Anda di halaman 1dari 54

PREEKLAMPSIA BERAT, HELLP SINDROM PARSIAL DENGAN HIPERTIROID

PRESENTASI KASUS

Universitas Andalas

Oleh :

Mairunzi

Pembimbing :

Dr. Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG (K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND RS Dr. M.DJAMIL PADANG
2013

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................i DAFTAR TABEL ......................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 BAB II LAPORAN KASUS ......................................................................... 3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 24 A. PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN HELLP SINDROM ......... 24 1. 2. 3. 4. 5. 6. B. 1. 2. 3. 4. 5. Definisi ............................................................................ 24 Epidemiologi ................................................................... 24 Klasifikasi ........................................................................ 25 Etiologi dan Patogenesis ................................................ 27 Gambaran Klinis ............................................................. 27 Penatalaksanaan ............................................................ 29 Hubungan Fungsi Tiroid dengan Kehamilan ................... 32 Etiologi ............................................................................ 33 Patofisiologi .................................................................... 33 Diagnosis ........................................................................ 35 Penatalaksanaan ............................................................ 38

HIPERTIROID DALAM KEHAMILAN ...................................... 32

BAB IV DISKUSI ..................................................................................... 42 BAB V KESIMPULAN ............................................................................. 49 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL Tabel 1. Sistem Klasifikasi HELLP Syndrom ..................................... Tabel 2. Faktor Risiko Morbiditas/ Mortalitas Maternal pada HELLP Syndrom ............................................................................... Tabel 3. Pemberian Magnesium Sulfat pda Preeklampsia dan Eklampsia ............................................................................ Tabel 4. Perbandingan Tes tes Evaluasi Tiroid pada Kehamilan dan Hipertiroid ...................................................................... 38 31 29 26

ii

BAB I PENDAHULUAN Hipertensi merupakan kelainan yang sering ditemukan selama kehamilan. Istilah preeklampsia-hipertensi gestasional digunakan untuk menggambarkan kelainan pada pasien dengan sedikit peningkatan tekanan darah atau hipertensi berat dengan disfungsi organ termasuk didalamnya yaitu ; hipertensi gestasional akut, preeklampsia, eklampsia dan Hemolisis Elevated Liver Enzim And Low Platelet (HELLP) sindrom.(Sibai, 2011) Preeklampsia merupakan kelainan multisistem dengan manifestasi klinis hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa gejala yang menyertai, hasil laboratorium yang abnormal, IUGR, atau berkurangnya cairan amnion.(Sibai, 2011) Insidens preeklampsia dan eklamsia berkisar antara 4-9 % pada wanita hamil, 3-7 % terjadi pada nullipara, dan 0,8-5 % pada multipara. Angka kejadian PE di Indonesia berkisar antara 3-10 %. (Roeshadi, 2004) Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low Platelet counts pertama sekali dilaporkan oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita preeklampsia berat. Sindroma ini merupakan kumpulan gejala multisistem pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzym hepar dan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia). Sindroma HELLP dikatakan merupakan varian yang unik preeklampsia. Sekali berkembang dengan cepat dapat menyebabkan penderita menjadi gawat, berakhir dengan kegagalan fungsi hati dan ginjal , respiratory distress syndrome pada penderita dan kematian ibu dan janin.(Roeshadi, 2004, James N. Martin Jr et al.,
2006)

Hipertiroid adalah suatu sindroma klinik disebabkan oleh sekresi hormon kelenjar tiroid yang berlebihan. Sekitar 90% dari hipertiroid disebabkan oleh penyakit Grave. Penyakit Grave pada umumnya

ditemukan pada usia yang lebih muda, sebagian besar antara 20 40 tahun, sedangkan hipertiroid akibat nodul toksik ditemukan pada umur yang lebih tua yaitu antara 40 60 tahun.(Cunningham et al., 2010c) Hipertiroid terjadi pada 2-5% wanita dan 1-2% terjadi wanita usia produktif. Wanita memiliki resiko 5 kali menderita penyakit tiroid dibanding laki-laki. Prevalensi hipertiroid dalam kehamilan berkisar 0,2% dari semua kehamilan. Mesmant dan kolega, 1995 menyatakan bahwa hipertiroid komplikasi yang terjadi 1 dalam 1000 2000 kehamilan. Casey dkk, 2003 menemukan insiden hipertiroid 3,9/1000, termasuk wanita yang diidentifikasi sebelum kehamilan.(Cunningham et al., 2010c) Kadang-kadang timbul kesulitan dalam diagnosis hipertiroid dalam kehamilan, sehingga sering hipertiroid tidak terdiagnosis, karena kehamilan sendiri berakibat peningkatan metabolisme basal ( 15 sampai 25% ) yang serupa dengan gambaran klasik hipertiroid terutama pada trimeser kedua dan ketiga. Oleh karena hipertiroid Grave pada umumnya ditemukan pada usia subur maka hampir seluruh hipertiroid yang terjadi pada kehamilan adalah penyakit Grave.(Grigoriu et al., 2008) Hipertiroid tanpa pengobatan yang adequat akan mengakibatkan abortus, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan rendah dan krisis tiroid pada saat persalinan. Dan pada wanita hamil yang tidak diobati atau pada mereka yang tetap hipertiroid meskipun diterapi, terjadi peningkatan insiden preeklampsia, gagal jantung, dan gangguan hasil akhir perinatal.(Cunningham et al., 2010c) Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang wanita umur 32 tahun dengan diagnosa G2P1A0H1 gravid aterm + PEB + HELLP sindrom parsial + Hipertiroid. Janin hidup tunggal intrauterine presentasi kepala HI. Pada pasien ini dilakukan seksio sesarea atas indikasi PEB + HELLP sindrom parsial dengan penyulit berupa hipertiroid.

BAB II LAPORAN KASUS


IDENTITAS : Nama Umur Pekerjaan MR Alamat : Ny. Isusirawati : 32 tahun : Ibu Rumah Tangga : 812735 : Koto Lamo, Sijunjung Nama suami : Tn. Andi Y Umur Pekerjaan : 38 tahun : Wiraswasta

ANAMNESIS : Seorang pasien wanita umur 32 tahun masuk KB IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 03 Januari 2013 jam 13.50 WIB kiriman RSUD Sawah Lunto dengan diagnosis G2P1A0H1 Gravid aterm + Hipertiroid + Hipertensi Riwayat Penyakit Sekarang : Sebelumnya pasien telah dirawat di RSUD Sawah Lunto selama 3 hari dengan diagnosis G2P1A0H1 gravid aterm + hipertiroid + hipertensi Nyeri kepala hebat (-), nyeri ulu hati (-), pandangan mata kabur (-) Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-) Keluar lendir campur darah dari kemaluan (-) Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-) Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-) Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu HPHT : lupa TP : sukar ditentukan Gerak anak dirasakan sejak 5 bulan yang lalu RHM : Mual (-), muntah (-), perdarahan (-) ANC : Kontrol ke bidan desa 3x ( bulan ke 2, 5, dan 8 ) RHT : Mual (-), muntah (-), perdarahan (-) 3

Riwayat Menstruasi : Menarche umur 13 th, siklus haid tidak teratur, lamanya 5-7 hari, banyaknya 2-3x ganti duk/hari, nyeri (-)

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sebelumnya dikenal menderita hipertiroid sejak 1 tahun yang lalu, minum obat teratur, tapi sejak hamil pasien tidak minum obat. Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan hipertensi. Riwayat alergi obat tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, menular dan kejiwaan Riwayat Perkawinan : 1 x tahun 2000 Riwayat Kehamilan/Abortus/Persalinan : 2/0/1 1. Tahun 2001, , 3000 gr, cukup bulan, spontan, bidan, hidup 2. Sekarang Riwayat Kontrasepsi Riwayat Imunisasi Riwayat Pendidikan Riwayat Kebiasaan : tidak ada : tidak ada : tamat SMP : merokok (-), alkohol dan narkoba (-)

PEMERIKSAAN FISIK : KU sedang Genitalia Kes CMC TD 170/110 Nadi 120x/1 Nafas 20x/1 Suhu 370C

: jumlah urin 200 mL/ sewaktu

Ekstremitas : Refleks Patella +/+ normal Laboratorium : Proteinuria ++ DIAGNOSIS : G2P1 A0H1 Gravid aterm + PEB + Hipertiroid SIKAP : Regimen SM dosis inisial

Jam 14.00 WIB Dimulai regimen SM dosis inisial Jam 14.15 WIB Selesai regimen SM dosis inisial PEMERIKSAAN FISIK : Keadaan umum Kesadaran Tinggi Badan Berat Badan Berat Badan sblm hamil BMI LILA Vital sign : Tekanan Darah Frekuensi Nadi Frekuensi Nafas Temperatur : 160/100 mmHg : 110 x/menit : 20 x/menit : 370 C : Sedang : Compos Mentis Cooperatif : 150 cm : 45 Kg : 58 Kg : 20 Kg/m2 (ideal weight category) : 25 cm

Mata Leher

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : Inspeksi : JVP 5-2 cmH2O, Kelenjar tiroid tampak membesar Palpasi : Kelenjar tiroid teraba membesar Kelenjar Getah Bening tidak teraba membesar

Toraks : Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Genitalia Ekstremitas : bentuk dan pergerakan simetris kiri = kanan : Fremitus normal kiri = kanan : Sonor kiri = kanan : Vesikuler normal +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/: Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V : batas jantung dalam batas normal : bunyi jantung teratur, bising (-)

: Status Obstetricus : Status Obstetricus : Edema -/-, Refleks Fisiologis +/+, Refleks Patologis -/-

Status Obstetrikus : Abdomen Inspeksi : Tampak membuncit sesuai usia kehamilan aterm Sikatrik (-) Palpasi : L1 L2 L3 L4 Perkusi Auskultasi Genitalia Inspeksi VT : : FUT teraba 3 jari dibawah processus xyphoideus Teraba massa besar, lunak, noduler : Teraba tahanan terbesar disebelah kiri Teraba bagian-bagian kecil janin disebelah kanan : Teraba massa keras, tidak terfiksir : Konvergen TBA : 3255 gr His : (-) : Timpani : BU (+) N, DJJ : 130-135 x/menit : : V/U tenang 1 jari Portio tebal 1,5 cm, posterior, sedang Ketuban (+) Teraba kepala HI UPD dan UPL : kesan panggul luas DIAGNOSIS : G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB selesai regimen SM dosis inisial + Hipertiroid Janin hidup tunggal intra uterin pres kepala H I

TFU = 34 cm

SIKAP : Kontrol KU, Vital sign, His, DJJ, Balance cairan, Refleks patella, urin Cek darah lengkap ( fungsi hati, ginjal, dan hemostasis ) Lanjut regimen SM dosis maintenance USG dan CTG EKG Lapor tim PEB ( interne, jantung, dan mata )

LABORATORIUM : -

Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit MCH MCV MCHC GDR Ureum Kreatinin SGOT SGPT Protein total Albumin Globulin Bilirubin total Bilirubin direk Bilirubin Indirek LDH Natrium Kalium Kalsium T4

: 10 gr% : 7.200 /mm3 : 31 % : 138.000 mm3 : 24,3 pg : 74 m3 : 33 g/ dL : 87 mg/ dL : 13 mg/ dL : 0,4 mg/ dL : 14 U/L : 8 U/L : 5,5 g/dL : 2,7 g/dL : 2,8 g/dL : 0,97 mg/dL : 0,5 mg/dL : 0,47 mg/dL : 694 U/L : 139 mmol/L : 3,6 mmol/L : 7,8 mg/dL : 201,27 nmol/L

(12 14) (5000 10.000) (37 43) (150.000 400.000) (27 31) (82 92) (32 36) (74 106) (16,6 48,5) (0,6 1,2) (0 31) (0 34) (6 7) (3,5 5,2) (0) (0,1 1,2) (0 0,2) (0) (0-480) (139 145) (3,5 5,1) (8,6 10,3) (60-120)

URINALISA : - Protein - Glukosa - Leukosit - Eritrosit - Silinder - Kristal - Epitel - Bilirubin - Urobilinogen USG : ++ : : 2-3 /LPB : 150-200 /LPB : : :+ : :+

10

Hasil USG : Janin hidup tunggal intra uterin letak kepala Aktivitas gerak janin baik Biometri : BPD FL AC TBJ AFI : 10,2 cm Plasenta tertanam di fundus grade I-II Kesan : Gravid aterm Janin hidup : 9,4 cm : 7,2 cm : 33,5 cm : 33,04 gr

11

CTG

Hasil CTG : Baseline Variabilitas Akselerasi Deselerasi Gerak anak Kesan : CTG Reaktif 12 : 130 135 dpm : 5-15 dpm : (+) : (-) : (+)

Hasil Konsul Mata : Kesan : Saat ini ditemukan tanda preeklampsi ringan Grave Nospeg 2-3 Sikap : Rawat bersama Terapi sesuai TS Konsul penyakit dalam Hasil Konsul Jantung : Kesan : G2P1A0H1 gravid aterm + PEB Hipertiroid Sikap : Metildopa 3 x 500 mg Rawat bersama Risiko cardiovaskuler sedang-berat Hasil Konsul Interne Penyakit Dalam : Kesan : Hipertiroid dalam pengobatan Struma difusa toksika Gravid aterm + PEB Sikap : PTU 3 x 100 mg Metidopa 2 x 250 mg PCT 3 x 500 mg Toleransi operasi : Risiko kardiovaskuler : sedang-berat Risiko endokrin : terjadi krisis tiroid Risiko hematologi ringan Berikan lugol 10 tetes sebelum operasi

13

DIAGNOSIS : G2P1 A0H1 Gravid aterm + PEB dalam regimen SM dosis maintenance + HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid Janin hidup tunggal intra uterin pres kepala H I SIKAP : Kontrol KU, Vital sign, His, DJJ, Balance cairan, Refleks patella, urin Lanjut regimen SM dosis maintenance Konsul anastesi dan perinatologi Lapor OK Siapkan darah PMI Antibiotik ( skintest ) Informed consent

RENCANA : SC

14

Jam 15.15 wib Dilakukan SCTPP Jam 15.20 WIB Lahir seorang bayi perempuan () secara SCTPP dengan : BB : 3156 gram PB : 47 cm A/S : 7/8 Plasenta lahir dengan sedikit tarikan ringan pada tali pusat, lengkap 1 buah, berat 500 gram, ukuran 18 x 17 x 2,5 cm, panjang tali pusat 50 cm, insersi para sentralis Dilakukan insersi IUD Perdarahan selama tindakan 250 mL Diagnosis : P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial + Hipertiroid Anak-ibu dalam perawatan Sikap : Awasi pasca tindakan

Perawatan Post OP ( RR ) : Kontrol KU, VS, PPV, refleks patella, balans cairan Pasien tidur terlentang dengan di tinggikan satu bantal Regimen SM dosis maintenance 1 gr/ jam ( 24-48 jam ) Antibiotik ceftriaxon 2x1 gr Metildopa 3x250 mg Adalat oros 1x 30 mg Dexametason 2x10 mg ( 2 hari ) PTU 3 x 100 mg Pasien di puasakan sampai BU (+) normal Cek Hb post op, jika < 10 gr% transfusi 15

LABORATORIUM : -

Hemoglobin : 11,2 gr% Leukosit Hematokrit Trombosit GDR Ureum Kreatinin Albumin Globulin Kalsium : 6.500 /mm3 : 34 % : 146.000 mm3 : 97 mg/dl : 16 mg/dl : 0,3 mg/dl : 2,8 g/dL : 2,2 g/dL : 8,1 mg/dL

Protein total : 5 g/dL

FOLLOW UP : Tanggal 4 Januari 2013 Anamnesis : Nyeri kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur (-) Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK via kateter, BAB (-), Perdarahan pervaginam (-) Pemeriksaan Fisik : KU sedang Kes CMC TD 140/80 Nadi 98x/1 Nafas 20x/1 Suhu 370C

Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Perut tampak sedikit membuncit Luka operasi tertutup verban : FUT 3 jari bawah pusat, kontraksi baik NT (-), NL (-), DM (-) : timpani : BU (+) Normal

16

Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (-) BAK via kateter 200 cc/ 2 jam Diagnosis : P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial + Hipertiroid + nifas hari I Anak ibu dalam perawatan Sikap : - Kontrol KU, VS, PPV, Balance cairan, Refleks patella - Lanjut regimen SM dosis maintenance (sampai 24 jam post partum) - Antibiotik Ceftriaxon 2 x1 gr - Metildopa 3 x 250 mg - Adalat oros 1 x 30 mg - Dexametason 2 x 10 mg - Benovit C 1 x 1 - PCT 3 x 100 mg - Antalgin 3 x 500 mg

Tanggal 5 Januari 2013 Anamnesis : Nyeri kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur (-) Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK via kateter, BAB (-), Perdarahan pervaginam (-) Pemeriksaan Fisik : KU sedang Kes CMC TD 130/80 Nadi 90x/1 Nafas 20x/1 Suhu 370C

Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik

17

Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (-) BAK via kateter 200 cc/ 2 jam Diagnosis : P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial + Hipertiroid + nifas hari II Anak ibu dalam perawatan Sikap : - Kontrol KU, VS, PPV - Stop regimen SM , infus dan kateter - Mobilisasi - Breastcare - Diet TKTP Terapi : - Antibiotik Ceftriaxon 2 x1 gr - Metildopa 3 x 250 mg - Adalat oros 1 x 30 mg - Dexametason 2 x 10 mg - Benovit C 1 x 1 - PTU 3 x 100 mg - PCT 3 x 100 mg - Antalgin 3 x 500 mg : Perut tampak sedikit membuncit Luka operasi tertutup verban : FUT 3 jari bawah pusat, kontraksi baik NT (-), NL (-), DM (-) : timpani : BU (+) Normal

18

LABORATORIUM : -

Hemoglobin : 9,8 gr% Leukosit Hematokrit Trombosit Eritrosit MCH MCV MCHC Ureum Kreatinin SGOT SGPT Albumin Globulin T3 Free T4 TSH : 2.330 /mm3 : 31,1 % : 155.000 mm3 : 4.08 x 106 /mm3 : 24 pg : 76,2 m3 : 31,5 g/dL : 45,6 mg/dl : 0,4 mg/dl : 14 U/L : 8 U/L : 2,5 g/dL : 2 g/dL : 1,24 nmol/L (0,9-2,5) : 15,25 pmol/L (9-20) : < 0,05 uUI/mL (0,25-5)

Protein total : 4,5 g/dL

Bagian Interne sub bagian endokrin : Kesan : struma diffusa toksika ec susp Graves disease Terapi : PTU 3 x 100 mg Propanolol 1 x 10 mg Advis : Cek TSH, T3, Free T4 Skintigrafi tiroid

19

Bagian Mata : Kesan : Fundus eklampsia ringan Grave opthalmopathy nospeg 2-3 Terapi : Sesuai TS Tanggal 6 Januari 2013 Anamnesis : Nyeri kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur (-) Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-), Perdarahan pervaginam (-) Pemeriksaan Fisik : KU sedang Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (-) Diagnosis : P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial + Hipertiroid + nifas hari III Anak ibu dalam perawatan : Perut tampak sedikit membuncit Luka operasi tertutup verban : FUT 4 jari bawah pusat, kontraksi baik NT (-), NL (-), DM (-) : timpani : BU (+) Normal Kes CMC TD 130/80 Nadi 85x/1 Nafas 20x/1 Suhu 370C

Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik

20

Sikap : - Kontrol KU, VS, PPV - Mobilisasi - Breastcare - Diet TKTP Terapi : - Amoksisilin 3 x 500 mg - Benovit C 1 x 1 - PTU 3 x 100 mg - Antalgin 3 x 500 mg Tanggal 7 Januari 2013 Anamnesis : Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-), Perdarahan pervaginam (-) Pemeriksaan Fisik : KU sedang Kes CMC TD 130/80 Nadi 87x/1 Nafas 20x/1 Suhu 370C

Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (-) : Perut tampak sedikit membuncit Luka operasi tertutup verban : FUT 4 jari bawah pusat, kontraksi baik NT (-), NL (-), DM (-) : timpani : BU (+) Normal

21

Diagnosis : P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial + Hipertiroid + nifas hari IV Anak ibu baik Sikap : - Kontrol KU, VS, PPV - Mobilisasi - Breastcare - Diet TKTP Terapi : - Amoksisilin 3 x 500 mg - Benovit C 1 x 1 - PTU 3 x 100 mg - Antalgin 3 x 500 mg Tanggal 8 Januari 2013 Anamnesis : Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-), Perdarahan pervaginam (-) Pemeriksaan Fisik : KU sedang Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Perut tampak sedikit membuncit Luka operasi baik : FUT 4 jari bawah pusat, kontraksi baik NT (-), NL (-), DM (-) : timpani : BU (+) Normal Kes CMC TD 120/80 Nadi 90x/1 Nafas 20x/1 Suhu 370C

Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik

22

Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (-) Diagnosis : P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial + Hipertiroid + nifas hari V Anak ibu baik Sikap : - Kontrol KU, VS, PPV - Mobilisasi - Breastcare - Diet TKTP Terapi : - Amoksisilin 3 x 500 mg - Benovit C 1 x 1 - PTU 3 x 100 mg - Antalgin 3 x 500 mg Bagian Mata : Kesan : Fundus eklampsia ringan Grave Nospeg 2-3 Terapi : Sesuai TS Kontrol 1 bulan lagi Bagian Interne sub bagian endokrin : Kesan : struma diffusa toksika ec susp Graves disease Sikap : Kontrol poli endokrin Acc pulang Terapi : PTU 3 x 100 mg Propanolol 1 x 10 mg

23

BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN HELLP SINDROM 1. Definisi Dahulu, disebut preeklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.(Roeshadi, 2004) Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, tapi < 160/110 mmHg dan proteinuria +1. Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg, proteinuria +2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan dan oliguria. Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejalagejala preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik). 2. Epidemiologi Insidens preeklampsia dan eklampsia berkisar antara 4-9 % pada wanita hamil, 3-7 % terjadi pada nullipara, dan 0,8-5 % pada multipara. Angka kejadian PE di Indonesia berkisar antara 3-10 %. (Roeshadi, 2004)

24

3. Klasifikasi Klasifikasi dibuat untuk memudahkan dokter mengidentifikasi pasien yang beresiko terjadinya morbiditas maternal, untuk memandu intervensi terapeutik dan menilai keberhasilan atau outcome, dan untuk data perbandingan hasil penelitian. Yang paling umum digunakan untuk diagnosis dan klasifikasi adalah yang dikembangkan pada tahun 1980 oleh peneliti di Universitas Tennessee dan Mississippi.(James N. Martin Jr
et al., 2006)

Klasifikasi

Tennessee

mendefinisikan

true

atau

complete sindrom HELLP jika didapatkan seluruh kriteria berikut : (1) Trombositopenia sedang sampai berat dengan trombosit 100.000 / mL atau kurang, (2) disfungsi hati dengan AST 70 IU / L atau lebih, dan (3) Terjadi hemolisis dengan sediaan apus darah tepi yang abnormal, selain total serum LDH 600 IU / L atau lebih besar, atau bilirubin 1,2 mg / dL atau lebih. Pasien yang menunjukkan hanya beberapa gejala dari semua parameter yang ada disebut parsial atau incomplete HELLP sindrom: ELLP sindrom (tanpa terjadinya hemolisis), EL sindrom (preeklampsia berat dengan sedikit peningkatan enzim hati saja), HEL (hemolisis dan peningkatan enzim hati tanpa trombositopenia), atau LP sindrom (low platelet syndrom sebagai preeclampsia berat dengan trombositopenia, gestasional trombositopenia, atau immune thrombocytopenic purpura). Maternal and perinatal outcomes memburuk secara progresif pada pasien dengan preeklamsia berat, Parsial HELLP syndrom, dan Complete HELLP syndrome. Parsial HELLP syndrom dapat berkembang menjadi Complete HELLP syndrome. (James N. Martin Jr et al., 2006)

25

Tabel 1. Sistem Klasifikasi HELLP Syndrome

Dikutip dari (James N. Martin Jr et al., 2006) Klasifikasi Mississippi untuk sindrom HELLP dibagi menjadi tiga tingkatan berdasarkan hitung trombosit. Diagnosis berdasarkan pada jumlah trombosit terendah selama perjalanan penyakit. Dikatakan trombositopenia bila jumlah hitung trombosit 0-150.000/ mL, dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ; ringan, sedang, dan berat trombositopenia. Pada pasien dengan diagnosis sindrom HELLP, kelas 1 trombositopenia berat (trombosit 50.000 / mL), disfungsi hati (AST dan / atau ALTR70 IU / L), dan bukti hemolisis (total serum LDH R600 IU / L); Kelas 2 dengan trombositopenia moderat (50.000-100.000 / mL) disertai bukti disfungsi hati dan hemolisis, dan kelas 3 dengan trombositopenia ringan (trombosit 100.000-150.000 / mL), disfungsi hati ringan (AST dan / atau ALT R40 L IU /), dan hemolisis (total serum LDH R600 IU / L). Temuan apusan perifer dan bilirubin abnormal tidak ditemukan.(James N. Martin Jr
al., 2006) et

26

4. Etiologi dan Patogenesis Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering disebut the desease of theories. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.(Roeshadi, 2004) Faktor predisposisi terjadinya Preeklampsia antara lain ; primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia.(Roeshadi, 2004) 5. Gambaran Klinis Tanda dan gejala dengan sindrom HELLP bervariasi tergantung stadium penyakit, apakah kelas 1, kelas 2, atau kelas 3. Nyeri perut kanan atas / nyeri epigastrium adalah gejala yang paling penting HELLP sindrom, ditemukan pada semua (100%) kasus (29 kasus) oleh Weinstein pada tahun 1982. Setengah dari pasien (50%) pada sindrom HELLP kelas 1, 33% pada kelas 2, dan 16% pada kelas 3 dibandingkan dengan hanya 13% pada pasien preeklampsia berat tanpa HELLP sindrom. Nyeri epigastrium yang sering terjadi berhubungan dengan mual atau muntah. Secara keseluruhan,

27

insiden nyeri epigastrium / mual / muntah antara 30-90%. Setiap pasien hamil dengan myeri epigastrium atau nyeri kuadran atas kanan yang muncul pada trimester kedua, terutama dengan mual dan / atau muntah, diagnosa sebagai sindrom HELLP sampai terbukti tidak. Seorang pasien hamil dengan tanda-tanda dan gejala preeklamsia berat yang tibatiba menjadi bertambah parah, nyeri sangat pada epigastrium / nyeri perut atas kemungkinan terjadi perdarahan atau ruptur hepar dan merupakan suatu kegawatdaruratan di kebidanan.(James N. Martin Jr et al., 2006) Malaise atau viral syndrome-like symptoms dapat terjadi selama perburukan HELLP syndrome. Sakit kepala terjadi dalam jumlah besar (33-68%) pasien dengan segala bentuk preeklamsia dengan atau tanpa HELLP sindrom, dan keluhan visual terjadi dalam jumlah yang lebih rendah. Hipertensi dan proteinuria tidak selalu ada. Tanda-tanda terjadi berhubungan dengan stadium penyakit, meskipun tekanan darah yang lebih tinggi dan proteinuria lebih cenderung terjadi memperburuk HELLP sindrom dari kelas 3 ke 2 sampai 1, dan hampir semua pasien hipertensi ringan selama perjalanan penyakitnya hilang dengan sendirinya. Dipstick proteinuria (3-4C) yang bermakna dengan gejala yang terjadi pada sekitar setengah dari pasien dengan kelas 1 atau 2 HELLP syndrome, namun proteinuria tidak terdeteksi di sekitar 1: 6 pasien.(James N. Martin Jr et al., 2006)

28

Tabel 2. Faktor risiko morbiditas / mortalitas maternal pada HELLP syndrom

6. Penatalaksanaan Preeklamsia berat harus rawat inap. Terminasi kehamilan diindikasikan jika usia kehamilan adalah 34 minggu atau lebih, kematangan paru janin, atau bukti status ibu atau janin tampak memburuk. Kontrol tekanan darah akut dapat dicapai dengan hydralazine, labetalol, atau nifedipin.(Aghajanian et al., 2007) Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada preeklampsia adalah segera melahirkan janin, tetapi disamping itu usia kehamilan, keadaan ibu dan keadaan janin harus diawasi dengan baik, dan menjadi pertimbangan untuk melakukan terminasi kehamilan. 1. Pengobatan Medisinal Tirah Baring Oksigen Kateter menetap IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat, Koloid Jumlah input cairan : 2000 ml/24 jam, berpedoman pada diuresis, insensible water loss dan CVP. Awasi balans cairan.

29

Magnesium Sulfat Initial dose : 4 gr magnesium sulfat 20% IV (4-5 menit) Loading dose : 8 gr MS 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri. Maintenance dose : 4 gr magnesium sulfat 40% IM setiap 4 jam magnesium sulfat maintenance dapat juga diberikan secara intravenus. Syarat pemberian Magnesium Sulfat : Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%, diberikan iv secara perlahan. Refleks patella (+) Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit. Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ) Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese

Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110 mmHg. Dapat diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah diastol jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah maksimal 30%. Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada : Edema paru Gagal jantung kongestif Edema anasarka

N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg. Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU 30

Konsul ke Bagian Interna, Hematologi, Mata, Neurologi jika perlu. Jajaki kemungkinan terjadinya komplikasi Sindroma HELLP, gagal ginjal, edema paru, solusio plasenta, DIC, stroke, dll.

Jika dijumpai Sindroma HELLP, beri deksametason 10 mg / 12 jam IV 2x sebelum persalinan, dilanjutkan dengan deksametason 10, 10, 5, 5 mg / jam IV dengan interval 6 jam postpartum. Kelahiran bayi diharapkan terjadi dalam 48 jam setelah pemberian deksametason pertama.

2. Penangan Obstetrik Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah dilakukan terminasi kehamilan atau tindakan konservatif dengan mempertimbangkan usia kehamilan dan keadaan janin. Penanganan konservatif bisa dilakukan pada keadaan : Tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg Oliguria respon dengan pemberian cairan Tidak dijumpai nyeri epigastrik Usia kehamilan < 34 minggu

Kalau penyakit berkembang menjadi Sindroma HELLP murni cenderung dilakukan tindakan penanganan aktif. Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetrik, dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala II dipercepat dengan EV / EF. Seksio sesarea dilakukan pada : Skor pelvik dibawah 5. Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tandatanda janin akan lahir pervaginam. Indikasi obstetrik. Bayi ditangani oleh Subbagian Perinatologi dan jika perlu dirawat di Neonatal Intensive Care Unit. 31

Tabel 3. Pemberian Magnesium Sulfat pada Preeklampsia dan Eklampsia (Cunningham et al., 2010b)

B. HIPERTIROID DALAM KEHAMILAN 1. Hubungan Fungsi Tiroid dengan Kehamilan Istilah hipertiroid dan tirotoksikosis sering dipertukarkan. Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Sedangkan hipertiroid adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Apapun sebabnya manifestasi klinisnya sama, karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T3. (Djokomoeljanto, 2006) Kehamilan normal menyebabkan sedikit pembesaran tiroid, yang terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Kadar serum TSH dan TRH adalah sama pada pasien hamil dan tidak hamil, sedangkan thyroid-binding globulin (TBG) meningkat karena estrogenditingkatkan produksi hati. Jumlah tiroksin (T4) dan

32

triiodothyronine (T3) meningkat, tapi gratis konsentrasi T3 dan T4 biologis aktif tidak berubah pada wanita hamil normal.(Krakow, 2008) 2. Etiologi Penyebab hipertiroid sebagian besar adalah penyakit Grave, goiter multinodular toksik dan mononodular toksik. Hipertiroid pada penyakit Grave adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada goiter multinodular toksik sendiri. ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu
(Djokomoeljanto, 2006)

Penyakit Grave sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15% pasien Grave mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan kirakira 50% keluarga pasien dengan penyakit Grave mempunyai autoantibodi tiroid yang beredar dalam darah. (Djokomoeljanto, 2006) Penyebab paling umum dari hipertiroid pada kehamilan adalah penyakit Graves. (terutama Diagnosis didasarkan dan pada tiga manifestasi, termasuk hipertiroidisme dengan tiroid diffuse, ophthalmopathy exophthalmos), dermopathy. Penyakit Graves adalah penyakit autoimun di mana beredar thyroid-stimulating immunoglobulin (TSIs) mengikat reseptor sel tiroid folikuler TSH, merangsang sintesis dan sektrse hormon tiroid yang berlebihan. Pasien mungkin memiliki penyakit autoimun lainnya, termasuk lupus eritematosus sistemik, myasthenia gravis, dan trombositopenia.(Krakow, 2008) 3. Patofisiologi Pada penyakit Grave, limfosit T didensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesa antibodi terhadap antigen-antigen ini. Satu dari antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran sel tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam peningkatan pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi

33

dalam darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari, namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini. Beberapa faktor yang mendorong respon imun pada penyakit Grave ialah :
(Mestman, 2004)

Kehamilan. Kelebihan iodida, khusus di daerah defisiensi iodida. Dimana kekurangan iodida dapat menutupi penyakit Grave laten pada saat pemeriksaan.

Infeksi bakterial atau viral. Diduga stress dapat mencetus suatu episode penyakit

Grave, tapi tidak ada bukti yang mendukung. Plasenta mengandung enzim iodothyronine deiodinase dalam jumlah yang banyak. Deionisasi T4 yang dikatalisir oleh enzim ini merupakan sumber reverse T3 yang ditemukan dalam cairan ketuban. Kadar reverse T3 dalam ketuban ini sebanding dengan kadar T4 maternal. Enzim ini berfungsi untuk menurunkan konsentrasi T3 dan T4 dalam sirkulasi janin.(Djokomoeljanto, 2006) Kadar T4 total pada hamil muda (antara 6-12 minggu), ditemukan pada cairan coelemic 0.07% dari kadar maternal, T4 rongga amnion 0,0003-0,0013%. Meskipun jumlahnya kecil secara kualitatif, konsentrasi seperti ini menunjukkan betapa pentingnya hormon tiroid untuk menjamin pertumbuhan yang adekuat dari unit fetomaternal.(Speroff and Fritz, 2005) Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormon peptida yang disusun oleh dua sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa identik dengan TSH, sementara rantai beta berbeda dengan keduanya. Dengan demikian, hormon struktur parsial antara TSH dengan hCG mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormon tirotropik. (Mestman, 2004) Selama kehamilan normal, efek stimulasi langsung hCG menimbulkan peningkatan sementara kadar tiroksin bebas hingga

34

akhir trimester pertama (puncak sirkulasi hCG) sehingga terjadi supresi parsial TSH. Pada mola hidatidosa dan khoriokarsinoma sering timbul manifestasi hipertiroid secara klinis dan biokimia.(Mestman, 2004) Sejak mulai hamil terjadi perubahan-perubahan pada fungsi kelenjar tiroid ibu, sedang pada janin kelenjar tiroid baru mulai berfungsi pada umur kehamilan minggu ke 12-16. TSH agaknya tidak dapat melalui barier plasenta. Dengan demikian baik TSH ibu maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Baik T 4 maupun T3 dapat melewati plasenta dalam jumlah yang sangat sedikit, 4. Diagnosis Gejala tirotoksikosis atau hipertiroid 1 di 1000 sampai 2000 komplikasi kehamilan (Casey dan Leveno, 2006; Mestman dan rekan, 1995). Karena pada kehamilan normal ditemukan beberapa temuan klinis yang mirip dengan kelebihan tiroksin (T4), tirotoksikosis ringan mungkin sulit untuk didiagnosa. Takikardia biasanya juga terlihat pada kehamilan normal, tiromegali, exophthalmos. Diperlukan konfirmasi laboratorium dimana didapatkan (TSH) yang menurun bersama dengan peningkatan serum T4 bebas (FT4). Jarang, hipertiroid disebabkan oleh triiodothyronine serum yang tinggi (T3) yang disebut T3toksikosis.(Cunningham et al., 2010c) Diagnosis hipertiroidisme bisa sulit, karena pasien melaporkan gejala yang dapat juga terlihat pada kehamilan normal. Gejalanya antara lain ; sesak napas, jantung berdebar, dan intoleransi panas. Tanda dan gejala hipertiroidisme tidak khas pada kehamilan, dan dengan demikian membantu dalam diagnosis, termasuk penurunan berat badan atau berat badan kurang dan frekuensi buang air besar meningkat. Evaluasi laboratorium menegaskan diagnosis. Tingkat T4 bebas yang tinggi sehingga dapat dianggap tidak saling mempengaruhi.(Speroff and Fritz, 2005)

35

pada pasien hipertiroid. Jarang (3% sampai 5%), tingkat T4 mungkin normal dan peningkatan T3 bebas. TSH secara umum tertekan.(Krakow, 2008) Hipertiroid ringan sulit untuk dikenali selama kehamilan, karena beberapa gejala yang muncul juga sering ditemukan pada wanita hamil eutiroid. Tanda dan gejal hipertiroid antara lain takikardi, eksoftalmus, palpitasi, gugup, sering berkeringat, tremor, peningkatan nafsu makan, mual dan muntah.(Grigoriu et al., 2008) Kelenjar tiroid normal mungkin dapat sedikit membesar selama kehamilan, namun munculnya atau bahkan adanya suatu pembesaran kelenjar biasanya berarti bahwa terdapat suatu keadaan masalah tiroid yang tidak diketahui yang membutuhkan penyelidikan dan pemeriksaan lebih lanjut. Jumlah kadar-kadar tiroksin serum (T4) dan triiodotironin (T3) meningkat selama kehamilan karena tingginya kadar estrogen yang sekaligus akan meningkatkan konsentrasi-konsentrasi thyroid-hormon-binding protein. Meskipun hal ini menjadikan fungsi-fungsi tiroid lebih sulit untuk diinterpretasikan, produksi hormon tiroid adalah normal pada wanita hamil.(Djokomoeljanto, 2006) Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular sehingga terjadi peningkatan bersih iodida dari plasma. Keadaan plasma ini akan dan menimbulkan memerlukan penurunan penambahan konsentrasi iodida

kebutuhan iodida dari makanan. Pada wanita dengan kecukupan iodida, keadaan ini hanya akan menimbulkan sedikit pengaruh terhadap fungsi tiroid karena penyimpanan iodida intratiroidal mencukupi sejak mula konsepsi dan tidak berubah selama kehamilan.(Djokomoeljanto, 2006) Pemeriksaan kadar FT4 dan FT3 tentunya yang paling baik. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar FT4 dan FT3 sedikit menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin sudah menunjukkan hipertiroid.(Mestman, 2004)

36

Pemeriksaan FT4l

sebagai

suatu

tes tidak langsung

menunjuk aktifitas tiroid yang tidak dipengaruhi oleh proses merupakan pilihan yang paling baik. Dalam hal biaya pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu kadar TT4 (T4 total) dan T3 resin uptake. Tetapi dari segi diagnosis, pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat ini dinegara kita. (Mestman, 2004) Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroid dengan kehamilan dengan gejala samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan waktu dan penderita harus disuntik TRH. (Mestman, 2004) Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes skrining penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipertiroid tetapi juga untuk hipertiroid subklinis. Dengan pengembangan tes ini maka tes TRH mulai banyak ditinggalkan. (Mestman, 2004) Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroid hamil. Kadar yang tetap tinggi pada penderita hipertiroid mempunyai dua arti penting yaitu ; menunjukkan bahwa apabila obat dihentikan, kemungkinan besar penderita ini akan relaps. Dengan kata lain obat antitiroid tidak berhasil menekan proses autoimun. Ada kemungkinan si bayi akan menjadi hipertiroid, karena TSI melewati plasenta. Dalam keadaan demikian beberapa peneliti menganjurkan untuk memberikan PTU dosis tinggi agar PTU melewati plasenta dan dapat menekan terjadinya hipertiroid pada janin. Untuk mencegah terjadinya hipertiroid pada ibu, disarankan memberikan tiroksin.
2008) (Grigoriu et al.,

37

Tabel 4. Perbandingan tes-tes evaluasi tiroid pada kehamilan dan hipertiroid Tes TSH TBG T4 total T4 bebas T3 total T3 bebas Uptake radioiodine T3RU 5. Penatalaksanaan Penatalaksanaan hipertiroid dapat berupa penatalaksanaan medis atau pembedahan. Pada kehamilan, ablasi dengan menggunakan zat radioaktif I131 tidak boleh dilakukan dan merupakan kontraindikasi mutlak. Akumulasi zat tersebut sejak janin berusia 10 minggu dapat mengakibatkan hipotiroid, sehingga pemberian zat tersebut pada wanita usia subur harus diikuti dengan anamnesis menstruasi yang jelas untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan.(Mestman, 2004) Terdapat beberapa terapi objektif yaitu : Mengontrol efek hormon tiroid di jaringan perifer dengan blokade pharmakologi Menghambat sekresi hormon tiroid Terapi spesifik terhadap penyakit nontiroid yang disebabkan oleh eksaserbasi hipertiroid Golongan obat antitiroid yang banyak dipakai adalah golongan tianamid yaitu Propiltiourasil (PTU) dan metimazol, yang bekerja dengan menghambat sintesis hormon tiroid dengan menghambat konversi T4 menjadi T3 dan PTU melewati plasenta lebih cepat dibanding dengan metimazole. Wing dkk 1994, meneliti 185 wanita hamil dengan tirotoksikosis dan menyatakan bahwa kedua obat tersebut efektif dan aman. Pengawasan selama hamil dengan melakukan pemantauan TSH, FT4I, dan Kehamilan normal tetap meningkat meningkat tetap meningkat tetap meningkat menurun Hipertiroid menurun tetap meningkat meningkat meningkat meningkat meningkat meningkat

38

TSI. Dianjurkan untuk pemeriksaan FT4I setiap 4 minggu. (Mestman,


2004)

PTU merupakan obat pilihan untuk keadaan hipertiroid maternal karena kemampuan untuk melewati plasenta lebih kecil daripada methimazole. Meskipun penelitian terakhir menyebutkan bahwa kedua obat dapat digunakan dalam kehamilan. Direkomendasikan dosis terendah yang bisa mengontrol keadaan hipertiroid untuk menghindarkan efek hipotiroidisme pada janin dan neonatus. Beberapa ahli lebih menyukai pemakaian PTU karena beberapa kelebihan, yaitu :(Grigoriu et al., 2008) Menghambat secara parsial konversi T4 ke T3 Tidak melalui sawar plasenta sebanyak metimazol Tidak berhubungan dengan aplasia kutis seperti metimazol. Regimen pemberian PTU yang telah digunakan di Parkland Hospital selama 40 tahun dengan hasil kehamilan yang memuaskan pada pasien yang mencapai eutiroid adalah sebagai berikut :(Mestman, 2004) Dosis inisial 600 mg PTU sehari selama 8 minggu ( 50 % pasien akan mengalami remisi) Penurunan dosis menjadi 300 mg sehari setelah tercapai remisi Dosis diturunkan menjadi 150 mg sehari sampai kelahiran anak dan dinaikkan kembali menjadi 300 mg jika dengan dosis 150 mg sehari tidak bisa mengontrol hipertiroid. Jika terapi medikamentosa tidak dapat mengontrol keadaan hipertiroid atau terdapat toksik atas terapi medikamentosa, dapat dipertimbangkan untuk melakukan tiroidektomi. Tiroidektomi dalam kehamilan harus dilakukan dengan hati-hati dan pertimbangan yang matang, karena bahaya badai tiroid dan vaskularisasi kelenjar yang meningkat. (Negro and Mestman, 2011) Propranolol telah banyak dipakai pada hipetiroid dengan kehamilan. Penggunaan propranolol pada wanita hamil dilaporkan dapat mengakibatkan plasenta kecil, gangguan pertumbuhan janin, postnatal bradikardi dan hipoglikemi. Atas dasar ini maka

39

beta bloker tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada hipertiroid dengan kehamilan. Walaupun demikian pada keadaan tertentu misalnya hipertiroid berat, krisis tiroid maka propranolol dapat dipakai secara kombinasi misalnya tidak dengan iodida. Pemakaian jangka pendek agaknya mempengaruhi

janin.(Negro and Mestman, 2011) Pembedahan hanya dilakukan pada penderita yang sangat alergi terhadap tionamid, tidak berhasil dengan pengobatan anti tiroid dan sekat-beta atau pada mereka dengan gejala mekanik akibat penekanan dari struma. Biasanya pembedahan baru dilakukan pada trisemester kedua. Worley dan Crosby dari Oklahoma Universtiy meneliti secara restrospektif kasus-kasus hipertiroid hamil selama 12 tahun. Ternyata pada penderita hipertiroid hamil yang mendapat obat anti tiroid (pada penelitian ini dipergunakan PTU) sebanyak 70% melahirkan bayi aterm. Sebaliknya mereka yang diobati dengan pembedahan ternyata hanya mendapat pengobatan bedah sebanyak 43% sedang yang hanya mendapat obat antitiroid hanya 20%. Oleh karena itu mereka menyimpulkan bahwa pengobatan yang terbaik untuk wanita hamil dengan hipertiroid ialah dengan obat anti tiroid. Pembedahan hanya dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu.
(Negro and Mestman, 2011)

Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa persalinan hipertiroid dapat menjadi lebih berat. Oleh karena itu dengan sendirinya dosis obat antitiroid perlu dinaikkan lagi. Dengan sendirinya harus dicari obat yang aman, yang tidak melalui air susu ibu sehingga tidak mempengaruhi keadaan tiroid bayi. Menurut penelitian, PTU hampir tidak melewati air susu ibu dan dianggap aman untuk dipakai selama laktasi. (Mestman, 2004) Badai tiroid jarang terjadi dan terutama didapatkan pada pasien yang tidak mendapat terapi. Badai tiroid adalah suatu keadaan emergensi endokrin, dimana terjadi suatu status hipermetabolik yang

40

ditandai oleh hiperpireksia, takikardi dan agitasi. Tekanan darah bisa normal atau meningkat. Bisa terjadi sinus takikardi, disritmia atrium dan kadang-kadang gagal jantung kongestif. Jika keadaan tersebut tidak segera ditangani, bisa terjadi hipotensi dan kolaps kardiovaskuler karena pelepasan katekolamin periferal dalam jumlah besar.. Penatalaksanaan mencakup pemberian -bloker intravena, dapat berupa propranolol, labetalol atau esmolol. Esmolol dikatakan memiliki efek kardioselektif yang lebih baik. Diberikan propranolol 20 mg intravena dan dilanjutkan dengan dosis oral sebanyak 20-80 mg setiap 6 jam. Harus diperhatikan pemberian cairan, karena terjadi peningkatan perspirasi.(Mestman, 2004) PTU diberikan dengan dosis 1 gram oral atau melalui NGT. PTU dilanjutkan dengan dosis 200 mg tiap 6 jam. 1 jam setelah pemberian PTU, harus diberikan iodida untuk menghambat pelepasan T3 dan T4 dari kelenjar tiroid. Diberikan sebagai tetesan larutan supersaturasi sebanyak 5 tetes (SSKI/supersaturated potassium iodide) tiap 8 jam atau larutan Lugol 10 tetes tiap 8 jam. Jika alergi terhadap iodida, dapat diberikan litium karbonat 300 mg tiap 6 jam. (Mestman, 2004)

41

BAB IV DISKUSI
Telah dilaporkan kasus seorang pasien 32 tahun masuk KB IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 03 Januari 2013 dengan diagnosa G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB dalam regimen SM dosis maintenance + HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid. Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala HI. Pasien ditatalaksana dengan seksio sesarea atas indikasi gravid aterm, tidak inpartu + PEB + HELLP Syndrom parsial dengan penyulit. Lahir seorang bayi perempuan ( ) dengan berat badan 3156 gram, panjang badan 47 cm, dengan Apgar score 7/9. Pada kasus ini terdapat beberapa hal yang akan menjadi fokus diskusi antara lain : 1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat ? 2. Apakan penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat ? 3. Apakah pengaruh hipertiroid terhadap kehamilan ? 1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat ? Pasien ini didiagnosa dengan G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB dalam regimen SM dosis maintenance + HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid. Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala HI. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa G2P1A0H1 gravid aterm ditegakkan atas dasar pasien tidak haid sejak 9 bulan yang lalu, dengan hari pertama haid terakhir lupa. Tidak terdapat tanda tanda inpartu dan tanda tanda impending eklampsia. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesimpulan gravid aterm, punggung dikiri, presentasi kepala. Taksiran berat janin sekitar 3255 gram, tidak ada his, dan denyut jantung janin dalam batas normal. Diagnosa pre eklampsia berat dan HELLP sindrom parsial ditegakkan atas dasar tekanan darah 170/110 mmHg, proteinuria ++, LDH 694 u/L. Tetapi tidak didapatkannya tanda-tanda nyeri epigastrium,

42

pandangan kabur, dan nyeri kepala. Dimana menurut kepustakaan terutama nyeri epigastrium adalah gejala yang paling penting pada HELLP sindrom, ditemukan pada semua (100%) kasus (29 kasus) oleh Weinstein pada tahun 1982. Setengah dari pasien (50%) pada sindrom HELLP kelas 1, 33% pada kelas 2, dan 16% pada kelas 3 dibandingkan dengan hanya 13% pada pasien preeklampsia berat tanpa HELLP sindrom. Nyeri epigastrium yang sering terjadi berhubungan dengan mual atau muntah. Secara keseluruhan, insiden nyeri epigastrium / mual / muntah antara 3090%. Setiap pasien hamil dengan myeri epigastrium atau nyeri kuadran atas kanan yang muncul pada trimester kedua, terutama dengan mual dan / atau muntah, diagnosa sebagai sindrom HELLP sampai terbukti tidak. Seorang pasien hamil dengan tanda-tanda dan gejala preeklamsia berat yang tiba-tiba menjadi bertambah parah, nyeri sangat pada epigastrium / nyeri perut atas kemungkinan terjadi perdarahan atau ruptur hepar dan merupakan suatu kegawatdaruratan di kebidanan.(James N. Martin Jr et al., 2006) Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ada dua klasifikasi pada sindroma HELLP. Menurut Audibert dkk (1996) dikatakan sindroma HELLP parsial apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter sindroma HELLP seperti hemolysis (H), elevates liver enzymes (EL) dan low platelet (LP). Dan sindroma HELLP murni apabila dijumpai perubahan pada ketiga parameter tersebut. Selanjutnya sindroma HELLP parsial dapat dibagi atas beberapa sub grup, yaitu Hemolysis (H), Low Platelet counts (LP), Hemolysis + low platelet counts (H+LP), dan hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL).
2006) (Roeshadi, 2004, James N. Martin Jr et al.,

Klasifikasi yang kedua hanya berdasarkan jumlah platelet . Menurut klasifikasi ini, Martin (1991) mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu: kelas I jumlah platelet 50.000/mm3, kelas II jumlah platelet > 50.000 - 100.000/mm3, dan Kelas III jumlah platelet >100.000 - 150.000/mm3.(Roeshadi, 2004)

43

Diagnosa hipertiroid ditegakkan atas dasar riwayat menderita hipertiroid sejak 1 tahun yang lalu, minum obat secara teratur, PTU, kemudian sejak hamil pasien tidak minum obat lagi. Pada pasien ini didapatkan kadar T4 yang tinggi, tetapi nilai T4 total saja tidak bermanfaat pada wanita hamil, karena nilainya yang tinggi merupakan respon terhadap estrogen yang meningkatkan TBG. Kadar T3 dan T4 total meningkat seiring meningkatnya konsentrasi TBG. Free T3 dan T4 dalam batas normal tinggi pada trimester pertama dan kembali normal pada trimester kedua. Peningkatan kadar T3 menunjukkan toksisitas. Pemeriksaan TSH saja sebaiknya tidak dijadikan acuan dalam mendiagnosa hipertiroid dalam kehamilan. PEB pada pasien ini kemungkinan berhubungan dengan hipertiroid. Wanita dengan tirotoksikosis memperlihatkan hasil akhir kehamilan yang umumnya bergantung pada tercapainya kontrol metabolik. Tiroksin yang berlebihan dapat menyebabkan keguguran. Pada wanita hamil yang tidak diobati atau tetap hipertiroid meskipun diterapi, terjadi peningkatan insiden preeklampsia, gagal jantung, dan outcome perinatal.
(Cunningham et al., 2010c)

Diagnosa pada pasien ini perlu ditambahkan anemia ringan karena didapatkan hemoglobin yang menurun ( 10 gr% ). Dimana anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin yang kurang dari 12 gr/dL pada wanita tidak hamil dan kurang dari 10 gr/dL selama hamil dan masa nifas. Sedangkan menurut The Centers for Disease Control and Prevention (1998), anemia pada wanita hamil, dimana didapatkan kadar hemoglobin kurang atau sama dengan 11 gr/dL pada trimester satu dan tiga, dan 10,5 gr/dL pada trimester kedua.(Cunningham et al., 2010a) 2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat ? Setelah diagnosa ditegakkan, didapatkan kesimpulan pasien hamil anak kedua, cukup bulan dengan PEB, HELLP sindrom dan hipertiroid. Kemudian diputuskan untuk dilakukan terminasi secara seksio sesarea. Keputusan diambil atas dasar kehamilan aterm dengan PEB dan HELLP sindrom parsial ditambah dengan penyulit berupa hipertiroid.

44

Sampai saat ini penangan sindroma HELLP masih kontroversi. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru-paru janin dan memperbaiki gejala klinis ibu . Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satusatunya terapi defenitif.
(Roeshadi, 2004)

Penanganan sindroma HELLP lebih sulit bila dibandingkan dengan penanganan pre eklampsia, disamping itu perlu penanganan bersifat multi disiplin. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap tekanan darah, balans cairan dan abnormalitas pembekuan darah.
(Roeshadi, 2004)

Seperti penanganan preeklampsia, pemberian sulfas magnesikus masih merupakan pilihan utama. Transfusi dan pemberian trombosit sering diperlukan untuk mengatasi anemia ataupun koagulopati, tetapi pemberian transfusi darah harus hati-hati dengan memperhitungkan keseimbangan cairan, apalagi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Pemberian trombosit dapat dipertimbangkan apabila kadar trombosit kurang dari 50.000 /mm3, apalagi jika seksio sesarea akan dilakukan.(Roeshadi, 2004) Kadang-kadang hasil pemeriksaan laboratorium tidak menggambarkan jauhnya kerusakan yang terjadi pada jaringan hepar, jumlah penumpukan fibrin, perdarahan dan lobular nekrosis. Itulah sebabnya beberapa peneliti seperti Weinstein kurang menyetujui penanganan konservatif dan lebih menganjurkan untuk segera melakukan terminasi kehamilan.(Roeshadi, 2004) Tompkins kortikosteroid meningkatkan dan Thigarajah Betametason paru, (1999) maupun melaporkan jumlah pemberian untuk platelet, baik Deksametason

pematangan

meningkatkan

mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan LDH menurun) serta

45

memungkinkan untuk pemberian anastesia regional. (James


2006)

N. Martin Jr et al.,

Adanya melahirkan

sindroma

HELLP cara

tidak

merupakan sesarea.

indikasi Yang

untuk harus

segera

dengan

seksio

dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan anak. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan.(Roeshadi, 2004) 3. Apakah pengaruh hipertiroid terhadap kehamilan ? Selama kehamilan disimpulkan terjadi peningkatan kebutuhan hormon tiroid T3 dan T4 akibat peningkatan metabolisme ibu dan janin terutama T3 yang merupakan hasil konversi T4 dijaringan otak berfungsi untuk perkembangan susunan saraf pusat janin, peningkatan kebutuhan T3 dan T4 diikuti dengan peningkatan kebutuhan iodida, peningkatan proses coupling Iodine dengan thyroglobulin di folikel tiroid menjadi T3 dan T4. selama trimester pertama hormon tiroid ibu bisa langsung masuk ke sirkulasi janin dan mencukupi kebutuhan janin. Ini terbukti dari penelitian Contempre yang mengukur kadar hormon tiroid janin pada kehamilan 5 minggu pada coelomic dan cairan amnion didapatkan kosentrasi 10 kali lebih tinggi dari sirkulasi ibu dan ketika mencapai usia kehamilan 11 minggu kosentrasinya meningkat sampai 100 kali dibandingkan konsentrasi darah ibu, kondisi ini disertai peningkatan kadar hormon tiroid terutama pada sirkulasi fetomaternal dibandingkan pada sirkulasi organ di tempat lain. Kebutuhan tiroid ibu selama trimester pertama ini dipacu dengan peningkatan Tiroid Stimulating Hormon ( TSH ), Adanya peningkatan HCG trimester pertama yang ternyata juga mempunyai efek stimulasi pada reseptor TSH di kelenjar tiroid ibu, Peningkatan produksi Thyroid binding globulin ketika trimester pertama pada sirkulasi ibu sebagai sarana

46

transpor hormon, peningkatan kebutuhan iodida. Efek dari keseluruhan hal diatas ditandai dengan pembesaran fisiologis kelenjar tiroid selama hamil. Selama trimester kedua, tiroid janin telah terbentuk dan berfungsi, sejalan dengan telah diproduksinya TSH janin dari otak, maka hormon tiroid ibu tidak lagi mutlak diperlukan ini terbukti setelah trimester kedua fre T4 (FT4) ibu sangat sedikit ditemukan pada sirkulasi janin. Hal ini disebabkan permeabilitas yang rendah villichorialis plasenta terhadap T3 dan T4 ibu dan pada plasenta juga terdapat enzim placental deiodinase III yang menonaktifkan setiap T4 ibu yang memasuki ruang intervillie. T4 yang dinonaktifkan ini dipecah dan sisa ion iodine yang lepas masuk kesirkulasi darah janin. Sehingga setelah trimester kedua kehamilan, peningkatan hormon tiroid ibu tidak banyak mempengaruhi kondisi hormon tiroid janin. Kondisi hipertiroid dalam kehamilan berhubungan dengan kedaan ibu dan janin. Menurut penelitian Davis keadaan hipertiroid pada maternal berhubungan dengan kejadian PEB dan kelainan jantung, sedangkan pada janin berhubungan dengan IUGR, kelahiran preterm, IUFD, kejadian tirotoksikosis janin, goiter dan hipotiroid pada janin. Keadaan ini berhubungan dengan derajat hipertiroid ibu dan insidennya berbeda tergantung apakah terkendali (treated) atau tidak terkendali (untreated) serta usia kehamilan saat kondisi hipertiroid terjadi.(Cunningham et al., 2010c) Pada pasien ini, keadaan hipertiroidnya telah diketahui sejak 1 tahun yang lalu dan ketika awal kehamilan pasien masih minum obat PTU tetapi sejak kehamilan 3 bulan berhenti makan obat. Kondisi hormon tiroid pasien bisa dikatakan cukup terkontrol pada saat 12 minggu pertama kehamilan. berbahaya Hal ini salah satu terutama pada faktor yang bisa menerangkan kenapa trimester pertama kehamilan karena kondisi janin masih baik dan kehamilan berlanjut. Keadaan hipertiroid peningkatan tiroid ibu langsung memasuki sirkulasi janin. Kondisi hipertiroid yang tidak terkontrol pada trimester pertama ini sering berhubungan dengan IUFD atau abortus.

47

Keadaan

tirotoksikosis

akan

menyebabkan

peningkatan

metabolisme ibu serta peningkatan kejadian jantung tiroid dan PEB pada ibu yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada janin. Pemakaian PTU ini berlanjut sampai aterm dan nifas untuk mengontrol hormon tiroid ibu. PTU secara literatur drug of choise untuk hipertiroid dalam kehamilan karena menghambat produksi T3 dan T4 ibu (proses organification) dengan berat molekul besar sehingga impermiabel terhadap sawar plasenta dan sukar masuk ke sirkulasijanin. obat ini juga tidak mempengaruhi (insensitive) terhadap kerja enzim placental deiodinase III sehingga cukup aman terhadap janin. Tetapi perlu

diperhatikan ternyata pada pemakaian lama selama kehamilan terdapat akumulasi kadar PTU yang lolos pada janin sehingga menimbulkan suatu goiter dan kondisi hipotiroid janin. Keadaan goiter atau struma pada tiroid janin menimbulkan gangguan menelan janin sehingga bisa menimbulkan suatu polihidramnion. Ketika persalinan perlu diperhatikan kondisi nyeri dan stress persalinan, karena merupakan salah satu faktor predisposisi peningkatan kadar hormon tiroid bahkan sampai terjadi badai tiroid, pilihan persalinan berdasarkan indikasi obstetrik.

48

BAB V KESIMPULAN 1. Diagnosis pada pasien ini belum tepat. 2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat. Tindakan seksio sesarea atas indikasi PEB + HELLP sindrom parsial dengan penyulit pada pasien ini sudah tepat. 3. Preeklampsia berat pada pasien ini kemungkinan berhubungan dengan hipertiroid. Diagnosa hipertiroid ditegakkan dengan melihat manifestasi klinik dan pemeriksaan laboratorium hormon tiroid. Pilihan pengobatan saat ini dengan mengendalikan tirotoksikosis ibu tanpa menganggu fungsi tiroid janin. Pilihan pengobatan yang dianjurkan adalah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU).

49

DAFTAR PUSTAKA AGHAJANIAN, P., AINBINDER, S. W., AKHTER, M. W., ANDREW, D. E., DENNIS R. ANTI, E., ARCHIE, C. L. & ARNETT, C. 2007. Thyroid and Others Endocrin during Pregnancy In: DECHERNEY, A. H., NATHAN, L. & GOODWIN, T. M. (eds.) Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10 ed.: McGraw-Hill Companies. CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C., ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010a. Hematological Disorders. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C., ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010b. Pregnancy Hypertension. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C., ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010c. Thyroid and Other Endocrine Disorders. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. DJOKOMOELJANTO, R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroid, dan Hipertiroid. In: SUDOYO, A. R., SETIYOHADI, B., ALWI, I., K, M. S. & SETIATI, S. (eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. GRIGORIU, C., CEZAR, C., GRIGORAS, M. & HORHOIANU, I. 2008. Management of hyperthyroidism in pregnancy. Journal of Medicine and Life, 1, 390-396. JAMES N. MARTIN JR, M., CARL H. ROSE, M. & CHRISTIAN M. BRIERY, M. 2006. Understanding and managing HELLP syndrome : The integral role of aggressive glucocorticoids for mother and child American Journal of Obstetrics and Gynecology, 195, 914934. KRAKOW, D. 2008. Medical and Surgical Complications of Pregnancy. In: GIBBS, S, R., KARLAN, Y, B., HANEY, F, A., NYGAARD & E, I. (eds.) Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition. 10 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. MESTMAN, J. H. 2004. Hyperthyroidism in pregnancy. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism, 18, 267-288.

NEGRO, R. & MESTMAN, J. H. 2011. Thyroid disease in pregnancy. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism 25, 927943. ROESHADI, R. H. 2004. SINDROMA HELLP. In: HARIADI, R. (ed.) ILMU KEDOKTERAN FETOMATERNAL. 1 ed. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. SIBAI, B. M. 2011. Evaluation and management of severe preeclampsia before 34 weeks gestation. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 191 - 198. SPEROFF, L. & FRITZ, M. A. 2005. Reproduction and The Thyroid. Clinical Gynecology Endocrinology and Infertility. 7 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai