Oetama,
mempunyai kewajiban untuk melengkapi kecenderungan tersebut dengan menyajikan
visi, menampilkan berbagai dimensi, menyoroti dan menekankan dimensi yang terdesak
ke belakang.

Yang hendak dimaksudkan Oetama, barangkali, betapa perlunya wartawan membiasakan


diri melakukan verifikasi, sehingga isi liputan dapat menjelaskan duduk perkara suatu
kejadian, suatu fenomena yang berkembang.

“Fakta itu harus tampil selengkap mungkin,” kata Oetama.

“Jurnalisme Kompas memang baik, tapi itu bukan satu-satunya,” Wendo berkelit di depan
saya.

Wendo tak menafikan kalau jurnalisme induk semangnya berada dalam tataran kriteria
yang serius. Namun, ia ketika itu minta waktu kepada para bosnya untuk membuktikan
bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam masyarakat yang justru minta dilayani oleh
jurnalisme di luar mainstream. “Kita ingin melayani ini,” tandas Wendo, yakin akan
pandangannya.

Berangkat dari niat semacam tadi, begitu diiyakan oleh para bosnya di lingkungan
Gramedia, Wendo buru-buru menyiapkan pasukan untuk dikirim ke medan peperangan
baru, sebuah zona jurnalisme yang dianggap aneh kala itu.

Wendo tak memerlukan pasukan besar untuk jurnalisme yang diyakininya. Ibaratnya
peleton kecil, pasukan Wendo tak sampai sepuluh orang. Mereka berasal dari Gramedia
dan Monitor lama. Dari Gramedia, Wendo merangkul Veven Sp. Wardhana, Syamsudin
Noer Moenadi, dan Irene Suliana. Dari Monitor lama, ia mengambil Hans Miller
Banureah. Mereka mengisi jajaran redaksi. Untuk melengkapi, Wendo menerima Mayong
Suryo Laksono, yang disodorkan P. Swantoro, salah seorang redaktur Kompas. Di sektor
foto, hadir dua fotografer yang kelak menyangga kekuatan grafis Monitor. Mereka
Gunawan Wibisono dan Atok Sugiarto.

Beberapa bulan sebelum Monitor diluncurkan perdana pada 5 Nopember 1986, Wendo
dan pasukannya sudah mengambil posisi siap tempur di Jalan Lomba Layar 345,
Senayan, Jakarta. Sejumlah mesin tik baru Olivetti dan Brother ditenggerkan dalam
keadaan siaga 1 x 24 jam untuk melontarkan kata-kata ke hadapan publik. Tak-tik-tak-tik
... Monitor sebentar lagi menggelitik.

SUATU Senin sore di awal Nopember 1986. Hari itu, orang-orang percetakan Gramedia
berbaik hati mempersilakan awak Monitor ikut menyaksikan deru mesin cetak Goss
Urbanite, yang mampu mencetak tabloid sebanyak 20 ribu eksemplar dalam sejam.
Jabang bayi Monitor sedang dipersiapkan kelahirannya.

Seumumnya menunggu kelahiran bayi, mereka menanti dengan harap-harap cemas.


Mesin meleset sedikit saja dari area cetak jadi pangkal kecerewetan. Komposisi warna,
kualitas cetak, mereka perhatikan dengan seksama. Mereka ingin Monitor tampil
mengesankan pada pandangan pertama. Saking ingin terlihat keren, cetakan awal Monitor
dilakukan berkali-kali.

“Suasananya seru banget,” sambung Aris Tanjung.

Sebanyak 200 ribu eksemplar akhirnya tuntas dicetak. Wajah-wajah penuh suka cita
mengembang di antara bentangan tabloid yang sedang disimaknya. “Nggak nyangka kita
akhirnya berhasil juga bikin tabloid,” tutur Tanjung kemudian. Ia ingat, selama berbulan-
bulan dirinya pontang-panting mempersiapkan dummy bersama seluruh awak Monitor.
Siang, malam.

“Kita mempersiapkannya sembilan bulan,” tambah Tanjung.

“Cepat kok, cuma tiga bulan,” sanggah Wendo.

Edisi pertama Monitor tampil dengan sampul Veronika sedang mendekap gitar. Di bawah
judul “Pak Haji Sedang Diuji Tuhan,” bekas istri raja dangdut Rhoma Irama itu bertutur
tentang calon suami barunya, sambil menyemburkan kekesalannya pada Rhoma Irama,
yang disebut-sebut telah melukai hatinya.

Hanya ada dua judul di sampul itu. Satunya lagi tulisan tentang Tatiek Maliyati, penulis
serial drama Losmen TVRI, yang menuturkan resepnya jadi istri ideal. Judulnya
menegangkan: “Guna-guna Tatiek.” Item lain, daftar isi yang disandingkan dengan
gambar tokoh Oshin, sebuah drama asal Jepang yang konon banyak menguras air mata
pemirsa televisi.
Logo Monitor didesain secara atraktif, dengan menggunakan huruf kecil dalam dominasi
warna merah, kecuali huruf “t” yang dibiarkan putih—dengan bingkai hitam dan
dibentuk menyerupai gagang payung. Di atas logotif, mereka mencantumkan slogannya
sebagai “Mingguan Televisi, Video, Radio dan Film” dengan huruf kapital.

Tak ada surat pembaca di dalamnya. “Kejujuran setidaknya kita mulai (dari) penerbitan
ini dengan polos. Tanpa surat pembaca, walaupun kami bisa mengarang dan memberikan
jawaban. Walaupun kami bisa minta kepada tokoh-tokoh masyarakat yang kampiun.
Kami ingin memulai sebisanya, seadanya,” begitu Wendo memberi semacam sambutan
edisi pertamanya, sebagaimana tertuang dalam kolom Telop di halaman kedua Monitor.

Seperti juga tipikal tulisan Wendo, sajian Monitor terasa ringan dan akrab. Sederhana.
Pendek-pendek. Gaya stakato bertebaran di hampir seluruh halaman, yang didesain rata
kiri (align left) dan memberi kesempatan pada mata untuk menangkap ruang-ruang
kosong. Dua halaman tengah dijadikan kavling acara televisi untuk sepekan yang diambil
dari sembilan stasiun TVRI, termasuk stasiun pusat Jakarta.

Dari keseluruhan halaman, terasa betul kalau Monitor dimaksudkan sebagai media
hiburan. Tapi di mana sesungguhnya letak kepioniran Monitor seperti banyak
digunjingkan orang itu? Dari segi bentuk, Monitor jelas bukan yang pertama. Tabloid
Bola sudah memulainya sejak 1984, setelah sebelumnya menjadi sisipan di halaman
tengah Kompas. Juga Mutiara asuhan duet Subagyo—Aristides Katoppo yang mengambil
bentuk tabloid sejak awal 1980-an.

Dari segi isi, Monitor pun bukan sang pemula. Jauh di masa lalu, sejumlah media
hiburan, di antaranya berisi film dan musik, telah muncul meramaikan persada pers
Indonesia. Dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia, wartawan Kurniawan Junaedhie
mencatat, setidaknya sejak tahun 1920-an Indonesia sudah memiliki media-media
semacam itu. Ia antara lain menunjuk Doenia Film dan Pertjatoeran Doenia Film.

Agak sulit memang menakar kepioniran Monitor dari penglihatan parsial. Ini karena,
kepeloporan Monitor justru terletak pada gabungan bentuk dan isi. Dalam frasa Wendo,
“tabloid bentuknya, tabloid pula isinya.” Di luar negeri, Veven Sp. Wardhana
menambahkan, tabloid identik dengan suatu semangat jurnalistik yang mengedepankan
laporan-laporan penuh sensasi. Dan Monitor berlaga di wilayah itu.

“Ada sensasi, tanpa berubah menjadi sensasional,” kata Wendo.

“Geber sekarang, konfirmasi nomor depan. Itu semangat Monitor,” Wardhana


menggenapi.

Baik Wendo maupun Wardhana merasa yakin, konsep semacam ini belum pernah
dilahirkan dunia pers Indonesia. Mereka percaya, apa yang mereka bikin adalah sesuatu
yang genuine, datang dari kepala sendiri. Bukan jiplakan. Bukan pula hasil kerja
konsultan. Santer memang disebut-sebut Monitor menggunakan jasa konsultatif Maynard
Karper, pemimpin majalah Playboy edisi Belanda.

“O, nggak. Nggak. Dia datang jauh sebelum Monitor terbit. Dia memang memberikan
saran pada majalah-majalah di Gramedia. Tapi Monitor dia udah nggak ikut. Saya berani
mengklaim itu orisinal,” Wendo menerangkan, dengan raut mukanya serius, dengan
intonasi bicara yang penuh tekanan di sana-sini. “Bahwa kita mengintip gaya Daily
Mirror atau Sun, itu belakangan. Setelah kita besar.”

“Kita sampai melombakan desainnya,” kata Wardhana, di tempat berbeda, “desain Aries
Tanjunglah akhirnya yang dipakai.”

“Dari mana Anda menjiplak?” saya menggoda Tanjung.

“Otak-atik sendiri. Saya membuatnya berkali-kali. Akhirnya sampai ke desain norak itu,”
jawabnya. Di seberang telepon, saya mendengar tawa kecilnya

EDISI pertama Monitor sampai di tangan Jakob Oetoma. Ia hanya melihatnya sekilas.
“Apa ini? Nggak ada arah,” ucapnya, sebagaimana ditirukan Wendo. Wardhana
melukiskan adegannya: Oetama membanting Monitor ke meja.

Pikir Wendo, situasi tersebut bukan saat yang tepat untuk adu argumentasi. Ia kembali ke
markasnya, di Kompleks Senayan itu. Dan menenggelamkan diri dalam pekerjaannya
sembari menunggu datangnya kabar oplah yang terjual.

Kabar yang kemudian sampai sungguh menyesakkan dadanya: Monitor cuma laku sekitar
lima persen. Artinya, kurang lebih 10 ribu eksemplar. Ini pun dijual di bawah bandrol: Rp
100.

Segera terbayang di benak Wendo cibiran orang-orang di Gramedia, terutama yang


selama diketahui memendam iri padanya. Benar saja. Ungkapan Jakob Oetama ‘apa ini’
tiba-tiba jadi semacam ayat suci buat mereka yang hendak menguliti Wendo. Wendo,
yang biasanya menanggapi segala sesuatu dengan lempang, berang juga. Ia merasa
diperlakukan tak adil dan dijadikan bulan-bulanan cemoohan.

“Kalau kita jualan seratus, laku satu, itu nggak soal. Tapi tolong jangan dibilang laku satu
padahal seratus,” pekiknya, “sekarang kalau perlu cetak lebih banyak dan tolong
sampaikan ke masyarakat. Sekali lagi, sampaikan ke masyarakat. Judgement ada di
masyarakat. Bukan di kita,” Wendo tidak ingat lagi kepada siapa ia melontarkan
kegusarannya. “Tapi itulah yang saya katakan, dan saya ingat.”

Tak ada alasan bagi Gramedia untuk mengikuti saran Wendo menaikkan tiras. Mereka
mencetak seperti jumlah sebelumnya yang 200 ribu eksemplar itu. Berbeda dengan
sebelumnya, edisi kedua yang dipasangi gambar sampul Euis Darliah dalam posisi
ngangkang dengan rok ditiup angin, diserap pasar sampai 30 persen atau sekitar 60 ribu
eksemplar. Optimisme tiba-tiba melompat dari satu meja ke meja lainnya di ruangan
redaksi.

Hari-hari berikutnya tambah menyenangkan. Telepon dari pembaca terdengar lebih sering
berdering menanyakan ini-itu, termasuk menanyakan bagaimana kalau satu kupon kuis
difotokopi agar bisa dipakai rame-rame. Surat-surat pun berdatangan, dan awak Monitor
berebutan membukanya. Ucapan selamat terus mengalir dari pelbagai pelosok. Ada juga
yang mengirimkan tumpeng sekadar ungkapan tumbuhnya kecintaan pada Monitor.
“Trims sekali. Bukan hanya kebetulan sedang lapar, dan ini selalu terjadi, akan tetapi
sejak pindah ke Jalan Lomba Layar dan terbit, rasa-rasanya belum pernah selamatan,”
balas Wendo dalam tulisannya.
Reaksi pembaca agaknya bisa diterjemahkan sebagai reaksi pasar. Kenyataan memang
begitu. Secara signifikan, tiras Monitor terus meningkat pada edisi-edisi berikutnya
hingga pada edisi kelima oplah mencapai 200 ribu lebih. Tak berhenti sampai di sini.
Pada minggu ketujuh, oplah mengalami ledakan hingga mencapai 280 ribu eksemplar.
Ledakan ini agaknya dipicu edisi sebelumnya yang bersampul ‘panas.’

Pada edisi keenam, Monitor memang menurunkan laporan Veven Sp. Wardhana yang
menguntit Lina Budiarti, salah seorang bintang tamu serial Losmen. Ia dikenal sebagai
artis yang berani buka-bukaan. Budiarti dijadikan gambar sampul, dengan pose aduhai
untuk ukuran waktu itu: rambut tergerai melewati bahu dengan kesan basah, dan dada
berisi dalam balutan busana renang.

Edisi tersebut sekaligus jadi tonggak awal dibakukannya tipografis Monitor. “Format
Monitor baru ketahuan di nomor keenam atau ketujuh,” tandas Wardhana. Dalam format
baru, sejauh saya lihat, logo digeser ke pinggir kiri sehingga tidak lagi mengambil posisi
sentrum. Ruang kosong di sebelah kanan dipakai untuk iklan kuping. Masih ada
perubahan-perubahan lain di bagian dalam, namun saya kira yang paling pokok adalah
hal tadi.

Oplah Monitor terus beringsut naik sampai edisi ke-12, dan meledak lagi di edisi ke-14
hingga hampir mencapai 500 ribu eksemplar. Ledakan ini, menurut Wendo, kemungkinan
dipicu oleh edisi sebelumnya ketika Monitor menurunkan cover story artis Australia
Rebecca Gilling dalam judul “Waaaauuu...!”

Laporan Gilling adalah hasil perburuan Mayong Suryo Laksono dan fotografer Atok
Sugiarto. Khawatir keduluan media lain—Gilling akan datang di Jakarta hari Minggu
sore, menit-menit deadline buat Monitor—Laksono dan Sugiarto bertolak ke Bali, tempat
Gilling akan transit. Semula Monitor hendak mencegat di Sydney, namun mereka cemas
tak bisa mendapatkan tiket pesawat. Berhasil. Di berbagai kesempatan, Gilling dapat
mereka “todong.”

Lumrah publik begitu antusias ingin mendapat kepingan informasi mengenai Rebecca
Gilling. Pemeran tokoh Stephanie Harper dalam Return to Eden—opera sabun asal
Autralia, yang sukses di berbagai negara antara lain Indonesia, Turki, dan Polandia—ini
mewakili karakter tokoh protagonis yang mengundang simpati. Mungkin ini karena
penderitaan yang datang padanya begitu bertubi-tubi: kehilangan anak, dirusak wajahnya,
hingga kehilangan perusahaan miliknya.

Return to Eden diproduksi sejak 1983 dalam bentuk blockbuster enam miniseri. TVRI
menayangkannya setiap Rabu malam sejak 1986 atau ketika Return to Eden memasuki
produksi kedua berisikan 22 episode. Monitor sendiri, sejak edisi kedua, mengangkatnya
dalam satu halaman penuh, walaupun isinya lebih kepada sinopsis opera tersebut. Di edisi
lainnya, sampai-sampai Monitor merasa perlu mengurai plot cerita dalam bentuk skema,
sehingga pemirsa televisi dapat dengan mudah melihat hubungan antara satu karakter
dengan karakter lainnya; siapa si baik, siapa si buruk.

Keseriusan menggarap tema dan kepekaan menangkap isu, tak syak lagi, itulah yang
melahirkan kekuatan redaksional Monitor. Semua itu tak datang dengan sendirinya.
Mereka terus membangunnya dalam rapat-rapat redaksi yang biasa digelar saban Senin,
yang mereka sebut “hari mati.” Sambil sekalian melakukan evaluasi terhadap penerbitan
sebelumnya, pada “hari mati” itu mereka terus berdiskusi saling memancing ide. Tak ada
dominasi pendapat di sini. “Suasananya enak banget,” ujar Laksono.

Pria asal Surakarta yang belakangan menikah dengan artis Nurul Arifin itu melihat figur
Wendo sebagai pemimpin yang tak suka memaksakan pendapatnya. “Cara melatih dan
mendidik dia itu nggak didaktik, dogmatis. Dia lebih mengarahkan.”

Yanto Bhokek mengiyakan. “Ia teman ngobrol yang menyenangkan. Kebiasaannya,


ngajak diskusi dan diskusi. Begitu setiap hari. Ilmu kita jadi bertambah terus,” kata Yanto
yang mengawali kariernya di Monitor sebagai pesuruh, laden minuman. Dari “sekolah
Monitor” ini ia bisa menulis, kemudian jadi stringer sampai akhirnya dipercayai
memimpin biro Surabaya. Kini, ia jadi pemimpin redaksi Bintang Indonesia, tabloid
hiburan juga.

Suasana lain yang terekam Yanto Bhokek adalah luasnya koridor demokrasi dalam
mekanisme kerja sehari-hari. Dari Wardhana, saya tahu kalau di Monitor ada yang
dinamakan satgas, kependekan satuan tugas. Seorang satgas diambil bergiliran dari
lembaga dewan redaksi. “Fungsi satgas, fungsi pemred. Bisa memerintah Wendo untuk
wawancara.”

AWAK Monitor tak bertekuk lutut di bawah konsep nilai berita ‘name makes news.’
Secara faktual terlihat, cerita sampul yang jadi dagangan utama Monitor kebanyakan
datang dari ‘artis kelas dua’ atau paling tidak mereka yang berada di balik bayang-bayang
nama besar ‘artis kelas satu.’ Sejak nomor perdana, formula ini sudah terlihat ketika
Monitor memilih Veronika dan bukannya Rhoma Irama. Di edisi-edisi berikutnya,
Monitor lebih suka membidik Euis Darliah ketimbang Vina Panduwinata, menguber-uber
Lina Budiarti ketimbang Dewi Yul, mencandai Nena Rossier ketimbang Christine Hakim.

Kalaupun akhirnya pilihan terhadap artis kelas satu harus diambil, Monitor dijamin akan
‘memperkosa’ sang artis dengan jepretan-jepretan fotonya. Nungky Kusumastuti,
umpamanya. Ia difoto dengan posisi dimasukkan ke dalam kain sarung yang digantung
pada palang bambu. Hanya wajah dan kaki telanjangnya saja yang kelihatan. Kesannya,
bugil. Keluarga Kusumastuti dikabarkan sempat memarahinya.

Memajang sampul artis kelas dua, tak hanya membutuhkan keuletan para fotografer
untuk melobi dan menahan nafas dalam menyelesaikan tugasnya. Tapi otomatis juga
perlu ketekunan para wartawan tulis untuk terus bereksperimen. Wendo dan Wardhana
akhirnya sampai pada kiat baru untuk masanya, yakni membuat judul-judul asosiatif.
Simak umpamanya: “Saya Pasrah. Terserah Buka Mana ...” Lina Budiarti menerangkan
kebiasannya berbuka-bukaan di depan kamera; “Saya Masih Doyan Laki-laki ...” Joice
Erna membantah isu sebagai wanita biseks; “Cuma Sekali ...” Nia Zulkarnaen
menjelaskan adegan cium dengan Amy Search, penyanyi asal Malaysia, dalam syuting
film Isabella.

Tidak semua pembacanya senang dengan foto-foto seronok dan judul-judul macam itu.
Kritikan, protes, makian bahkan datang sejak pekan-pekan pertama Monitor dilarikan ke
hadapan publik. “Sebagai media umum, Monitor sebaiknya selektif pada gambarnya.
Mungkin gambar Euis Darliah yang ‘ngangkang’ pada M.02 agak kurang sopan untuk
ukuran Timur. Juga adegan RtE (Sarah dan Tom), saya pikir cuma pantas untuk terbitan-
terbitan komersial murahan,” tulis Nana Sastrawaty, seorang pembaca dari Makassar. RtE
yang dimaksud adalah Return to Eden.

Pembaca lain, Sunarto S. Gondoutomo dari Jakarta, merasa kesal dengan ulah Monitor
yang bukannya mengurangi porsi ‘berita dan foto panas’ justru malah menaikkan suhu
dengan sajian-sajian berikutnya. Taruhlah seperti gambar Titi Qadarsih yang memang
tidak ‘ngangkang’ tapi ‘ngongkong.’ Efeknya sama saja, yang menurut si empunya surat,
“memancing selera rendah.”

Terhadap suara-suara pembaca demikian, Monitor acap langsung memberi komentar pada
akhir surat pembaca. Kalau perlu, Wendo menggunakan Telop Monitor untuk
menjelaskan sikap tabloidnya. Menulislah Wendo suatu ketika, “Apa sebenarnya yang
ingin sampaikan? Wajah yang mendayu, potret yang merangsang, gosip yang hangat?
Jawabnya iya. Namun harus buru-buru diingat, bahwa semuanya kita sajikan secara pas.
Euis adalah bintang segala ratu panggung, dan hanya Euis Darliah yang mampu bergaya
seperti itu. Vero sedang memeluk gitar, Renny Jayusman dengan bayi lelakinya, Lenny
dengan pakaian senam, adalah pas. Dan wajar. Impresi seperti itu yang ingin kita
tonjolkan. Bukan sekadar mau mengobral gambar dan tulisan tentang ‘ngangkang.’
Betapa tidak menariknya kalau Chintami memakai pakaian penerjun.”

Bagaimana menghadapi kritik dari para dosen komunikasi, wartawan lain, atau pihak-
pihak lain yang dianggap punya bobot intelektual berlebih? Apakah cukup dengan
mengomentari surat pembaca sedang mereka tidak membuat surat pembaca? Apakah
cukup mengurai penjelasan dalam Telop sedang mereka tidak membaca Monitor secara
intens?
Monitor panjang akal. Taruhlah ketika menghadapi Astrid S. Susanto, pengecam pertama
Monitor. Tak menunggu ledakan kemarahan berikutnya, dosen komunikasi dari
Universitas Indonesia itu langsung diwawancarai awak Monitor. Metode simpel ini jitu
hasilnya. Astrid S. Susanto tak terdengar menyerang Monitor lagi.

Kritik, protes, kecaman pelan-pelan mereda. Monitor terus melanjutkan perjalanannya


mencari ceruk-ceruk pasar yang masih bisa dimasuki. Setahun kemudian, tiras Monitor
sudah menotok angka 600 ribu eksemplar. Tiga mesin dikerahkan untuk mencetaknya.
Apa komentar Jakob Oetama kini?

“Jurnalisme raw itulah yang mungkin kita perlukan sekarang,” Wendo mengutip bosnya
ketika memberikan prasaran di depan insan-insan Serikat Penerbit Suratkabar pada 1987.

Raw? Ini bahasa Inggris untuk “mentah,” kan?

HANYA dalam setahun Monitor dikabarkan mencapai break event point. Kalkulasinya
sederhana: titik impas bisa dicapai sekiranya Monitor dapat bertahan dengan oplah rata-
rata 115 eksemplar setiap terbit dalam setahun. Nyatanya, oplah Monitor melambung
jauh di atas target. Bahkan setelah harganya dinaikkan jadi Rp 500 pada 1989, oplah
Monitor masih saja seperti gelombang air laut yang terkena angin barat. Pasang naik
terus.

Gambaran menggilanya penjualan tiras Monitor barangkali bisa dijejak ke aktivitas setiap
Selasa siang, hari ketika Monitor selesai dicetak seluruhnya. “Puluhan mobil dan motor,”
begitu Wendo mengungkapkan, “siap menunggu palang pintu dibuka, dan dalam detik
yang bersamaan, meluncurlah iringan bagai konvoi yang tak kalah dengan mereka yang
berada di arena balap mobil. Pawai? Kampanye? Bukan. Ini kejadian rutin.”

Pemandangan yang ditangkap Wendo selanjutnya, para agen pulang dengan barang
bawaan yang memenuhi kendaraan setelah berjuang rebutan jatah. “Satu sepeda motor,
dengan berboncengan, bisa mengangkut 1.200 eksemplar,” ungkap Wendo lagi. Artinya,
kalau disusun satu pak, jumlah sebesar itu bisa lebih tinggi dari pengendara motor
sendiri.

Bisa saja Wendo cuma berbangga hati, dan ingin membuat semuanya jadi terkesan
fantastis. Tapi, tunggu dulu. Simak Media Scene Indonesia edisi 1989/1990 yang
dikeluarkan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia—yang bersandar pada data
Survey Research Indonesia sepanjang 1985-1989.

Dari data yang ada, terlihat dengan jelas, bahwa dalam kurun waktu 1987 - 1989,
Monitor terus memimpin oplah dalam kategori majalah mingguan, melampaui Bola,
Tempo, Bobo, Femina, Nova, Hai, Tribun Olahraga, dan Jakarta-Jakarta. Angka
kontribusinya terhadap oplah nasional dalam kategori tersebut adalah 46,9 persen (1987),
51,9 persen (1988), dan 55,4 persen (1989).
Tak ada penjelasan angka persisnya. Kalau pun ada, saya mungkin harus meragukannya.
Sudah menjadi semacam rahasia umum, penerbit kadang-kadang nakal juga dalam
mengumumkan oplahnya. Angka tiras dikatrol sejadi-jadinya demi gengsi, kalau bukan
untuk lebih memancing masuk kalangan advertensi. Beda lagi dengan laporan ke
Departemen Penerangan, hampir bisa dipastikan mereka akan berusaha memberi kesan
miskin se-miskin-miskinnya biar “setoran” bisa diatur nafasnya.

Kembali ke oplah Monitor, berapa sebenarnya angka persis tiras Monitor, katakanlah tiras
tertingginya? Wardhana bilang, oplah tertinggi Monitor mencapai sekitar 814 ribu
eksemplar.

Saat tiras sedang pasang naik, mereka pernah suatu ketika bergurau, jika kelak mencapai
satu juta eksemplar, mereka akan menggunduli rambut. Tiras sebesar ini tak pernah
kesampaian dalam hitungan real. Dan penyebabnya? Sejak 26 Nopember 1989, Monitor
dipecah jadi dua: Monitor (reguler) dan Monitor Minggu. Dan pada 26 September 1990,
Wendo memecahnya kembali. Lahir kemudian jabang bayi baru. Monitor Anak itu.
Kebijakan unbundling ini pada gilirannya memacu semacam kanibalisasi bagi bisnis
Monitor reguler.

Toh kalau Monitor-Monitor itu disatukan oplahnya dalam satu paket hitungan, bisa jadi
jumlahnya sudah mencapai sejuta eksemplar. Tapi ini bukan alasan bagus buat mereka
untuk menggunduli rambut, agaknya.

Sejuta atau tidak, oplah Monitor tetap paling top. Ini memudahkan bagian iklan untuk
terus bergerilya mengambil ceceran dari belanja iklan nasional. Trend belanja iklan,
seperti ditunjukkan Media Scene Indonesia pada edisi yang sama, memperlihatkan
kecenderungan yang terus meninggi dari waktu ke waktu. Bila pada 1986 belanja iklan
hanya Rp 47 miliar, pada 1987 jumlahnya sudah mencapai Rp 55 miliar. Berikutnya, Rp
60 miliar pada 1988 dan Rp 72 miliar pada 1989. Dari jumlah sebesar itu, Monitor
mendapatkan kue iklan sebesar Rp 1,08 miliar pada 1987. Setahun kemudian jumlahnya
sudah hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3,17 miliar dan pada 1989 melipat lagi jadi Rp
6,32 miliar. Ini menempatkan Monitor sebagai salah satu ‘big five’ dalam perolehan iklan
setelah Tempo, Kartini, Femina.

Bagian iklan dan redaksi sering bertengkar gara-gara saling serobot kavling? “Biasalah.
Anda tahu sendiri, kalau iklan bertambah, space iklan pasti kan bertambah juga. Caranya
ya dibuat aturan main. Jadwal iklan harus sudah booking jauh-jauh hari. Biasanya kita
begitu,” tutur Laksono, yang halamannya konon sering dijarah oleh iklan display besar-
besar, bahkan sehalaman penuh. “Kita bisa ngerti kok,” kata pengasuh halaman sampul
akhir itu.

Oplah yang terus menggila, iklan yang merajalela, membawa konsekuensi melegakkan
dalam distribusi kesejahteraan awak Monitor. Dalam setahun, mereka bisa mendapat gaji
18 kali. Di luar gaji reguler yang 12 kali itu, mereka memang mendapatkan pemasukkan
lain semisal bonus, grativikasi bagian keuntungan, selain gaji tambahan ketika datang
hari raya Idul Fitri dan Natal. “Seorang reporter lepas bisa satu juta sebulan, kalau saya
tak salah,” kata Wardhana. Untuk tahun 1990, pendapatan reporter sebesar itu, jelas lebih
jreng ketimbang wartawan pemula di Kompas atau Tempo sekalipun.

“Saya pernah dapat seratus, lalu dua ratus,” sambung Wendo mengacu pada angka
pembagian keuntungan saham yang mulanya hanya Rp 100 juta pada tahun pertama, dan
meningkat jadi Rp 200 juta pada tahun-tahun berikutnya. “Itu cuma dari saham lima
persen. Bayangkan berapa yang Harmoko dapet, dari saham 30 persen itu,” ungkap
Wendo.

Karena ledakan bisnisnya, Wendo sempat mengangankan Monitor dapat memiliki gedung
sendiri, tidak lagi menempati bangunan milik Gramedia, yang disebutnya ‘bedeng’. Soal
ini sering ditiup-tiupkan ke anak buahnya di Monitor, bahkan sekali waktu dihembuskan
ke hadapan publik dalam guyonan khas Monitor di Telop 26 September 1990: “Insya
Allah kami akan pindah ke ... bedeng lagi. Sebelum akhirnya punya gedung sendiri, lewat
mimpi kali.”

“Artinya angan-angan?” tanya saya pada Wendo.

“Yang lain mungkin. Tapi saya akhirnya punya tekad ke situ,” jawab Wendo, “sombong
sekali orang Kompas itu. Orang kita yang datang ke sana ditanyai macam-macam. Kayak
nggak boleh nginjek saja. Kita-kita ini dendam sebenarnya. Dendam untuk motivasi.”

Berbekal dendam, Wendo punya niat untuk membangun gedung berlantai 11. Jika niat ini
terwujud, alhasil akan lebih tinggi dari Kompas yang berlantai tujuh. Lokasi
pembangunan, menurut Wardhana, direncanakan di Jalan Palmerah Barat, di samping
kantornya. Tak kesampaian. Areal itu kini telah disulap jadi tempat kursus Lembaga
Pendidikan Keterampilan Komputer.

Sekiranya tidak dibredel apa mampu Wendo membalas dendam, mewujudkan mimpi
punya gedung sendiri itu? Mungkin ada baiknya Anda melihat figur bisnis Monitor. Jika
Anda memberi saya kewenangan untuk mengkalkulasi bisnis Monitor, yang meliputi
penjualan oplah dan kolom iklam, inilah kalkulasi saya secara kasar.

Saya mulai dengan oplah. Dalam setahun, pada periode 1989 - 1990, akan didapatkan
jumlah oplah trio Monitor sebesar 1.000.000 x 4 x 12 yakni 48 juta eksemplar. Dikalikan
harga per eksemplar Rp 500 maka akan didapat omzet sekitar Rp 24 miliar. Sedangkan
total perolehan iklan, bercermin pada Media Scene Indonesia tadi—ini didasarkan pada
data Surindo Utama pada 1989—adalah Rp 6,3 miliar. Untuk lebih gampangnya
katakanlah jumlahnya Rp 6 miliar pada periode yang sama—walaupun sebenarnya Media
Scene Indonesia membuat proyeksi yang lebih gile lagi untuk 1990 yakni Rp 10,503
miliar, atau makan kue iklan 13 persen lebih dari total belanja iklan nasional untuk
majalah.

Berbekal angka moderat itu maka perputaran omzet bisnis Monitor pada periode
1989/1990 adalah sekitar Rp 30 milyar per tahun, pada periode 1989 – 1990 itu. Ini
angka ngawur? Mari kita lihat kalkulasi lain.
Dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia, Kurniawan Junaedhie menuliskan angka
pemasukan Rp 24,5 miliar. Angka ini bersandar pada analisis majalah Prospek terbitan
awal Nopember 1990. Jika “pemasukan” diterjemahkan sebagai omzet, angka yang saya
dapatkan itu lumayan ngaco. Namun, bila “pemasukan” tersebut dianggap tafsir gain,
mohon maaf, justru Junaedhie yang luar biasa ngawur. Paling tidak, angka “gain” ini
agak susah untuk mengkonfirmasi perolehan pembagian keuntungan saham lima persen
Wendo yang Rp 200 juta itu pada, kira-kira, periode yang sama.

Junaedhie mungkin ngawur. Saya barangkali ngaco. Lupakan dulu angka memusingkan
itu agar kita dapat bersama-sama masuk ke sebuah pertanyaan yang acap dilontarkan
orang, yakni bagaimana sebenarnya bisnis Monitor yang nyaris di luar akal sehat itu bisa
dijelaskan? Saya bisa saja langsung mengecap Monitor sedang berkawan dengan
keberuntungan. Jawaban versi asal nguap ini bisa benar bisa tidak. Dibilang tidak, karena
ada realitas lain yang menunjukkan jalan masuk ke arah kemungkinan yang lebih
rasional.

Sejarah memperlihatkan, tabloid Monitor hidup tanpa saingan di masa jayanya. Apa yang
digarapnya, jelas merupakan segmen baru yang sama sekali belum dirambah media lain.
Orang membutuhkan informasi acara televisi, siapa pengisi acara tersebut, bagaimana
acara dibuat. Lebih jauhnya, bagaimana kehidupan para pengisi acara, artis, dan macam-
macam lagi termasuk gosip yang bersliweran di antara mereka.

Masalah-masalah televisi tadi kemudian diramu dengan paha dan dada. Wendo
menamainya jurnalisme “ser dan lher.” Bumbunya, kuis berhadiah dan ramalan judi.
Dalam penanganan kuis, Monitor bahkan harus menunjuk Globe Promotion Service
sebagai kontraktor, sekadar untuk mengirimkan hadiah.

Akan halnya ramalan, ini cerita lain. Awalnya, Monitor mengetengahkan ramalan “Porkas
Cuaca,” yang diidentikkan dengan kode pemecah Porkas, program judi nasional yang
dirancang Soedomo, menteri koordinator politik dan keamanan saat itu. Judi Porkas
dimaksudkan sebagai upaya untuk menimbun dana buat perkembangan olahraga.
Nyatanya, olahraga tak pernah mengalami perkembangan signifikan, sementara jutaan
rakyat Indonesia ternggelam dalam mimpi-mimpi kosong.

Ketika Porkas yang menggunakan kode huruf diprotes dan bubar, Monitor
menghidangkan “Mbah Bejo.” Sama saja, orang menggunakannya untuk menebak judi
Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah yang lazim disingkat SDSB, yang juga
dicanangkan Soedomo. Bila Porkas menggunakan huruf, SDSB memakai angka. “Itu
diset Bujang,” kata Veven Sp.Wardhana mengomentari perancang “Mbah Bejo” yang
terkenal kejituannya buat mereka yang bisa menafsir. Bujang Praktiko disebut-sebut
Wardhana juga sebagai penghubung Monitor dengan “orang pintar,” si pemberi kode
pemecah judi.

Segala keunikkan yang didesain Monitor, selain mendongkrak pasar eceran, juga
melahirkan pembaca-pembaca fanatis yang selalu merasa rindu akan kehadiran terbitan
Monitor terbaru. Saking fanatisnya, beberapa di antara mereka mengganti nama dirinya
dengan “Monitor.” Ini antara lain dilakukan Syahrir, siswa Sekolah Menengah Ekonomi
Atas Negeri I Medan. “Saya sih setuju saja ganti nama saya menjadi Monitor,” tulisnya.
Tak cuma sekadar ganti nama, pembaca lain bernama Agus Mulyono dari Tegal (dengan
alamat lengkap), menamai anaknya Adi Darmawan Monitor. “Biar cepat gede, kita
kirimkan payung, kaos, dan sekadar buat beli bubur,” balas pengasuh surat pembaca.

Keluarga Agus Mulyono pun ketiban rezeki Rp 50 ribu.

EKONOMI Indonesia memperlihatkan wajah cerah sejak awal 1990-an. Picu agaknya
berasal dari beleid pencabutan sejumlah retriksi investasi secara gradual, yang antara lain
memungkinkan digantinya Daftar Negatif Investasi (DNI) oleh Daftar Skala Prioritas
(DSP). Praktis, sektor-sektor usaha yang bisa ditanami modal jadi lebih banyak. Investor
asing tergoda. Cerita susulannya Anda tahu sendiri, mereka berbondong-bondong
merelokasikan industrinya —frasa lain untuk memindahkan mesin-mesin usang sambil
menadah hujan keuntungan dari upah buruh murah.

Fenomenal dampaknya. Investasi dengan fasilitas PMA (Penanaman Modal Asing) pada
1990 mencapai kenaikan fantastis hingga mampu menembus angka 8,7 miliar dolar AS
dari angka tahun sebelumnya yang 4,7 miliar dolar AS. Serbuan ini melahirkan efek
domino. Investor-investor lokal yang hendak menggunakan fasilitas PMDN (Penanaman
Modal Dalam Negeri) ikut-ikutan berlaga di sekeliling putaran rolet ekonomi yang kian
cepat. Sebagian melayani investor asing sebagai partner, sebagian menjadi subkontraktor.
Lainnya, terjun ke sektor-sektor bisnis yang masuk hitungan DSP. Indonesia beringsut
dari ekonomi agraris ke ekonomi uang.

Dunia pers yang selama ini tenang-tenang saja, tiba-tiba bergemuruh. Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia, sebuah organisasi kemasyarakatan keagamaan bentukan
Orde Baru, membuat Republika, sebuah koran harian. Pengusaha-pengusaha nonmedia
seperti Fadel Muhammad merogoh koceknya memodali majalah mingguan Warta
Ekonomi dan majalah otomotif Mobil Motor. Lalu Peter Gontha di Indonesian Observer,
Probosutedjo (Berita Buana), Abdul Latief (Harian Ekonomi Neraca), Bambang Yoga
Sugama (Berita Yudha), dan Sudwikatmono yang menafasi Sinar. Di belakang hari,
stasiun televisi swasta pun disentuh mereka. Gontha mendirikan RCTI, Siti Hardijanti
Rukmana bikin TPI.

Buat Kelompok Kompas Gramedia, situasi itu, selain sebuah peluang, juga mungkin
dianggap ancaman bagi stabilitas dirinya. Segera saja Gramedia menyusun siasat untuk
mengamankan situasi. Tapi, bagaimana mereka bisa mendapatkan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) padahal pemerintah sudah menyetop perizinan baru untuk
suratkabar dan majalah umum?

Gramedia mulai menjalankan siasatnya. Ke daerah, mereka sibuk beraliansi dengan


sejumlah media-media lokal. Dengan Serambi Indonesia di Aceh, Mandala di Bandung,
Bernas di Yogyakarya, Pos Maluku di Ambon, Pos Kupang di Kupang, Suara Timor
Timur di Dili, dan banyak lagi. Di pusat, mereka memborong SIUPP dan membikin
tabloid banyak-banyak, selain majalah-majalah bersegmen khusus. Separuh besar jatuh
ke pangkuan Wendo.

Pria yang tak pernah necis dalam berpakaian itu tiba-tiba saja dikenal sebagai juragan
penguasa 22 SIUPP. Orang pun akhirnya tak cuma mengenal Wendo sebagai pemimpin
redaksi Monitor, tapi juga wakil direktur Gramedia Majalah, sebuah direktorat yang
diberi hak mensupervisi seluruh penerbitan majalah dan tabloid di kerajaan Palmerah.
Bisa dibayangkan berapa besar kekuatan yang dimiliki Wendo saat itu.

Ada peribahasa lama, makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa. Ini pula yang
dialaminya setelah Wendo berada di puncak. Tapi ia bukan manusia tempe. Ia
menghadapi tiupan angin di sekitarnya dengan sikapnya yang serba mengentengkan
masalah. Di balik kesan kendo ini, diam-diam ia membuat kelompok yang dikenal
sebagai “Seven Samurai.” Tak penting benar siapa anggotanya. Ini cuma kelompok akal-
akalan yang dibikinnya untuk menggertak para bos di Gramedia yang gatal tangan untuk
turut campur urusan orang.

“Saya lawan mereka,” ujar Wendo.

Urusan yang begitu bejibun—termasuk mengangkat pamor majalah berita bergambar


Jakarta-Jakarta yang redup gara-gara konflik internal, diikuti mundurnya pemimpin
redaksi Noorca M. Massardi —karuan saja membuat Wendo harus pontang-panting.
Jadwal serba tak teratur. Wendo akhirnya menyerahkan urusan perut redaksi Monitor
kepada Tavip Riyanto sebagai wakil pemimpin redaksi-cum-penanggung jawab sehari-
hari Monitor. Siapa dia?

Riyanto berkarier di Monitor sejak minggu-minggu pertama terbit. Ia suka menulis


masalah-masalah radio, termasuk memonitor perkembangan drama radio dengan segala
pernak-pernik di belakangnya, mulai pengarang cerita sampai pengisi suara. Namanya
mulai tercantum pada edisi kedelapan terbitan 24 – 30 Desember 1986 sebagai pembantu
tetap. Ada dua pembantu tetap sebenarnya. Satunya lagi, Djoko Supriyadi yang kelak jadi
kepala produksi dan punya kaitan langsung dengan kasus angket Monitor yang terkenal
itu.

Markas Monitor kontan gonjang-ganjing. Suasana yang semula serba adem berubah
gerah. Sejumlah redaktur bangkit dari tempat duduknya mengajak Wendo bicara. Mereka
mempertanyakan kriteria penempatan Tavip Riyanto di pos barunya. Celakanya Wendo,
Riyanto keponakannya. Ini jadi titik lemahnya. Wendo terjepit. Ia mulai kehilangan rasa
humornya, “Kalau nggak sejalan ya sudah. Kamu keluar atau saya keluar.” Begitu Aries
Tanjung melukiskan reaksi Wendo.

Dihadapkan dengan tantangan itu, para redaktur Monitor memilih jalan untuk melawan.
“Seven Samurai” mereka adaptasi. Terbentuklah “Tujuh Samurai” yang beranggotakan
Veven Sp. Wardhana, Aries Tanjung, Mayong Suryo Laksono, Hans Miller Banureah,
Gunawan Wibisono, Bujang Praktiko, ditambah fotografer Sondjaya Arifin.

Para ‘pemberontak’ itu lantas membuat petisi lisan tidak percaya pada kepemimpinan
Wendo, utamanya pada keputusannya mengangkat Riyanto sebagai bos baru mereka.
Lobi-lobi dilakukan. Rapat-rapat tak resmi digelar. Tak hanya di kantor, mereka
membawa masalah ini keluar. Puncaknya, mereka menggelar rapat di sebuah restoran di
kawasan Tomang.

“O ya, saya yang membawa mereka,” kata Aries Tanjung menerangkan, “saya ngajak
teman-teman ke rumah Mas Wendo untuk nanya baik-baik.”

Apa yang terjadi?

Tanjung bilang, Wendo tidak segarang ketika di kantor. Petisi mereka mendapat perhatian
serius. “Sudah nanti dilihat lagi,” kata Wendo, sebagaimana diucapkan Tanjung.

Walau tak memperoleh jawaban optimal

[INDONESIA-L] MH - Masukan untuk


Gu
From: apakabar@Radix.Net
Date: Fri Oct 22 1999 - 15:23:00 EDT

----- Forwarded message from apakabar@Radix.Net -----

From owner-indonesia-l@indopubs.com Fri Oct 22 18:10:20 1999


Return-Path: <owner-indonesia-l@indopubs.com>
Received: from mail1.radix.net (mail1.radix.net [207.192.128.31])
by saltmine.radix.net (8.8.7/8.8.7) with ESMTP id SAA09279
for <apakabar@saltmail.radix.net>; Fri, 22 Oct 1999 18:10:19 -0400 (EDT)
Received: from indopubs.com (indopubs.com [192.41.9.64])
by mail1.radix.net (8.9.3/8.9.3) with ESMTP id SAA02645
for <apakabar@saltmine.radix.net>; Fri, 22 Oct 1999 18:10:17 -0400 (EDT)
Received: from localhost (indopubs@localhost) by indopubs.com (8.8.5) id QAA04347;
Fri, 22 Oct 1999 16:06:51 -0600 (MDT)
Received: by indopubs.com (bulk_mailer v1.9); Fri, 22 Oct 1999 16:06:14 -0600
Received: (indopubs@localhost) by indopubs.com (8.8.5) id QAA21972; Fri, 22 Oct
1999 16:02:36 -0600 (MDT)
Date: Fri, 22 Oct 1999 16:02:36 -0600 (MDT)
Message-Id: <199910222202.QAA21972@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@Radix.Net
Subject: [INDONESIA-L] MH - Masukan untuk Gus Dur dan Mbak Mega
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

Date: Fri, 22 Oct 1999 12:21:49 -0700 (PDT)


From: muhammad hatta <mhatta@go.com>
Subject: POSITIF DAN NEGATIF NYA PEMERINTAHAN PAK HARTO DAN PAK
HABIBIE MASUKAN
UNTUK GUS DUR DAN MBAK MEGA
To: apakabar@radix.net dll

POSITIF DAN NEGATIF NYA PEMERINTAHAN PAK HARTO DAN PAK HABIBIE
MASUKAN UNTUK GUS DUR DAN MBAK MEGA

A. Era pak Harto 1966 s/d 21 Mei 1998

Pak Harto adalah seorang militer, adalah sangat manusiawi dan wajar saja
dengan alat UUD 45 beliau menjadi sangat berkuasa, akan tetapi beliau
tetap berupaya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Semasa beliau
berkuasa bidang yang dikonsentrasikan adalah ekonomi sehingga pada saat
beliau berkuasa pertumbuhan ekonomi bangsa kita mencapai rata-rata 6 % per
tahun , akan tetapi beliau melupakan keadilan dan demokratisasi , sehingga
terjadilah kesenjangan budaya , kesenjangan pola pikir, kesenjangan
ekonomi y ang sangat tajam antara pusat dan daerah, akibat dari ini semua
moral bangsa menjadi rusak. Semua yang beliau bangun dapat tumbuh akan
tetapi semu, kesemuan tadi telah mengakibatkan konflik horisontal
dirasakan tajam akan tetapi tidak terlihat secara jel as. Sesungguhnya
para mahasiswa pernah memperingatkan hal ini pada beliau sekitar tahun
1977, akan tetapi peringatan para mahasiswa tadi tidak di indahkan oleh
beliau , bahkan pada tahun 1979 beliau menerapkan NKK/BKK yang me!
matikan de mokratisasi kehidupan

B. Era pak Habibie 21 Mei 1998 s/d 21 Oktober 1999.

Karena lama belajar di Jerman , pak Habibie adalah seorang demokrat tulen.
Akan tetapi pak Habibie sadar atau tidak sadar telah pula dibentuk oleh
pak Harto . Kita tentu masih ingat gurubesarnya pak Habibie dibidang
politik adalah Pak Harto. Akibatnya per tama ketika pak Habibie memimpin
arah perjuangan Reformasi telah menjadi deformasi , hal ini dapat terjadi
karena masih banyaknya elit politik, para birokrat yang menjadi Reformis
dadakan padahal mereka ini belum lama duduk sebagai elit politik,birokrat,
pengusaha di era Orde Baru . Kedua karena pak Habibie adalah pewaris pak
Harto, maka pada saat pak Habibie memerintah kebekuan , konflik horisontal
yang selama ini berhasil ditutupi oleh pak Harto menjadi meledak
dimana-mana setelah pak Harto Lengser con tohnya timbul kasus Aceh,
Sambas, Ambon . Ketiga karena desakan masyarakat yang sedang kehilangan
jati dirinya sebagai bangsa, akibat krisis multidimensi dan ditambah bakat
pak Habibie yang demokrat maka wibawa dan pengayoman ! pemerinta h pada
masyarakatnya m

D. Saran untuk Gus Dur dan mbak Mega.

Dari pengalaman diatas maka disarankan agar Gus Dur dan Mbak Mega tidak
usah terlalu mendengar saran :

.1. Para Elit Politik, birokrat sipil yang dekat dengan pak Harto dan pak
Habibie antara tahun 1992 s/d 1999 , walaupun orang tersebut sekarang
menjadi sangat Reformis dan telah memiliki sekaligus pemimpin partai dalam
pemilu99 yang saat ini wakil-waki lnya ada di MPR.

.2. Para Elit Politik yang partainya penerus Orde Baru contohnya Golkar.

.3. Pilih sebanyak mungkin orang-orang jujur, non partisan, taat


beribadah, dekat dengan mahasiswa dan perjuangan Reformasi nya, serta ahli
dibidangnya sebagai menterinya Gus Dur dan Mbak Mega, namun dengan syarat
orang tersebut bukan orang yang dekat de ngan pak Harto dan pak Habibie
antara tahun 1992 s/d 1999 dan bukan dari Partai Golkar. Gus Dur dan Mbak
Mega tentunya mengerti , bahwa pak Akbar cs, mas Amien cs, pak Edi Drajat
cs, bung Yusril cs, pak Dimyati cs, pak Matori cs, pak Hamzah Has cs saat
ini akan sangat berfungsi menjadi mitra pemerintah sebagai legislatif,
biarkan mereka belajar mempersiapkan UUD yang baik, belajar menerima
sekaligus menjadi penyalur aspirasi Rakyat . Masih banyak teman _teman Gus
Dur dan Mbak Mega misal dari alumni HMI ,GMNI,PMKRI,PMII yang bukan orang
partai politik untuk duduk di kabinet, Akan berbahaya terlalu banyak orang
partai duduk di kabinet sebab nanti yang difikirkan kepentingan partainya
saja bukan kepentingan Rakyat . Rekonsi! liasi nasi onal bukan berarti
rek

(berakhir disini - John) Militer Indonesia Tahun 50an

From: apakabar@clark.net

Date: Thu Apr 02 1998 - 11:35:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------
Forwarded message:

From apakabar@clark.net Thu Apr 2 15:34:17 1998

Date: Thu, 2 Apr 1998 13:32:21 -0700 (MST)

Message-Id: <199804022032.NAA28207@indopubs.com>

To: indonesia-l@indopubs.com

From: apakabar@clark.net

Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer di 50an (1/6)

Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (1/6)

Dan Lev menulis disertasinya tentang politik Indonesia tahun 1957-59 di Universitas
Cornell. Wawancara ini kami adakan pada bulan Agustus 1995 untuk mengenal studi
yang penting itu. Sekarang ini, bulan April 1998, kami merasa perlu memuat di Apakabar
karena dari studi Dan Lev tentang tahun 50-an itu kami bisa memahami latar belakang
peranan militer dalam politik Indonesia.

PERISTIWA 17 OKTOBER

T: Studi Pak Dan, "The transition to Guided Democracy: Indonesian politics, 1957-
1959," selanjutnya kami sebut "Transition," membahas detail sekali dua tahun yang
sangat menentukan itu. Tapi banyak peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya
yang juga Pak Dan pelajari karena sangat mempengaruhi apa yang kemudian terjadi pada
tahun 1957-59. Kami ingin melihat selintas rangkaian peristiwa itu, sejak tahun 1952.

Kami mulai dengan lembaga militer. Apa arti Peristiwa 17 Oktober 1952 dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia? Apakah itu bisa dianggap peristiwa sepele,
Nasution muda ingin gagah-gagahan? Atau punya arti dan dampak yang dalam bagi
perjalanan sejarah Indonesia selanjutnya?
J: Sesudah tahun 50, memang tentara cukup sibuk karena terjadi macam-macam
pemberontakan yang sangat berpengaruh pada pikiran politik dan ideologi pimpinan
tentara. Sejak tahun 50 juga mulai ada usaha pimpinan tentara untuk mempengaruhi
beberapa surat kabar, sudah ada semacam intelijen untuk itu. Pada bulan Oktober 1952
itu, untuk pertama kalinya tentara secara blak-blakan kasih tahu ke pemerintah bahwa
mereka tidak senang. Tidak senang dengan campur tangan pemerintah, tidak senang
dengan kekacauan yang terjadi, dengan korupsi, dll. Pada waktu itu Pak Nas memberi
tahu pemerintah bahwa dia bukan hanya tidak senang tetapi juga bisa bertindak.

Yang penting bukan hanya tindakan itu, dan bukan hanya perpecahan yang ada dalam
tentara karena banyak juga yang tidak setuju dengan Nasution. Yang penting adalah
bahwa ada perwira yang sudah menganggap tentara pada waktu itu sebagai organisasi
yang bukan hanya berfungsi militer tetapi juga punya kepentingan politik, punya
perasaan politik dan pikiran politik.

Waktu Pak Nas ingin memaksa Bung Karno untuk kembali memimpin negara, banyak
orang mengira dia seolah-olah mau kembali ke tahun 1945, ke persatuan bangsa, dsb.
Menurut saya tidak. Menurut saya waktu itu Pak Nas sudah punya pikiran bahwa kalau
perlu tentara mesti bertindak untuk memimpin negara. Bisa memaksa pimpinan sipil
seperti Bung Karno sendiri untuk melakukan hal-hal yang menurut tentara, atau paling
sedikit menurut Pak Nas dkk, harus dilakukan untuk memperkuat Indonesia. Nah, hal itu
tentu dilandasi pikiran politik dan kepentingan politik. Banyak pimpinan tentara pada
waktu itu yang merasa bukan hanya mereka lebih mampu dari pada orang sipil, tetapi
juga merasa disingkirkan oleh suatu elite lama. Ini pernah juga terjadi dalam negara
manapun saja, ya.

Pimpinan sipil sendiri pada waktu itu memang satu kelompok yang agak luar biasa.
Mereka berpendidikan tinggi, sikapnya sangat terbuka, punya ide-ide. Kebanyakan dari
mereka itu intelektual yang sudah biasa omong satu sama lain, dan mereka
berkemanusiaan. Selama lebih dari 20 tahun mereka satu sama lain sudah biasa bertarung
dengan ide. Mereka bisa tidak setuju satu sama lain, tetapi tidak mau saling membunuh.
Mereka sudah biasa dengan permainan politik yang terbuka. Mereka juga sangat realistis.
Sedangkan pimpinan tentara waktu itu merupakan kelompok yang jauh lebih muda.
Dibandingkan pimpinan sipil seperti Bung Karno, Bung Hatta, pimpinan PNI, Masyumi,
Kristen, Katolik, NU, dll, mereka kurang berpendidikan. Atau pendidikan mereka sangat
sempit. Tapi pimpinan tentara ini merasa yang berpendidikan tinggi itu tidak bisa apa-
apa. Atau paling sedikit tidak bisa memimpin dengan disiplin dan tegas. Lantas ada
semacam kompetisi antara kedua elite itu, antara dua generasi yang berlainan sekali.

KESEPAKATAN JOGJA

T: Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, ada beberapa peristiwa penting di kalangan militer.
Pertama, Kesepakatan Jogya (17 Februari 55), untuk mendamaikan dua kelompok yang
pro dan yang kontra Peristiwa 17 Oktober. Apa inti kesepakatan Jogya yang dirumuskan
oleh 250 perwira Angkatan Darat ini? Ketidakpuasan militer ini ternyata tidak selesai
dengan membuat ikrar di Jogya, di depan makam Jendral Sudirman. Setelah kesepakatan
Jogya terjadi Peristiwa Juni-55. Pimpinan Angkatan Darat tidak menerima pengangkatan
Bambang Utoyo sebagai KASAD baru. Disambung dengan percobaan kudeta oleh
Zulkifli Lubis dan perwira-perwira Jawa Barat pada bulan November-56. Apa artinya
rangkaian peristiwa ini?

J: Memang kesepakatan di bulan Februari 1955 itu sangat penting. Mereka mau coba
menghilangkan perpecahan yang ada dalam tubuh tentara, yang memang sangat
berbahaya. Tapi menurut saya yang lebih penting dari peristiwa itu adalah bahwa ketika
mereka ke Jogya, ke makam Pak Dirman, para perwira itu seolah-olah bicara atas nama
tentara sebagai suatu organisasi yang berdiri sendiri. Mereka tidak mengijinkan campur
tangan dari luar. Mereka punya ide sendiri. Kalau ada kesulitan intern, mereka sendiri
yang akan mengatasi.

Akibatnya terlihat pada bulan Juni 1955. Waktu Bambang Utoyo mau diangkat oleh
Kabinet Ali Sastroamijoyo, pimpinan tentara menolak. Ini suatu petunjuk yang luar biasa
pentingnya. Tentara bisa bertindak sebagai organisasi politik. Tentunya pada waktu itu
Pak Ali sangat terkejut. Saya kira dia mengerti betul bahwa ini berarti pemerintah tidak
bisa mengontrol tentara, tidak bisa menyuruh tentara begitu saja. Tentara tidak akan
tunduk pada pemerintah sipil. Menurut saya itu adalah permulaan dari krisis yang akan
menuju ke Demokrasi Terpimpin. Apalagi setelah Pak Nas diangkat lagi sebagai
KASAD. Terbukti, dua tahun kemudian sistim parlementer sudah bubar.

HUBUNGAN SIPIL-MILITER
T: Ada beberapa alasan mengapa militer tidak puas selama dekade 50-an. Beberapa
diantaranya: (1) Tentara menolak campur tangan sipil dalam soal militer. (2) Tentara
merasa lebih berjasa dari pada sipil, karena sipil sudah menyerah dalam Agresi-2,
sedangkan tentara terus melawan. (3) Para pemimpin sipil tidak becus, kabinet jatuh-
bangun terus. (4) Sipil korup. Itu a.l terlihat dalam tuduhan Alex Kawilarang terhadap
Menlu Roeslan Abdulgani. Bisakah Pak Dan mendiskusikan satu demi satu alasan itu.

J: Kalau dipikirkan dari satu sudut saja, ya semua tuduhan itu memang betul. Keadaan
yang sulit sekali memang tidak bisa diatasi oleh sipil saja. Lantas memang bisa dibilang
tidak becus. Pada waktu revolusi memang ada perbedaan antara pimpinan sipil dan
pimpinan tentara. Keduanya punya keahlian sendiri, punya fungsi sendiri. Dengan
sendirinya pimpinan sipil akan menekankan diplomasi karena memang itu keahliannya.
Tentara dengan sendirinya juga akan menekankan perjuangan bersenjata karena itu
keahliannya. Kalau pimpinan tentara bilang sipil korup, ya memang betul. Apakah
tuduhan Alex Kawilarang pada Roeslan itu betul? Memang belum jelas. Tapi tuduhan itu
menunjukkan perasaan para perwira terhadap orang sipil.

Sejak revolusi banyak perwira yang menganggap rendah orang sipil. Mereka
menganggap dirinya jauh lebih mampu. Memang sering orang militer, dimanapun saja
ya, menekankan keahlian mereka yang bisa mengatasi kesulitan militer, lalu merasa diri
lebih mampu dari orang sipil. Sedangkan dalam suatu sistim parlementer, dengan
sendirinya politik akan didasarkan atas debat, kompromi, debat lagi. Tapi dari pandangan
militer itu dianggap agak sloppy, tidak becus, dsb. Bukan karena militer tidak senang
dengan sipil, walaupun itu juga biasa dimanapun juga. Yang penting adalah karena
mereka menganggap diri berhak berbuat sesuatu karena itu.

Para perwira mengatakan mereka bertindak untuk menyelamatkan negara, dsb. Tapi kalau
melihat bukti-bukti yang ada, saya tidak melihat kebenaran disitu. Biasanya kalau suatu
kelompok pimpinan bertindak, itu bukan hanya untuk tujuan yang luhur, yang sangat
bagus. Tetapi menurut pandangan dan kepentingan sendiri. Dan menurut saya sesudah itu
memang terlihat banyak perwira yang menunjukkan bahwa mereka memang punya
pandangan dan kepentingan sendiri. Mereka bukan hanya mau memainkan peranan
sebagai militer tetapi juga sebagai pemimpin dalam pemerintahan.

Perasaan dan kemauan itu sangat menonjol pada tahun 1955, 56, 57. Dan itu kelihatan
bukan hanya di pusat, dengan orang seperti Pak Nas, Gatot Subroto, dll. Di daerah lebih
kelihatan lagi. Perwira-perwira daerah menganggap diri sangat kompeten, dan mereka
punya macam-macam alat. Lalu mereka makin sering diminta bantuan oleh orang-orang
sipil. Itu terjadi di Sumatra, di Sulawesi, bahkan juga di Jawa Timur. Perwira-perwira
daerah merasa diri sangat penting karena mereka bisa menolong daerahnya.

Mereka juga ikut marah ke pusat karena tidak banyak uang yang mengalir dari Jakarta ke
daerah. Semua itu mendorong semacam aktifitas politik para perwira daerah. Pak Nas
kuatir, takut sekali dengan keadaan itu. Karena itu berarti para perwira daerah makin
lama makin tidak mau menerima perintah dari pusat. Lantas Pak Nas mau
mempersatukan tentara. Bukan hanya karena persatuan tentara itu perlu, tetapi karena
persatuan itu dibutuhkan untuk tujuan politik tentara. Tahun 56 perkembangannya jelas
menuju ke arah itu.

T: Ketika Nasution diangkat kembali menjadi KASAD (November 55) dia bekerjasama
dengan Kabinet Ali-2 untuk memperkokoh posisi pimpinan tentara di pusat. Beberapa
panglima daerah dia geser. Keputusan ini menimbulkan ketidakpuasan para panglima
daerah (Sumatra dan Sulawesi), yang kemudian mencari dukungan di luar tentara.
Mereka didukung oleh Masyumi dan PSI (Crouch, h 32-33). Seberapa jauh keputusan
Nasution ini mempengaruhi timbulnya krisis Pusat-Daerah?

J: Ini masalahnya sangat kompleks. Tidak bisa dikatakan Pak Nas sendiri yang
menyebabkan krisis itu. Ada beberapa kejadian yang saling berhubungan. Di daerah
memang ada dorongan dari orang-orang sipil yang memikirkan nasib daerahnya sendiri.
Mereka menganggap tentara setempat itu bagian dari institusi lokal, bukan hanya institusi
nasional. Pak Nas mau mencegah itu dengan memindahkan beberapa perwira dan dengan
memperkuat organisasi tentara. Kabinet Ali mau menolong karena melihat ada bahaya
Indonesia bisa pecah. Dan kita harus ingat tahun 56 itu hanya 6 tahun setelah pengakuan
kedaulatan. Pimpinan nasional waktu itu, termasuk BK, tidak merasa begitu pasti bahwa
mereka betul-betul bisa mempersatukan Indonesia. Ada ketakutan yang luar biasa.
Sebagian karena campur tangan dari luar akibat Perang Dingin. Sesudah revolusi ada
usaha untuk mempersatukan, dan ada harapan untuk cepat-cepat ada perbaikan. Tapi
kemudian orang-orang merasa kurang puas, kurang senang, kurang sabar karena harus
menunggu pembangunan, dsb. Menurut saya harapan itu memang tidak realitis. Tapi saya
bisa mengerti kalau pimpinan waktu itu takut sekali kalau Sumatra akan keluar, Sulawesi
akan berdiri sendiri. Itu sebabnya Pak Ali menyokong usaha Pak Nas untuk
mempersatukan tentara.

Tapi ada satu akibat sampingan dari itu. Karena kemudian Pak Nas dan para perwiranya
mulai menganggap tentara sebagai lembaga yang sangat kunci. Mereka merasa yang
paling menentukan, merasa paling penting. Nah kalau perasaan itu dicampur dengan
perasaan kesal pada orang sipil, dengan kepentingan tentara sebagai kelompok politik,
dengan perasaan kurang dihormati, tidak diberi anggaran belanja yang cukup, dst, dengan
sendirinya bisa dimengerti mengapa mereka kemudian mendorong keras untuk
memainkan peranan yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya (bersambung 2/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)

From: apakabar@clark.net

Date: Thu Apr 02 1998 - 11:39:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message:

From apakabar@clark.net Thu Apr 2 15:36:03 1998

Date: Thu, 2 Apr 1998 13:35:33 -0700 (MST)

Message-Id: <199804022035.NAA29120@indopubs.com>

To: indonesia-l@indopubs.com

From: apakabar@clark.net

Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer di 50an (2/6)

Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (2/6)


PRRI/PERMESTA

T: Ketidakpuasan panglima-panglima daerah (Sumatra dan Sulawesi) berkembang ketika


pemerintah (Kabinet Ali-2) mengecam penyelundupan dan barter yang dilakukan oleh
para panglima itu. Apakah ada usaha untuk memeriksa sejauh mana kecaman atau
tuduhan pemerintah itu bisa dibuktikan? Ketidakpuasan ini berakibat jauh. Kemudian
para panglima Sumatra dan Sulawesi mengumumkan 'keadaan perang,' dan pemerintahan
sipil berada dibawah komando militer. Mengapa?

J: Memang benar penyelundupan itu ada. Seperti dengan Hong Kong, Singapura, dll.
Karena daerah merasa kekurangan anggaran belanja dari pusat, dan juga karena ada
ketegangan akibat pertentangan Jawa dan Luar Jawa. Tetapi bukan hanya karena alasan-
alasan itu. Dan harus diingat bukan hanya tentara yang memainkan peranan disitu tetapi
juga orang sipil setempat, di Sumatra dan Sulawesi. Jadi ada banyak kepentingan disitu.
Ada kepentingan ekonomi, ada semacam patriotisme daerah, dll. Faktor lain yang sangat
penting ialah campur tangan Amerika. Dan ini sering dilupakan. Baru kira-kira dua tahun
yang lalu, dalam buku 'Democracy in Indonesia,' permainan Amerika waktu itu dijelaskan
dalam hasil studinya Pak Kahin. Dan juga dalam bukunya yang baru, 'Subversion as
foreign policy' (New York, The New Press, 1995).

Dilihat dari pusat, memang pusat merasa tidak bisa lagi mengontrol daerah. Bukan hanya
karena ada tentara yang membandel, walaupun itu faktor terpenting, tetapi karena
kepentingan daerah memang berbeda dengan kepentingan pusat. Kedua, pusat takut
pengaruh Amerika disitu akan sangat memperlemah Indonesia. Tentunya keadaan yang
sangat kompleks itu menimbulkan kekacauan. Lalu muncul perasaan kehilangan harapan
dalam diri orang-orang di pusat. Lalu siapa yang bisa bertindak? Ada orang-orang sipil
yang menganggap, ya hanya tentara yang bisa menyelesaikan semua ini. Di daerah, baik
yang sipil maupun yang tentara sama-sama ada main, tetapi yang punya senjata itu cuma
tentara.

UNDANG-UNDANG DARURAT

T: Bagaimana situasi tahun 56-57 itu? Yang membuat pemerintahan Ali-2 akhirnya
menandatangani Undang-undang Darurat Perang, 14 Maret 1957. Dan apa akibat
Undang-undang ini dalam politik selanjutnya.

J: Pada akhir tahun 56 ada krisis yang luar biasa. Macam-macam hal terjadi. Bukan hanya
karena daerah mulai main sendiri, tetapi juga karena ada pertentangan antara Bung Karno
dan Bung Hatta. Lalu bulan Desember Bung Hatta meletakkan jabatan wapres, dan
seolah-olah itu membenarkan luar Jawa. Selain itu, sesudah Nasution diangkat lagi
menjadi KASAD, peranan tentara semakin naik. Pimpinan tentara menganggap orang
sipil yang membuat keadaan kacau kemudian tidak bisa menyelesaikan kekacauan itu.

Selain itu, ada satu kejadian lagi yang sangat penting dan sering dilupakan orang. Tahun
56 dan 57 ada perdebatan dalam parlemen tentang desentralisasi. Dari debat itu kemudian
lahir Undang-undang nomor 1 tahun 1957. Undang-undang itu memperlemah kedudukan
pamong praja dan memberi kekuatan yang nyata pada DPR Daerah. Ini membawa
perubahan yang sangat mendalam dan sangat penting.

Latar belakangnya begini. Pada waktu itu diakui bahwa pamong praja itu sebenarnya
merupakan lembaga kolonial yang dibuat untuk mengumpulkan kekayaan alam Indonesia
dan untuk mengontrol rakyat Indonesia. Partai-partai tidak akan bisa kuat, terutama di
desa-desa, kalau kekuasaan pamong praja tidak diperlemah. UU 1/57 itu merupakan
semacam desentralisasi yang memperkuat posisi DPR Daerah. Kedudukan pamong praja
dirubah, hanya menjadi semacam alat bagi DPRD. Nah, Pak Nas dan umumnya pimpinan
tentara menganggap keputusan itu akan memperlemah pemerintah pusat, dan akan
memperlemah negara pada umumnya. Lalu Pak Nas mulai mendorong agak keras supaya
partai-partai itu jangan membuat lemah negara.

Pada tahun 57 atau 58 Pak Nas memberi pidato, saya kira di Sumatra Selatan, tentang
soal ini. Disitu dia memuji-muji pamong praja dan menjelekan UU-1/57 itu. Malahan dia
mengatakan bahwa pamong praja itu harus dipertahankan. Ini berarti dalam pikiran Pak
Nas, dan mungkin para perwira lain juga, pemerintahan kolonial itu lebih efisien, lebih
baik. Dan ini ada bahayanya sendiri. Mungkin pikiran ini juga yang memberi ilham
dalam politik Orde Baru nantinya.

Ketika tahun 57 itu dinyatakan Keadaan Perang, berarti tentara diberi tempat yang
istimewa. Dengan pernyataan itu tentara dimasukkan dalam pemerintahan lokal dimana-
mana dan juga dalam pemerintahan nasional. Tentara diberi hak istimewa untuk mebredel
koran, hak untuk campur tangan dalam politik lokal.

Mulai tahun 50, di beberapa daerah memang sudah dinyatakan Keadaan Perang lokal.
Jadi tentara sudah punya pengalaman. Tetapi pada tahun 57 itu diberi legitimasi secara
nasional. Dan sesudah itu, dimanapun juga tentara memainkan peranan yang penting
sekali. Lantas itu jadi semacam konstitusi, semacam Undang-undang Dasar untuk
peranan politik tentara.
KORUPSI

T: Setelah kampanye Sita Modal Asing, mulainya bulan Desember 1957, pimpinan
tentara mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang disita. Sebagian
menyalurkan uangnya ke pasukannya, bukan ke pemerintah (Crouch, h 38, 39, 40).
Korupsi, penyelundupan, dan juga percukongan mulai berkembang. Tahun 1958,
Nasution menggeser beberapa perwira, seperti Kol. Ibnu Sutowo dan Kol. Suharto, waktu
itu panglima Jateng. Apakah kampanye anti korupsi ini berhasil?

J: Tentu tidak. Sesudah perusahaan-perusahaan Belanda diambil alih tahun 57, pada tahun
58 dinasionalisasi. Ada tujuh perusahaan Belanda yang besar lalu dibagi-bagikan, dan
kebanyakan jatuh dibawah kontrol tentara. Kalau Undang- undang Keadaan Perang tahun
57 menjadi semacam konstitusi politik buat tentara, maka nasionalisasi perusahaan
belanda pada tahun 58 itu memberi landasan ekonomi bagi tentara. Sepertinya tentara
jadi punya anggaran belanja sendiri, punya sumber uangnya sendiri.

Dalam membersihkan tentara Nasution sama sekali tidak berhasil. Beberapa orang
memang disingkirkan. Tapi orang-orang itu digeser karena alasan-alasan lain.Antara lain
karena mereka kadang-kadang menentang Pak Nas. Orang lain seperti Sukendro yang
terlibat dalam penyelundupan yang waktu itu dikenal dengan nama 'Barter Tanjung
Priok,' tidak digeser begitu saja. Pak Nas sangat mengerti politik. Dia paham betul bahwa
kalau diberi kesempatan, maka para perwira itu akan memakai kesempatan itu untuk curi
uang juga.

Soal korupsi dikalangan tentara, saya kira Pak Nas sendiri tahu betul bahwa itu tidak
mungkin bisa dia bersihkan. Malahan para perwira itu sudah menunggu agak lama untuk
dapat kesempatan. Waktu kesempatannya terbuka, banyak yang masuk dengan senang
hati dan banyak cari untung untuk dirinya sendiri. Kampanye anti korupsi di kalangan
tentara pada waktu itu sama sekali tidak berhasil. Ini bukan mau mengatakan bahwa
semua perwira itu korup. Bukan itu. Waktu itu memang dikalangan perwira ada isu baru.
Perwira yang biasa di medan perang kurang senang dengan perwira yang main politik
dan makin kaya.

JALAN TENGAH
T: Setelah berhasil menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, pimpinan pusat militer
menjadi utuh. Tanggal 12 Nopember 1958, Nasution berpidato di Magelang tentang
Konsep Jalan Tengah. Isinya, a.l, "Tentara adalah kekuatan hankam sekaligus kekuatan
sospol." Untuk menjalankan "Doktrin Perang Wilayah," tentara perlu "Kekuasaan
Teritorial" (Salim Said, "Genesis of Power", h 135-137). Delapan bulan kemudian
Sukarno mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD-45. Apakah ada kaitan
antara Jalan Tengah dan Dekrit 5 Juli?

J: Ini agak kompleks tapi sangat penting. Selama tahun 58, Pak Nas meminta nasehat
beberapa orang di dalam maupun di luar tentara untuk merumuskan landasan politik
tentara. Antara lain dia bicara dengan Pak Djokosutono yang waktu itu dekan Fakultas
Hukum UI. Pak Djokosutono yang menciptakan ide Jalan Tengah itu. Dalam Bahasa
Belanda itu dia sebut 'De Legers Midel Weg.'

Yang dicari Pak Nas pada waktu itu adalah semacam program politik yang bisa
memuaskan ambisi para perwira yang ada, dan sekaligus memberi hak tentara, untuk
selama-lamanya turut aktif dalam masyarakat dan politik Indonesia. Sesudah itu, bahkan
sebelum itu, Pak Nas dan perwira lainnya mulai mendesak

supaya UUD Tahun 1950 itu dihapuskan, dan kembali ke UUD-45. Ini sekarang sering
dianggap ide Bung Karno. Padahal sama sekali tidak. Sama sekali tidak betul. Dalam
otobiografi Pak Hardi, tokoh PNI, beliau mengatakan bahwa itu ide PNI. Tapi saya tidak
melihat ada bukti-buktinya. Yang terang waktu itu, malahan sejak 17 Oktober 1952, Pak
Nas merasa bahwa UUD-45 itu yang paling pantas.

Kalau kita kembali lagi, waktu Oktober 52, Pak Nas minta apa pada Bung Karno? Supaya
parlemen disingkirkan dan BK sendiri menjadi Pemimpin Besar. Itu berarti UUD-45.
Menurut Hardi, tahun 57 itu BK tidak mau memainkan peranan yang terlalu penting,
peranan yang bertanggung-jawab. Dia mau menjadi pencetus ide. Tapi kalau harus
mempertanggung-jawabkan suatu politik ekonomi, misalnya, dia tidak mau. Pada Hardi
dia mengakui terus terang bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang ekonomi. Malahan takut
kalau dia akan membuat kacau. Dan memang betul itu yang kemudian terjadi. Tapi ada
kemungkinan lain juga. BK mungkin agak kuatir dengan keadaan politik waktu itu.
Karena pada akhirnya BK memang tidak punya partai, tidak punya organisasi sendiri.
Menurut saya, dia tidak begitu senang dengan UUD-45 itu. Itu programnya tentara.

Tahun 58 itu, ada beberapa kejadian penting di luar Indonesia, yang dari sudut tentara itu
sangat menguntungkan. Dimana-mana banyak tentara lain yang main kudeta. Bulan Juli
Jendral Kassim kudeta di Iraq. Bulan Oktober jendral Ayub Khan di Pakistan dan Ne Win
di Birma. Ada kup baru juga di Thailand. Berita kup datang juga dari Pilipina. Lalu bulan
November tentara kudeta di Sudan. Semua itu terjadi pada tahun 58. Dan waktu itu Pak
Nas mulai memberi ceramah. Kira-kira dia mau bilang, "Ya, ini ada yang bikin kup di
luar negeri dan bisa saja itu juga terjadi disini." Akibatnya, BK dan pimpinan politik lain
yang sudah agak lemah karena sudah bukan sistim parlementer lagi, menjadi takut sekali.
Kalau kita baca, koran tahun 58 sampai awal 59 itu penuh dengan berita tentang kup di
luar negeri, dan ketakutan dalam negeri akan kemungkinan kup.

Pada akhirnya Pak Nas berhasil dengan desakannya supaya UUD-45 dipertimbangkan
kembali. Bulan Februari isu itu dikasih pada Konstituante supaya diputuskan. Nah, disitu
ada permainan yang luar biasa juga. Akhir April, BK berangkat ke luar negeri untuk
perjalanan dua bulan. Yang diserahkan mengurus keadaan di dalam negeri adalah Pak
Nas. Harapan Pak Nas adalah pada akhirnya Konstituante akan menyetujui UUD-45.
Tetapi ternyata tidak. Masyumi berhasil memaksa NU untuk ikut menolak, setelah
kekalahan dalam isu Piagam Jakarta, kekalahan dalam memperjuangkan Islam sebagai
dasar negara. Setelah diambil suara dalam Konstituante, tanggal 2 Juni, cuma 264 suara
mendukung, 204 menolak dan 2 abstain. Padahal butuh 2/3 suara. Pak Nas tahu dia kalah.
Besoknya dia mencekal semua orang. Semua aktivitas politik dilarang. Orang tidak boleh
lagi ngomong di koran, tidak boleh apa-apa, menunggu sampai BK pulang. Sementara itu
Pak Nas kirimkan seorang atase untuk bicara dengan BK. Saya kira dia juga kirim surat,
mendesak BK supaya ada dekrit untuk kembali ke UUD-45.

Waktu BK pulang, tanggal 29 Juni, dia merasa terjepit. Di lapangan terbang Kemayoran
dia membuat jumpa pers. Yang aneh, disitu dia malah memarahi Nasution. Dia
mengatakan, "Saya tidak akan tunduk pada tentara." Jadi bukan UUD-45 yang
dibicarakan, malahan dia bicara kekuatan tentara. Ini menunjukkan bahwa BK mengerti
betul apa yang sedang terjadi. Dia sudah terdesak, terjepit, tidak bisa berbuat apa-apa.
Yang akhirnya menang adalah tentara. Sesudah itu, dalam Demokrasi terpimpin, dari
sudut BK yang paling sulit adalah bagaimana mengontrol tentara. Pada akhirnya, terbukti
tidak bias

(bersambung-3/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)


From: apakabar@clark.net

Date: Thu Apr 02 1998 - 11:44:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message:

From apakabar@clark.net Thu Apr 2 15:42:39 1998

Date: Thu, 2 Apr 1998 13:41:41 -0700 (MST)

Message-Id: <199804022041.NAA01148@indopubs.com>

To: indonesia-l@indopubs.com

From: apakabar@clark.net

Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer di 50an (3/6)

Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (3/6)

PEMILU-55

T: Apa makna paling penting dari Pemilu-55? Mengapa para peneliti Indonesia
menganggap Pemilu-55 adalah pemilu yang paling bebas dan paling menunjukkan
aspirasi rakyat Indonesia? (Lihat a.l makalah Feith, McVey, Anderson, Mackie, Buyung
Nasution, dll, dalam "Democracy in Indonesia, 1950s and 1990s." Selanjutnya kami
sebut "Democracy").
J: Pemilu-55 itu luar biasa. Itu pemilihan pertama dalam suatu negara baru. Yang kalau
dihitung dari pengakuan kedaulatan, selesainya revolusi, umurnya baru 5 tahun. Yang
mengherankan adalah efektifitas dari organisasi partai-partai. Yang lebih mengherankan
lagi adalah begitu banyaknya orang yang turut. Lebih dari 91% untuk memilih anggota
parlemen (DPR) pada bulan September, dan 89% waktu memilih anggota Konstituante
pada bulan Desember. Itu luar biasa. Ini memang pemilu yang paling bebas.

Yang ditunjukkan dari pemilu-55 itu adalah bahwa rakyat Indonesia menerima sistim
parlementer itu dengan semangat yang luar biasa. Setelah jatuhnya sistim parlementer,
semua orang baik di luar negeri maupun di dalam negeri, mengatakan bahwa kebudayaan
Indonesia tidak bisa menyokong suatu sistim pemilihan, suatu republik atau demokrasi.
Pemilu-55 membuktikan pikiran tadi itu omong kosong! Kalau kebudayaan Indonesia
tidak bisa menjadi landasan untuk demokrasi, kenapa begitu banyak orang yang ikut
memilih? Dan kelihatan betul mereka tahu apa yang akan dipilih. Mereka masuk partai
dan mendukung partai itu. Mereka tidak lebih atau tidak kurang kalau dibandingkan
rakyat di negara- negara lain.

Dikatakan banyak orang yang milih PNI karena mereka biasa ikut dengan para priyayi.
Tapi mengapa ada jutaan orang yang tidak ikut priyayi itu. Mereka ikut PKI atau
Masyumi atau NU atau yang lain. Persis seperti di negara manapun juga. Dan antusiasme
itu kelihatan bukan hanya dalam pemilihan buat parlemen, bulan September. Tetapi juga
waktu pemilu untuk anggota Konstituante, bulan Desember. Dan kelihatan lagi waktu
begitu banyak orang yang turun waktu pemilihan anggota DPRD tahun 1957. Buat saya
itu makna penting Pemilu-55.

KONSEPSI BUNG KARNO (21 Februari 57)

T: Tanggal 21 Februari 1957 Bung Karno mulai menawarkan Konsepsinya. Dia


mengusulkan: (1) Kabinet Gotong Royong yang dipimpin oleh 4-besar hasil Pemilu-55
(PNI, Masyumi, NU dan PKI), dan (2) Dibentuknya Dewan Nasional dimana duduk
semua wakil-wakil golongan dalam masyarakat untuk mendampingi kabinet
("Transition," h 16 dan 17). Apa reaksi atas Konsepsi Bung Karno ini?
J: Sebenarnya ini mulai tahun 56. BK mulai memberi ceramah dan pidato yang kritis
terhadap sistim kepartaian. Sudah sejak tahun 1930 Bung Karno memimpikan persatuan.
Dia memang tidak senang kalau semua golongan itu terus konflik. Dia ingin
mempersatukan semuanya. Tahun 57 dia kembali pada ide itu.

Dia ingin supaya semua partai bisa bekerjasama. Lalu muncul ide Dewan Nasional, dsb.
Tapi itu menunjukkan bahwa BK bertindak secara ad hoc. Dia tidak ada ide tentang
Demokrasi Terpimpin. Dia tidak tahu lembaga apa yang akan dipakai. Dia hanya mau
memaksa semua partai untuk bekerjasama. Hanya itu. Dan dia memang mau bertindak
sebagai semacam pemimpin besar yang berada diatas semuanya, walaupun tidak
bertanggungjawab pada semua itu.

Pada tahun 57 itu memang banyak sekali orang yang mengharap dari Bung Karno sesuatu
yang lebih baik dari yang sudah ada. Memang sulit untuk menentukan siapa yang
kecewa, siapa yang tidak puas waktu itu. Tapi memang banyak yang mempercayai Bung
Karno, menganggap dia sebagai semacam bapak negara. Mengharapkan dari dia suatu
pimpinan yang bersih dengan arah yang jelas. Termasuk kaum intelektual, dll, yang
menganggap konflik partai itu sudah keterlaluan.

Tapi ada unsur lain. Tidak semua partai menerima apa yang diinginkan Bung Karno
dengan Konsepsi itu. Dari sudut PNI, Masyumi, NU, bahkan dari Partai Katolik, Kristen,
dll, banyak yang tidak mau bekerjasama dengan PKI. Dari sudut mereka, mereka mulai
takut betul pada PKI yang makin besar dan makin kuat. Ini akan menjadi ancaman yang
sangat fundamental. Dan untuk mengerti ketakutan itu harus dipahami elite Indonesia
waktu itu. Yaitu elite yang ada di dalam PNI, Masyumi, PSI, NU. Ini kelompok elite yang
sebagian, tidak semua tentunya, berasal dari aristokrasi dulu, kaum priyayi dulu, atau
aristokrasi di luar Jawa. Mereka kuat pada waktu kolonial, dan masih kuat pada waktu
revolusi dan sesudahnya. Mereka mulai melihat PKI sebagai semacam partai yang tidak
bermain menurut aturan yang ada. Dari satu sudut, PKI itu terlalu serius. Pimpinan PKI
waktu itu jauh lebih muda dari dari pada pimpinan PNI, Masyumi, NU, Kristen, Katolik,
dll. Lebih muda, lebih cakap berorganisasi, dan sangat bersih. Mereka menekankan
kepentingan buruh, tani, dll.

Lalu timbul ketakutan dari elite PNI dll itu, melihat kemungkinan PKI akan menang.
Setelah Pemilu-57 mereka mendekati Bung Karno, dan mulai juga mendekati tentara.
Tidak semua tentunya. Sesudah tahun 57-58, mereka melihat tentara sebagai semacam
savior, semacam benteng terhadap PKI. Atau ada yang melihat BK semacam benteng
juga terhadap PKI. Lantas ada semacam kekuatan yang berkumpul disekitar BK waktu
itu. Tapi itu memang tidak terlihat dari luar. Sedangkan tentara, Pak Nas dkk itu, juga
tidak tahu apa yang akan dilakukan BK. Dari sudut tentara, sudah ada kemajuan besar.
Mereka sudah punya Undang- undang Keadaan Perang itu. Tahun 58 mereka sudah dapat
perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi, dll. Ide-ide Pak Nas sudah diterima. Para
perwira sangat diperhatikan. Lantas, dari sudut mereka, Bung Karno boleh berbuat apa
saja. Asal saja tujuan tentara dikabulkan.

T: Bagaimana Pak Dan menjelaskan meningkatnya kekuatan PKI dalam waktu singkat
ini? Padahal pimpinan mereka jauh lebih muda dari pimpinan partai-partai lain.
Bagaimana anak-anak muda ini bisa mendapat jutaan pengikut?

J: Ada dua-tiga sebab. Yang sangat ditekankan oleh grup PKI adalah bahwa cara- cara
PKI dianggap sangat modern, semacam arus pada jaman itu. Selain itu PKI dianggap
partai yang bersih. Waktu itu saya kenal satu orang dokter, dia orang Masyumi. Orang ini
sangat jujur, sangat streng, malah agak kaku. Nah, dia mengatakan, "Satu-satunya partai
yang bersih disini memang PKI." Dan banyak sekali orang yang merasa begitu. Setuju
atau tidak setuju, orang menganggap PKI waktu itu sebagai partai yang bersih. Partai
yang serius, yang betul-betul mau berjuang untuk sesuatu yang di luar sakunya sendiri.
Sebetulnya itu tidak betul juga, ya. Orang komunis juga bisa korup kalau diberi
kesempatan. Tapi mereka tidak pernah punya kesempatan itu. Tapi pandangan orang itu
jadi satu keuntungan yang luar biasa buat PKI.

Selain bersihnya PKI itu, mereka memang dianggap punya ide. Ini memang penting
sekali, pada akhirnya PKI memang tergantung pada suatu pendirian yang berpihak pada
petani. Dan mereka rela ambil resiko. Banyak pokrol bambu dari PKI yang keluar,
menolong orang di pengadilan dalam perkara tanah. Kalau soal buruh, pada akhirnya
yang waktu itu betul-betul memperjuangkan kaum buruh itu siapa?

Terutama ya PKI. Akibatnya banyak buruh yang masuk dalam SOBSI.

Dari sudut politik luar negeri, banyak orang waktu itu juga marah pada Amerika karena
desakan Amerika yang kadang-kadang memang sangat kasar. Amerika menyokong PRRI-
Permesta, termasuk pemboman di Indonesia. Orang marah pada permainan CIA, pada
kecongkakan pendirian Eisenhower dan selanjutnya, Kennedy. Politik luar negeri Bung
Karno yang memakai simbol Non-Alignment, tahun 55 ada Konferensi Asia Afrika di
Bandung. Lalu ada politik anti Nekolim, dsb, memang sangat meyakinkan buat banyak
orang. Nah, PKI juga dapat semacam keuntungan dari keadaan itu.

PEMILU DAERAH-57

T: Bulan Juni dan Juli 1957 diadakan pemilihan umum daerah untuk memilih anggota
DPRD. PKI muncul sebagai pemenang. Di P. Jawa dan Sumatra Selatan, PNI dapat 25%,
Masyumi 19%, NU 25% dan PKI 31%. Angka-angka ini sudah dibulatkan dari buku
"Transition," h 97. Apa dampak Pemilu-57 dalam politik selanjutnya?

J: Pemilu-57 menunjukkan pada pimpinan PNI, Masyumi, NU, dll, bahwa mungkin
sebaiknya sistim parlementer dihapuskan saja. Ini suatu keputusan yang sangat kritis.
Kalau sistim parlementer mau diselamatkan, sistim itu harus dapat sokongan dari partai.
Tapi disitu kelihatan bahwa kepentingan dari suatu elite sosial-politik dianggap lebih
penting dari pada sistim politik yang ada.

Kemudian, tahun 58, waktu perdana menteri Juanda mengusulkan supaya pemilu tahun
59 dibatalkan, dia dapat sokongan. Ini ironis sekali. Karena yang menyokong dia itu PNI,
Masyumi, PSI, Katolik, Kristen. Yang menentang, menekankan perlunya pemilihan ialah
PKI. Nah, ini aneh kan?

Karena terang ya bahwa PKI bukan suatu partai yang demokratis, artinya akan dengan
senang hati menerima partai-partai lain. Tapi justru mereka yang membela sistim
parlementer. Nah, harus ditanyakan, apa sebabnya pimpinan PNI dll itu mendukung
dibatalkannya pemilu? Pimpinan PNI dll itu belum menjawab pertanyaan ini. Tapi saya
tahu akhirnya jawabannya bagaimana. Mereka takut PKI. Itu berarti, tahun 58 sistim
demokrasi yang ada memang dibunuh oleh partai-partai sendiri. Dengan bantuan luar
biasa dari tentara dan juga Bung Karno.

SERIKAT BURUH

T: Tadi Pak Dan menyinggung soal buruh. Dari wawancara dengan Pak Takashi,
perlawanan terhadap kolonialisme pada tahun 20-an itu dipelopori oleh serikat serikat
buruh. Tahun 30-an dan 40-an kaum buruh sudah tidak punya kekuatan lagi. Dalam
dasawarsa 50-an ini, serikat buruh tumbuh subur lagi. Tetapi hampir semua serikat buruh
bergabung dengan partai politik besar pada waktu itu. Dalam wawancara sebelumnya Pak
Dan mengatakan, "Ada kelemahan dalam gerakan buruh dulu. Mereka terikat kepada
partai." Apakah pada waktu itu memang ada pilihan lain bagi buruh selain bergabung
dengan partai?

J: Saya tidak mengatakan supaya buruh jangan menyokong partai, atau jangan masuk
dalam partai. Ada dua soal. Pertama, waktu itu buruh di Indonesia, walaupun jumlahnya
banyak, masih merupakan unsur yang belum begitu kuat. Belum jadi kekuatan yang
besar. Yang penting cuma buruh dalam perminyakan, beberapa pabrik kecil, buruh kereta
api, persatuan guru, dll. Kedua, waktu organisasi buruh itu mulai, mereka langsung saja
dimasukkan kedalam PNI, PKI, Masyumi, NU, yang semua punya organisasi buruhnya
sendiri. Akibatnya tujuan jangka panjang kaum buruh sering dikorbankan untuk tujuan
jangka pendek partai. Dan karena buruh itu sudah terbagi-bagi dalam partai, mereka
sering tidak bisa omong blak-blakan tentang tujuan dan kepentingan mereka sendiri.
Sering mereka tidak diperhatikan oleh pimpinan partai.

Menurut saya memang ada pilihan lain waktu itu. Beberapa serikat buruh itu mulai bisa
omong satu sama lain untuk mempersatukan gerakan buruh. Dan pada waktu itu, menurut
saya persatuan itu yang akan lebih menguntungkan. Tapi itu semacam fantasi juga, ya.
Pada akhirnya mereka terpengaruh oleh partai.

Kemudian memang ada konflik dengan partainya. Dalam PKI ada konflik, bukan hanya
dengan SOBSI tetapi juga dengan BTI, Barisan Tani Indonesia. Makin lama makin ada
ketegangan dengan pimpinan partai. Dalam partai-partai lain saya kira juga begitu. Tapi
sudah terlambat

(bersambung-4/6).
[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)

From: apakabar@clark.net

Date: Thu Apr 02 1998 - 11:46:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message:

From apakabar@clark.net Thu Apr 2 15:45:16 1998

Date: Thu, 2 Apr 1998 13:44:36 -0700 (MST)

Message-Id: <199804022044.NAA02190@indopubs.com>

To: indonesia-l@indopubs.com

From: apakabar@clark.net

Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer 50an (4/6)

Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (4/6)

SARA

T: Dalam dekade 50-an ada dua peristiwa penting yang menyangkut soal Sara.Berdirinya
Baperki tahun 1954 untuk mencegah Sara, dan keluarnya PP-10 tahun 1959 yang justru
menghidupkan Sara. Pertanyaan pertama, mengapa Baperki berdiri tahun 1954?
J: Mereka takut. Ini memang cerita sendiri. Baperki itu agak tragis dan banyak orang
tidak paham sejarah ini. Untuk bisa paham, seperti yang lain juga termasuk tentara, orang
harus mengerti sejak jaman kolonial. Orang Tionghoa itu minoritas yang dipakai sebagai
perantara supaya tidak lahir suatu kelas menengah pribumi Indonesia yang tentunya lebih
sulit dipegang. Dan mereka sangat terikat pada Belanda. Mereka itu berguna sekali bukan
hanya sebagai perantara tetapi juga juga sebagai kambing hitam. Tahun 20-an dan 30-an
orang Tionghoa sudah mulai pecah. Bukan hanya antara peranakan dan totok tetapi juga
antara kiri dan kanan. Ada yang merasa dekat sekali dengan Belanda, atau paling sedikit
merasa takut kalau tidak mendapat proteksi dari Belanda. Dan yang lain sudah
menganggap diri sebagai orang Indonesia lalu masuk dalam gerakan nasionalis,
walaupun sebagian ditolak.

Waktu revolusi, sama. Ada yang berpihak pada Belanda. Yang lain, seperti di Jogya, ikut
berjuang dalam revolusi. Lainnya tidak berbuat apa-apa kecuali takut sekali pada
siapapun saja. Memang pada waktu revolusi, bulan Juni 46, ada kejadian yang sangat
kejam di Tangerang. Banyak orang Tionghoa dibunuh begitu saja. Karena takut sekali,
ada dua hal yang terjadi. Satu, didirikannya suatu organisasi, Sin Ming Hui. Yaitu
organisasi untuk menolong orang, bukan hanya orang Tionghoa, tetapi siapapun saja.
Terutama orang Tionghoa yang sama sekali tidak punya perlindungan lain. Kedua,
setelah peristiwa Tangerang itu, didirikan suatu organisasi keamanan, Pao An Tui, untuk
perlindungan secara fisik kalau perlu.

Pada akhir revolusi didirikan suatu organisasi politik namanya Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia. Pimpinan orang Tionghoa waktu itu sadar betul bahwa untuk bisa berbuat
sesuatu mereka harus punya organisasi. Tapi mereka terbentur, karena kebanyakan orang
Tionghoa sama sekali menjauhkan diri dari politik, takut sekali pada politik. Sesudah
tahun 50, wah, keadaan jadi sulit lagi buat orang Tionghoa. Karena kewarganegaraannya
ditolak, atau tidak menentu, dan ada banyak insiden. Lalu ada yang mulai masuk macam-
macam partai. Ada yang mendekat pada PNI karena memang sudah ada hubungan lama
sejak abad-19 antara priyayi Jawa dengan Orang Tionghoa. Banyak kawin campur, dsb.
Yang intelektual

masuk PSI. Banyak yang masuk Kristen, Katolik, bahkan ada yang masuk Masyumi, NU,
dll.

Orang-orang Tionghoa yang ada di parlemen tidak selalu bisa memperhatikan persoalan
Tionghoa. Padahal waktu itu keadaan mereka dipersulit. Dan banyak orang Tionghoa
mulai kuatir betul dengan nasib mereka. Antara lain karena ketidakpastian tentang
kewarganegaraan. Mereka diperas, kadang-kadang diancam, dihantam, dll. Tahun 54
mulai agak gawat. Karena itu semua pimpinan Tionghoa dari macam-macam organisasi
berkumpul di Jakarta untuk mendirikan suatu organisasi baru yang bisa mempersatukan.
Lahir Baperki. Terutama untuk menangani soal kewarganegaraan yang hangat sekali
waktu itu. Tetapi juga untuk mencari semacam jalan keluar bagi minoritas ini. Banyak
orang dari berbagai kalangan masuk ke Baperki.

Yang dipilih menjadi pimpinan itu Siauw Giok Tjhan. Ini menarik. Karena kalau kita
ingat lagi sejak jaman kolonial, masyarakat Tionghoa seperti minoritas dimanapun juga di
dunia, selalu mencari pimpinan yang bisa cocok dengan kekuasaan yang ada. Pada jaman
kolonial, pimpinan Tionghoa yang kuat adalah yang dekat dengan Belanda. Pada tahun
50-an, mengapa Pak Siauw yang dipilih? Karena dia kenal baik dengan Bung Karno. Dia
juga teman karibya Pak Sartono, tokoh PNI yang memimpin parlemen waktu itu. Lantas
yang konservatif tidak lagi jadi pemimpin.

T: Para pendiri Baperki sangat beragam latar belakangnya dan juga pendangan politiknya.
Misalnya Yap Thiam Hien intelektual Kristen, Oey Tjoe Tat intelektual nasionalis, Siauw
Giok Tjhan adalah aktivis kemerdekaan yang ideologinya condong ke PKI, Auwyong
Peng Koen (P.K. Oyong) adalah tokoh pers yang dekat dengan kelompok Katolik.
Sedangkan Inyo Beng Goat dan Tan Po Gwan adalah intelektual yang dekat dengan PSI
("Memoar Oei Tjoe Tat," h 73-85). Pertanyaan kedua, pemikiran apa yang bisa
menyatukan mereka?

J: Baperki itu memang campur aduk. Ada macam-macam aliran politik, aliran sosial,
aliran agama. Tapi semua pimpinan itu orang yang bertanggungjawab, mau menolong
minoritas ini. Siauw itu dituduh orang komunis. Memang betul dia komunis. Dan bukan
hanya dia, ada beberapa orang lagi. Tapi sebetulnya Siauw itu bukan orang PKI. Malah
dia agak marah pada PKI. Kenapa? Karena waktu kelompok Aidit memimpin PKI,
mereka juga pikir soal Tionghoa ini. PKI tidak rasialis, pada umumnya, tapi mereka
kuatir kalau ada pemimpinnya yang Tionghoa maka itu tidak akan disenangi masyarakat.
Lantas seorang pimpinan PKI lama, Tan Ling Dji, itu dikeluarkan dari pimpinan. Saya
pikir Siauw marah. Walaupun Siauw dituduh PKI, dan memang dia kadang-kadang setuju
dengan PKI karena politik PKI yang tidak rasialis, tapi buat Siauw yang penting bukan
komunismenya. Tapi kesetiaan pada Bung Karno. Dia melihat Bung Karno sebagai
harapan untuk minoritas.

Selama Demokrasi Terpimpin, dalam Baperki ada macam-macam konflik. Auwyong


Peng Koen keluar.Dia marah karena tidak diberi kedudukan pimpinan yang baik. Dia
memang Katolik yang tidak percaya pada Siauw. Tapi Katolik-katolik yang lain terus.
Pak Yap terus juga. Walaupun dia seorang Protestan yang tidak pernah setuju dengan
Siauw, tetapi dia sangat menghormati Siauw. Pak Yap dan Pak Siauw itu, memang
berlainan pandangan politiknya tapi banyak kesamaan dalam sikap hidupnya. Mereka
sama-sama sangat sederhana, bukan orang yang punya ego besar. Dua-duanya betul-betul
orang yang bertanggungjawab, dan sangat teguh dengan pendiriannya, karena itu mereka
sering bertengkar. Pak Yap tidak setuju dengan komunis, bahkan sangat anti komunis. Dia
kritis sekali pada Siauw karena program yang dianggap terlalu kiri pada tahun 60 itu.
Tapi sebetulnya, yang Pak Yap sangat kuatirkan dari Pak Siauw itu bukan
komunismenya. Tetapi kesetiannya pada Bung Karno.

Tahun 59, di Konstituante, Siauw Giok Tjhan dan semua orang Baperki mendukung ide
untuk kembali ke UUD-45, karena itu akan memperkuat Bung Karno. Walaupun dalam
UUD-45 itu ada satu dua ayat yang sebetulnya rasialis juga. Seorang Tionghoa tidak bisa
jadi presiden, umpamanya. Yang menyerang UUD-45 adalah Pak Yap. Dia menyerang
atas dasar prinsip. Nah, sesudah itu, ya sulit. Baperki terus terikat pada Bung Karno dan
akhirnya dihancurkan. Tentu tidak semua orang Tionghoa ikut Baperki, malahan cuma
minoritas saja. Lalu makin lama Baperki makin kacau balau, seperti partai-partai lain
juga. Karena pengaruhnya di daerah, di luar Jakarta, hampir tidak ada. Kecuali di Jawa
Timur. Karena Siauw dari Jawa Timur dan ketua Baperki Jawa Timur adalah adiknya
Siauw. Dari satu sudut, Baperki itu memang partai Jawa Timur.

Kalau tentang PP-10, itu sulit juga. Pada umumnya, orang seperti Bung Karno dan elite
lama yang terdidik itu sama sekali bukan rasialis. Dan harus diingat, pada umumnya di
Indonesia tidak ada rasialisme yang mendalam. Saya tidak setuju dengan pendapat Jamie
Mackie, misalnya. Dia berpendapat sejak tahun 50 banyak kerusuhan dalam masyarakat
yang menyebabkan serangan ke orang Tionghoa. Setiap ada kerusuhan anti Tionghoa
yang serius, biasanya itu diorganisasikan dari atas. Seperti Gerakan Asaad itu
umpamanya. Begitu juga dengan PP-10, atau rasialisme bulan Mei tahun 63.

PP-10 itu disokong Masyumi, dll, tapi diorganisir oleh tentara. Ada macam-macam tujuan
disitu. Memang ada sebagian orang, bukan hanya di tentara, yang menganggap orang
Tionghoa itu kaya, harus dibatasi, harus dikirim pulang, dsb. Bung Karno tidak
menyetujui, tetapi terpaksa ikut. Pramoedya Ananta Toer menulis satu buku waktu itu,
'Hoakio di Indonesia,' tentang orang-orang Tionghoa di Indonesia. Dan karena itu dia
dipenjara. Bukan atas kemauan Bung Karno, tetapi atas kemauan tentara. Selain itu ada
tujuan lain. Kalau orang Tionghoa ditakut-takuti, diancam, dipukul, dengan sendirinya
akan jauh lebih mudah memeras mereka. Itu taktik biasa.
T: Apa alasan utama tentara mendukung PP-10/59? Peraturan ini melarang orang-orang
asing, Cina, India, Arab, dll, berdagang di daerah pedesaan. Ini jelas sangat rasialis.
Mengapa di Jawa Barat dilaksanakan dengan kejam?

J: Di Jawa Barat perasaan anti Tionghoa memang ada. Waktu itu pimpinan tentara sudah
merasa diri bukan hanya sebagai pemain politik, atau pimpinan politik, tetapi juga
semacam pembuat politik. Mereka akan membela masyarakat, mau memperbaiki
ekonomi. Di Jawa Barat mereka memutuskan untuk memperbaiki ekonomi maka orang
Tionghoa harus dikeluarkan. Itu suatu kesalahan yang bukan main. Saya sendiri melihat
di desa-desa waktu itu, bukan hanya di Jawa Barat tetapi juga di Jawa Timur yang
keadaannya berbeda. Di Jawa Barat orang desa tidak setuju kalau Tionghoa dipindahkan.
Karena itu malah merugikan buat orang desa itu. Tentara lalu ambil oper isu itu karena
menganggap ini akan mendapat sokongan rakyat. Padahal tidak.

BIROKRASI

T: Dalam makalah Evers di buku "Democracy," ada tabel jumlah pegawai negeri
("Democracy," h 266). Ada dua kali kenaikan jumlah pegawai negeri yang sangat
menyolok. Pertama dari 82 ribu pada tahun 1940 menjadi 303 ribu pada tahun 1950. Dan
kedua dari 515 ribu pada tahun 1970 menjadi 2 juta tahun 1980. Tolong Pak Dan jelaskan
mengapa selama dekade 40-an jumlah pegawai negeri itu melonjak hampir 4 kali lipat?
Sedangkan selama jaman Demokrasi Liberal, dekade 50-an, kenaikan jumlah pegawai
negeri hanya 90 ribu orang. Apa arti data ini untuk memahami politik tahun 50-an?

J: Saya juga sudah melihat statistik itu. Tapi belum begitu terang buat saya apakah data
untuk tahun 40 dan 50 itu termasuk juga tentara. Kalau tahun 80 memang sudah termasuk
tentara. Sesudah tahun 50 banyak orang yang masuk pegawai negeri. Karena memang
ada pekerjaan disitu dan karena pegawai negeri dianggap statusnya tinggi. Selain itu,
partai-partai, seperti partai dimanapun saja, memakai tempat di birokrasi itu sebagai
patronage. Anggota partai ditempatkan disitu supaya mereka senang dan dari situ juga
bisa membantu partainya. Tahun 50-an, seperti di negara lain juga, di Indonesia semua
partai ingin mendapat sebagian dari birokrasi. Misalnya PNI dapat penerangan, NU dan
Masyumi dapat departemen agama, dst.

Kenaikan jumlah birokrasi itu menunjukkan beberapa hal yang penting. Satu, karena
pemerintah memperluas fungsinya dengan sendirinya akan mengangkat lebih banyak
pegawai. Tapi dari sudut politik, orang-orang yang masuk dalam birokrasi itu kemudian
menganggap diri berkepentingan dengan birokrasi itu. Artinya birokrasi jadi semacam
partai politik. Dan di Indonesia ada tendensi dari pimpinan negara untuk menganggap
birokrasi sebagai pendukung utamanya. Itu berarti kepentingan birokrasi harus dilayani
terus. Nah ini ada pengaruh yang agak berbahaya. Karena kemudian semua pegawai
negeri memandang hubungan dengan pimpinan politik atau dengan pimpinan negara
sebagai hubungan yang paling utama. Akibatnya mereka tidak merasa bertanggung-jawab
kepada hukum atau kepada fungsinya, tetapi kepada pemimpin.

Di Indonesia, sistim politiknya jadi didasarkan sebagian yang menentukan birokrasi.


Semacam sistim politik-birokrasi, bureaucratic-polity. Dari sudut reform nanti, akan sulit
sekali untuk meyakinkan para pegawai negeri bahwa mereka terikat pada undang-undang
atau pada hukum dan bertanggungjawab pada masyarakat, bukan pada pimpinan politik.
Besarnya birokrasi itu memang agak penting. Tapi kalau birokrasi dianggap bagian
terbesar dari kelas menengah di Indonesia, dari sudut analisis pembaharuan politik ini
saya tidak setuju. Menurut saya, ciri yang terpenting dari kelas menengah adalah mereka
bukan bagian dari birokrasi, bukan bagian dari negara. Jumlah birokrasi di Indonesia
memang terlalu banyak. Tapi saya tidak melihat hal ini terlalu luar biasa.

Yang dapat ditanyakan adalah tentang kualitas birokrasi itu. Yang menarik di Indonesia,
dulu yang menjadi birokrat berasal dari kelas yang terdidik, kelas atas, aristokrasi.
Sekarang mereka tidak masuk lagi dalam birokrasi. Mereka masuk ekonomi swasta. Yang
sekarang jadi birokrat itu orang macam lain. Dari satu sudut ini penting juga, karena
orang yang tidak berasal dari aristokrasi itu harus mencari landasan lain. Dan seringkali
landasan lain itu adalah kecakapan. Sayang sekali riset yang betul-betul baik tentang
birokrasi belum ada. Padahal ini sangat, sangat penting. Hans Dieter Evers dan lain lain
yang mau omong tentang birokrasi di Indonesia, harus mencari data dulu. Kalau statistik
dan jumlah, itu gampang saja. Tapi bagaimana keinginan orang dalam birokrasi,
pandangannya terhadap kerja, keterikatan pada pemimpin, atau pada hukum, frustrasinya,
dsb. Tentang itu kita tidak tahu apa-apa

(bersambung-5/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)

From: apakabar@clark.net

Date: Thu Apr 02 1998 - 11:49:00 EST


--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message:

From apakabar@clark.net Thu Apr 2 15:46:53 1998

Date: Thu, 2 Apr 1998 13:46:21 -0700 (MST)

Message-Id: <199804022046.NAA02912@indopubs.com>

To: indonesia-l@indopubs.com

From: apakabar@clark.net

Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer 50an (5/6)

Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (5/6)

DEKRIT 5 JULI 59

T: Tgl 5 Juli 1959 Bung Karno mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD-45.Konstituante


dibubarkan. Mulailah jaman Demokrasi Terpimpin. Sekarang seringkali Demokrasi
Terpimpin itu dianggap ciptaan Bung Karno. Kami ingin mendengar penjelasan dari Pak
Dan, mengapa Konstituante dibubarkan? Dan siapa yang paling berkepentingan, atau
siapa yang paling diuntungkan, dengan pembubaran Konstituante itu?

J: Ini memang pertanyaan menarik. Sebetulnya Demokrasi Terpimpin sebagian besar


diciptakan oleh tentara. Waktu itu mereka yang paling kuat, yang paling bisa mendesak.
Dalam hal dekrit, menurut saya BK tidak mau, tetapi terpaksa. Lalu dia harus
memperjuangkan pendiriannya sendiri. BK tahu betul bahwa dia tidak bisa seluruhnya
mengontrol tentara. Lantas dia harus cari kekuatan lain yang bisa mengimbangi tentara.
Yang dapat dipakai hanya PKI. Walaupun menurut saya BK tidak terlalu senang dengan
PKI. Tapi partai-partai lain agak lemah. Masyumi sudah dibubarkan pertengahan tahun
60. PSI juga, tapi PSI tidak begitu kuat. NU dan partai-partai Islam yang kecil itu sulit
dipakai. Tahun 58 dia coba menghidupkan kembali partainya sendiri, yaitu Partindo. Tapi
Partindo belum pernah mendapat dukungan yang luas. Maka dia terpaksa pakai PKI.

Lalu ada konflik terus menerus antara tentara dan BK. Kepentingan tentara sebagian
memang sudah dilayani. Para perwira dapat tempat yang baik. Jumlah perwira di kabinet
terus naik. Pada akhirnya tentara tahu bahwa mereka bisa mengontrol keadaan karena
mereka yang punya senjata. Ini juga bukan sesuatu yang luar biasa. Saya kira, sudah tiba
waktunya kita memikirkan kembali peranan Bung Karno. Semua yang mempelajari
sejarah politik Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri, sangat terpengaruh oleh
keadaan waktu itu.

Semua menganggap BK sangat besar. Betul dia punya pengaruh, itu tidak dapat
disangkal. Tapi semakin lama, saya semakin berpikir bahwa BK agak menderita waktu
itu. Karena pada akhirnya dia tidak bisa banyak mempengaruhi keadaan.

Pertama, karena dia tidak mempunyai organisasi yang baik, yang efektif, yang selalu bisa
dikerahkan. Kedua, saya tidak yakin BK punya suatu imajinasi politik yang sangat jauh.
Seperti orang lain juga, dia sangat terikat pada ide-ide yang berasal dari jaman kolonial
tahun 20-30an. Idenya tidak banyak berubah. Ketiga, dia memang terlalu banyak
dipengaruhi oleh para penjilat disekitarnya. Terlihat sekali dalam memoarnya Oei Tjoe
Tat. Orang-orang takut untuk mengatakan terus terang kepada BK bahwa dia berbuat
salah. Akhirnya BK mulai merasa diri menjadi orang yang sangat penting, sangat besar,
sangat sangat. Karena setiap hari dia ketemu dengan penjilat.

Lantas bisa ditanyakan bagaimana imajinasi politiknya? Keadaan ekonomi pada


Demokrasi Terpimpin jadi jelek sekali. Banyak orang sekarang yang menganggap
Demokrasi Terpimpin itu periode yang baik, yang menarik. Tapi waktu itu keadaan
memang kacau sekali. Banyak orang yang betul menderita. Lembaga- lembaga negara
tidak diperkuat, malah dikorup. Waktu itu mulai korupsi di pengadilan, yang sekarang
menjadi menonjol sekali. Sudah banyak hakim yang menyerah saja pada BK.
Memang ada satu dua yang menentang, coba otonom, tapi akhirnya lembaga pengadilan
jadi rusak. Kejaksaan jadi korup sekali. Polisi juga. Dari sudut pemerintah, okelah kalau
hakim-hakim, jaksa-jaksa, polisi, itu korup. Asal saja mereka setia pada negara. Dan Pak
Nas sendiri waktu itu setuju. Kalau kalau pegawai negeri tidak dapat gaji cukup terpaksa
mengijinkan mereka memeras. Tapi yang diperas itu siapa? Ya, rakyat biasa. Sebetulnya
itulah warisan Demokrasi Terpimpin yang belum pernah dikoreksi. Karena Orde Baru ini
persis sama dengan Demokrasi Terpimpin dalam bentuk politiknya. Yang jelas beruntung
dalam Demokrasi Terpimpin adalah tentara. Karena tentara sendiri yang menciptakannya.

KONSTITUANTE

T: Dalam studinya, Buyung Nasution berpendapat sebenarnya Konstituante nyaris


berhasil. Hal paling mendasar, yaitu komitment terhadap demokrasi, penghargaan
terhadap hak asasi manusia, dan dibatasinya kekuasaan pemerintah, itu sudah disepakati.
Apakah Pak Dan sepakat bahwa penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia adalah hal
paling penting yang harus dicantumkan dalam UUD?

J: Kalau dikatakan yang paling penting, saya ndak tahu ya. Tapi menurut saya memang
penting kalau di dalam suatu konstitusi ada hak-hak asasi manusia. Bukan karena itu akan
menjamin hak-hak asasi, tetapi paling sedikit secara simbolis itu akan memberikan
semacam pegangan yang bisa dipakai orang untuk membela diri. Kalau dalam konstitusi
dicantumkan hak-hak asasi atau civil rights, itu berarti orang paling sedikit bisa mengejar
hak-haknya, bisa membela diri.

Ide Marsilam Simanjuntak tentang UUD-45 dan pengaruh Supomo itu juga penting.
Konstitusi itu, dimanapun saja, pengaruhnya sangat terbatas. Selalu bisa disingkirkan
oleh kepentingan politik, bisa dibohongi, dst. Tapi toch disitu ada nilai-nilai yang
seharusnya bisa jadi pegangan orang. Tahun 45, profesor Supomo itu memang tidak
menginginkan hak-hak asasi manusia. Disitu dia mengatakan blak-blakan bahwa hak
asasi manusia itu hak individu yang bisa dipakai untuk melawan pemerintah. Ya, dengan
sendirinya. Karena pemerintah, dimanapun saja, itu bahaya yang paling besar untuk
orang. Supomo tidak menginginkan itu karena dia menganggap bahwa pemerintah akan
dipimpin oleh orang-orang yang baik. Yaitu kalangannya dia sendiri. Sulitnya, dalam
setiap pemerintahan para pemimpin menganggap dirinya baik. Tapi pemerintah,
dimanapun saja, bisa sangat merugikan orang. Dengan senjata dia bisa membunuh orang,
bisa apa saja. Dalam konstitusi, sebagai ideal, kalau ada hak asasi manusia seperti yang
ada di dalam UUD tahun 50, itu akan memberi sedikit harapan.
Tentang analisa Buyung, saya setuju. Paling tidak studinya Buyung itu meyakinkan buat
saya. Konstituante memang setuju tentang hak asasi manusia. Mereka juga sudah setuju
tentang banyak hal lain lagi. Tapi karena pertentangan politik, yang memang biasa
diantara partai-partai dimanapun juga, maka proses itu lama. Kita tidak tahu apakah kalau
diberikan banyak waktu mereka akan bisa mengadakan kompromi atau tidak. Tapi yang
jelas mereka tidak diberi waktu lagi.

POLITIK LUAR NEGERI

T: Sejak awal tahun 50-an Perang Dingin sudah mulai. Apa dampak utama Perang Dingin
dalam politik Indonesia?

J: Wah, ini betul mengacaukan! Pada tahun 50-51 dubes Amerika sudah mendesak
Indonesia untuk ikut dalam suatu persetujuan yang akan mengikat Indonesia pada
Amerika. Akibatnya Kabinet Sukiman jatuh. Tapi pemerintah AS mendesak terus.
Terutama setelah pemilihan Eisenhower tahun 52. Walaupun ahli-ahli di pemerintahan
Amerika tidak tahu banyak tentang Indonesia, Perang Dingin itu sudah menggambarkan
dunia dibagi dua. Sebelah sana ada komunisme, Uni Soviet. Sebelah sini ada free world.
Siapa saja yang tidak masuk yang satu dengan sendirinya masuk yang lain. Banyak
pemimpin Indonesia yang setuju dengan Amerika, ada juga yang setuju dengan Rusia.
Dan itu mempengaruhi kedua great powers ini untuk mempermainkan sebagian politik
luar negeri maupun dalam negeri Indonesia. Ada semacam korupsi internasional. Baik
Moscow maupun Washington mencurahkan banyak sekali uang, kasih apa saja yang
diminta, terutama senjata. Pengaruh luar ini harus selalu dipikirkan, bukan hanya pada
tahun 50-an tetapi juga sesudahnya.

POLITIK MASYUMI DAN NU TAHUN 50-AN

T: Ini pertanyaan susulan Pak Dan, yang belum ada dalam daftar pertanyaan yang kami
kirim. Tentang politik dua partai Islam yang kuat setelah Pemilu-55, Masyumi dan NU.
Mengapa mereka berbeda pendapat dalam soal DI-TII dan dalam krisis Pusat-Daerah
pada tahun 57-58? Sedangkan dalam Konstituante mereka bisa bersatu. Apakah ini
menunjukkan bahwa dalam politik praktis, walaupun memakai simbol agama,
kepentingan praktis juga yang akhirnya menentukan? Selama dekade 50-an posisi
Masyumi dan NU dalam parlemen maupun dalam pemerintahan sangat kuat. Apakah ada
agenda besar yang disusun bersama oleh Masyumi dan NU?

J: NU dan Masyumi itu berlainan. Sebagian karena NU, seperti juga PNI dan PKI, adalah
partai yang terpusat di Jawa. Dari satu sudut, Masyumi dulu adalah partai nasional yang
50% pemilihnya dari Jawa dan 50% lagi dari luar Jawa. Ini mengikuti penyebaran
penduduk Indonesia. Orang-orang yang menyokong ide-ide Masyumi berasal dari daerah
pantai, dari kalangan pedagang, orang-orang Muhamadiyah yang terdidik dan agak
agresif. Sedangkan NU itu kekuatannya di Jawa Timur dan di dalam birokrasi agama.
Dan sebetulnya NU merupakan suatu partai yang agak defensif, yang dimaksudkan untuk
membela agama dari campur tangan luar. Nah pengaruh pemilih di Jawa dan luar Jawa
ini sangat penting. Itu terjadi dimanapun saja.

Kalau di Konstituante ini agak lain. Walaupun NU dan Masyumi akhirnya setuju menolak
UUD-45, tapi pada mulanya tidak begitu keadaannya. Mulanya pimpinan NU sudah mau
menyokong UUD-45 karena desakan keras dari tentara dan Bung Karno. Dan tahun 59
itu mereka diancam. Beberapa pimpinan NU diberitahu kalau mereka tidak meyokong
UUD-45, maka mereka akan dituntut ke pengadilan karena ada sedikit korupsi. Lantas
mereka setuju. Tapi kemudian orang-orang Masyumi mendekati anggota-anggota NU dan
meyakinkan mereka bahwa ini perjuangan agama. Lalu ada semacam pemberontakan di
dalam NU, dan pimpinan NU terpaksa ikut anggotanya.

NU ini partai yang menarik. Ini partai yang berdasarkan pandangan dan kepentingan
yang jelas. Sebetulnya NU tidak terlalu banyak menghiraukan negara yang harus
berdasarkan Islam, walaupun itu dijadikan sebagai simbolnya. Mereka defensif.
Pokoknya mereka ingin bisa survive dalam pemerintah untuk membela kepentingan
mereka itu. Masyumi juga menarik tapi dari sudut lain. Sebetulnya dalam Masyumi, dari
dulu tidak pernah ada perdebatan tentang apa arti Islam dalam negara. Banyak pemimpin
Masyumi, seperti Pak Roem dan Burhanudin Harahap, yang menganggap Masyumi itu
agak seperti Partai Kristen Demokrat di Eropa. Yang tidak memaksakan agama, tetapi
mau memperjuangkan semacam ide ketika Islam. Ini memang persoalan yang sangat
sulit, ruwet sekali, ya. Jadi tidak pernah dibicarakan di dalam partai, apalagi di luar
partai. Mereka takut kalau dibicarakan terus terang akan terlihat perbedaan di dalam
Islam. Lalu mereka mengelak terus. Akibatnya ide itu jadi agak kabur.
Dalam ceramah saya di Yayasan Sudjatmoko bulan Maret lalu saya bilang, buat suatu
republik atau demokrasi yang sehat, agama itu sangat diperlukan. Karena pada akhirnya
dalam agama ada semacam standard etika. Dan mau tidak mau pimpinan agama terpaksa
memikirkan hal itu. Memang harus dipikirkan kembali, bagaimana bentuk pengaruhnya

(bersambung-6/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)

From: apakabar@clark.net

Date: Thu Apr 02 1998 - 11:51:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message:

From apakabar@clark.net Thu Apr 2 15:49:01 1998

Date: Thu, 2 Apr 1998 13:48:20 -0700 (MST)

Message-Id: <199804022048.NAA03568@indopubs.com>

To: indonesia-l@indopubs.com

From: apakabar@clark.net

Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer 50an (6-abis)

Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com
DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (6-habis)

INTERPRETASI TENTANG TAHUN 50-AN

T: Ini kami mengutip data dari makalah Anthony Reid dalam buku "Democracy." Dalam
tahun 1945-49 ada 4 perdana menteri, kabinet ganti setiap 10 bulan. Dari tahun 1950
sampai 1957, ada 6 perdana menteri, kabinet ganti setiap 12 bulan ("Democracy," h 314).
Data itu, menurut Reid, menunjukkan "How effective, indeed virtually indispensable,
multiple parties, electoral processes and representative assemblies can be in moderating
and channeling dangerous primordial conflicts and bringing them into a national forum
where they can be debated." Dan menurut Reid, "Democratic pluralism proved the only
practical

means for government to govern." Tetapi menurut versi sejarah Indonesia sekarang, tahun
50-an itu dianggap masa anarki. Bagaimana Pak Dan memahami dua interpretasi yang
sangat berbeda ini?

J: Saya tidak setuju dengan kedua-duanya. Setiap pemerintah, dimana saja, bisa memakai
kekerasan. Dari sudut kekuatan pemerintah, bisa dikatakan pemerintahan Pak Harto itu
sangat efektif. Kalau mau pakai senjata, pakai kekerasan supaya orang takut, itu metoda
pemerintahan yang sangat efektif. Yang harus dipikirkan bagaimana dari sudut orang
kebanyakan dalam masyarakat, sistim mana yang lebih memuaskan kepentingan yang
ada, perasaan yang ada, tujuan yang ada.

Saya mengerti perasaan Anthony Reid, malah dari satu sudut saya setuju. Tapi dia agak
terlalu jauh. Menurut saya, yang sudah dibuktikan oleh sistim parlementer Indonesia
adalah bahwa orang memang bisa saja setuju dengan sistim itu. Dan waktu itu sistim
parlementer bisa jalan dengan baik. Dapat dibandingkan, umpamanya dengan Perancis,
Italia, atau negara-negara lain. Yang mau saya tekankan, seperti sudah saya bilang tadi,
ini suatu sistim yang bisa jalan dengan baik hanya 5 tahun setelah revolusi, sesudah ada
10 tahun kekacauan. Terbukti ada partisipasi yang luas. Orang-orang bisa
memperjuangkan ide-ide mereka. Dan yang penting sekali, dari tahun 50 sampai 58, tidak
banyak orang yang mati. Orang bisa main politik tanpa saling memukul, tanpa
membunuh orang lain. Sesudah tahun 59, dengan Demokrasi Terpimpin, keadaan makin
kacau. Timbul semacam street violence. Saya masih ingat waktu tahun 64, di Jawa dan
Bali orang mulai lempar granat segala macam. Lantas mulai bunuh-membunuh. Sesudah
Orde Baru, kita semua tahu, ratusan ribu orang yang mati, banyak yang masuk penjara,
dst.
Dari sudut efektifitas, tergantung dari perspektif mana. Kalau dilihat dari atas, Orde Baru
ini sangat efisien, sangat efektif. Kalau dilihat dari bawah, ya agak kurang memuaskan.
Kelihatan di Indonesia banyak yang kurang senang. Pada waktu Demokrasi Parlementer,
memang banyak orang yang ngomel terus, ya. Tapi mereka juga ikut partisipasi, bisa
bertukar pikiran. Itu lain. Apakah waktu itu ada anarki? Menurut orang-orang yang
senang dengan efisiensi, dengan aturan, dsb, ya mungkin kelihatan chaotic. Padahal tidak.
Yang chaos itu adalah Demokrasi Terpimpin. Karena disitu semua orang terpaksa cari
nafkahnya sendiri. Ini tidak untuk mengatakan bahwa sistim parlementer itu sempurna.
Karena memang tidak ada kesempurnaan dalam sistim politik apapun juga, dimanapun
juga. Tapi paling sedikit di Indonesia itu bisa jalan dengan baik. Kalau sering ganti
pemerintah, ya itu kan soal biasa dalam sistim parlementer. Seperti juga di Perancis,
misalnya.

Harus diakui, dari segi politik-sosial-kebudayaan, Indonesia itu merupakan salah satu
negara dan masyarakat yang paling kompleks di seluruh dunia. Kalau /disitu ada banyak
partai, memang dapat dimengerti. Kalau diijinkan, dengan sendirinya di Indonesia akan
ada banyak partai. Menurut saya, itu malah sehat. Di Amerika ini banyak orang, termasuk
saya sendiri, yang sangat menginginkan ada satu dua partai lagi. Karena dua partai yang
sudah ada tidak cukup. Menurut saya, tiga partai yang sekarang ada di Indonesia itu juga
tidak cukup.

KESIMPULAN

T: Kalau ingin disimpulkan, apa pelajaran yang dapat ditarik dari perjuangan untuk
membangun republik dalam dasawarsa 50-an? Dimana macetnya usaha membangun
Republik Indonesia yang masih muda itu? Dan bagaimana kesimpulan Pak Dan itu bisa
menjelaskan peristiwa-peristiwa besar yang kemudian terjadi di tahun 60-an. Seperti
pembunuhan pada tahun 65-66, jatuhnya Bung Karno, munculnya Orde Baru, Dwi-
Fungsi ABRI, banjirnya modal luar negeri, dsb.
J: Ini pertanyaan yang agak luar biasa dan sulit menjawabnya. Ada dua hal dari tahun 50-
an. Satu, bahwa sistim parlementer itu bisa berhasil dengan baik kalau tidak dihalangi.
Rakyat Indonesia cukup senang dengan sistim parlementer. Mereka bisa membiasakan
diri dengan partai-partai dan cukup bertanggungjawab. Kedua, saya kira yang penting
dalam politik, dalam masyarakat dimanapun saja, itu bukan kebudayaan. Pertanyaan yang
paling penting tentang runtuhnya sistim parlementer bukanlah, "Apakah ada landasan
budaya yang cukup untuk demokrasi?" Itu jelas ada. Yang harus ditanyakan adalah "Siapa
yang menyebabkan sistim parlementer itu gagal?" Pertanyaan itu akan memaksa kita
untuk memikirkan sebab-sebab keruntuhan sistim parlementer itu. Dan menurut saya,
faktor yang terbesar itu tentara. Yang punya kepentingan politik, ekonomi dan lain lain
juga.

Yang terjadi tahun 65 itu memang suatu malapetaka. Bukan hanya untuk ukuran
Indonesia. Kalau dilihat dalam abad ke-20 ini, yang begitu penuh dengan tragedi, maka
tragedi-65 di Indonesia itu harus dianggap cukup besar.

Pertama, harus ditanyakan "Kenapa itu bisa terjadi?" Menurut saya, itu terjadi karena
sistim politik Indonesia waktu Demokrasi Terpimpin itu kekurangan kontrol. Tidak bisa
mencukupi keperluan di Indonesia. Antara lain keperluan supaya orang tidak bisa
dibunuh begitu saja.

Kedua, pengalaman ini menunjukkan bahwa kalau tentara, dimanapun saja, memainkan
peranan dalam politik, dengan sendirinya tentara itu akan memakai keahliannya.
Keahlian tentara adalah membunuh orang. Keahlian pimpinan politik sipil ialah membuat
kompromi.

Ketiga, menurut saya pengalaman ini menunjukkan masyarakat memerlukan lembaga-


lembaga yang dapat melayani kepentingan masyarakat. Termasuk melayani kepentingan
keamanan mereka.
Lembaga-lembaga yang bisa disesuaikan, dan kalau perlu dapat dirobah, walaupun sulit.
Supaya mereka tidak bisa diperlakukan secara sewenang-wenang. Supaya mereka bisa
merasa cukup bebas. Lembaga-lembaga itu harus bisa mengontrol pimpinan, dari
manapun saja, supaya mereka tidak main gila. Ini argumen konservatif, bukan radikal.
Argumen ini didasarkan atas keiinginan manusia biasa untuk bisa berdamai, bisa cari
makan, tidak ketakutan. Untuk itu butuh lembaga-lembaga yang safe betul.

Menurut saya, lembaga-lembaga seperti itu bisa dijalankan oleh pimpinan sipil yang
dipilih oleh rakyat, bertanggungjawab pada rakyat. Kalau pimpinan tentara, ya agak sulit.
Karena mereka tidak tergantung pada siapapun saja, kecuali dirinya sendiri dan senjata.
Dan ini bukan untuk menyalahkan ABRI, walaupun sebetulnya bisa disalahkan. Karena
tentara, dimanapun saja, kalau sudah ada dalam kedudukan kekuasaan, mereka akan
merasa terdorong untuk memakai keahliannya. Dimana saja tentara masuk, kalau ada
kesulitan apa saja, mereka akan cepat angkat senjata. Seorang sipil tidak selalu akan
berbuat begitu. Ini biasanya, ya. Kecuali ada tentara dibelakangnya. Menurut saya,
republik yang baik itu sangat tergantung pada adanya tentara yang betul-betul bisa
dikontrol. Kalau tentara tidak diperlukan untuk perang dengan luar negeri, ya tidak perlu
ada tentara yang besar. Tidak perlu ada anggaran pertahanan yang besar. Ini berlaku
bukan hanya untuk Indonesia. Tetapi juga untuk Amerika dan negara manapun saja. Yang
lebih penting dari pada tentara adalah rakyat.

Masih ada pelajaran yang lain. Dalam setiap masyarakat kita harus selalu memikirkan,
apa tujuan negara itu? Siapa yang bakal mendapat untung dari negara itu? Untuk apa
masyarakat berkumpul membuat negara itu? Sekarang di Indonesia memang ada jaman
pembangunan, ada banyak uang. Ada elite yang makin kaya. Memang harus diakui pada
umumnya sekarang rakyat makan lebih banyak dari pada waktu Demokrasi Terpimpin.
Tapi kelihatan ada semacam kekosongan diantara orang banyak di Indonesia.

Kekosongan tujuan, kekosongan etika, timbulnya pesimisme, sinisme yang luar biasa.
Harus dipikirkan, apa sebabnya?
Saya pikir jawabannya agak jelas. Karena dalam sistim politik Indonesia sekarang,
lembaga-lembaga yang ada hanya milik pemerintah saja. Lembaga-lembaga di Indonesia
sekarang tidak lagi dapat dipegang atau dikendalikan oleh rakyat Indonesia.

Dan saya tidak setuju dengan orang yang mengatakan, ya itu budaya Indonesia. Itu
omong kosong

[Habis, Wawancara tgl 22 Agustus 1995].

PUSTAKA UTAMA

(1) Daniel Lev, 1966, "The Transition to Guided Democracy, Indonesian Politics, 1957-
1959," Cornell Modern Indonesia Project, Monograph Series.

(2) David Bourchier dan John Legge (editor), 1994, "Democracy in Indonesia, 1950s and
1990s," Monash Papers on Southeast Asia No. 31.

(3) M.C. Ricklefs, 1991, "Sejarah Modern Indonesia," Gajah Mada University Press, bab
VI.

(4) Harold Crouch, 1978, "The Army and Politics in Indonesia," Cornell University Press.

(5) Salim Said, 1987, "Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military
in Politics, 1945-1949," Pustaka Sinar Harapan.
Tags: ah nasution, soekarno, alex kawilarang, pki, pni, masyumi, nu, piagam jakarta,
daniel lev

Prev: Konspirasi : Van der Plas connection (CIA.- MI 6) Dr.Soebandrio - Sam


Kamaruszaman - Aidit - Soeharto

Next: Third-Generation South Moluccans in the Netherlands: The Nature of Ethnic


Identity

reply share

----- End of forwarded message from muhammad hatta -----

----- End of forwarded message from apakabar@Radix.Net -----

Anda mungkin juga menyukai