Benny M. Chalik
Setiap kali akan dilaksanakan pemilu, seluruh petinggi-petinggi dan administratur negara
sibuk menghimbau seluruh rakyat untuk ikut memilih wakilnya. Meningkatnya potensi jumlah
pemilih yang tidak menggunakan haknya semakin membuat mereka khawatir. Meskipun
sebenarnya bagi calon wakil rakyat di lembaga legislatif dan eksekutif yang penting adalah
kemenangan yang sah dari jumlah pemilih berapapun, akan tetapi mungkin mereka merasa
tidak nyaman jika kemenangan suatu partai atau capres hanya berdasarkan suara yang tidak
mencapai 30 persen dari suara rakyat yang memiliki hak untuk memilih
Meningkatnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya (golput), terbaca sebagai
kecenderungan terbentuknya keengganan warga negara untuk ikut memilih wakil mereka di
lembaga legislatif dan eksekutif. Keengganan ini akan terasa semakin menggiris jika
mendengar percakapan para pemilih sepulang dari Tempat Pengambilan Suara (TPS). Banyak
dari mereka yang memilih karena calon mereka ganteng atau cantik, pandai bernyanyi, lucu,
imut-imut, dan bukan karena program yang ditawarkannya.
Tidak pernah terlintas sedikitpun sebelumnya bahwa dalam pemikiran rakyat telah secara
kolektif bersepakat untuk membentuk negara seperti dalam pementasan ketoprak humor.
Dengan pemeran yang memenuhi syarat fisik dan keahlian berlucu-lucu, mereka berharap akan
memperoleh tontonan yang menarik selama lima tahun mendatang sehingga dapat mengurangi
penderitaan mereka dalam menjalani kehidupan keseharian. Bahkan banyak di antara para
cendekiawan yang dengan lantang mengatakan bahwa tuhan sedang sibuk mengurusi fluktuasi
nilai tukar USD di Amerika, sehingga untuk proses penyelenggaraan pemilihan ini cukup
diwakili oleh suara rakyat yang dianggap sudah menjadi suara tuhan. Tidak pelak lagi, kalimat
pembukaan Undang-Undang Dasar 45 menjadi kosong karena tuhan tidak merahmati proses
penyelenggaraan negara, sehingga dengan seketika iblispun mulai berfikir untuk ikut dalam
penyelenggaraan negara.
Pertanyaannya adalah mengapa tuhan pergi meninggalkan republik yang puas hanya
dengan status negara berkembang dan setelah berpuluh-puluh tahun tidak pernah menjadi
negara maju ? Jawabannya kita tidak tahu. Yang pasti, tuhan tidak menyukai republik ini
penuh dengan permusuhan antara rakyat dengan negaranya.
Tanpa bermaksud menurunkan rasa hormat terhadap siapa yang pernah dan akan
menjadi pemimpin bangsa ini, pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia berada
pada posisi yang memprihatinkan apabila dilihat dari standard kecukupan, kelayakan, dan
kepantasannya. Pertanyaan sederhana yang mungkin dapat disampaikan kepada wakil rakyat
yang ada di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah apakah program pembangunan
mampu memberikan jaminan kepastian ketersediaan bahan pokok, jaminan penggunaan hak
dan kewajiban yang sama di mata hukum, jaminan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing, jaminan untuk mendapatkan pendidikan dan
pelayanan kesehatan setinggi-tingginya, serta jaminan keamanan dan ketertiban ? Secara
keseluruhan, keberhasilan pencapaian program-program program pembanguan tersebut
Banyak kecurigaan negara terhadap rakyat yang terjadi sehari-hari. Salah satu hal paling
menggelitik adalah ketetapan Know Your Customer (KYC) yang diterapkan oleh perbankan
terhadap nasabahnya. Apakah pernah terpikir oleh penyelenggara negara tentang budaya
Indonesia yang menyimpan uang di bawah bantalnya karena menghindari praktek riba di dalam
bank ? Apakah juga terfikir oleh mereka bahwa pejabat-pejabat tinggi dengan status pegawai
negeri dan tentara yang memiliki harta bertumpuk-tumpuk adalah anak petani miskin di
pinggiran kota ?
Jika berfikir dari sisi itu, agaknya penyelenggara negara telah melakukan tindakan yang
mencurigai warga negara sebagai pelaku kejahatan pencucian uang. Tidak pernah terpikir oleh
penyelenggara negara yang pandai-pandai bahwa hanya sebagian kecil manusia Indonesia
yang mengenal sistem perbankan. Banyak dari mereka yang masih ragu-ragu dan malu-malu
untuk masuk ke dalam bank karena mereka merasa orang kecil yang memiliki uang tidak
seberapa. Lantas kemudian setelah mereka menekan keraguannya, pihak bank menyodorkan
formulir KYC dengan pandangan datar menggiris.
Apakah penyelenggara negara mengetahui tentang perasaan nasabah yang merasa
dicurigai bahwa memiliki uang banyak dengan wajah orang kampung adalah terasa seperti
seolah-olah ikut partai terlarang. Rasanya kok tidak pantas bagi suatu negara untuk
memperlakukan rakyatnya seperti calon maling atau maling. Bukankah penyidikan terhadap
kejahatan akan menjadi absurd jika dimulai dari kepemilikan uangnya dan bukan dari indikasi
kejahatannya ? Mungkin ini bisa saja terjadi di amerika atau negara maju lainnya. Akan tetapi
di tanah nusantara ini kekuatan penerapan aturan keluarga dan adat masih melekat pada
setiap manusianya sehingga belum pantas untuk dilakukan hal seperti ini.
Apakah dapat dibenarkan jika bank umum sebagai penjual jasa kepada masyarakat untuk
melakukan kegiatan anti azas praduga tak bersalah kepada nasabah yang akan menyetorkan
dan mengambil uang dalam jumlah besar ? Bukankah penegak hukum saja dilarang untuk
melakukan praktek seperti ini ? Jika memang PPATK mempunyai hak sepeti ini, kanapa tidak
dileburkan saja ke dalam kepolisian ? Inilah susahnya bagi masyarakat untuk memahami cara
berfikir negara yang telah memposisikan diri sebagai musuh rakyat.
Anehnya kenapa sewaktu sebagian kelompok masyarakat meminta ijin demonstrasi
kepada polisi tidak dipertanyakan inisiatif siapa, siapa yang mendanai, dan bagaimana
sangsinya jika demo tersebut memang didanai oleh seseorang atau kelompok tertentu ? Kalau
Jika mengingat proses seorang mahasiswa menyusun skripsinya, akan tampak dengan
jelas bahwa setiap mahasiswa akan berusaha menyamakan kesimpulan dengan tujuan
penelitiannya. Keputusan calon sarjana untuk melakukan hal tersebut semata-mata hanya
berusaha menghindari kesulitan yang mungkin muncul apabila tujuan dengan kesimpulan
dalam skripsinya berbeda. Akhirnya keputusan mahasiswa-mahasiswa ini menjadi budaya
dalam penulisan skripsi, bahwa hipotesis yang diajukan dalam tujuan penelitian harus tercapai
dengan cara dan alasan apapun sehingga tidak mengakibatkan kesimpulan yang berbeda.
Budaya ini terus terbawa dalam diri seorang sarjana yang kemudian menjadi petinggi
negara. Untuk mengurangi kerumitan dalam menjelaskan paradigma demi setinggi tingginya
kesejahteraan rakyat, maka paradigma tersebut dialihkan kepada setinggi-tingginya kejaaan
negara. Menurut mereka tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua paradigma tersebut.
Bahkan akan lebih mudah untuk menjelaskan pencapaian negara melaksanakan program,
karena sudah ada patokan dari lembaga-lembaga keuangan bilateral dan multilateral yang
memberikan asistensi teknis dalam pelaksanaannya.
Mungkin tidak pernah terpikirkan bahwa paradigma demi kejayaan negara adalah
outcome sekunder yang merupakan interaksi dampak yang bersumber pada outcome primer
demi kesejateraan rakyat. Jangan kemudian di lakukan by- pass, karena indikator yang
digunakan untuk menilai kedua paradigma tersebut berbeda pendekatannya. Dalam hal ini,
pendekatan indikator paradigma demi kesejahteraan rakyat lebih bersifat inward looking,
sebaliknya paradigma demi kejayaan negara lebih kepada outward looking.
Penutup
Bagi rakyat republik ini tidaklah penting siapa yang menjadi wakil rakyat di lembaga
legislatif maupun eksekutif, akan tetapi yang terpenting adalah wakil-wakil tersebut benar-benar
memahami apa yang dibutuhkan masyarakat sebagai dasar paradigma pembangunan demi
setinggi-tingginya kesejahteraan rakyat dan bukan apa yang diinginkan masyarakat yang
selama ini dijadikan dasar paradigma pembangunan demi kejayaan negara.
Dengan memahami apa yang dibutuhkan rakyat, dalam perencanaan dan pelaksanaan
program pembangunan tidak akan banyak mengalami hambatan yang bersumber dari
ketidakpedulian dan ketidakpercayaan masyarakat, sehingga secara sungguh sungguh dapat
dilakukan pembangunan sepenuhnya bagi dan bersama sama seluruh rakyat republik.