Anda di halaman 1dari 86

Editorial

Kolokium Psikologi Indonesia ke-19 telah diselenggarakan di Padang, Sumatera Barat, pada 30
April sampai dengan 2 Mei 2009. Kolokium Psikologi Indonesia, yang merupakan wadah
berkumpulnya institusi penyelenggara pendidikan psikologi di Indonesia, telah menyepakati
sejumlah hal, antara lain metamorfosis diri menuju sebuah organisasi yang berbadan hukum serta
pengubahan nama "Magister Profesi Psikologi" atau pun “Program Pendidikan Profesi Psikologi
Jenjang Magister (P4JM)” menjadi "Magister Psikolog". Mengenai hal yang terakhir ini, naskah
kajian akademik masih dipersiapkan dalam rangka pengajuannya ke Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI untuk kodifikasi, meskipun pendidikan akademik yang
menghasilkan psikolog profesional telah ada sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bersama antar
Dekan Fakultas Psikologi se-Indonesia dan Himpunan Psikologi Indonesia/Himpsi No.
02/KOL.PSI/02, 25 Oktober 2002. Nampaknya, justru kajian epistemologis yang mendalam
terhadap nama dan substansi “Magister Psikolog” masih perlu terus dilakukan, dan memang tidak
cukup dengan sekadar perbandingan analogis dengan “persenyawaan magister-profesi” dalam
Magister Advokat atau Magister Manajemen. Dalam periode panjang yang kita lalui sejak 2002 ini,
kita menjadi semakin menyadari arti penting epistemologi dalam (pendidikan) psikologi. Dalam
kolokium juga didiskusikan mengenai harapan yang besar agar penyelenggara pendidikan psikologi
semakin mempersempit peluang menganggur alumnus Sarjana Psikologi dari sisi penyusunan
scientific vision berupa profil dan kompetensi lulusan serta penyusunan struktur kurikulum dan
rancangan pembelajaran. Terkait dengan hal ini, kesepakatan Kolokium ke-19 berupa pemerluasan
dan pemerjelasan cakupan kompetensi Sarjana Psikologi menjadi, antara lain, tidak hanya mampu
merancang, akan tetapi juga mampu mempraktikkan intervensi psikologis, seperti konseling
terhadap problem-problem non-patologis (parameter “patologis”: kitab Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan Pedoman
penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) serta pengetesan psikologis untuk tes-
tes psikologis level A dan level B, menjadi salah satu hal yang relevan. Lagi, dengan kesepakatan
ini, nampaknya perlu diadakan redefinisi yang lebih presisif dan akurat terhadap terminologi
“Praktik Psikologi” dalam Kode Etik Psikologi Indonesia maupun Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga Himpsi yang menurut rencana akan disahkan perubahannya pada Kongres XI
Himpsi di Surakarta pada Maret 2010.
Pada edisi perdana Jurnal Psikobuana ini, M. Enoch Markum mengkaji sumbangsih psikologi
sosial dalam pengentasan kemiskinan, yang meliputi intervensi individual, kultural dan struktural.
Apabila dikaitkan dengan harapan kolokium di atas, maka sesungguhnya kajian-kajian semacam ini
sangat perlu digalakkan. Sarjana Psikologi sesungguhnya tidak perlu terus menjadi “tukang tes”
melainkan juga dapat berkarya dalam lapangan-lapangan yang lebih luas, seperti dalam psikologi
kemiskinan (psychology of poverty). Selanjutnya, Juneman dalam artikelnya mengenai pemrofilan
kriminal―bagian dari psikologi forensik―menunjukkan bahwa pelibatan penggunaan perspektif
protoscience dan pseudoscience ternyata berguna dalam melihat secara lebih tepat status
epistemologis pemrofilan kriminal sebagai sebuah ilmu psikologis dan berimplikasi pada
pengembangan aplikasinya. Dalam kaitan dengan ini, sudah sejak 1985, Alvin I. Goldman dalam
jurnal Synthese mengingatkan kita bahwa pertanyaan-pertanyaan epistemologis pernah dilihat
secara “terpisah dengan tajam (sharply separated) dari psikologi”, padahal tidak perlu seperti itu.
APA (American Psychological Association) yang menjadi referensi internasional pun memiliki
Divisi ke-24, yakni Society for Theoretical and Philosophical Psychology, yang tugasnya “…
encourages and facilitates informed exploration and discussion of psychological theories and
issues in both their scientific and philosophical dimensions and interrelationships” (APA, 2009).
Dalam kaitan dengan kerja-kerja kolokium di atas, jelas bahwa kolokium psikologi bersama Himpsi
saat ini memiliki urgensi justru untuk memperkuat fondasi epistemologis “Magister Psikolog”.
Dalam artikel berikutnya, Eunike Sri Tyas Suci memberikan gambaran empiris perilaku jajan
murid sekolah dasar di Jakarta, yang temuannya memiliki arti penting untuk menstimulasi
penerapan psikologi kesehatan (psychology of health). Selanjutnya, sementara alat ukur dalam
bidang psikologis banyak mengasumsikan pengukuran unidimensi, Wahyu Widhiarso melakukan
kajian mengenai koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi.
Pada akhirnya, Hatib Abdul Kadir, Limas Sutanto, serta Koentjoro dan Beben Rubianto
berturut-turut menelaah fenomena latah dari sudut psikoantropologis, kritik Bandler terhadap
kinerja psikolog dan profesi kesehatan mental lain, serta perilaku radikal umat Islam dengan pisau
analisis psikologi sosial.

Penyunting
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1

Daftar Isi

Editorial i–ii
Penyunting

Daftar Isi iii

Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial 1–12


M. Enoch Markum

Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal Sebagai Sebuah Ilmu Psikologis 13–28


Juneman

Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta 29–38


Eunike Sri Tyas Suci

Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensi 39–48


Wahyu Widhiarso

Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu 49–59


(Suatu Kajian Psikoantropologi)
Hatib Abdul Kadir

Menyimak Kritik Bandler 60–63


Limas Sutanto

Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah Dalam Perspektif Psikologi Sosial 64–70
Koentjoro dan Beben Rubianto

Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana 71-72


Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 1–12

Pengentasan Kemiskinan dan


Pendekatan Psikologi Sosial

M. Enoch Markum
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

This article describes poverty which is a big problem on this planet,


particularly in Indonesia. The estimation is that there are 1.4 billion poor
people in the world and there are about 35 million poor people in
Indonesia. Poverty affects several aspects of life such as: education,
housing, crimes, and mental health. All of the presidents of Indonesia,
many non-governmental organizations and the society, have been trying to
prevent the increasing rate of poverty. Unfortunately, there is no
significant result so far. Incomplete understanding about poverty might
explain the non-significant result of poverty prevention. Poverty is usually
stated as the poor people's lacking of entrepreneurship, of skill, and that
the poor has negative personality sides. Based on this incomplete
understanding, this article proposes some alternatives for comprehensive
poverty elimination through individual, cultural and structural
intervention. The social psychology approach for poverty eradication
means that the intervention is for the individual and his/her social
environment in which social structural and cultural are included.
Individual intervention means that we need to cut out the poverty circle.
Cultural intervention means that we need to change this deprivation
culture. Structural intervention means that we need to change the
paradigm about the poor held by those who deal with policies related to
poverty.

Keywords: poverty culture, poverty cycle, deprivation, frustration,


uncontrollability, helplessness, depression, passivity, dependency,
empowerment

Salah satu masalah kemanusiaan yang United Nations Millennium Summit tahun 2000
dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Dengan di New York. Hasil dari pertemuan tersebut
tolok ukur pendapatan per kapita 1,25 dolar AS, dituangkan dalam Deklarasi Milenium yang
diperkirakan jumlah penduduk miskin di dunia ditandatangani oleh sejumlah negara (termasuk
1,4 milyar orang (“Understanding poverty,” Indonesia) yang mempunyai sejumlah sasaran
2009). Menghadapi kenyataan ini, komunitas atau dikenal dengan Millennium Development
internasional telah membuat kesepakatan dan Goals (MDGs) yang harus dicapai pada tahun
menyatakan komitmennya pada kesempatan 2015. Di antara delapan sasaran dimaksud,

1
2 MARKUM

salah satunya adalah “menanggulangi sekitar 600.000 tenaga kerja Indonesia (TKI)
kemiskinan dan kelaparan”. yang akan dipulangkan dari luar negeri.
Bila Indonesia berniat mematuhi Deklarasi Bila kita mencermati sejarah kemiskinan
Milenium, maka waktu yang tersisa untuk dan penanggulangannya di Indonesia, maka
mengatasi masalah kemiskinan ini sangat sebenarnya masalah kemiskinan ini tidak
pendek atau tinggal enam tahun lagi. Melihat pernah luput dari perhatian Pemerintah, siapa
data BPS 2008 mengenai penduduk miskin di pun yang menjadi presiden (Kusumaatmadja,
Indonesia yang berjumlah 34,90 juta orang dan 2007). Hal ini dapat kita saksikan dengan
data Susenas BPS 2006 mengenai penurunan diawali oleh Presiden Soekarno yang
angka kemiskinan dari tahun ke tahun yang menuangkan program kemiskinan dalam
tidak cukup signifikan, misalnya penduduk Pembangunan Nasional Berencana Delapan
miskin tahun 2004: 36,10 juta; tahun 2005: Tahun; Presiden Soeharto dengan program
35,10 juta; dan tahun 2006: 39,10 juta Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program
(Brodjonegoro, 2007), maka wajar kiranya bila Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan lain-lain;
kita meragukan keberhasilan Indonesia Presiden Habibie dengan Jaringan Pengaman
mencapai MDSs tahun 2015; apalagi bila kita Sosial, Penanggulangan kemiskinan di
mencermati dampak krisis ekonomi global 2008 Perkotaan (P2KP), dan lain-lain; Presiden
yang mulai dirasakan oleh Indonesia. Abdurrahman Wahid dengan Jaring Pengaman
Pertumbuhan ekonomi yang semula Sosial (JPS), Kredit Ketahanan Pangan (KKP),
diperkirakan 6,0%, dengan terjadinya krisis dan lain-lain; Presiden Megawati Soekarnoputri
ekonomi global 2008, menurut perhitungan dengan Komite Penanggulangan Kemiskinan
Pemerintah hanya akan mencapai 4,5% (KPK) dan Penanggulangan Kemiskinan di
(“Kemiskinan bertambah,” 2009). Demikian Perkotaan (P2KP); sampai dengan Presiden
pula, jumlah orang miskin tahun 2009 yang Susilo Bambang Yudhoyono dengan
semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan
juta orang akan meningkat menjadi 33,71 juta Kemiskinan (TKPK), Bantuan Langsung Tunai
orang atau setara dengan 14,87% jumlah (BLT), dan lain-lain.
penduduk Indonesia. Dalam hubungan dengan Di samping upaya Pemerintah, masyarakat
kemiskinan ini, pendapat Fadhil Hasan berikut pun ikut berperan dalam mengatasi kemiskinan,
ini akan menguatkan pesimisme kita terhadap seperti yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu
pencapaian MDGs oleh Pemerintah tahun 2015. Sosial dan Ilmu Politik UI dengan memberikan
Menurut Hasan (“Kemiskinan bertambah,” penghargaan kepada para wirausahawan sosial
2009), melambatnya pertumbuhan ekonomi (2006). Demikian pula Lembaga Swadaya
akan mengakibatkan pengangguran karena Masyarakat (LSM) telah berpartisipasi dalam
setiap 1,0% pelambatan pertumbuhan ekonomi mengentaskan kemiskinan, antara lain LSM
akan mengakibatkan 300.000 orang kehilangan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil,
kesempatan kerja. Jika angka ini dikalikan Bina Desa, Bina Masyarakat Sejahtera, dan
dengan empat orang anggota keluarga, maka Bina Sumber Daya Mitra.
akan ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi Dalam hubungan dengan peran masyarakat
atau jatuh miskin. Sementara itu, terdapat dalam mengentaskan kemiskinan ini, perlu
PENGENTASAN KEMISKINAN 3

dikemukakan upaya seorang profesor ekonomi meningkat: 18 triliun (tahun 2004), 23 triliun
dari Bangladesh yang memperoleh hadiah (2005), 42 triliun (2006), dan 51 triliun (2007)
Nobel Perdamaian 2006, yaitu Muhammad (Kusumaatmadja, 2007). Dalam kenyataan
Yunus. Hal ini perlu dikemukakan karena ia terbukti bahwa alokasi anggaran pengentasan
telah berhasil dengan Grameen Bank-nya kemiskinan yang naik dari tahun ke tahun ini
memberikan pinjaman kepada masyarakat tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan
miskin tanpa agunan (94% perempuan) untuk secara bermakna karena selain posisi tawar
digunakan sebagai modal usaha. (bargaining position) orang miskin yang lemah,
Perlu juga diketengahkan pelibatan partai juga mereka tidak mampu melihat peluang
politik dalam pengentasan kemiskinan yang bisnis (business opportunity) sehubungan
disayangkan perhatian dan intensitas dengan kenaikan anggaran pengentasan
kegiatannya baru meningkat pada saat kemiskinan.
menjelang kampanye pemilihan kepala daerah
dan pemilihan umum. It is important to stress that alleviating
Upaya penanggulangan kemiskinan yang poverty is not only a matter of giving financial
telah berlangsung sejak lama dan telah aid, but more significantly, giving the poor a
melibatkan pihak pemerintah, swasta, LSM, dan sense of individual mastery over their lives
which preserves their dignity and self respect.
partai politik sebagaimana diuraikan terdahulu
(Ortigas, 2000, h. 44)
tampaknya belum berhasil menurunkan angka
kemiskinan secara bermakna (Brodjonegoro,
Berdasarkan kutipan Ortigas di atas, jelas
2007). Hal ini disebabkan antara lain oleh: (a)
bahwa pengentasan kemiskinan bukan semata-
luasnya masalah kemiskinan, ±15% penduduk
mata masalah permodalan dan keterampilan
miskin dari seluruh penduduk Indonesia, (b)
teknis, melainkan masalah bagaimana
penanganan kemiskinan yang tidak terintegrasi
membangkitkan perasaan mampu mengatasi
karena ego sektoral yang sangat kuat, (c) tidak
hidup di kalangan orang miskin dengan cara
melibatkan dan memberdayakan (empowering)
yang bermartabat dan menjaga harga-diri.
orang miskin dalam mengatasi kemiskinan, (d)
Dalam hubungan inilah, disiplin
peraturan perundangan yang tidak memihak
psikologi―khususnya melalui pendekatan
kaum miskin, dan (e) kemiskinan dilihat
psikologi sosial―dapat memberikan
sebagai masalah ekonomi dan keterampilan
sumbangan terhadap upaya pengentasan
teknis semata-mata.
kemiskinan.
Cara pandang kemiskinan yang terakhir ini
(menekankan faktor ekonomi atau keterbatasan
modal usaha dan keterampilan teknis) terlihat
Akibat Kemiskinan
dari dikucurkannya dana yang besar oleh Pembahasan mengenai akibat kemiskinan
pemerintah dan didirikannya sejumlah balai dalam tulisan ini dibatasi pada akibat
latihan kerja (BLK), serta diselenggarakannya kemiskinan terhadap berbagai fenomena
berbagai kursus keterampilan singkat. Sebagai kehidupan yang dialami oleh masyarakat miskin
ilustrasi anggaran pemerintah untuk mengatasi perkotaan sebagai akibat urbanisasi. Untuk itu
kemiskinan dari tahun ke tahun tampak terus marilah kita cermati perbandingan jumlah
4 MARKUM

penduduk miskin pedesaan dan perkotaan di karena, menurut pendapat penulis, masalah
Indonesia dari tahun 2000 sampai 2006 sosial di Amerika Serikat yang dianalisis Farley
(Susenas BPS, 2006, dalam Brodjonegoro, pada saat itu mempunyai banyak kesamaan atau
2007) sebagaimana tampak dalam Tabel 1. kemiripan dengan kondisi kemiskinan
Indonesia tahun 2000-an.

Tabel 1
Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan dan Bagaimana dan Apa Akibat Kemiskinan?
Pedesaan Tahun 2000 – 2006
Jumlah Penduduk Miskin Kemiskinan berakibat pada partisipasi dan
(dalam juta orang) kualitas orang miskin. Artinya, akses anak-anak
Tahun Perkotaan Pedesaan Total miskin terhadap lembaga pendidikan yang
2000 12,3 26,4 38,7 bermutu sangat terbatas, di samping
2001 8,6 29,3 37,9
kemungkinan putus-sekolah (drop-out) juga
2002 13,3 25,1 38,4
2003 12,2 25,1 37,3 besar. Hasil penelitian Farley (1987) di
2004 11,4 24,8 36,1 Amerika Serikat menunjukkan bahwa prestasi
2005 12,4 22,7 35,1 sekolah anak-anak miskin (disadvantage
2006 14,3 24,8 39,1
children) umumnya lebih rendah daripada anak-
anak Amerika yang tergolong beruntung
Berdasarkan Tabel 1, nampak bahwa secara (advantage children). Kondisi ini akan
garis besar jumlah penduduk miskin di berdampak di kemudian hari setelah anak-anak
pedesaan lebih besar (hampir dua kali lebih miskin dengan pendidikan rendah ini memasuki
banyak) daripada jumlah penduduk miskin di dunia kerja. Mereka akan menduduki posisi
perkotaan. Salah satu implikasi dari jumlah yang juga rendah atau menjadi tenaga tidak
penduduk miskin yang besar di pedesaan ini terampil (unskilled labour), bahkan menjadi
adalah urbanisasi dengan segala penganggur (jobless). Selanjutnya, bila mereka
permasalahannya di perkotaan, seperti berkeluarga, pendidikan anak-anaknya juga
pedagang kaki lima, pemukiman liar di pinggir akan relatif sama dengan taraf dan kualitas
rel kereta api dan bantaran kali, pengemis, anak pendidikan yang dialami orangtuanya.
jalanan, dan kriminalitas. Dengan perkataan Demikianlah siklus pendidikan seperti ini
lain, kemiskinan di pedesaan dengan jumlah berlangsung dari generasi ke generasi dengan
besar mengakibatkan arus urbanisasi dan akibat pewarisan kemiskinan antar generasi.
urbanisasi menghasilkan masalah sosial (social Dinamika kemiskinan yang pengaruhnya
problems) di perkotaan. timbal-balik dengan pendidikan ini berlangsung
Secara lebih rinci, uraian mengenai akibat juga di Indonesia.
kemiskinan terhadap aspek kehidupan lain ini Hal kedua, kemiskinan juga berakibat pada
menggunakan rujukan pendapat Farley (1987) perumahan. Menurut Farley, dibandingkan
dalam bukunya American Social Problems: An dengan warga-negara Amerika Serikat
Institutional Analysis. Digunakannya rujukan umumnya, orang-orang miskin di perkotaan
masalah sosial di Amerika Serikat, khususnya menempati rumah yang kurang layak huni
yang berkenaan dengan kemiskinan (poverty) dalam ukuran Amerika Serikat. Baik pada
PENGENTASAN KEMISKINAN 5

musim panas maupun musim dingin, mereka keamanan dan ketertiban―karena dianggap
tidak menggunakan pemanas ruangan (heater) penghuni liar―tinggal di lahan pemerintah atau
dan penyejuk ruangan (air-conditioner) karena swasta, di kolong jalan layang, dan di bantaran
mereka tidak mampu membayar tagihan kali.
rekening listrik. Akibatnya, kondisi rumah yang Keempat, kemiskinan juga berakibat
tidak mendukung kesehatan fisik ini adalah terhadap kriminalitas. Di satu pihak, penduduk
rendahnya tingkat kesehatan orang-orang miskin dapat menjadi korban kejahatan, seperti
miskin. Masalah ini berkenaan dengan dirampok atau diperas, karena mereka tidak
perumahan penduduk miskin adalah banyaknya cukup memiliki akses terhadap perlindungan
penghuni dalam satu rumah (overcrowded) wilayah yang mereka huni. Dalam hubungan ini
yang disebabkan oleh dua atau tiga keluarga Farley mengemukakan statistik nasional
tinggal dalam satu rumah, sehingga pembayaran kejahatan di Amerika saat itu yang
sewa rumah bisa ditanggung bersama. menunjukkan bahwa korban kejahatan dua kali
Di beberapa kota besar di Indonesia, kondisi lebih banyak dialami oleh orang miskin
perumahan orang-orang miskin seperti di daripada warga Amerika yang beruntung
Amerika pada waktu itu juga terjadi. Meskipun (advantage people). Di pihak lain, orang miskin
orang-orang miskin yang datang ke kota besar juga dapat menjadi pelaku kejahatan yang
ini tidak tinggal dalam satu rumah, namun secara umum disebabkan oleh terbatasnya
rumah petak yang mereka kontrak terletak di pendapatan mereka. Berbeda dengan kejahatan
gang atau lorong sempit yang gelap dikelilingi yang dilakukan oleh orang yang beruntung,
oleh tembok-tembok pertokoan bertingkat, kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini
sehingga sebenarnya tergolong pemukiman lebih mudah terungkap dan tertangkap
sangat padat. pelakunya. Hal ini disebabkan karena baik
Ketiga, masalah lain yang berkenaan juga jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya
dengan perumahan adalah orang miskin yang berlangsung di tempat-tempat umum
tidak memiliki tempat tinggal (homeless). (perampokan di toko, peredaran narkoba di
Orang miskin yang tidak memiliki rumah ini jalan umum, dan pekerja seks yang
tinggal di taman kota, pinggir jalan, tenda atau menawarkan diri di jalan umum). Sedangkan
tempat-tempat yang disediakan oleh lembaga pola kejahatan yang dilakukan oleh mereka
sosial dan gereja. Penyebab gejala homeless ini yang tergolong kerah-putih (white collar
adalah pengangguran, tidak memiliki keluarga crimes) sangat berbeda dengan pola kejahatan
yang bisa atau mau menampung dan merawat yang dilakukan oleh orang miskin, sehingga
mereka, dan dikeluarkannya pasien penyakit secara relatif lebih sulit terungkap.
jiwa dari rumah-sakit jiwa. Yang ironis, Demikianlah, menurut Farley (1987); intinya
menurut Farley, beberapa pemerintah kota adalah “poverty breeds crime”. Di Indonesia
justru mengeluarkan aturan yang melarang perbedaan pola kejahatan antara mereka yang
orang tidur di taman kota dan tempat-tempat berkerah putih dan orang miskin juga diduga
umum. sama dengan pola kejahatan Amerika di atas.
Di Indonesia kita dapati orang miskin atau Proses peradilan tindak kejahatan seperti
gelandangan yang digusur oleh petugas perampokan, penjambretan, dan pencurian
6 MARKUM

berlangsung lebih cepat (karena pembuktiannya dan mencemari sungai, pedagang kaki lima
mudah) dibandingkan dengan proses peradilan yang membuat tidak nyaman pejalan kaki dan
terhadap pelaku tindak kejahatan kerah-putih, kemacetan lalu lintas, merusak fasilitas kota,
seperti para koruptor. penjambretan, pengemis, dan lain-lain. Maka
Kelima, Farley juga mengemukakan akibat beralasan apabila masyarakat memandang
kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan orang miskin atau kemiskinan identik dengan
merujuk pada beberapa hasil penelitian, terbukti kotor, kumuh, malas, sulit diatur, tidak disiplin,
bahwa orang-orang yang berpenghasilan rendah sumber penyakit, kekacauan, bahkan kejahatan.
atau orang miskin merasa kurang bahagia (less Dengan perkataan lain, kaum miskin dan papa
happiness) dan bahkan mengalami gangguan ini adalah “sampah masyarakat”, sehingga
mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia, mereka tidak perlu dibantu peningkatan
dan gangguan kepribadian (Dohrenwend, 1971; kesejahteraannya karena pada diri kaum miskin
Warheit, Holzer, & Schwab, 1973, dalam ini sudah terinternalisasikan (internalized)
Farley, 1987). Penelitian lain juga menunjukkan “budaya-kemiskinan” yang sulit atau bahkan
rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di tidak mungkin diubah (malas, suka jalan pintas,
Amerika (Campbell, Converse, & Rogers, 1976, sulit diajak berubah, tidak menghargai waktu,
dalam Farley, 1987). Dengan demikian, dapat boros, dan berorientasi ke masa kini).
disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat Pandangan yang menyalahkan orang miskin
antara kemiskinan dengan gangguan mental. (blaming the poor) seperti dikemukakan di atas
Bagaimana hubungan antara kemiskinan ini diperkuat oleh pendapat seorang psikolog,
dan kesehatan jiwa di Indonesia? Penulis tidak Richard Hernstein, yang menulis buku The Bell
mempunyai pengetahuan untuk menjawab Curve: Intelligence and Class Structure in
pertanyaan ini. Namun, beberapa kasus American Life (1994), yang intinya
individual, seperti seorang siswa SMP yang mengemukakan taraf inteligensi (IQ) orang
bunuh-diri disebabkan oleh orangtuanya yang miskin (Levin, Iknis, Carroll, & Bourne, 2000).
tidak mampu bayar SPP dan seorang ibu yang Menurut Hernstein, taraf inteligensi individu
membunuh anak kandungnya sendiri, kuli akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
bangunan yang membunuh pembantu rumah- taraf sosial-ekonomi individu yang
tangga, serta anggota Satpam yang membunuh bersangkutan. Itulah sebabnya, menurut
penghuni rumah yang justru harus dijaganya, Hernstein yang kemudian didukung oleh
barangkali dapat dijadikan petunjuk mengenai seorang pengamat kebijakan publik bernama
adanya hubungan antara kemiskinan dengan Charles Murray, mengapa berbagai posisi tinggi
stres yang dialami mereka sebagai akibat di dunia kerja diduduki oleh individu dengan
tekanan ekonomi atau menanggung beban hidup kecerdasan tinggi. Maka menurut mereka
yang berat. berdua memang terdapat perbedaan taraf
kecerdasan antara orang miskin dan orang kaya
Cara Pandang Terhadap Kemiskinan yang dasarnya bawaan atau genetis (Hernstein
& Murray, 1994, dalam Levin et al., 2000).
Uraian mengenai kemiskinan atau orang
Para pakar ilmuwan sosial banyak yang
miskin terdahulu pada intinya menggambarkan
tidak menerima pendapat Hernstein dan Murray
sisi negatif orang miskin, seperti mempersempit
PENGENTASAN KEMISKINAN 7

ini. Argumentasi bahwa ada hubungan yang miskin dijadikan acuan oleh masyarakat untuk
kuat antara taraf inteligensi dan keberhasilan mengetahui posisi atau status sosial-ekonomi
inidvidu di bidang ekonomi dianggap lemah anggota masyarakat yang bersangkutan: sosial
(Fraser, 1995; Fisher et al., 1996; Jacoby & ekonomi tinggi, menengah, atau rendah, (d)
Glaubermaan, 1995, dalam Farley, 1987). orang miskin “menyediakan” pekerjaan bagi
Bahkan oleh Michel & Nunley, buku the Bell sejumlah posisi atau profesi yang ada; oleh
Curve dianggap sebagai fraud atau penipuan karena ada orang miskin, maka “terciptalah”
(1997, dalam Levin et al., 2000). Hal ini karena pekerjaan bagi lembaga swadaya masyarakat
buku tersebut merupakan upaya politik dari (LSM), institusi pemerintah, psikolog, sosiolog,
mereka (baca: orang kulit putih) yang kriminolog, dan lain-lain.
menduduki jabatan tinggi untuk menghentikan Diajukannya pendapat bahwa kemiskinan
atau mengakhiri affirmative action kaum bukan semata-mata disebabkan oleh faktor
miskin. individu―melainkan juga terdapat kontribusi
Dari uraian mengenai pandangan terhadap peran faktor struktur dan kultur masyarakat,
kemiskinan di atas dapat disimpulkan dua hal: serta adanya fungsi positif kaum miskin,
(a) terdapat pandangan yang menekankan dimaksudkan agar cara pandang terhadap
penyebab kemiskinan pada faktor individu kemiskinan menjadi utuh. Demikian pula,
(budaya-kemiskinan dan inteligensi), padahal kemiskinan harus dipandang bukan semata-
individu tidak dapat dipisahkan baik dari mata masalah ekonomi atau keterbatasan modal
struktur maupun kultur masyarakat, seperti dan rendahnya keterampilan orang miskin,
kesempatan yang tidak sama antara orang melainkan juga berkenaan dengan masalah
miskin dan orang kaya dalam hal memperoleh mentalitas orang miskin. Dengan memandang
akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, kemiskinan sebagai gejala yang utuh dan
serta (b) terdapat pandangan yang menekankan komprehensif, maka diharapkan program
sisi negatif dalam memahami orang miskin pengentasan kemiskinan akan lebih tepat
(malas, suka jalan-pintas, bodoh, dan lain-lain). sasaran.
Padahal, menurut Herbert Gans (1972, dalam
Levin et al., 2000), terdapat fungsi positif dari Pendekatan Psikologi Sosial
orang miskin atau kemiskinan, sebagai berikut:
Sebelum mengemukakan pendekatan
(a) orang miskin melakukan pekerjaan kotor
psikologi sosial dalam pengentasan kemiskinan,
(dirty works) dengan upah rendah, selain
terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian
pekerjaan yang mengandung bahaya, tidak
kemiskinan dan pengertian psikologi sosial.
bermartabat, dan tidak diminati oleh kelompok
Kebanyakan orang umumnya akan
masyarakat yang beruntung, misalnya, tukang
mengasosiasikan kemiskinan dengan
sampah, tukang gali jalan, kuli bangunan tinggi,
keterbatasan uang untuk memenuhi kebutuhan
dan tukang sapu jalan, (b) orang miskin
hidup sehari-hari atau kebutuhan dasar.
membeli atau menampung barang-barang bekas
Pengertian kemiskinan yang sifatnya pragmatis
yang tidak digunakan oleh orang kaya (koran
ini memang lazim digunakan. Oleh karenanya,
bekas, alat elektronik bekas, kipas angin, jam
konsekuensi selanjutnya adalah dibedakan
tangan, dan lain-lain/tukang loak), (c) orang
antara orang miskin yang benar-benar tidak
8 MARKUM

mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk psikologi sosial secara singkat.


bisa bertahan hidup (kemiskinan absolut), dan Manusia adalah mahluk sosial yang
orang miskin yang tidak mampu memenuhi kehidupannya tidak bisa lepas dari pengaruh
kebutuhan hidupnya karena tuntutan standar orang lain atau masyarakat. Kemampuan
hidup (yang tinggi) dari masyarakat yang berbicara dan berbahasa serta sopan-santun,
bersangkutan (kemiskinan relatif). Sebagai misalnya, diperoleh dalam keluarga. Demikian
contoh, orang miskin yang tinggal di Jakarta pula perilaku lainnya, apakah seseorang akan
tergolong kemiskinan relatif karena meskipun menjadi individu yang tumbuh dan berkembang
penghasilan orang miskin di Jakarta tergolong ke arah yang baik atau sebaliknya, ditentukan
“lumayan”, namun mereka sangat sulit bertahan atau “dibentuk” oleh lingkungan sosialnya.
hidup di Jakarta karena tuntutan biaya hidupnya Tentu saja manusia bukanlah mahluk pasif atau
yang tinggi. Seandainya ada orang miskin di semata-mata dikendalikan oleh dorongan
Jakarta yang penghasilannya “pas-pasan”, instingtif dan mengikuti kehendak lingkungan,
sehingga tidak mungkin bertahan hidup di melainkan manusia bisa secara aktif merancang,
Jakarta, maka mereka tergolong pada bahkan merubah dunianya.
kemiskinan absolut. Atas dasar ini ruang lingkup psikologi sosial
Barangkali, bila dibandingkan antara meliputi interaksi antara individu dengan
penduduk miskin perkotaan dengan penduduk individu, individu dengan kelompok, intra-
miskin pedesaan, umumnya penduduk miskin kelompok, dan antar-kelompok. Dalam
perkotaan tergolong kemiskinan relatif karena, psikologi sosial, individu diletakkan dalam
meskipun di satu pihak biaya hidup yang tinggi, konteks sosial. Atau, tingkahlaku individu
di perkotaan relatif tersedia lapangan kerja di bukan semata-mata ditentukan oleh individu,
sektor informal (tukang parkir, pedagang melainkan merupakan hasil interaksi antara
asongan, pedagang kaki-lima, dan buruh individu dan lingkungannya. Secara rinci
bangunan). Sedangkan kemiskinan di pedesaan psikologi sosial dirumuskan sebagai “the
tergolong kemiskinan absolut karena, meskipun scientific field that seeks to understand the
biaya hidup di pedesaan relatif rendah, namun nature and causes of individual behavior and
tidak tersedia lapangan kerja sebagai sumber thought in social situations” (Baron,
penghasilan. Meskipun kemiskinan dapat dibagi Branscombe, & Byrne, 2008: 6). Yang perlu
menjadi kemiskinan absolut dan relatif, namun digarisbawahi dari definisi di atas adalah upaya
dalam pembahasan pengentasan kemiskinan memahami tingkah laku dan pikiran individu
selanjutnya tidak secara spesifik dilakukan dalam situasi sosial. Artinya, individu akan
pemisahan atas dasar kemiskinan absolut dan berperilaku berbeda pada saat di ruang kuliah,
kemiskinan relatif. di jalanan umum, di lingkungan keluarga, dan
Selanjutnya, berikut ini dikemukakan di suatu resepsi pernikahan.
mengenai pendekatan psikologi sosial, Dihubungkan dengan upaya pengentasan
khususnya dalam kaitannya dengan upaya kemiskinan, pendekatan psikologi sosial
pengentasan kemiskinan. Sebelum diartikan sebagai bukan hanya melakukan
mengemukakan pendekatan psikologi sosial, intervensi atau perubahan mind-set individu
terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian orang miskin, melainkan melakukan juga
PENGENTASAN KEMISKINAN 9

Deprivation

Frustration

Dependency

Uncontrollability

Passivity

Helplessness

Depression

Gambar 1. Lingkaran kemiskinan

intervensi lingkungan yang meliputi faktor umum (kesehatan, air bersih, sanitasi,
kultural dan struktural (Levin et al., 2000). pendidikan, lembaga keuangan, dan lain-lain)
Dengan demikian, upaya pengentasan sangat terbatas, bahkan tertutup. Orang miskin
kemiskinan melalui pendekatan psikologi sosial juga tidak bisa mengendalikan nasibnya atau
meliputi tiga tingkatan: individual, kultural, dan hari depannya (uncontrollability) karena, selain
struktural. merupakan kelompok minoritas, juga posisi
tawarnya (bargaining power) lemah. Sebagai
Intervensi individual contoh, petani di pedesaan tidak bisa
menentukan harga beras sesuai dengan
Untuk melakukan intervensi tingkat kemauannya, sedangkan penjual pupuk atau
individual dari orang miskin terlebih dahulu sepeda motor dapat mendikte harga komoditi
perlu dipahami psikologi orang miskin mereka kepada petani sesuai dengan yang
(psychology of the poor). Sebagai acuan untuk mereka kehendaki.
memahami psikologi orang miskin digunakan Akibat dari kondisi orang miskin yang tidak
gagasan lingkaran kemiskinan (poverty cycle) bisa menguasai atau mengendalikan kondisi
dari Seligman (1975, dalam Ortigas, 2000) lingkungannya (tidak memiliki posisi tawar
(lihat Gambar 1). yang kuat, peraturan yang merugikan orang
Dilihat dari perspektif psikologi, orang miskin, dan harga kebutuhan pokok yang tidak
miskin adalah orang yang mengalami kondisi terjangkau), orang miskin menjadi tidak tahu
deprivasi (deprivation). Artinya, akses orang lagi apa yang harus dilakukan dan merasa tidak
miskin terhadap berbagai fasilitas layanan berdaya (helpless). Selanjutnya, kondisi ini
10 MARKUM

Gambar 2. Titik-titik intervensi dalam lingkaran kemiskinan

diikuti oleh sikap mereka yang pasif (passivity), reliance) tatkala orang miskin menghadapi
tidak acuh atau tidak peduli terhadap situasi yang sulit dan berat (lihat Gambar 2).
lingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya
orang miskin akan tetap berada dalam kondisi Intervensi Kultural
deprivasi.
Atas dasar pemahaman mengenai lingkaran Di samping melakukan intervensi pada
kemiskinan di atas, tentulah terdapat hal-hal tingkat individual, dalam pendekatan psikologi
yang harus dilakukan untuk merubah mind-set sosial, perlu juga ada upaya intervensi kultural.
orang miskin. Menurut Ortigas (2000), pada Hal ini karena pada orang atau kelompok yang
prinsipnya, lingkaran kemiskinan ini harus telah lama berada dalam kemiskinan atau
dihentikan atau tidak boleh terus berputar, yakni mengalami deprivasi akan terbentuk budaya-
dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin kemiskinan yang sering diturunkan dari
sebelum terjadi perpindahan ke kondisi lebih generasi ke generasi. Budaya kemiskinan
lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini digambarkan sebagai tidak adanya perencanaan
dimaksudkan agar orang miskin tidak hidup dan tidak dapat menunda kesenangan,
terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan sehingga mereka tidak memiliki tabungan atau
untuk itu mereka diyakinkan mempunyai membuat anak mereka yang sekolah tidak bisa
kemampuan atau keterampilan tertentu (self- menyelesaikan sekolahnya (drop-out). Maka
efficacy) yang selanjutnya akan tumbuh harga- wajar apabila mereka miskin, karena mereka
dirinya (self-esteem). Dengan dimilikinya sendiri lah yang menciptakan kemiskinan untuk
keyakinan mampu melakukan sesuatu dan harga dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang
diri, diharapkan orang miskin akan menjadi miskin sendiri lah yang telah menggali lubang
tahan banting dan dapat bangkit kembali (self- kubur kemiskinan untuk diri mereka sendiri.
PENGENTASAN KEMISKINAN 11

Persoalannya sekarang adalah bagaimana keuntungan dengan mengeksploitasi buruh.


merubah kultur kemiskinan. Mengingat pemilik Akibatnya, menurut Karl Marx, para kapitalis
kultur kemiskinan adalah kaum miskin dengan secara ekonomis surplus besar, namun di lain
status sosial-ekonomi rendah, maka kultur pihak jurang ketidakadilan (inequality) semakin
mereka harus diubah dengan kultur kelompok lebar.
sosial-ekonomi menengah yang lebih Yang penting adalah mencari intervensi
bermartabat, agar mereka keluar dari kultur struktural yang dapat dilakukan. Bila kita
kemiskinan. Dalam hubungan ini, program cermati kondisi Indonesia, maka secara
penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) tidak struktural ekonomi Indonesia memang makin
dapat dijadikan program jangka panjang karena berorientasi kapitalistik. Hal ini terlihat dari
justru akan berakibat memantapkan kultur berdirinya berbagai super-market yang
kemiskinan. Program BLT hendaknya mematikan pasar tradisional, perumahan dan
dipandang sebagai “obat sakit kepala” yang apartemen mewah, serta sarana hiburan dengan
hanya sesaat menghilangkan sindrom sakit harga tiket yang sulit dijangkau, dan lain-lain.
(Muluk, 2009). Sebaliknya, upaya Meskipun pemerintah telah membangun
menumbuhkan self-efficacy, self reliance, dan apartemen bersubsidi, namun biayanya tetap
kemandirian melalui program empowerment, tidak terjangkau oleh kelompok sosial-ekonomi
harus dijadikan prioritas dalam upaya menengah. Dengan demikian, intervensi
pengentasan kemiskinan. pengentasan kemiskinan harus secara struktural
(baca: political will), yakni dengan
Intervensi Struktural memprioritaskan dibukanya akses orang miskin
terhadap pendidikan, kesehatan, listrik,
Intervensi struktural perlu dilakukan dengan perumahan, air bersih, dan program welfare
asumsi bahwa kemiskinan bukan disebabkan lainnya. Contoh intervensi struktural yang patut
oleh karakteristik orang miskin sebagaimana dibanggakan karena tidak menimbulkan konflik
dikemukakan terdahulu (malas, suka jalan antara Pemda Solo dan para PKL adalah upaya
pintas, gaya hidup boros, dan lain-lain), walikota Solo dalam merelokasi PKL ke pasar
melainkan disebabkan oleh struktur masyarakat yang dibangun oleh Pemda Solo.
yang menghasilkan kondisi bahwa yang kaya
makin kaya dan yang miskin makin terpuruk. Kesimpulan dan Saran
Yang paling terpukul oleh kenaikan harga BBM
Masalah kemiskinan merupakan masalah
adalah kelompok lapisan ekonomi rendah,
besar bagi Indonesia yang jumlah penduduk
sementara para pemilik pompa bensin dan
miskinnya mencapai lebih kurang 35 juta atau
kelompok lapisan atas tertentu mengeruk
kira-kira 15% dari jumlah seluruh penduduk
keuntungan atau setidak-tidaknya tidak
Indonesia. Melihat hasil pengentasan
merasakan dampaknya.
kemiskinan selama ini yang tidak bermakna,
Dilihat dari segi sejarah, akar kemiskinan
timbul pertanyaan: Dapatkah Indonesia
menurut Karl Marx, disebabkan oleh
mengurangi angka kemiskinan dalam kurun
penguasaan alat produksi oleh pemilik modal
waktu enam tahun ke depan sesuai dengan
atau kapitalis. Para kapitalis ini memaksimalkan
sasaran MDGs?
12 MARKUM

Untuk menjawab pertanyaan tersebut de Manila University Press.


tidaklah mudah. Namun bagaimanapun, perlu Somantri, G. R. (2007). Beyond “delusion of
ada langkah awal yang nyata yang tidak grandeur”: Menuju Indonesia baru
berpretensi menyelesaikannya secara tuntas dan “bebas” kemiskinan. Pidato Pengukuhan
segera, melainkan berprinsip “piece-meal Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Sosiologi
problem solving” (Somantri, 2007). Perkotaan. Depok: Lembaga Penerbitan FE
Tulisan ini mengajak para pemangku UI.
kepentingan untuk memandang kemiskinan Understanding poverty. (2009). Ditemukembali
sebagai fenomen yang utuh yang memerlukan pada 6 April 2009, dari
pendekatan pada tingkat individual, kultural, http://go.worldbank.org/RQBDCTUXW0
dan struktural. Pendekatan psikologi sosial
dalam hal ini dapat melakukan intervensi baik
individu, kultur, maupun struktur yang menjadi
penyebab kemiskinan.

Bibliografi
Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D.
(2008), Social psychology. Boston: Pearson
Education Inc.
Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian
MDGs dan prioritas pembangunan ekonomi
Indonesia. Depok: Panitia Lokakarya
Dewan Guru Besar Universitas Indonesia.
Farley, J.E. (1987). American social problems:
An institutional analysis. New Jersey:
Prentice Hall.
Kemiskinan bertambah. (2009, 13 Februari).
Kompas, 1 & 15.
Kusumaatmadja, S. (Ed.). (2007). Politik dan
kemiskinan. Depok: Koekoesan.
Levin, J., Iknis, K. M., Carroll, W. F., &
Bourne, R. (2000). Social problems.
Causes, consequences, interventions. Los
Angeles, California: Roxbury Publishing
Company.
Muluk, H. (2009). Mosaik psikologi politik
Indonesia. Depok: Insos Books
Ortigas, C. D. (2000). Poverty revisited. A
social psychological approach to
community empowerment. Manila: Ateneo
PENGENTASAN KEMISKINAN 13
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 13–28

Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal


sebagai Sebuah Ilmu Psikologis

Juneman
Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah D.K.I. Jakarta

Psychology contributes to criminal profiling process. Unfortunately, after


intensive review on latest research findings, it is detected that most
criminal profiling process is not based on strong scientific assumptions.
This article explains the reasons why criminal profiling is quite a problem
for psychology as a science. The author proposes several ideas to
overcome this problem. The first idea is about the accurate understanding
of criminal profiling scientific status. The science-pseudoscience-non
science dichotomy and protoscience-science spectrum will support this
understanding. The second idea is that there are some things to be
considered for criminal profiling in order to be a prestigious discipline and
be used scientifically appropriate by scientists and practitioners of forensic
psychology and criminology.

Keywords: criminal profiling, crime action profiling, offender profiling,


crime scene, forensic psychology, signature behavior, pseudoscience,
protoscience, noumena, organized/disorganized behavior, computerized
criminal profiling

Sejak awal Maret 2009, media massa di kampusnya. NTU. Seperti dipublikasikan
Indonesia ramai memberitakan kasus kematian media Singapura dan banyak dikutip media di
David Hartanto Widjaja beserta perkembangan dalam negeri pula, menyebut, sebelum
penanganannya oleh Kepolisian dan Peradilan melompat, David yang sedang tertekan
kejiwaaan akibat beasiswanya dihentikan,
Singapura, antara lain Kompas.com (”Penyebab
menyayat pergelangan tangan sendiri, setelah
tewasnya,” 2009), sebagai berikut:
menikam dosen pembimbing tugas akhirnya
di Jurusan Teknik Elektro NTU, Prof Chan, di
.... David Hartanto Widjaja, mahasiswa asal
satu ruangan lantai V. Namun, beberapa rekan
Jakarta, Senin (2/3), ditemukan tewas dalam
David secara terbuka di beberapa milis
posisi tertelungkup di antara rumput dan beton
menyatakan, pernyataan NTU itu adalah
tempat jalan kaki pada selasar NTU (Nanyang
janggal antara lain karena David mereka kenal
Technological University). Kematian mantan
periang, bukan tipe orang yang mudah dilanda
duta Indonesia untuk olimpiade matematika
stres. Mereka mengharapkan aparat penegak
menimbulkan kontroversi, menyusul
hukum di Singapura benar-benar menyelidik
pernyataan segera dari NTU bahwa dia bunuh
kasus tersebut sebab bukan tidak mungkin
diri dengan meloncat dari lantai IV di
David adalah korban, bukan pelaku kriminal

13
14 JUNEMAN

apalagi kemudian bunuh diri .... mungkin masih banyak pertanyaan lainnya.
Sampai dengan waktu artikel ini ditulis,
Di samping itu, pada sebuah forum online sejumlah pertanyaan tersebut belum juga
yang memperbincangkan kasus ini pada The terjawab dan kasusnya masih diproses oleh
Strait Times Discussion Board, seorang peserta aparat hukum di Singapura. Namun, hal yang
diskusi dengan nickname shunhua09, menulis dilakukan oleh shunhua09 merupakan
(”Student stabs,” 2009), sebagai berikut: representasi dari upaya intuitif manusia untuk
mengkonstruksi ”teori-teori” kausal mengenai
.... Well, if I were to have my way and perilaku manusia. Upaya tersebut dinamai oleh
conclude what I believe happened. I would Fritz Heider (1958) sebagai naïve psychology.
say: During the routine discussion, the Prof Menurut Heider, setiap orang adalah ”psikolog
told David that he isn't making good progress
yang naif”.
with his FYP. Coupled with the fact that he
Tulisan ini tidak hendak menganalisis kasus
got his scholarship revoked before that, in a
David Hartanto dengan teori psikologi naif
fit of anger and displeasure, David could have
threatened Prof. I believe this action, IS NOT maupun dengan teori-teori atribusi kausal dari
PRE-MEDIATED and NOT PRE-PLANNED. psikologi sosial, melainkan akan mengkaji
In that case, David did so in a moment of secara kritis keilmiahan sebuah disiplin dalam
anxiety. Hence, justifying the fact that he psikologi forensik yang paling mungkin
could have been calmed the day before and mendiskusikan dan menemukan jawab atas
was his usual self, until the Prof talked to him, sejumlah pertanyaan di atas―yakni: pemrofilan
of which, the contents of the conversation kriminal. Hal ini menjadi semakin penting
might have triggered such a response. In the karena banyak kasus―utamanya kasus-kasus
ensuing struggle that followed, both parties
kriminal―yang menampakkan urgensi untuk
were injure. (Note: I believe its a struggle that
menggunakan disiplin ini, khususnya di
cause the injuries of both parties, and NOT a
Kepolisian, dalam rangka menyelesaikan kasus-
planned offensive by David.) Seeing the
damage done, I believe David hurriedly left kasus tersebut.
the scene entirely due to fear, and not a
planned escape. He stumbled and climbed Apakah Pemrofilan Kriminal Itu?
over the ledge onto the bridge and sat down,
Pemrofilan kriminal (criminal profiling)
probably because he thought it was safe there.
However, due to loss of blood and his panic
merupakan pekerjaan menyimpulkan rincian
state, he fell off the bridge. That is what I ciri-ciri fisik (tinggi dan berat badan, cacat rupa,
believe.... dan sebagainya), demografis (usia, jenis
kelamin, latar belakang etnis, dan sebagainya),
Dari seluruh cuplikan di atas, diketahui dan keperilakuan (kepribadian, termasuk
adanya sejumlah pertanyaan yang hendak motivasi, gaya hidup, fantasi, proses seleksi
dijawab, seperti: (a) apakah David bunuh diri? korban, serta perilaku sebelum dan prediksi
(Bila ya/tidak, mengapakah? Bagaimanakah?), perilaku sesudah tindak kejahatan) dari
(b) apakah David membunuh profesornya?, (c) kemungkinan pelaku kejahatan berdasarkan
apakah David dibunuh oleh profesornya?, (d) aksi-aksinya pada scene kejahatan (O'Toole,
apakah David mengalami kecelakaan?, dan 1999; Snook, Gendreau, Bennell, & Taylor,
PEMROFILAN KRIMINAL 15

2008). Scene kejahatan meliputi tempat-tempat hakikatnya adalah seorang yang bekerja sebagai
potensial sejauh bukti dari sebuah tindak “peneliti kualitatif”.
kriminal–misalnya, penculikan–dapat Turvey (2008) membedakan antara
ditemukan, yang terdiri dari scene kejahatan pemrofilan kriminal induktif dan deduktif.
primer dan sekunder (Horswell, 2004). Scene Pemrofilan kriminal induktif mencakup
kejahatan primer adalah wilayah, tempat, atau generalisasi berdasarkan sejumlah kecil
sesuatu di mana insiden terjadi atau di mana individu atau peristiwa dan/atau penalaran
sebagian besar atau konsentrasi yang tinggi dari statistik (pererataan, ekstrapolasi, korelasi, dan
bukti-bukti kejahatan ditemukan (misalnya, sebagainya). Metode ini memiliki kelemahan
tempat terjadinya penculikan). Scene kejahatan karena—berlawanan dengan asumsi statistik—
sekunder adalah tempat-tempat atau benda- tidak ada dua kasus yang persis sama; pelaku
benda di mana bukti-bukti yang berkaitan kriminal berpikir secara berbeda dari
dengan insiden dapat ditemukan (misalnya, alat kebanyakan orang, pun perilaku memiliki
transportasi dan rute akses yang digunakan makna-makna yang berbeda antar-kultur dan
pelaku kejahatan untuk membawa korban wilayah. Dalam metode deduktif, pemrofil
penculikan ke lokasi lain). Data scene kejahatan menghasilkan sebuah profil berdasarkan
dapat juga diambil dari foto-foto, laporan- eksaminasi forensik serta rekonstruksi
laporan penyelidik, hasil otopsi, dan keperilakuan yang hati-hati terhadap scene
sebagainya, yang akan menyusun suatu profil kejahatan. Dalam hal ini, penekanannya antara
kriminal (criminal profile)―termasuk karier lain pada pengetahuan-diri pemrofil
kriminal (criminal career)―dari pelaku (pengatasan bias transferensi) dan kemampuan
kejahatan. berpikir kritis pemrofil, beserta kemampuan
Keseluruhan proses pemrofilan kriminal pemrofil untuk memahami kebutuhan-
mirip dengan proses pengumpulan data dalam kebutuhan yang sedang dipuaskan oleh setiap
penelitian kualitatif yang dikemukakan perilaku dari pelaku kejahatan serta pola-pola
Koentjoro (2008). Menurutnya, ada empat jenis pelaku kejahatan. Kategorisasi Turvey di atas
sumber data penelitian kualitatif, yakni subjek, memiliki kesepadanan dengan orientasi statistik
informan, written documents dan unwritten dan orientasi klinis yang dirangkum oleh
documents. Dalam prosesnya, penggalian Snook, Cullen, Bennell, Taylor, dan Gendreau
data/informasi dalam penelitian kualitatif (2008) berdasarkan sejumlah kajian
diibaratkan sebagai sebuah simfoni (Koentjoro, kepustakaan. Dalam pemrofilan kriminal yang
2008). Dalam hal ini, potongan atau penggalan berorientasi statistik, pemrofil melakukan
data yang diperoleh peneliti kualitatif ibarat penilaian berdasarkan analisisnya terhadap para
bunyi biola atau bus atau drum yang ketika pelaku kejahatan yang sebelumnya telah lebih
dibunyikan mungkin tidak memiliki makna dahulu melakukan tindakan kriminal; dalam hal
apapun; namun apabila “bunyi-bunyian” ini mereka dibandingkan keserupaannya dengan
tersebut dirangkaikan dengan data yang lain, pelaku kejahatan yang sedang diinvestigasi saat
barulah mereka mempunyai makna. Jadi, dapat ini. Dalam orientasi klinis, pemrofil mengambil
disimpulkan bahwa pelaku pemrofilan kriminal inspirasi/gagasan pemrofilan dari pelatihan,
atau pemrofil (criminal profiler) pada pengetahuan, dan pengalaman yang
16 JUNEMAN

dimilikinya. Psychological Association dalam rangka


Proses-proses dan istilah-istilah spesifik pengakuan profesi Psikologi Kepolisian,
yang berkaitan dengan pemrofilan kriminal pemrofilan kriminal telah diusulkan dalam
sangat bergantung pada latar belakang profesi domain ”operational support” dari kompetensi
dan pelatihan dari pemrofil (Snook, Gendreau, utama psikologi kepolisian (”Petition for,”
et al., 2008). Dalam lingkup psikologi forensik, 2008).
misalnya, digunakan istilah-istilah antara lain, Dimulainya rangkaian kuliah BAU FBI
sebagai berikut: psychological profiling, dengan subjek psikologi dan diusulkannya
offender profiling, criminal personality pemrofilan kriminal sebagai salah satu
profiling (Webb, 2006). Istilah-istilah tersebut kompetensi khas psikologi kepolisian di atas
secara umum menggambarkan bahwa pemrofil tidak mengherankan, karena, seperti dinyatakan
(criminal profiler) meneliti kandungan Turvey (2008: 125), bahwa aspek signifikan
”psikopatologi” yang terkandung pada scene dari pemrofilan kriminal adalah pengetahuan
kejahatan—yang terdiri atas indikator-indikator mengenai perilaku manusia dan keahlian untuk
keperilakuan dan psikologis sebagai hasil dari menginterpretasikan makna-makna dari
interaksi fisik, seksual, dan verbal antara pelaku perilaku tersebut; sementara itu, ahli-ahli
dan korbannya, dalam hal mana indikator- psikologi dan psikiatri forensik memiliki
indikator ini menyusun sebuah ”cerita” yang pemahaman dan pelatihan yang khas dalam
“ditulis” oleh pelaku, korban dan interaksi proses-proses mental, fisiologi, perilaku
uniknya (O'Toole, 1999). manusia, dan psikopatologi. Psikologi
lingkungan juga berperan, sebagaimana
Kontribusi Psikologi ditunjukkan David Canter (2003)—seorang
teoris psikologi tempat (psychology of place),
Pemrofilan kriminal dalam lingkup kerja
dalam bukunya, ”Mapping Murder: The Secrets
FBI (Federal Bureau of Investigation) di
of Geographical Profiling”. Canter
Amerika Serikat termasuk dalam unit kerja
menunjukkan relasi antara psikologi lingkungan
Behavioral Analysis Unit (BAU), dalam mana
dengan kejahatan, antara lain dengan
agen-agen yang terseleksi mengikuti kuliah-
memperlihatkan secara rinci bagaimana ruang
kuliah yang dimulai dari kuliah mengenai
dan waktu berkaitan dengan aktivitas kriminal.
psikologi dan selanjutnya kuliah-kuliah spesifik
Selain alasan-alasan di atas, kompetensi
(Hits dalam Ramsland, 2008), dengan urutan
psikologis juga diperlukan untuk
sebagai berikut: Basic Psychology, Criminal
menyimpulkan signature behavior yang
Psychology, Forensic Science, Body Recovery,
dibedakan dari modus operandi pelaku
Criminal Investigative Analysis, Death
kejahatan. Modus operandi mengindikasikan
Investigation, Threat Assessment,
pendidikan dan pelatihan teknis yang dimiliki
Statement/document Analysis, Crimes Against
pelaku kejahatan serta tingkat pengalaman
Children, Child Abduction and Homicide,
pelaku kejahatan dalam melakukan tindak
Sexual Victimization of Children / Internet
kriminal dan dalam menghadapi sistem
Issues, Interview and Interrogation Procedures,
peradilan; namun signature behaviors
Serial Murder. Sejak setahun yang lalu, dalam
merupakan setiap tindakan yang dilakukan
sebuah petisi yang diajukan kepada American
PEMROFILAN KRIMINAL 17

pelaku kejahatan yang tidak harus menjadi tidak bersifat dikotomis (organized atau
syarat perlu bagi sebuah tindak kriminal, namun disorganized). Perilaku terorganisasi/terencana
menyatakan kebutuhan psikologis atau —seperti pemosisian atau penyembunyian
emosional pelakunya (seperti: rasa tamak, balas tubuh korban—merupakan ”variabel-variabel
dendam, rasa marah, mencari untung, ingin inti” (core variables) yang cenderung muncul
berbuat sadis atau perilaku tak wajar lainnya, dalam kebanyakan kasus dan berada bersama
hasrat berkuasa, dan sebagainya) (Rogers, 2003; dengan variabel-variabel lainnya. Namun, yang
Turvey, 2008). Dalam ilmu forensik komputer, membedakan antara pembunuh yang satu
contoh modus operandi adalah menjalankan dengan yang lainnya bukanlah jenis-jenis
skrip milik orang lain atau memprogram skrip perilaku disorganisasi/tak terencana-nya,
sendiri yang digunakan untuk menyerang atau melainkan cara pelaku berinteraksi dengan
merusak sebuah komputer; sedangkan signature korbannya yang terbagi menjadi kategori-
behavior lebih terpersonalisasi, seperti kategori: melalui kontrol seksual, melalui
menandai files atau kode program dengan nama mutilasi, eksekusi, atau perampasan. Dalam
julukan (nickname)-nya sendiri (Rogers, 2003). studi yang lain, Canter et al. (dalam Winerman,
Oleh karena hal-hal tersebut, profesi 2004), mengumpulkan data scene kejahatan dari
kesehatan mental seperti ahli psikologi dapat 112 kasus perkosaan. Mereka menemukan
bekerja dengan baik dalam proses-proses bahwa hal yang membedakan satu pemerkosa
pemrofilan kriminal sejauh mereka telah dengan pemerkosa lain bukanlah jenis-jenis
memperoleh pula pendidikan yang terkait pencabulan seksual dan penyerangan fisik
dengan investigasi dan ilmu-ilmu forensik (dengan demikian, hal-hal ini tergolong
(Turvey, 2008), demikian pula ahli forensik variabel-variabel inti), melainkan interaksi-
atau pun kriminolog yang telah memperoleh interaksi yang bersifat nonfisik (misalnya,
pendidikan psikologi. Terdapat dua sumbangan apakah pelaku mencuri dari korban, meminta
besar psikologi dalam penelitian pemrofilan maaf kepada korban, dan sebagainya). Canter
kriminal, sebagai berikut (Winerman, 2004): memberikan porsi peran yang tidak signifikan
Pertama, offender profiling, merupakan kepada ”pengalaman investigatif”, yakni
salah satu bentuk dari psikologi investigatif pengalaman yang dikembangkan oleh agen-
yang berasal dari karya-karya seorang ahli agen penegak hukum dalam melakukan
psikologi terapan David Canter, pendiri offender profiling. Menurutnya, para psikolog
psikologi investigatif pada awal 1990-an. seyogianya mengumpulkan data dari dasar
Seluruh penyimpulan dalam pemrofilan ini (grounded theory).
berbasiskan penelitian empiris (atau ”psikologi Kedua, crime action profiling, yang
akademis”) dan ditimbang oleh rekan sejawat berbasiskan pengetahuan yang dikembangkan
(peer-reviewed). Sebagai contoh, Canter et al. oleh para psikolog forensik, psikiater, dan
(dalam Winerman, 2004) pernah menganalisis kriminolog berdasarkan sejumlah besar studi
data scene kejahatan dari 100 pembunuhan terhadap pelaku pembunuhan serial, pemerkosa,
beruntun yang mengindikasikan bahwa seluruh dan pelaku pembakaran. Model-model yang
pembunuhan menunjukkan derajat organisasi digunakan sebagai panduan bagi pemrofilan
perilaku tertentu, atau dengan perkataan lain: terhadap aksi kriminal, menurut Kocsis
18 JUNEMAN

(Winerman, 2004) serupa dengan wawancara mengingatkan bahwa pemrofilan kriminal telah
terstruktur yang digunakan oleh para psikolog terjebak dalam praktek pseudoscientific, dalam
klinis untuk membuat diagnosis klinis. Dalam hal mana, meskipun penggunaannya didukung
hal ini, pertanyaan-pertanyaan yang perlu oleh petugas kepolisian dan profesi kesehatan
dikembangkan dalam rangka eksaminasi mental, proses yang dijalani dan hasil yang
sistematis sebelum membangun prinsip-prinsip diperoleh merupakan ”ilusi” belaka. Bila hal ini
pemrofilan, antara lain, sebagai berikut (Kocsis benar, maka status ilmiah pemrofilan kriminal
dalam Winerman, 2004): ”Jenis informasi dapat disejajarkan dengan pseudosciece dan
seperti apa yang dikandung, atau seyogianya praktek pseudoscientific lainnya, seperti
dikandung, oleh sebuah profil? Jenis material palmistri dan astrologi (Sarwono, 2000), senam
kasus apa yang Anda perlukan untuk otak/brain gym (Goldacre, 2006), The Doman-
mengonstruksi sebuah profil? Bagaimana Delacato Patterning Treatment for Brain
keberadaan atau ketidakberadaan material Damage (National Council Against Health
mempengaruhi akurasi sebuah profil?” Fraud, 2001), terapi EMDR/Eye Movement
Selanjutnya, menurut Kocsis (2006), profil Desensitization and Reprocessing (Carrol,
kriminal yang dihasilkan oleh pemrofilan 2009; Cuvelier, 2001), Craniosacral Therapy
kriminal dapat dibedakan dengan profil (Hartman, & Norton, 2002), Thought Field
kepribadian (personality profile) atau profil Therapy (TFT)/Emotional Freedom Technique
psikologis (psychological profile). Kocsis (EFT) (Barrett, 2003), analisis sidik jari
menegaskan bahwa—berkebalikan dengan (fingerprint analysis) (Sherrer, 2004), dan
pemrofilan kepribadian atau pemrofilan sebagainya.
psikologis yang seringkali melibatkan evaluasi Batasan ilmu semu (pseudoscience)
dan diagnosis terhadap pasien kriminal menurut Sarwono (2000) sebagai berikut:
(criminal patient)—pemrofilan kriminal tidak
melakukan eksaminasi atau pemeriksaan ... ada pula sarjana-sarjana yang mengajukan
terhadap pasien kriminal melainkan terhadap teori-teori mengenai psikologi yang
aksi kriminal itu sendiri, yang kemudian sesungguhnya tidak didasarkan pada metode-
dianalisis dan diinterpretasikan bukti metode yang benar-benar ilmiah. Yang
mereka lakukan adalah menyusun
keperilakuannya guna menghasilkan gambaran
pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dan
individu yang diduga melakukan perilaku
bisa dikumpulkan mengenai gejala-gejala
tersebut. Dalam kaitan dengan ini, Cook dan
kejiwaan dan mensistematiskan pengetahuan-
Hinman (1999) menjelaskan bahwa, ”Specific pengetahuan itu. Karena pengetahuan-
suspects, who have already been identified, are pengetahuan itu sudah tersusun secara
not profiled .... The focus of the analysis or sistematis, maka tampaknya seperti sudah
profile is the behavior of the perpetrator or ilmiah, padahal tidak ada yang bisa dibuktikan
perpetrators within the crime scene.” secara empiris metodologis. Karena itu
mereka digolongkan sebagai orang-orang
yang menggunakan ilmu semu untuk
Pseudo- atau Protoscience?
menerangkan gejala kejiwaan.
Sekalipun di dunia cukup populer
aplikasinya, Snook, Cullen, et al. (2008)
PEMROFILAN KRIMINAL 19

Gambar 1. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi


(Kontur-kontur menunjukkan frekuensi keseluruhan).

Lilenfeld (dalam Cuvelier, 2001) & Ormerod, 2002; Canter, Alison, Alison, &
menjelaskan, ”You can usually tell [what Wentink, 2004; Gladwell, 2007; Snook, Cullen,
pseudoscience is] because there's a lot of et al., 2008).
marketing around these treatments, but there's Gladwell (2007) menggambarkan tipologi
no controlled evidence. Support consists of perilaku kriminal dikotomis
almost all anecdotes and personal testimony”. organized/disorganized yang dihubungkan
Sejumlah argumen yang dikemukakan oleh dengan kepribadian pelakunya, sebagai berikut:
pihak-pihak yang melihat pemrofilan kriminal
sebagai pseudoscience bersesuaian dengan Dalam sebuah tindak kriminal yang
batasan Sarwono dan Lilenfeld di atas, sebagai ‘terorganisasi’ (organized), kejahatan
berikut: dilakukan secara logis dan terencana. Korban
Pertama dan utamanya, terdapat kelemahan telah diburu (hunted) dan dipilih, guna
memenuhi fantasi spesifik tertentu... Pelaku
empiris metodologis dalam tipologi perilaku
mengontrol seluruh proses kejahatan ....
kriminal organized/disorganized yang sampai
hampir tidak pernah meninggalkan
dengan saat ini digunakan secara luas dalam
senjatanya. Ia dengan sangat teliti
pemrofilan kriminal (Alison, Bennell, Mokros,
20 JUNEMAN

Gambar 2. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi yang
menunjukkan empat gaya interaksi pelaku kejahatan dengan korban (Kontur-kontur menunjukkan
frekuensi keseluruhan).

menyembunyikan tubuh korban. Dalam tindak seorang yang inteligen dan fasih, memiliki
kriminal yang ‘tidak terorganisasi’ perasaan superior terhadap orang-orang di
(disorganized), korban tidak dipilih secara sekelilingnya. Sedangkan, perilaku kejahatan
logis. Korban nampaknya dipilih secara acak yang tak terorganisasi dilakukan oleh seorang
dan ‘diserang secara kilat’ (blitz-attacked), yang tidak menarik (unattractive) dan
dan bukan diburu secara diam-diam dan memiliki citra diri yang buruk.
diserang (stalked and coerced)…. Tindakan
kriminal dilaksanakan dengan sangat tidak Melengkapi gagasan di atas, Douglas,
rapi. Korban seringkali memiliki kesempatan Burgess, Burgess, dan Ressler (1992)
melawan balik…. Lebih dari itu, pelaku menjelaskan:
kejahatan tidak mengetahui atau berminat
akan kepribadian dari korban mereka….
Secara umum pelaku kejahatan terorganisasi
Masing-masing gaya ini
diduga melakukan tindak kejahatan setelah
[organized/disorganized] berkorespondensi
mengalami beberapa peristiwa urgen yang
dengan sebuah tipe kepribadian. Perilaku
penuh stres, seperti masalah finansial,
kejahatan yang terorganisasi dilakukan oleh
PEMROFILAN KRIMINAL 21

masalah relasi antarmanusia, atau masalah gaya transaksional pelaku kejahatan dengan
pekerjaan.... Scene kejahatannya korban (lihat Gambar 2)—yang nampak
mencerminkan sebuah pendekatan yang ”inkonsisten” satu dengan yang lain; misalnya,
metodis dan teratur. Hal ini dipandang sebagai perilaku yang tak disorgnasasi di satu pihak
konsekuensi dari pelaku kejahatan yang
dapat merupakan perilaku yang melibatkan
memiliki keterampilan sosial dan dalam
mutilasi dan pengotoran (defilement) tubuh
menangnai situasi-situasi interpersonal.
korban, namun, di lain pihak dapat pula
Pelaku kejahatan yang terorganisasi, dengan
demikian, lebih mungkin menggunakan merupakan perilaku yang menekankan
pendekatan verbal terhadap korban sebelum perampokan (ransacking) dan perampasan
melakukan kekerasan .... Sebaliknya, pelaku (plundering) barang-barang kepunyaan korban.
kejahatan yang tak terorganisasi melakukan Selanjutnya, dalam banyak hasil penelitian,
kejahatannya secara oportunistik. Ia tinggal prediktor-prediktor perilaku kriminal yang
dalam jarak yang dekat dengan scene sudah diakui secara luas dan kuat (misalnya,
kejahatan. Gaya penyerangannya spontan dan sikap dan kognisi antisosial) ternyata tidak
scene kejahatannya berada dalam situasi berkaitan samasekali dengan jenis-jenis variabel
kaotik. Hal ini mencerminkan
yang selama ini difokuskan oleh pemrofil,
ketidakmampuan sosial dan ketidakterampilan
seperti perilaku pada scene kejahatan–apakah
interpersonal pelakunya.
terorganisasi, tak teroganisasi, atau campuran–
dan demografi pelaku kejahatan (Snook, Cullen,
Pendekatan tipologis dikotomis seperti di
et al., 2008).
atas telah dikritik sebagai psikologi yang
Hal kedua yang menyebabkan orang
menyederhanakan (simplistic psychology) oleh
mencurigai pemrofilan kriminal sebagai
Gladwell (2007). Alison et al. (2002) menyebut
pseudoscience adalah karena keberhasilan
pendekatan tersebut sebagai naïve trait
pemrofil kriminal dalam membuat prediksi
approach yang telah mengabaikan prinsip
yang akurat mengenai pelaku kejahatan boleh
Person x Situasi sebagai faktor-faktor interaktif
jadi tidak berbasiskan pengetahuan spesialistik
dalam mempengaruhi suatu tindak kejahatan.
mengenai kekhasan dan keunikan
Lagipula, Canter et al. (2004) telah
(idiosyncrasies) yang terdapat pada scene
menunjukkan melalui riset mereka terhadap
kejahatan yang tengah dihadapi pemrofil
arsip 100 kasus pembunuhan seksual
(Snook, Cullen, et al., 2008). Dengan perkataan
serial―yakni pembunuhan yang melibatkan
lain, dalam penelitian terkendali (controlled
aktivitas seksual sebagai basis dari rangkaian
research), tidak dijumpai perbedaan yang
aksi yang membawa pada kematian korban―di
signifikan antara kemampuan memprediksi
Pusat Psikologi Investigatif, Amerika Serikat,
antara pemrofil profesional dan yang bukan
bahwa tidak terdapat suatu pola yang bersifat
pemrofil. Polisi yang memiliki pengetahuan
distingtif antara perilaku terorganisasi dan
yang baik dalam hal kriminologi dapat pula
perilaku tak terorganisasi. Yang banyak terjadi
mencapai tingkat keberhasilan pemrofilan
(Canter et al., 2004) adalah koeksistensi kedua
kriminal semata-mata dengan mengandalkan
jenis perilaku tersebut (lihat Gambar 1), dan
informasi minimum standar (base rate).
bahwa perilaku terorganisasi dan tak
Berdasarkan analisis kritisnya, Snook,
terorganisasi dapat terjadi dalam banyak varian
22 JUNEMAN

Cullen, et al. (2008) menyimpulkan adanya dua proses-proses kognitif, antara lain: (a) ilusi
faktor utama yang saling berinteraksi yang korelasi dan bias konfirmasi. Dalam ilusi
menyebabkan orang-orang meyakini korelasi, orang mempersepsikan adanya
keberhasilan pemrofilan kriminal, kendatipun hubungan antara prediksi pemrofil dengan
tidak terdapat dasar-dasar teoritis dan dukungan terselesaikannya kasus kriminal, semata-mata
empiris yang kokoh (pseudoscience). Faktor karena sebuah profil kriminal telah diperoleh
pertama adalah penyajian informasi tentang sebelum kasus terselesaikan (after-the-fact
pemrofilan kriminal kepada masyarakat (aspek reasoning), padahal hubungan tersebut apabila
pesan/the message); faktor kedua adalah diteliti sesungguhnya tidak ada. Dalam bias
pemrosesan informasi tersebut oleh masyarakat konfirmasi, orang mencari atau mengingat
(aspek pikiran/the mind). Yang termasuk faktor bukti-bukti konfirmatif (prediksi yang benar
pertama, antara lain: (a) penekanan yang atau anekdot dalam literatur atau media
berlebihan terhadap kisah-kisah sukses populer) yang mendukung keyakinannya akan
sejumlah pemrofil yang telah memberikan keberhasilan pemrofilan dan mengabaikan
profil akurat–yang secara prediktif telah dan/atau melupakan bukti-bukti kontradiktif;
membantu menyelesaikan investigasi kriminal (b) Efek Barnum (Barnum effect). Efek Barnum
yang sulit (hal ini diperkuat dengan anekdot- merupakan fenomena di mana orang cenderung
anekdot pada media massa), sementara menerima pernyataan-pernyataan ambigu,
kebanyakan kisah-kisah lain yang tidak sukses samar-samar dan umum sebagai deskripsi
tidak diungkapkan, (b) pemaparan informasi akurat atas kepribadiannya sendiri (Dickson &
secara repetitif bahwa pemrofilan kriminal Kelly, 1985). Dalam pemrofilan kriminal,
merupakan alat investigatif yang efektif; hal ini ditemukan efek ini, bahwa keyakinan orang
diperkuat dengan sejumlah testimoni mengenai terhadap metode-metode pemrofilan kriminal
keberhasilan pemrofilan kriminal tertentu yang dan keahlian pemrofil menjadi semakin positif
tidak divalidasi lebih lanjut secara empiris setelah mereka dipapar dengan materi profil
melalui riset, dan (c) adanya gejala heuristik yang bersifat ambigu, meskipun secara aktual
keahlian (expertise heuristic). Pernyataan metode pemrofilan yang digunakan tidak valid
seorang pemrofil dipercaya karena ia dan pemrofilnya tidak benar-benar ahli; (c)
menampakkan dirinya sebagai seorang ahli penularan sosial (social contagion), dalam hal
yang memiliki kemampuan dan pengetahuan mana penggunaan pemrofilan kriminal yang
istimewa (terlebih apabila ia pernah menjadi diyakini efektif ”ditularkan”, misalnya, oleh
saksi ahli di pengadilan), memiliki pendidikan FBI di Amerika Serikat, melalui program-
ilmiah formal serta pelatihan-pelatihan panjang program pelatihan, publikasi yang luas,
dan akumulatif, sehingga mampu meramalkan tontonan televisi, dan sebagainya; dan (d)
karakteristik pelaku kejahatan secara akurat, penyimpulan fakta berdasarkan fiksi, misalnya,
dalam hal mana keahliannya diatribusikan lebih fantasi pemrofilan (profiling fantasy), seperti
tinggi daripada keahlian rata-rata petugas tergambar dalam detektif-detektif fantastis,
kepolisian biasa atau orang-orang lain yang seperti Augueste Dupin, Sherlock Holmes,
non-ahli. Hercule Poirot.
Yang termasuk faktor kedua melibatkan Kedua faktor tersebut saling berinteraksi
PEMROFILAN KRIMINAL 23

membentuk suatu siklus, seperti yang which, where inconsistent, offers reasonable
digambarkan Kocsis (2006): account of the inconsistency. It may also
describe the transition from a body of
Popular culture representations and practical knowledge into a scientific field.
anecdotal testimonials may artificially elevate
people’s belief in the capabilities of profiling. Hal ini bukan berarti bahwa suatu teori yang
These elevated beliefs may in turn lead to bertentangan dengan satu atau dua teori
misconceptions concerning the accuracy and sebelumnya otomatis tergolong dalam
merit of criminal profiles. Such pseudoscience. Namun, sebuah protoscience
misconceptions may then in turn sponsor the atau science, walaupun bertentangan dengan
continued use of profiling and perhaps lead to teori-teori tertentu, ia masih cocok dengan
even more favorable media coverage and
sejumlah teori lainnya. Hal ini sesuai dengan
testimonials: thus the cycle continues.
norma koherensi (norms of coherence) yang
merupakan determinan baik-tidaknya suatu
Jadi, keyakinan orang akan keberhasilan
teori (Shaw & Costanzo, 2002). EMDR (Eye
pemrofilan kriminal (keyakinan ini tidak harus
Movement Desensitization and Reprocessing)
berarti evidence-based) dipengaruhi oleh
adalah sebuah contoh yang baik dari
representasi mengenai “sukses” tersebut oleh
penyelewengan fundamental yang serius
media massa, dan selanjutnya, keyakinan
terhadap norma koherensi itu: “The theory of
tersebut berpengaruh terhadap frekuensi dan
EMDR clashes with scientific knowledge of the
intensitas penggunaan pemrofilan kriminal, dan
role of eye movements” (Barret, 2003).
seterusnya.
Berkebalikan dengan protoscience,
Yang patut dicermati dalam kaitan dengan
pseudoscience dikonsepkan sebagai “…theories
seluruh uraian di atas adalah bahwa terdapat
which are either untestable in practice or in
satu istilah yang tidak muncul dalam tulisan
principle, or which are maintained even when
Snook, Cullen, et al. (2008) yang mengkritik
tests appear to have refuted them”
pemrofilan kriminal sebagai pseudoscience,
(“Pseudoscience,” 2009).
yakni ”protoscience”. Padahal, menurut penulis,
Apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan
pengertian mengenai protoscience sangat
pemrofilan kriminal, maka nampaknya masih
krusial dalam pertimbangan klasifikasi apakah
tersisa ruang bagi pemrofilan kriminal untuk
sesuatu itu science ataukah pseudoscience,
menyandang status sebagai sebuah sains di
utamanya dalam perspektif prospektif. Secara
masa mendatang. Terdapat sedikitnya dua
ringkas, Gay (2008) mendefinisikan
alasan yang dapat menerangkannya:
protoscience sebagai “emerging science
Pertama, pembedaan yang dilakukan oleh
establishing its legitimacy”. Sudah sejak 1959,
Canter et al. (2004)―sebagaimana juga
Karl Popper menggunakan istilah protoscience
terungkap sebelumnya di atas―antara core
secara konseptual sebagai:
variables dan bukan core variables yang sama-
sama penting dan berguna dalam proses
A hypothesis that has not yet been adequately
pemrofilan kriminal sebenarnya lebih
tested by the scientific method, but which is
otherwise consistent with existing science or merupakan upaya penyempurnaan teori
tipologis organized/disorganized yang
24 JUNEMAN

dipandang usang dan memiliki kelemahan. Di Bahkan, grafologi telah masuk dalam daftar
samping itu, pemrofilan kriminal juga konsisten subjek yang terdapat pada The Encyclopedia of
dengan body of knowledge yang pernah ada the Paranormal (Beyerstein, 2002). Namun
sebelumnya yang relevan, yakni Prinsip demikian, apabila indikator Moller (1989)
Pertukaran dari Locard (Chisum & Turvey, dikenakan pada pemrofilan kriminal, maka,
2000; Turvey, 1995). Prinsip pertukaran ini dengan memperhatikan kemajuan-kemajuan
menyatakan bahwa siapa pun yang memasuki yang dicapai oleh pemrofilan kriminal di atas,
scene kejahatan, maka ia mengalami dua hal jawaban “ya” dapat diberikan pada pertanyaan
sekaligus, yakni mengambil sesuatu dari scene Moller. Terlebih lagi, jawaban positif ini dapat
tersebut dan meninggalkan sesuatu pada scene diperkuat dengan pengakuan Snook, Cullen, et
yang membekas/menjejak dari dirinya. al. (2008) sendiri, bahwa:
“Sesuatu” yang dimaksud adalah benda fisik.
Telah ditunjukkan melalui sejumlah penelitian …. there are signs that progress is being
(dalam Turvey, 1995), bahwa percabangan made. Several individuals are attempting to
psikologis (baca: pengembangan) dari prinsip develop criminal profiling classification
Locard, dalam rupa aplikasi prinsip-prinsip systems and are going through the steps
required to validate those systems (e.g.,
psikologis (fantasi, disasoisasi, pengendalian,
Häkkänen, Lindof, & Santilla, 2004; Kocsis,
reenactment, empati, intimasi, analisis perilaku,
2006; Salfati, 2000). Others are taking a
dan lain-lain) terhadap bukti-bukti fisik, telah
bottom-up approach to profiling by
menunjukkan hasil yang mumpuni, meskipun identifying individual behavior–offender
harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang associations and the condition in which these
ketat. will arise (e.g., Goodwill & Alison, 2007).
Secara operasional, Gay (2008) pernah However, this research is in its infancy and
memberikan dua puluh empat pertanyaan— the typologies emerging are still not used
sebagai modifikasi dari dua belas pertanyaan widely in criminal profiling circles.
Moller (1989)—guna membantu membedakan Unfortunately, that role is currently taken up
pseudoscience dari protoscience. Moller (1989) by classification systems that are not largely
supported by psychological science.
sendiri menempatkan pertanyaan, “Apakah
subjek/disiplin yang dibahas menunjukkan
Hal kedua, dalam kaitannya dengan realitas
adanya kemajuan?” (Has the subject shown
pemrofilan yang sudah dikemukakan di atas,
progress?) pada urutan pertama, kalau bukan
pendapat Koentjoro (2008) yang mengambil
yang terpenting. Ia menjelaskan:
inspirasi epistemologis Kantian mengenai jenis-
jenis realitas sosial dapat dirujuk. Menurutnya,
Banyak ilmu-ilmu semu telah ada lama sekali
ada dua jenis realitas sosial, yaitu phenomena
namun menunjukkan kemajuan yang sedikit,
kalau bukan tidak ada kemajuan sama sekali. dan noumena. Phenomena adalah realitas sosial
Contoh yang baik dalam hal ini adalah yang dapat kita observasi, realitasnya eksis, dan
grafologi (analisis tulisan tangan). Ada dapat dijelaskan secara rasional. Sedangkan,
sejumlah teori grafologi sepanjang abad noumena adalah realitas sosial yang dapat kita
belakangan ini, dan semua teori tersebut observasi, realitasnya ada, namun belum
sama-sama lemahnya.... mampu dijelaskan secara rasional (misalnya,
PEMROFILAN KRIMINAL 25

kesurupan masal). Hal ini bukan berarti bahwa Kesimpulan dan Saran
noumena tersebut tidak rasional, namun otak
manusia belum mampu menjelaskan secara Pemrofilan kriminal merupakan sebuah alat
rasional (contoh: di tahun 1950-an, televisi forensik yang dapat dipelajari dan digunakan
tanpa kabel, mesin cetak jarak jauh, dan oleh siapa saja, termasuk oleh psikolog
sebagainya, mungkin dianggap banyak orang forensik. Kompetensi dalam psikologi ternyata
sebagai tidak rasional); dan mungkin saja suatu turut memegang peran penting dalam sukses
saat noumena akan menjadi rasional. Dalam hal atau tidaknya pemrofilan kriminal. Sejauh ini,
bahasan tulisan ini, dapat dikatakan bahwa banyak profesi telah mengambil manfaat—
pemrofilan kriminal sesungguhnya berada menurut persepsinya masing-masing—dari
dalam ketegangan antara noumena dan pemrofilan kriminal, termasuk profesi
phenomena. Dengan berkembang pesatnya kesehatan mental, seperti psikolog dan
studi-studi ilmiah mengenenainya, pemrofilan psikiater. Kendati demikian, popularitas
kriminal semakin progresif menuju pada sifat aplikasi pemrofilan kriminal tidak serta-merta
phenomenal yang dapat diterangkan secara menunjukkan bahwa disiplin ini sudah jelas dan
ilmiah. kuat kedudukan keilmuannya. Berdasarkan
Demikianlah sesungguhnya terdapat seluruh uraian di atas nampak bahwa status
harapan bahwa pemrofilan kriminal merupakan ilmiah pemrofilan kriminal sampai dengan saat
protoscience yang suatu waktu dapat ini masih “kontroversial”. Menurut penulis,
dikembangkan sebagai science. Harapan ini kontroversi tersebut lebih disebabkan karena
dapat semakin diperkuat apabila kita mencoba tarik-menarik perspektif untuk mengambil
menjawab pertanyaan lain yang diajukan Gay posisi apakah pemrofilan kriminal saat ini
(2008), “Can you find relevant papers authored sesungguhnya merupakan protoscience ataukah
by the proponents in the relevant refereed pseudoscience, dan bukan dalam hal
scientific literature (e.g., such as on Medline penggolongan kedalam ranah dikotomis “atau
Pubmed for medical subjects)?” Penelusuran pseudoscience atau science”.
penulis terhadap sejumlah pangkalan data jurnal Pemrofilan kriminal, dan disiplin psikologi
ilmiah setidaknya menunjukkan hasil-hasil yang forensik lainnya―seperti yurisprudensi
jauh lebih positif dalam rangka memberikan terapeutik (Juneman, 2008)―khususnya di
jawaban yang optimistis terhadap pertanyaan Indonesia, belum memperoleh penghargaan
tersebut dengan kata kunci “criminal profiling” yang layak. Namun demikian, penulis telah
daripada, misalnya, “graphology”, menunjukkan bahwa pemrofilan kriminal
“handwriting analysis”, “brain gym”, dan memiliki peluang dan masa depan untuk
sejenisnya. Selanjutnya, lebih banyak tumbuh dan berkembang sebagai sebuah ilmu
ditemukan hasil-hasil temukembali yang psikologis, dan bahwa hal ini perlu dikawal
mutakhir sekaligus apresiatif-ilmiah terhadap dengan sikap dan penggunaan kritis terhadap
pemrofilan kriminal daripada terhadap contoh- pemrofilan kriminal secara berkelanjutan. Di
contoh ilmu dan praktek yang telah samping itu, apabila pemrofilan kriminal
diidentifikasikan sebagai pseudoscience hendak berjaya, hal-hal berikut perlu
sepanjang tulisan ini. dipertimbangkan: (a) melakukan penelitian-
penelitian lebih lanjut (search and re-search)
26 JUNEMAN

yang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas Beyerstein, B. L. (2002). How graphology fools
dari pemrofilan kriminal, (b) di era teknologis people. Ditemukembali pada 18 Februari
global sekarang ini, sudah saatnya pemrofil 2009, dari
turut menggunakan program komputer dengan http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel
sistem fuzzy logic yang mampu menangani atedTopics/Tests/grapho.html
beragam dimensi [non-linear] dari pemrofilan Canter, C. (2003). Mapping murder: The
kriminal (lihat, misalnya, “Match'em: Using,” secrets of geographical profiling. UK:
2002); dalam hal ini, penelitian validitas Virgin Books.
pemrofilan dapat juga diteliti secara masif, serta Canter, D. V., Alison, L. J., Alison, E., &
(c) pemrofilan kriminal sebagai bagian dari Wentink, N. (2004). The
penegakan hukum hendaknya dipahami dalam organized/disorganized typology of serial
perspektif yang jauh lebih visioner. Maksudnya, murder: Myth or model? Psychology, Public
pemrofilan kriminal tidak hanya bertujuan Policy, and Law, 10(3), 293–320.
mendeteksi, memahami suatu peristiwa Carrol, R. T. (2009). From abracadabra to
kejahatan, tetapi juga menurunkan tingkat zombies: Eye movement desensitization and
kejadian kejahatan atau berfungsi preventif reprocessing (EMDR). The Skeptic’s
(Cook & Hinman, 1999; Harcourt, 2007). Hal Dictionary. Ditemukembali pada 18
ini mengingat bahwa kedua tujuan tersebut Februari 2009, dari
dapat berkonflik atau bersifat paradoksal, http://skepdic.com/emdr.html
sebagaimana ditunjukkan oleh Harcourt (2007: Chisum, W. J., & Turvey, B. E. (2000).
124). Oleh karena itu, di samping pemrofilan Evidence dynamics: Locard's exchange
kriminal itu sendiri perlu direvisi secara kontinu principle & crime reconstruction. Journal of
guna memenuhi secara memuaskan tujuan Behavioral Profiling, 1(1).
pertama, maka perlu adanya semacam jembatan Cook, P. E., & Hinman, D. L. (1999). Criminal
proses atau aktivitas pengiring agar tujuan profiling: science and art. Journal of
kedua juga tercapai. Contemporary Criminal Justice, 15, 230-
241.
Bibliografi Cuvelier, M. (2001). The pursuit of
pseudoscience. Psychology Today, Jul/Aug
Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & 2001, Article ID: 2141. Ditemukembali
Ormerod, D. (2002). The personality pada 18 Februari 2009, dari
paradox in offender profiling: A theoretical http://www.psychologytoday.com/articles/pt
review of the processes involved in deriving o-20010701-000014.html
background characteristics from crime Dickson, D. H., & Kelly, I. W. (1985). The
scene actions. Psychology, Public Policy, Barnum Effect in personality Assessment: A
and Law, 8(1), 115-135. review of the literature. Psychological
Barrett, S. (2003). Mental help: Procedures to Reports, 57, 367-382.
avoid. Ditemukembali pada 18 Februari Douglas, J. E., Burgess, A. W., Burgess, A. G.,
2009, dari & Ressler, R. K. (1992). Crime
http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel classification manual: A standard system
atedTopics/mentserv.html
PEMROFILAN KRIMINAL 27

for investigating and classifying violent Match'em: Using fuzzy logic to profile
crime. New York: Simon and Schuster. criminals. (2002). Ditemukembali pada 18
Gay, J. (2008). Veterinary medicine and the Februari 2009, dari
philosophy of science. Ditemukembali pada http://ieeexplore.ieee.org/xpl/freeabs_all.jsp
18 Februari 2009, dari ?arnumber=616386
http://www.vetmed.wsu.edu/courses- Moller, L. (1989). Pseudoscience or
jmgay/EpiPhil.htm Protoscience? The Newsletter of The North
Gladwell, M. (2007). Dangerous minds. The Texas Skeptics, 3(3). Ditemukembali pada
New Yorker; Dept. of Criminology, 83(35), 18 Februari 2009, dari
36. http://www.ntskeptics.org/1989/1989mayju
Goldacre, B. (2006). Brain gym: Name & ne/mayjune1989.htm
shame. Ditemukembali pada 18 Februari National Council Against Health Fraud. (2001).
2009, dari Pseudoscientific psychological therapies
http://www.badscience.net/2006/03/the- scrutinized. NCAHF news, 24(4).
brain-drain/ Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
Harcourt, B. E. (2007). Against prediction: http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html
Profiling, policing, and punishing in an O'Toole, M. E. (1999). Criminal profiling: The
actuarial age. USA: University of Chicago FBI uses criminal investigative analysis to
Press. solve crimes. Corrections Today, 61(1), 44-
Hartman, S. E., & Norton, J. M. (2002, 46.
November). Craniosacral therapy is not Penyebab tewasnya David ditentukan Coroner
medicine. Phys Ther, 82(11), 1146-1147. Court. (2009). Kompas.com. Ditemukembali
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari pada 22 Maret 2009, dari
http://www.ptjournal.org/cgi/content/full/82 http://internasional.kompas.com/read/xml/2
/11/1146 009/03/19/1420565/Penyebab.Tewasnya.Da
Heider, F. (1958). The psychology of vid.Ditentukan.Coroner.Court
interpersonal relations. New York: Wiley. Petition for the recognition of police
Horswell, J. (Ed.). (2004). The practice of crime psychology as a proficiency in professional
scene investigation. London: CRC Press. psychology. (2008). Ditemukembali pada 18
Juneman. (2008). Yurisprudensi terapeutik: Februari 2009, dari
Peran integratif psikologi dalam proses http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police
hukum untuk melayani kesejahteraan %20Psychology%20Proficiency%20Petitio
pribadi klien hukum. Jurnal Kajian Ilmiah n-Final.pdf
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
9(3), 908-922. discovery. Tenth Impression (Revised)
Kocsis, R. N. (2006). Criminal profiling: 1980. London: Hutchinson.
Principles and practice. New Jersey: Pseudoscience. (2009). Wikipedia.
Humana Press. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
Koentjoro. (2008). Materi kuliah metode http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudoscience
penelitian kualitatif. Tidak diterbitkan. Ramsland, K. (2008). Criminal profiling: Part 1
28 JUNEMAN

history and method. Ditemukembali pada 18 ml


Februari 2009, dari Turvey, B. E. (2008). Criminal profiling: An
http://www.trutv.com/library/crime/criminal introduction to behavioral evidence analysis
_mind/profiling/history_method/new_22.ht (3th ed.). London: Academic Press.
ml Webb, D. (2006). What is forensic psychology?
Rogers, M. (2003). The role of criminal All about forensic newsletter 2.
profiling in the computer forensics process. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.all-about-forensic-
http://www2.tech.purdue.edu/cit/Courses/CI psychology.com/what-is-forensic-
T556/readings/Profile-Rogers.pdf psychology.html
Sarwono, S. W. (2000). Berkenalan dengan Winerman, L. (2004). Criminal profiling: the
aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. reality behind the myth. Monitor on
Jakarta: Bulan Bintang. Psychology, 35(7), 66–69.
Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-
teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono,
Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo
Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970)
Sherrer, H. (2004). That’s not my fingerprint,
your honor. Justice: Denied, 25, 11.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.justicedenied.org/issue/issue_25
/brandon_mayfield.html
Snook, B., Gendreau, P., Bennell, C., Taylor,
P. J. (2008). Criminal profiling. Skeptic,
14(2), 42-47,80.
Snook, B., Cullen, R. M., Bennell C., Taylor, P.
J., & Gendreau, P. (2008). The criminal
profiling illusion: What's behind the smoke
and mirrors? Criminal Justice and
Behavior, 35, 1257-1276.
Student stabs prof, jumps. (2009). The Strait
Times Discussion Board. Ditemukembali
pada 6 Maret 2009, dari
http://comment.straitstimes.com/showthread
.php?t=17387&page=15
Turvey, B. E. (1995). The Impressions of a
man: An objective forensic guideline to
profiling violent serial sex offenders.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.criminalprofiling.ch/article1.ht
PEMROFILAN KRIMINAL 29
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 29–38

Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar


di Jakarta

Eunike Sri Tyas Suci


Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta

The purpose of this research was to describe the snacking behavior among
school children in Jakarta. It was already known that the pupils are
prominent consumers of unhealthy snack widely sold near schools. The
research method used was quantitative cross-sectional and the population
of this study was the pupils of eight elementary schools in Jakarta. Using
the purposive random sampling, 400 research respondents were recruited
and it was found that their parents give them some pocket money about
1.000 rupiah to 5.000 rupiah per day. The research results showed that
siomay (a type of dim sum) and batagor (fried tofu and meat balls) are
two favorite snacks for the pupils and they usually buy them in their
school's canteen. This finding was quite relieving, but we should worry
that there are still many pupils who prefer buying snacks and food from
the vendors who sell snacks out of the school yard to those who sell inside
the school yard. Further, the research found that 36% of the respondents
like food with tomato or chilly sauce.

Keywords: snacking behavior, school children, elementary school pupil,


healthy behavior

Makanan dan jajanan sekolah merupakan melibatkan ratusan sekolah dasar di seluruh
masalah yang perlu menjadi perhatian Indonesia dan menampung sekitar 550 jenis
masyarakat, khususnya orangtua, pendidik, dan makanan yang diambil dari sampel pengujian.
pengelola sekolah, karena makanan dan jajanan Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 60%
sekolah sangat berisiko terhadap cemaran jajanan anak sekolah tidak memenuhi standar
biologis atau kimiawi yang banyak mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56%
mengganggu kesehatan, baik jangka pendek sampel mengandung rhodamin dan 33%
maupun panjang anak sekolah. Penelitian mengandung boraks (”Jajanan pembawa,”
Badan Pengawas Obat dan Makanan di Jakarta 2004). Pada tahun 2007, POM melakukan
menemukan kenyataan bahwa dari 800 survei kembali dengan melibatkan 4.500
pedagang yang berjualan di 12 sekolah, 340 sekolah di Indonesia dan membuktikan bahwa
menjual jajanan yang mengandung zat kimia 45% jajanan anak berbahaya (“Jajanan anak,”
berbahaya (“Intaian maut,” 2005). Survei lain 2008). Mariani dari Pusat Pengembangan
yang dilakukan oleh POM pada tahun 2004 Kualitas Jasmani Departemen Pendidikan

29
30 SUCI

Nasional mengakui bahwa selama ini masih anak sekolah jajan di kantin sekolah atau di
banyak jajanan sekolah yang kurang terjamin penjual makanan sekitar sekolah, peneliti ingin
kesehatannya dan berpotensi menyebabkan melihat gambaran perilaku jajan anak sekolah.
keracunan ("Jajanan sekolah," 2009). Hal ini penting sekali karena “hanya” dengan
Berkaitan dengan jenis dan efek zat kimia kebiasaan jajan makanan yang tidak sehat,
berbahaya yang sering ditemukan dalam bahan banyak anak sekolah yang akan mengalami
makanan, Badan POM mengungkapkan bahwa hambatan dalam perkembangannya. Anak usia
berbagai bahan kimia yang umum digunakan sekolah adalah investasi bangsa yang harus
pada bahan makanan antara lain formalin, dijaga dan dipelihara untuk menjadi penerus
rodhamin, methanil yellow, dan boraks. bangsa. Kualitas bangsa di masa depan sangat
Disebutkan bahwa formalin yang merupakan tergantung pada kualitas anak-anak saat ini.
bahan pengawet mayat ternyata digunakan Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk
untuk mengawetkan bahan makanan, antara lain meningkatkan kualitas sumber daya manusia
mi, tahu, ikan asin, dan ikan basah. Bahan sejak dini. Untuk memelihara perkembangan
kimia ini sangat berbahaya karena bisa anak secara optimal, pemberian nutrisi dan
menimbulkan kematian akibat rusaknya otak, asupan makanan yang adekuat pada anak perlu
hati, jantung, dan iritasi pada saluran mendapat perhatian secara serius.
pernapasan ("Intaian maut," 2005). Berkaitan dengan perilaku jajan anak
Dengan banyaknya makanan yang sekolah, beberapa hal yang perlu diteliti antara
mengandung bahan kimia berbahaya di pasaran, lain adalah seberapa besar anak sekolah dasar
kantin-kantin sekolah, dan penjaja makanan di sering menerima uang saku dari orangtua,
sekitar sekolah merupakan agen penting yang jumlah nominal yang diterima secara rutin, serta
bisa membuat siswa mengonsumsi makanan bagaimana ia membelanjakannya (untuk jajan,
tidak sehat. Sebuah survei di 220 kabupaten dan ditabung, beli keperluan sekolah, beli barang-
kota di Indonesia menemukan hanya 16% barang yang sedang tren). Jumlah nominal
sekolah yang memenuhi syarat pengelolaan yang diterima anak sekolah juga perlu diketahui
kantin sehat ("Jajanan sekolah," 2009). untuk dibelanjakan apa saja. Apabila mereka
Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah membelanjakannya untuk jajan, maka apa saja
kenyataan bahwa makanan jajanan ini jenis makanan favorit yang mereka beli, serta
menyumbang energi bagi anak sekolah mengapa mereka memfavoritkan makanan
sebanyak 36%, protein 29%, dan zat besi 52% tersebut. Hal ini penting untuk diketahui karena
(Guhardja, dkk., dalam Februhartanty & masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan
Iswarawanti, 2004). Dengan demikian, terkait perilaku sehat individu itu sendiri.
dengan masalah jajan anak sekolah, merupakan Dengan mengetahui pola perilaku jajan anak
tantangan besar bagi pemerintah dan pengelola sekolah dasar, para pengelola sekolah bisa lebih
sekolah untuk memperhatikan bagaimana memusatkan perhatiannya untuk meningkatkan
asupan gizi siswa sekolah tercukupi tanpa harus kualitas makanan pada jenis makanan tertentu
mengonsumsi jajanan di lingkungan sekolah, yang beredar di kantin sekolah. Apabila
apabila memungkinkan. ditemukan bahwa jajanan favorit anak sekolah
Melihat kenyataan bahwa sebagian besar ternyata justru dijual di luar kantin sekolah,
PERILAKU JAJAN 31

para pengelola sekolah diharapkan untuk diterima orangtuanya: berapa yang ditabung,
membuat kebijakan tertentu terhadap penjual mengapa tidak menabung, apa saja yang dibeli
makanan yang bertebaran di luar lingkungan dengan uang saku tersebut, serta (c) pola
sekolah. Juga apabila ternyata sebagian besar perilaku jajan murid sekolah dasar (ditanyakan
uang saku anak sekolah dibelanjakan untuk hanya apabila murid sekolah dasar menyatakan
makanan, pihak sekolah perlu mengantisipasi bahwa uang saku biasa dibelanjakan untuk beli
untuk meningkatkan mutu jajanan yang beredar makan jajanan di sekolah): apa yang paling
di kantin maupun di lingkungan sekolahnya. sering dibeli, mengapa, dimana didapatkan,
Lebih jauh, perlu adanya pendidikan khusus bagaimana kemasannya, bagaimana
tentang bagaimana mengelola uang saku yang mengonsumsinya (cuci tangan dulu, diambil
diberi oleh orangtua, serta memanfaatkannya dengan tangan dari pembungkus, dan lain-lain).
secara lebih optimal. Salah satu contoh yang Gambaran perilaku jajan murid sekolah
penulis ketahui adalah melalui siaran dasar ini merupakan informasi yang sangat
wawancara terhadap anak-anak sekolah oleh penting guna meningkatkan kualitas makanan
Metro TV ketika terjadi tsunami di Aceh pada yang ditawarkan di lingkungan sekolah dan
2005, dalam hal mana beberapa anak sekolah mencegah terjadinya infeksi dan/atau
yang biasa mengumpulkan uang sakunya dalam keracunan. Gambaran ketiga pola perilaku
‘celengan’ (tabung, umumnya dari keramik yang akan diteliti tersebut merupakan informasi
berbentuk tertentu yang biasa dipakai untuk dasar bagi para pimpinan Sekolah Dasar untuk
memasukkan koin)―untuk membeli barang mengembangkan kebijakan sekolah yang lebih
yang mereka ingin/butuhkan saat sudah komprehensif berkaitan dengan perilaku jajan
terkumpul―ketika terjadi tsunami, murid sekolah dasar di sekolahnya.
menyerahkan ‘celengan’ tersebut seutuhnya ke
posko yang menerima bantuan untuk korban Metode
tsunami.
Penelitian ini merupakan penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk
deskriptif dengan menggunakan pendekatan
memperoleh gambaran perilaku jajan murid
kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah
sekolah dasar, karena tanpa ada demand dari
seluruh siswa sekolah dasar di sekolah-sekolah
murid sekolah dasar, tentu kantin atau penjaja
dasar di Jakarta sesuai dengan sekolah yang
makanan di sekitar sekolah tidak akan
akan digunakan oleh Tim Jakarta in Focus
berlomba-lomba untuk menjual makanan yang
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Ada
menarik minat anak sekolah.
delapan sekolah dasar yang digunakan dalam
Secara khusus peneliti ingin mengetahui
penelitian ini, yaitu: (a) Sekolah Dasar Don
beberapa hal, antara lain: (a) pola perilaku
Bosco, (b) Sekolah Dasar Negeri Cipulir 011
keluarga murid sekolah dasar: kebiasaan
Pagi, (c) Sekolah Dasar St. Fransiskus Asisi, (d)
orangtua memberi uang jajan secara rutin,
Sekolah Dasar Santo Lukas Penginjil, (e)
jumlah rupiah yang diterima setiap hari, alasan
Sekolah Dasar Negeri 01 Pagi Kelapa Gading
orangtua memberi uang jajan, mengapa tidak
Timur, (f) Sekolah Dasar Negeri Gandaria
memberi bekal makan, (b) pola perilaku murid
Selatan 01 Pagi, (g) Sekolah Dasar Negeri
sekolah dasar membelanjakan uang saku yang
Mampang Prapatan 02 Pagi, dan (h) Sekolah
32 SUCI

Dasar Negeri Pecenongan Pulo 07 Pagi. Tabel 1 memaparkan distribusi frekuensi


Sampel penelitian ini adalah siswa sekolah variabel-variabel latar belakang sampel
dasar kelas V dari sekolah yang sudah dipilih. penelitian, yaitu jenis kelamin, usia, dan nama
Teknik pengambilan sampel menggunakan sekolah.
purposive random sampling, di mana pada
setiap sekolah diambil tiga kelas (dari semua
Tabel 1
kelas V) secara acak. Dengan jumlah sekitar 40 Distribusi Frekuensi Latar Belakang
murid per kelas, diharapkan diperoleh sampel Responden (N = 432)
sekitar 950 siswa. Alasan utama memilih Karakteristik Jumlah %
sampel dengan siswa kelas V adalah karena Jenis kelamin
Laki-laki 227 52,5
mereka telah mengenal lingkungan sekolahnya
Perempuan 202 46,8
cukup lama. Peneliti tidak mengambil siswa Missing 3 0,7
kelas VI karena mereka dalam persiapan ujian.
Peneliti juga tidak mengambil siswa kelas IV Usia
6 - 9 tahun 34 7,9
atau di bawahnya, karena metode kuesioner
10 tahun 339 78,5
kurang tepat untuk mereka sehingga 11 tahun ke atas 55 12,7
membutuhkan waktu lebih lama. Analisis Missing 4 0,9
penelitian ini menggunakan analisis deskriptif
Nama sekolah
dan tabulasi-silang dengan menggunakan
SD Don Bosco 92 21,3
program komputer SPSS. SDN Cipulir 011 Pagi 34 7,9
Berkaitan dengan ethical clearance, peneliti SD St. Frans. Asisi I 90 20,8
menyadari bahwa subyek penelitian adalah SD Santo Lukas 30 6,9
Penginjil
anak-anak dibawah usia 18 tahun, sehingga
SDN 01 Pagi Kelapa 63 14,6
peneliti perlu mendapat ijin dari orangtua murid Gading Timur
untuk mengisi formulir yang akan diberikan. SDN Gandaria Selatan 58 13,4
Untuk itu, seminggu sebelum menyebarkan 01 Pagi
SDN Mampang 39 9,0
kuesioner, terlebih dahulu peneliti membagikan
Prapatan 02 Pagi
lembar informasi tentang penelitian yang akan SDN Pecenongan Pulo 26 6,0
dilakukan dan pernyataan orangtua yang 07 Pagi
mengijinkan anaknya untuk mengisi kuesioner
tersebut. Peneliti hanya meminta murid untuk Berkaitan dengan usia, nampak sekali
mengisi kuesioner penelitian pada mereka yang bahwa mereka mengelompok pada satu usia,
telah mengembalikan lembar tanggapan yang yaitu usia 10 tahun (n = 339; 78,5%). Sisanya,
telah ditandatangani orangtuanya. ada 55 anak yang berusia 11 tahun ke atas
(12,7%) dan 34 anak berusia 6–9 tahun (7,9%).
Hasil dan Pembahasan Pengelompokan pada usia 10 tahun disebabkan
Dari sekitar 600 kuesioner yang disebarkan, karena peneliti menyebarkan kuesioner pada
peneliti berhasil mengumpulkan 432 kuesioner anak-anak yang berada di kelas V. Mereka yang
yang kembali. Dari jumlah itu, lebih dari umurnya 11 tahun ke atas tentu ada
separuhnya adalah laki-laki (n = 227; 53%). kecenderungan bahwa mereka pernah
PERILAKU JAJAN 33

mengulang kelas sebelumnya. Tabel 2


Tabel 1 juga menunjukkan distribusi Frekuensi Menerima Uang Saku (N = 432)
frekuensi siswa SD pada setiap sekolah dasar Setiap berangkat sekolah
Jumlah %
mendapat uang saku
yang terpilih untuk diteliti. Penelitian ini
1–2 kali seminggu 48 11,1
dilakukan pada 3 sekolah dasar swasta dan 5 3–4 kali seminggu 37 8,6
sekolah dasar negeri. Untuk sekolah dasar 5–6 kali seminggu 314 72,7
swasta, yaitu Don Bosco, St. Fransiskus Asisi 1, Sebulan sekali 1 0,2
Tidak pernah 29 6,7
dan Santo Lukas Penginjil, total jumlah
Missing 3 0,7
responden penelitian adalah 212 murid, atau
49% dari total sampel penelitian. Hal ini
merupakan salah satu mengapa hanya dipilih Lebih jauh, Tabel 2 juga menunjukkan
tiga sekolah dasar swasta. Sebaliknya, untuk bahwa ada 29 responden (6,7%) yang
lima sekolah dasar negeri yang berpartisipasi menyatakan tidak pernah menerima uang saku.
dalam penelitian ini, total sampel yang didapat Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa
adalah 220, atau sekitar 51%. Dengan demikian alasan sebagian besar responden yang tidak
diharapkan bahwa ada jumlah yang pernah menerima uang saku adalah karena
proporsional antara sekolah dasar swasta dan mereka membawa bekal dari rumah. Hanya
negeri, supaya tidak terjadi bias. beberapa responden yang menyatakan bahwa
Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui orangtua/wali tidak memberi, orangtua khawatir
apakah responden menerima uang saku setiap sakit perut, atau alasan lainnya.
berangkat ke sekolah. Hal ini penting untuk Oleh karena analisis selanjutnya berkait
diketahui karena ada kemungkinan bahwa dengan perilaku jajan anak sekolah, maka
kebanyakan anak sekolah menerima uang saku peneliti hanya menggunakan sampel pada siswa
(uang jajan). Tabel 2 menunjukkan bahwa sekolah dasar yang mendapat uang saku, yaitu
sebagian besar responden (93%) mengakui berjumlah 400 orang. Salah satu alasan utama
bahwa mereka menerima uang saku. Tabel anak membeli makanan di sekolah adalah
tersebut memperlihatkan bahwa 73% orangtua karena mereka tidak membawa bekal dari
memberikan uang saku pada anaknya setiap rumah. Ternyata, 156 siswa atau 39% dari
hari (5–6 hari seminggu). Di samping itu, responden menyatakan bahwa mereka
sekitar 11% orang tua memberikan uang saku membawa bekal makan siang dari rumah. Oleh
satu atau dua kali seminggu, dan satu responden karena membawa bekal makan merupakan
mengakui mendapatkannya sebulan sekali. pilihan terbaik dalam mengonsumsi makan,
Dalam hal ini, sangat mungkin orangtua peneliti tertarik mengapa sebagian besar siswa
memberi uang saku dalam jumlah yang cukup tidak membawa bekal makan siang. Tabel 3
besar untuk dibelanjakan selama periode menunjukkan ada dua alasan utama, yaitu: (a)
tertentu. Di samping tidak merepotkan, sistem responden selalu terburu-buru, dan (b)
ini mendidik anak untuk belajar bagaimana orangtua/wali juga sangat sibuk, kemungkinan
mengelola uang sakunya. besar untuk mempersiapkan diri berangkat ke
kantor. Di samping itu, alasan lain responden
tidak membawa bekal adalah karena teman-
temannya tidak ada yang bawa, malu (karena
34 SUCI

merasa tidak lazim), dan karena sudah punya orangtua/wali memberi uang saku/jajan. Tabel
uang saku. tersebut menunjukkan secara jelas bahwa
Untuk responden yang menerima uang saku, sebagian besar, yaitu 361 siswa atau 90%
jumlahnya sangat bervariasi, dengan rentang responden, menyatakan bahwa orangtua mereka
dari yang paling rendah, yaitu Rp 1.000,00, memberi uang saku/jajan agar mereka bisa
sampai dengan yang paling tinggi, yaitu Rp makan ketika lapar.
100.000,00. Tabel 4 menampilkan besaran
nominal uang saku yang diterima oleh
Tabel 5
responden. Dalam tabel ini, nampak sekali Alasan Orangtua/wali Memberi Uang
bahwa 326 siswa (82%) melaporkan bahwa Saku/jajan (N = 400)
mereka menerima uang saku dengan kisaran Rp Alasan orangtua/wali Jumlah %
1.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00. Agar bisa makan ketika lapar 361 90,3
Agar bisa seperti teman lain 12 3,0
Agar bisa traktir teman 5 1,3
Tabel 3 Agar tidak malu dan minder 3 0,8
Alasan Responden Tidak Membawa Bekal dari Lainnya 12 3,0
Rumah (N = 400) Missing 7 1,8
Alasan tidak bawa bekal Jumlah %
Saya selalu terburu-buru 88 22,0
Beberapa alasan berikutnya yang umum
Orangtua/wali sangat sibuk 88 22,0
Malu 15 3,8 dilaporkan oleh responden adalah anggapan
Teman-teman tidak ada yang orangtua supaya mereka bisa seperti teman
17 4,3
membawa yang lainnya (3%), supaya bisa traktir teman-
Bawa uang jajan/saku 2 0,5
teman (1,3%), dan supaya tidak merasa
Missing 190 47,5
malu/minder (,8%). Selain itu, ada alasan-
alasan individual lain, misalnya agar responden
Tabel 4 bebas memilih makanan sendiri, agar mereka
Besaran Nominal Uang Saku yang Diterima
Responden (N = 400) bisa menabung atau membelanjakan keperluan-
Jumlah uang saku Jumlah % keperluan mendadak, alat tulis, dan lain-lain.
Rp 1.000,00–5.000,00 326 81,5 Ada satu responden yang mengaku agar bisa
Rp 5.500,00–10.000,00 53 13,3 ditabung untuk beli telepon seluler. Untuk
Rp 11.000,00–20.000,00 8 2,0 responden yang suka membelanjakan uang
Rp 21.000,00 ke atas 7 1,8
Missing 6 1,5 sakunya untuk jajan, peneliti ingin mengetahui
kemana saja mereka membeli makanan atau
jajanan. Tabel 6 menunjukkan gambaran
Jumlah nominal sekitar Rp 1.000,00 sampai
kemana saja mereka sering jajan.
Rp 5.000,00 ini sangat berhubungan dengan
Tabel tersebut menunjukkan bahwa 370
pola orangtua/wali memberikan uang saku pada
(92,5%) responden menyatakan bahwa mereka
anaknya secara harian dan diharapkan jumlah
jajan di kantin sekolah. Selain kantin sekolah,
tersebut cukup untuk membeli makanan atau
ternyata 33% membeli makanan jajan pada
jajanan di sekolah atau sekitar sekolah. Tabel
penjaja makanan di luar pagar sekolah, dan
5 menjelaskan lebih jauh tentang pendapat
21% membeli makanan jajan pada penjaja
responden berkaitan dengan alasan
PERILAKU JAJAN 35

makanan di dalam pagar sekolah. Temuan ini Selanjutnya, peneliti tertarik untuk
menarik untuk diketahui dan untuk menjadi mengetahui jenis makanan yang paling sering
perhatian lebih lanjut karena ternyata jajanan dikonsumsi oleh responden siswa sekolah dasar.
non-kantin yang dijual di dalam pagar Tabel 6 menampilkan berbagai jenis makanan
sekolah—artinya diasumsikan bahwa jajan yang umumnya dijual di kantin sekolah
penjualannya lebih terawasi—tidak semenarik maupun oleh penjual di sekitar sekolah. Dari
jajanan yang dijual di luar pagar sekolah. tabel tersebut dapat diketahui bahwa siomay
menempati urutan pertama yang paling disukai
responden (46,5%), disusul oleh batagor
Tabel 6
(41,30%). Kalau mengaitkan temuan ini dengan
Tempat Jajan dan Jajanan Favorit Responden
Tabel 7 tentang alasan membeli makanan yang
Pertanyaan dan jawaban Jumlah %
disukainya, 84% menyatakan bahwa responden
Tempat biasa jajan
Kantin Sekolah 370 92,50 membeli karena enak rasanya. Hal ini perlu
Penjaja makanan lain di mendapat perhatian lebih lanjut karena rasa
84 21,00
dalam pagar sekolah enak untuk anak sekolah dapat dijadikan alasan
Penjaja makanan di luar
132 33,00 penjaja makanan untuk memberi bumbu
pagar sekolah
Tempat lain 19 4,80 penyedap makanan, meicin, dan lainnya, agar
Makanan/jajanan yang makanan yang dijajakan laku di pasar tanpa
paling sering dibeli memperhatikan faktor kesehatan. Beberapa
Siomay 186 46,50
makanan favorit yang sering dibeli responden,
Batagor 165 41,30
Es krim 123 30,75 antara lain es krim (31%), es sirop (25%),
Cakwe 105 26,30 cakwe (26%), dan nasi uduk (25%).
Nasi uduk 101 25,25 Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui
Es sirop 100 25,00
mengenai konsumsi saus merah secara
Mi ayam 74 18,50
Mi bakso 61 15,30 berlebihan. Tabel 7 menampilkan bentuk
Bakso goreng 53 13,25 jajanan yang sering dikonsumsi responden
termasuk kemasannya. Berkaitan dengan saus
merah, ternyata 146 (37%) responden
Tempat jajan lain yang dilaporkan oleh
menyatakan bahwa makanan yang dibeli di
responden, selain ketiga lokasi tersebut di atas,
kantin sekolah maupun penjaja sekitar sekolah
adalah tempat jajan dekat tempat jemputan,
disertai dengan saus merah. Seperti diketahui
mal, restoran, minimarket, supermarket, toko,
sebelumnya, kesukaan responden pada saus
tempat les, dan warung. Dengan banyaknya
merah perlu mendapat perhatian lebih serius
alternatif tempat jajan yang bisa dikunjungi
karena bisa saja warna merah dari saus
siswa, maka siswa perlu mendapat informasi
disebabkan karena dicampur dengan bahan
yang jelas tentang bagaimana memilih jajanan.
pewarna kimia yang bukan untuk makanan
Hanya dengan membekali siswa pemahaman
sebagaimana yang sering diberitakan di media
untuk memilih tempat jajan yang sehat, mereka
massa.
bisa terhindar dari kebiasaan mengonsumsi
makanan yang tidak bergizi, tidak higienis,
serta terhindar dari keracunan makanan.
36 SUCI

Tabel 7 sekali ada penjaja makanan yang menyediakan


Makanan/jajanan Favorit sendok/garpu untuk pembelinya. Namun perlu
Pertanyaan dan jawaban Jumlah % diperhatikan juga, Tabel 8 menunjukkan ada 87
Alasan beli
responden (22%) yang mengambil makanan
makanan/jajanan
Teman-teman langsung dengan tangan yang sangat mungkin
12 3,0
menyukainya tidak bersih karena habis bermain. Selain
Enak rasanya 336 84,0 memakai tisu dan sapu tangan, ada juga yang
Murah harganya 33 8,3
menggunakan sumpit dan tusuk gigi untuk
Menarik tampilannya 2 0,5
Lainnya 16 4,0 makan di tempat tersebut. Hal-hal yang
Missing 1 0,25 disebutkan terakhir sangat mungkin terjadi saat
Jajanan yang biasa dibeli responden beli makanan jajan di penjaja
Disertai saus merah 146 36,5 makanan yang tidak terkontrol.
Dikemas plastik 314 78,5
Dikemas daun 13 3,3
Dikemas bahan lain 83 20,8 Tabel 8
Pakai piring 234 58,5 Cara Makan Responden Anak Sekolah (N =
Tidak dikemas 31 7,75 400)
Pertanyaan dan jawaban Jumlah %
Berkaitan dengan masalah kemasan Cara Makan
makanan yang dikonsumsi responden, ternyata Diambil langsung
87 21,8
dengan tangan
sebagian besar responden menyatakan bahwa
Pakai sendok/garpu 265 66,3
makanan yang dibeli dikemas dengan plastik Pakai tisu/ sapu tangan 23 5,8
(78,5%). Di samping itu, ternyata responden Lainnya 23 5,75
juga membeli makanan dengan menggunakan Missing 2 0,5
Kebiasaan mencuci tangan
piring (58,5%). Dalam hal ini, dapat
sebelum makan
diasumsikan bahwa makanan yang diletakkan Selalu dilakukan 210 52,5
dalam piring biasanya disediakan oleh kantin Sering dilakukan 88 22,0
sekolah dan bukan penjaja disekitar sekolah. Jarang dilakukan 83 20,8
Cara makan merupakan hal penting untuk Tidak pernah dilakukan 17 4,25
Missing 2 0,5
diperhatikan oleh anak usia sekolah, karena
apabila tidak diajarkan sejak awal tentang cara
makan yang benar, maka ada kemungkinan Berkaitan dengan kebiasaan mencuci tangan
nantinya mereka makan secara sembarangan. sebelum makan, Tabel 8 menunjukkan bahwa
Tabel 8 menggambarkan apa saja perangkat separuh dari responden (53%) mengaku selalu
yang digunakan untuk makan di sekolah. mencuci tangan sebelum makan. Persentase ini
Tabel tersebut menunjukkan bahwa cukup besar mengingat seringkali tempat jajan
sebagian besar responden (66%) menggunakan atau kantin tidak dilengkapi dengan tempat cuci
sendok/garpu ketika makan makanan di tangan yang memadai. Selanjutnya, 22%
sekolah. Cara makan yang seperti ini responden mengaku mereka sering mencuci
menunjukkan bahwa kemungkinan besar tangan, dan 21% lain mengaku jarang
mereka makan di kantin sekolah karena jarang melakukannya. Selanjutnya, peneliti ingin
PERILAKU JAJAN 37

Tabel 9.
Tempat Jajan di Sekolah yang Dikunjungi Responden serta Frekuensinya (N = 400)
Penjaja di dalam Penjaja di luar
Kantin Sekolah
pagar sekolah pagar sekolah
Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Pernah beli makanan/jajan
di tempat ini
Ya, pernah 393 98,3 193 48,3 273 68,3
Tidak pernah 3 0,8 110 27,5 45 11,3
Missing 4 1,0 97 24,3 82 20,5
Frekuensi makan di tempat ini
5–6 kali seminggu 130 32,5 22 5,5 63 15,8
3–4 kali seminggu 56 14,0 29 7,3 44 11,0
1–2 kali seminggu 57 14,3 32 8,0 47 11,8
Tidak tentu 149 37,25 104 26,0 129 32,3
Missing 8 2,0 213 53,3 117 29,3

mengetahui apakah responden pernah datang di dalam pagar sekolah sudah tersedia kantin
dan membeli makanan ke tempat-tempat jajan, dan siswa mempunyai waktu terbatas untuk
seperti di kantin sekolah, penjaja di dalam pagar jajan di dalam sekolah.
sekolah, dan penjaja makanan di luar pagar
sekolah. Tabel 9 menampilkan tempat jajan Kesimpulan dan Saran
yang dikunjungi responden dan seberapa sering
Perilaku jajan anak sekolah perlu mendapat
mereka berkunjung ke tempat itu.
perhatian khusus karena anak sekolah
Tabel 9 menunjukkan bahwa hampir seluruh
merupakan kelompok yang rentan terhadap
responden pernah berkunjung ke kantin sekolah
penularan bakteri dan virus yang disebarkan
(98%). Hal selanjutnya yang menarik untuk
melalui makanan, atau biasa disebut food borne
disampaikan adalah kenyataan bahwa sekitar
diseases. Dengan maraknya isu berkaitan
68% mengaku pernah mengunjungi penjaja
dengan campuran kimiawi makanan jajanan
makanan di luar pagar sekolah, sementara 48%
yang sangat mempengaruhi kesehatan
mengaku pernah mengunjungi penjaja makanan
seseorang, peneliti ingin mengetahui gambaran
di dalam pagar sekolah. Berkaitan dengan
pola perilaku jajan anak sekolah di delapan
penjaja di luar pagar sekolah yang nampak lebih
sekolah dasar di Jakarta.
dikunjungi oleh siswa dibanding penjaja di
Dalam penelitian ini didapatkan informasi
dalam sekolah, ada kemungkinan bahwa jenis
bahwa orangtua merupakan salah satu faktor
makanan yang enak dan murah lebih mudah
penentu perilaku jajan anak sekolah dasar
didapatkan di penjaja di di luar pagar sekolah
karena dari orangtua lah mereka mendapat uang
daripada yang ada di dalam pagar sekolah.
saku. Di samping itu, jumlah nominal dan cara
Namun, dapat juga terjadi mereka sering
orangtua memberikan uang saku merupakan hal
membeli di penjaja makanan di luar pagar
yang penting. Diketahui bahwa orangtua biasa
sekolah sambil menunggu jemputan atau
memberi uang saku/uang jajan setiap hari dan
kendaraan setelah sekolah usai. Sementara itu,
dalam jumlah dengan kisaran Rp 1.000,00–Rp
38 SUCI

5.000,00. Jumlah ini menurut peneliti cukup 5122823554101


wajar untuk membeli makan siang anak Jajanan anak mengandung zat pewarna tekstil.
sekolah. (2008, 19 Agustus). Tempo Interaktif.
Berkaitan dengan jajanan favorit, penelitian Ditemukembali pada 6 April 2009, dari
ini menemukan bahwa siomay dan batagor http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional
merupakan makanan favorit anak sekolah. Satu /2008/08/19/brk,20080819-131475,id.html
temuan yang cukup melegakan adalah bahwa Jajanan pembawa maut. (2004, 7 Juni). Tempo
umumnya mereka biasa membeli makanan di 15/XXXIII.
kantin sekolah. Meskipun mungkin lebih mahal, Jajanan sekolah potensi sebabkan keracunan.
kualitas makanan di kantin sekolah lebih (2009, 20 Maret). Kapanlagi.com.
terjamin dibanding di tempat-tempat lain di Ditemukembali pada 6 April 2009, dari
sekitar sekolah. Hal yang perlu diperhatikan http://www.kapanlagi.com/h/jajanan-
adalah temuan penelitian bahwa responden sekolah-potensi-sebabkan-keracunan.html
cenderung memilih jajanan yang dijual di luar
pagar sekolah daripada di dalam pagar sekolah.
Lebih jauh, sekitar 36% responden menyukai
makanan yang disertai dengan saus merah. Hal
ini perlu mendapat perhatian serius dari
Pemerintah untuk mengupayakan penyuluhan
pada penjaja makanan tentang bagaimana
menyiapkan makanan yang dijajakan secara
higienis. Pihak sekolah juga perlu memberi
penyuluhan kepada siswanya untuk memilih
jajanan yang higienis. Jajanan favorit yang
ditemukan dalam penelitian ini bisa menjadi
masukan pada pihak sekolah untuk
menyediakannya di kantin sekolah.

Bibliografi
Februhartanty, J., & Iswarawanti, D. N. (2004).
Amankah makanan jajanan anak sekolah di
Indonesia? Ditemukembali pada 30 Maret
2006, dari http://www.gizi.net/cgi-
bin/berita/fullnews.cgi?newsid1097726693,
98302,
Intaian maut formalin. (2005, 29 Desember).
Media Indonesia Online. Ditemukembali
pada 29 Desember 2005, dari
http://mobile.media-
indonesia.com/mobile_editorial.asp?id=200
PERILAKU JAJAN 39
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 39–48

Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian


yang Bersifat Multidimensi

Wahyu Widhiarso
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

Psychological instruments which usually measure the underlying latent


abilities or personality traits are called multidimensional measurements.
The assumption of these measurements is that there are two or more
common factors that create interrelationship among the measured
variables. Factor analysis is the method which proves the interrelationship
of two or more factors. Researchers usually ignore the interrelationship
found in these multidimensional measurements as they apply reliability
formula, which is one-dimensional (i.e., Alpha Coefficient), to find out the
reliability coefficient for multidimensional instruments used to measure
personality traits. This article is aimed to answer the question if Alpha
Coefficient is the right coefficient for one-dimensional measurement and
if the Alpha Coefficient will underestimate or overestimate the reliability
coefficient of the measurement. Some other reliability coefficients for
multidimensional measurements are outlined.

Keywords: multidimensional measurement, factor loading, reliability


formula

Pengembangan instrumen pengukuran oleh beberapa hal, antara lain, sebagai berikut:
dalam bidang psikologi banyak mengasumsikan 1. Karakteristik konstruk psikologi. Hasil
penggunaan pengukuran yang bersifat perbandingan pengujian ketepatan model pada
unidimensi―yang secara konseptual Skala Harga Diri dari Coopersmith, misalnya,
dirumuskan bahwa ada satu jenis faktor abilitas, cenderung memiliki sifat yang multidimensi
kepribadian, sifat, maupun sikap yang diukur dibanding dengan unidimensi. Hasil penelitian
oleh satu instrumen pengukuran. Namun, ini sesuai dengan yang dikatakan oleh beberapa
banyak penelitian menunjukkan bahwa asumsi ahli pengukuran psikologi, bahwa skala
unidimensi tersebut sulit dipenuhi dengan psikologi cenderung mengarah pada model
ditemukannya beberapa faktor baru yang turut multidimensi (Drolet & Morisson, 2001;
diukur dalam satu instrumen. Dengan perkataan Spector, Brannick, & Chen, 1997)
lain, instrumen psikologis yang sering dipakai 2. Adanya pelibatan aspek-aspek dalam
oleh peneliti cenderung bersifat multidimensi. penyusunan alat ukur. Penyusunan instrumen
Tingginya kecenderungan instrumen psikologis seringkali diawali dari penurunan
pengukuran bersifat multidimensi disebabkan butir-butir dari beberapa aspek teoritis,

39
40 WIDHIARSO

misalnya penyusunan skala efikasi diri yang (kepribadian) sangat rentan terhadap
diturunkan dari aspek atletik, akademik, dan kemajemukan atribut yang diukur
kehidupan sosial (Kamata, Turhan, & (multidimensi). Penelitian-penelitian telah
Darandari, 2003). Aspek-aspek ini berpotensi menujukkan bahwa hasil analisis faktor
akan membangun dimensi ukur yang berbeda terhadap pengukuran psikologi menghasilkan
sehingga pengukuran menjadi bersifat faktor yang majemuk, misalnya: (a) Hwang,
multidimensi. Chun, Kurasaki, Mak, dan Takeuchi (2000)
3. Jumlah butir di dalam instrumen. Drolet menemukan enam dimensi dalam pengukuran
dan Morisson (2001) menunjukkan bahwa dukungan sosial, (b) Albo, Núñez, Navarro, dan
multidimensionalitas skala psikologi Grijalvo (2007) membandingkan model dimensi
dipengaruhi antara lain oleh jumlah butir. harga diri dan menemukan bahwa model empat
Jumlah butir yang terlalu banyak dapat dimensi lebih tepat menggambarkan harga diri
menambah potensi penambahan varian sesatan dibanding dengan satu dimensi, serta (c) dengan
dalam butir sehingga memunculkan dimensi membandingkan indeks ketepatan model antara
baru dari dimensi yang ditetapkan semula. model efikasi diri satu faktor dan tiga faktor,
Jumlah butir dan bentuk skala mempengaruhi Brouwers dan Tomic (2001) menemukan bahwa
sikap responden terhadap butir yang kemudian model tiga dimensi memiliki indeks ketepatan
mempengaruhi tanggapan mereka terhadap alat model yang lebih tinggi dibanding dengan satu
ukur. dimensi; artinya, efikasi diri merupakan
4. Teknik penulisan butir. Spector et al. konstruk psikologi yang bersifat multidimensi.
(1997) menemukan bahwa teknik penulisan Dengan memahami kecenderungan
butir yang memiliki arah yang terbalik antara pengukuran psikologi lebih pada model
arah positif (favorable) dan negatif pengukuran multidimensi dibanding model
(unfavorable) dapat membentuk dimensi ukur unidimensi, maka diharapkan proses identifikasi
baru, padahal, dalam pengambilan data, banyak properti psikometris pengukuran psikologi
skala psikologi menggunakan teknik penulisan sudah melibatkan teknik analisis yang
butir yang berbeda arah. menggunakan model multidimensi.
5. Satuan pengukuran yang berbeda.
Pengukuran dalam bidang psikologi cenderung Koefisien Alpha dan Dimensionalitas
memiliki satuan ukur yang berbeda antara butir Pengukuran
satu dengan butir lainnya dalam sebuah
instrumen ukur. Hal ini didukung dengan antara Banyak ditemukan bahwa peneliti secara
butir satu dengan butir lainnya memiliki sepihak (arbitrary) menggunakan koefisien
kapabilitas yang berbeda sebagai indikator alpha dalam mengestimasi reliabilitas hasil
konstruk ukur. Kondisi ini akan menyebabkan pengukuran yang dilakukannya, padahal
hasil pengukuran cenderung akan bersifat koefisien alpha menghendaki adanya beberapa
multidimensi. asumsi, misalnya bahwa antara satu butir
Dapat disimpulkan bahwa pengukuran dengan butir lainnya dalam satu instrumen
dalam bidang psikologi, baik mengukur diharapkan memiliki unit pengukuran dan
konstruk abilitas maupun non-abilitas kecermatan yang sama dalam menjelaskan skor
murni. Hal ini berimplikasi pada fungsinya
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 41

sebagai estimator reliabilitas lebih tepat majemuk dengan jumlah butir yang sedikit (k <
dikenakan pada pengukuran unidimensi 15), koefisien alpha menghasilkan koefisien
dibanding dengan multidimensi. reliabilitas yang rendah. Sebaliknya, pada data
Oleh karena menekankan pada homogenitas dengan jumlah butir yang banyak (k > 15),
varian butir, koefisien alpha kurang peka koefisien alpha menghasilkan koefisien
terhadap dimensionalitas data sehingga reliabilitas yang tinggi. Kesimpulan yang dapat
meskipun dikenakan pada pengukuran yang diambil dari simulasi di atas menunjukkan
multidimensi, koefisien alpha dapat bahwa koefisien alpha kurang peka terhadap
menghasilkan nilai reliabilitas yang tinggi. dimensionalitas data ketika jumlah butir lebih
Sebagai bukti keterbatasan koefisien alpha dari 15 butir. Hal ini terlihat dari nilai
dalam mengenali dimensionalitas, penulis reliabilitas yang cukup tinggi (> 0,7) pada
menyusun data simulasi yang dibedakan berbagai jumlah dimensi.
berdasarkan jumlah butir dan dimensi yang ada Rekomendasi yang dapat diberikan dari
di dalamnya. Hasil estimasi koefisien alpha hasil simulasi tersebut adalah agar para peneliti
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. lebih dahulu mengidentifikasi dimensionalitas
Hasil estimasi koefisien alpha pada data data sebelum menggunakan koefisien alpha,
menunjukkan bahwa pada data yang memiliki misalnya, dengan melakukan analisis faktor.
dimensi tunggal (unidimensi), koefisien alpha Apabila dari hasil analisis faktor ditemukan
menghasilkan koefisien reliabilitas yang tinggi struktur data adalah unidimensi, maka koefisien
pada semua jumlah butir. Estimasi koefisien alpha dapat diaplikasikan. Namun, apabila data
alpha pada kasus ini bergerak antara  = 0,836 memiliki struktur multidimensi, maka peneliti
dan  = 0,961. Pada kasus data berdimensi dapat mengaplikasikan koefisien alpha pada

1.0 1 dimensi
2 dimensi
0.9 3 dimensi
4 dimensi
5 dimensi
0.8

0.7

0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0.0
5 butir 10 butir 15 butir 20 butir 25 butir

Gambar 1. Perbandingan estimasi koefisien alpha pada jumlah butir dan jumlah dimensi berbeda.
42 WIDHIARSO

masing-masing dimensi, atau menggunakan melibatkan komponen-komponen tes. Koefisien


koefisien reliabilitas untuk pengukuran alpha terstratifikasi ini tepat dikenakan pada
multidimensi yang akan dibahas pada sub di kasus skor komposit multidimensi, misalnya tes
bawah ini. baterai yang bersifat multidimensi. Formula
untuk mendapatkan besarnya reliabilitas alpha
Koefisien Reliabilitas Pengukuran berstrata (α s ) adalah sebagai berikut:
Multidimensi k

Dalam mengestimasi reliabilitas, peneliti  i


2
(1   i )
s  1 i 1
dalam bidang psikologi banyak menggunakan  x2
koefisien alpha yang sudah sangat populer.
Banyak diantara peneliti tersebut tidak Keterangan
memahami bahwa koefisien alpha memiliki  i2 = varian butir pada komponen ke-i
beberapa kriteria tertentu agar hasil estimasinya  i = reliabilitas komponen ke-i
memiliki ketepatan yang akurat, misalnya  x2 = adalah varian skor total tes
terpenuhinya asumsi kesetaraan skor murni
Berikut adalah contoh penghitungan
yang diungkap (tau-equivalent) dan
koefisien alpha berstrata. Misalnya, seorang
unidimensionalitas data. Jika koefisien alpha
peneliti sedang mengukur konsep diri yang
diaplikasikan pada pengukuran yang
terdiri dari tiga dimensi, misalnya dimensi
multidimensi, maka akan didapatkan hasil yang
ketahanan, kompetensi dan akademik. Setelah
underestimate. Oleh karena itu, bagi peneliti
melalui pengambilan data, didapatkan statistik
yang hendak mengidentifikasi reliabilitas
deskriptif yang dipaparkan pada Tabel 1.
pengukuran yang bersifat multidimensi,
dianjurkan untuk menggunakan koefisien
reliabilitas yang dapat mengakomodasi model Tabel 1
multidimensi tersebut. Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Konsep
Diri
Artikel ini akan memaparkan beberapa
Reliabilitas Tiap
koefisien reliabilitas yang dapat diaplikasikan
Dimensi Varian Dimensi
pada model pengukuran multidimensi serta Ketahanan 3 0,80
membandingkan ketepatan estimasi masing- Kompetensi 3 0,80
masing koefisien tersebut. Akademik 2 0,70
Skor Total 6

Koefisien Reliabilitas Alpha Berstrata


Berdasarkan informasi pada Tabel 1, jika
Koefisien alpha terstratifikasi (alpha kita menggunakan koefisien alpha untuk
stratified) ini diperkenalkan oleh Cronbach, mengestimasi reliabilitas pengukuran di atas
Schoneman, dan McKie (1965) yang berguna maka kita akan mendapatkan hasil estimasi
untuk mengestimasi reliabilitas instrumen yang yang terlalu rendah (underestimate), sebagai
terdiri dari beberapa subtes. Sama seperti berikut:
koefisien alpha, koefisien alpha berstrata adalah
pengukuran internal konsistensi dengan
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 43

2 (3  3  2) mengenai reliabilitas masing-masing dimensi,


  *1   0,50
3 6 pembobotan masing-masing dimensi, varian
tiap dimensi dan korelasi antar skor dimensi.
Koefisien reliabilitas akan menghasilkan
Sebagai contoh, sebuah Skala Atribusi Masalah
hasil estimasi yang lebih memuaskan jika
terdiri dari dua dimensi, yaitu atribusi penyebab
menggunakan koefisien alpha berstrata, sebagai
masalah dan atribusi pemecahan masalah.
berikut:
Informasi mengenai reliabilitas tiap dimensi dan
3(1  0.8)  3(1  0,8)  2(1  0.7) korelasi antar dimensi dapat dilihat pada Tabel
s  1  0,70 2.
6

Tabel 2
Koefisien Reliabilitas Komposit Mosier Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Atribusi
terhadap Masalah
Pada 1943, Mosier mengembangkan sebuah Korelasi
Relia- Antar
koefisien reliabilitas yang dapat dikenakan pada
Dimensi bilitas Varian Bobot Dimensi
pengukuran yang struktur multidimensi Penyebab
0,85 25 2
(Mosier, 1943). Pengukuran yang memiliki masalah
0,4
struktur multidimensi didapatkan dari instrumen Pemecahan
0,75 36 3
masalah
yang memiliki komponen tes yang independen
dengan komponen lainnya. Misalnya, tes bakat
atau tes potensi akademik yang terdiri dari Berdasarkan informasi tersebut maka
beberapa sub tes. Koefisien ini dinamai besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,
reliabilitas skor komposit (reliability of sebagai berikut:
composite score) yang mampu mengakomodasi
perbedaan pembobotan pada tiap sub tes. [(22.25)  (32.36)]  [(22.5.0,85)  (32.6.0, 75)
rxx ' 
Formula untuk mendapatkan besarnya [(22.25)  (32.36)]  [2.(2.3.5.6.0, 4)]
reliabilitas skor komposit (r xx’ ) ini sebagai rxx '  0,8310
berikut:
Karakteristik dari koefisien ini, antara lain:
(w 2j s 2j )  (w 2j s 2j r jj ' )
rxx '  1  (a) reliabilitas ini dapat bernilai 1,00 apabila
(w 2j s 2j )  2(w j wk s j s k r jk ) semua reliabilitas komponen juga bernilai 1,00,
(b) semakin besar korelasi antar dimensi, maka
Keterangan
nilai reliabilitas yang dihasilkan semakin besar,
w 2j = bobot dimensi ke-j
dan (c) nilai reliabilitas ini cenderung lebih
r jj ' = reliabilitas dimensi ke-j
besar daripada rerata reliabilitas tiap komponen,
r jk = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j kecuali pada kondisi komponen memiliki
s 2j = varian dimensi ke-j reliabilitas, varian dan bobot yang sama, serta
korelasi antar komponennya adalah nol.
Untuk menghitung reliabilitas skor
Kondisi yang terakhir ini akan menghasilkan
komposit dari Mosier diperlukan informasi
44 WIDHIARSO

reliabilitas yang merupakan rerata dari (12.0,85)  (12.0, 75)  (2.1.1.0,90)


rxx ' 
reliabilitas tiap komponen. 12  12  (2.1.1.0,90)
1, 6  1,8 3, 4
rxx '    0,895
Koefisien Reliabilitas Komposit Wang 2  1,8 3,8

Wang (1998) menyusun sebuah koefisien


Tabel 3
reliabilitas yang dapat dipakai untuk Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala
pengukuran yang bersifat multidimensi serta Nilai Kerja
mampu mengakomodasi pembobotan masing- Korelasi
masing dimensi tersebut. Dengan menggunakan Antar
teori skor murni klasik―yang menyatakan Dimensi Reliabilitas Bobot Dimensi
Pengembangan
bahwa reliabilitas adalah proporsi varian skor 0,85 1
diri
murni dengan varian skor tampak, maka 0,90
Transendensi
0,75 1
didapatkan formula reliabilitas berikut ini: diri

n n n

 wi2 rii '   wi w j rij


i 1 i 1 j 1
Formula koefisien reliabilitas komposit ini
rxx '  n n n
memiliki beberapa karakteristik, antara lain: (a)
 w   w w r
i 1
2
i
i 1 j 1
i j ij nilai reliabilitas terendah yang dapat dicapai
oleh dari koefisien reliabilitas komposit adalah
Keterangan nilai reliabilitas dimensi yang terendah, (b) jika
w j = bobot dimensi ke-j antara satu dimensi dengan dimensi lainnya
rii ' = reliabilitas dimensi ke-j memiliki korelasi yang tinggi, maka nilai
reliabilitas komposit dapat lebih tinggi daripada
rij = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j
reliabilitas masing-masing dimensi, serta (c)
Untuk menghitung reliabilitas komposit dari jika reliabilitas masing-masing dimensi adalah
Wang (1998) ini diperlukan informasi mengenai sama, maka reliabilitas komposit dapat
reliabilitas masing-masing dimensi, mencapai nilai maksimal apabila pembobotan
pembobotan masing-masing dimensi, dan tiap dimensi adalah setara.
korelasi antar skor dimensi. Sebagai contoh,
Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov
sebuah Skala Nilai Kerja terdiri dari dua
dimensi, yaitu pengembangan diri (self- Raykov dan Shrout (2002) yang menyusun
enhancement) dan transendensi diri (self- koefisien reliabilitas komposit ini mengatakan
transcendence). Informasi mengenai reliabilitas bahwa reliabilitas komposit adalah varian skor
tiap dimensi dan korelasi antar dimensi dapat murni dalam kaitannya dengan varian tes.
dilihat pada Tabel 3. Formula untuk mendapatkan besarnya
Berdasarkan informasi dari Tabel 3 maka reliabilitas skor komposit (r xx’ ) ini adalah
besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui, sebagai berikut:
sebagai berikut:
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 45
p k pembagian varian konstruk ukur dan varian
var (   ) ij i
i 1 j 1 konstruk komposit.
rxx '  p k p
var (  ij i   E1 )
i 1 j 1 i 1 X1

X2 FAKTOR1
Keterangan X3
ij = factor loading tidak terstandarisasi KOMPOSIT KONSTRAK
UKUR
X1
indikator Yi pada faktor  i
X2 FAKTOR2
 i = konstruk laten ke-i. X3

Ei = eror pengukuran pada indikator Yi


Gambar 2. Model penghitungan koefisien
Koefisien reliabilitas komposit pada reliabilitas komposit.
dasarnya adalah pembagian antara varian
konstruk ukur yang terdiri dari j-faktor dengan
Koefisien Reliabilitas Komposit McDonald
varian konstruk laten fungsi linier dari tiap
indikator. Hal ini merupakan penjabaran dari
McDonald (1981) mengembangkan sebuah
teori skor murni klasik, yaitu reliabilitas yang
koefisien reliabilitas yang kemudian diberi
didefinisikan dari pembagian antara varian skor
nama koefisien reliabilitas konstruk yang juga
murni dan varian skor tampak  xx   T2 /  X2 .
dinamakan dengan koefisien omega (  ).
Oleh karena beroperasi pada tataran konstruk Koefisien reliabilitas ini berbasis pada analisis
yang bersifat laten, maka diperlukan analisis faktor konfirmatori yang merupakan bagian dari
faktor untuk mendapatkan besarnya reliabilitas. menu pemodelan SEM. Reliabilitas konstruk ini
Sampai saat ini belum ada program menjelaskan besarnya proporsi indikator dalam
komputer yang dapat secara langsung menjelaskan konstruk ukur. Formula untuk
mengeluarkan hasil komputasi reliabilitas mendapatkan besarnya koefisien reliabilitas
komposit (Caroline, 2004). Untuk konstruk tersebut adalah sebagai berikut:
menghitungnya, diperlukan pengoperasian
sintaks yang cukup rumit pada program  i 
2

berbasis Persamaan Model Struktural (SEM)   i 


  i 1 
antara lain EQS dan LISREL (lihat Raykov & 2
 i   i 
Shrout, 2002). Model pengukuran yang dipakai   i    1  i2 
 i 1   i 1 
untuk mengkomputasi koefisien reliabilitas
komposit dapat dilihat pada Gambar 2. Keterangan
Gambar tersebut menunjukkan sebuah i = factor loading terstandarisasi
instrumen pengukuran yang bersifat indikator ke-i
multidimensi yang terdiri dari dua faktor yang
masing-masing terdiri dari tiga butir. Kedua Formula tersebut mengingatkan kita pada
faktor tersebut memprediksi besarnya skor estimasi reliabilitas skor murni klasik, yang
murni komposit, dan di sisi lain, masing-masing merupakan pembagian antara varian skor murni
prediktor memprediksi besarnya skor komposit. oleh jumlah antara varian skor murni dan eror
Reliabilitas komposit didapatkan dari
46 WIDHIARSO

[  xx '   x2 /( x2   e2 ) ]. Diperlukan informasi nilai reliabilitas konstruk yang setara dengan
mengenai factor loading terstandarisasi melalui koefisien alpha. Di sisi lain, jika diterapkan
analisis faktor konfirmatori untuk mendapatkan pada model pengukuran congeneric, yang
besarnya koefisien ini. Sebagai contoh, sebuah mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki
skala yang mengukur Pengalaman Orang Tua ketepatan ukur yang bervariasi, maka akan
Tunggal terdiri dari dua dimensi, yaitu didapatkan nilai reliabilitas konstruk yang lebih
pengalaman dengan keluarga dan pengalaman tinggi dibanding dengan koefisien alfa
kerja yang masing-masing terdiri dari tiga buah (Yurdugül, 2006).
butir. Setelah dianalisis dengan menggunakan
analisis faktor konfirmatori melalui LISREL Koefisien Reliabilitas Konstruk Berbobot
atau AMOS, didapatkan informasi factor
loading tiap indikator yang dapat dilihat pada Koefisien reliabilitas konstruk ini
Tabel 4. diperkenalkan oleh Hancock dan Mueller
(2000), yang menunjukkan seberapa jauh
indikator instrumen mampu merefleksikan
Tabel 4 konstruk yang hendak diukur. Koefisien ini
Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran
merupakan modifikasi dari koefisien reliabilitas
Pengalaman Orang Tua Tunggal
konstruk McDonald yang tidak mampu
Dimensi Butir i 1  i2
mengakomodasi bobot yang berbeda antar
1 0,5 0,75
Dimensi A 2 0,5 0,64 dimensi. Hasil modifikasi tersebut adalah
3 0,6 0,64 formula baru yang dinamakan dengan koefisien
1 0,8 0,36 reliabilitas konstruk berbobot, sebagai berikut:
Dimensi B 2 0,8 0,36
3 0,7 0,51 p
li2
Total 4,00 3,26 i 1 (1  l i )
2
w  p
l2
1  i 2
Berdasarkan informasi tersebut maka i 1 (1  l i )
besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,
sebagai berikut: Keterangan
l i = koefisien dimensi ke-i terstandar
42
  0,8307 Untuk mendapatkan besarnya koefisien
4 2  3,26
reliabilitas ini peneliti cukup mencari besarnya
Koefisien ini banyak dipakai oleh peneliti factor loading kuadrat tiap komponen yang
yang menggunakan analisis berbasis SEM, baik mudah didapatkan dari analisis faktor
yang menggunakan model pengukuran konfirmatori. Analisis ini dapat dilakukan
unidimensi, atau pun multidimensi (Segars, dengan menggunakan program komputasi SEM,
1997). Penerapan pada model pengukuran misalnya LISREL atau AMOS. Misalnya,
paralel maupun tau equivalent―yang sebuah instrumen pengukuran terdiri dari dua
mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki dimensi, yang masing-masing terdiri dari tiga
ketepatan ukur yang setara, akan didapatkan butir (Tabel 5). Setelah dianalisis melalui
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 47

program analisis faktor konfirmatori didapatkan dikenakan.


besarnya korelasi kuadrat. Koefisien reliabilitas untuk pengukuran
multidimensi yang dipaparkan pada artikel ini
dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan
Tabel 5
Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran informasi yang dibutuhkan untuk menghitung
Dimensi Butir li2 li2 /(1  li2) reliabilitas tersebut. Jenis pertama adalah
1 0,38 0,612903 reliabilitas yang diawali dengan analisis faktor
Dimensi A 2 0,53 1,12766 konfirmatori dengan menggunakan pendekatan
3 0,59 1,439024 Model Persamaan Struktural (SEM), seperti
1 0,47 0,886792 Koefisien Reliabilitas Konstruk McDonald dan
Dimensi B 2 0,39 0,639344 Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov. Jenis
3 0,66 1,941176
kedua adalah koefisien yang tidak memerlukan
Total 6,6469
prosedur analisis faktor, seperti Koefisien
Reliabilitas Alpha Cronbach Berstrata atau
Berdasarkan informasi tersebut maka Koefisien Reliabilitas Skor Komposit Mosier.
besarnya reliabilitas konstruk berbobot dapat Jenis reliabilitas yang akan dipakai bergantung
diketahui, sebagai berikut: pada pendekatan yang dipakai oleh peneliti.
Peneliti yang menggunakan pendekatan SEM
6,6469
w   0,8692 dapat memilih koefisien berbasis SEM,
1  6,6469
sedangkan peneliti yang menggunakan
Koefisien reliabilitas konstruk berbobot ini pendekatan konvensional dapat memilih
dapat diartikan sebagai korelasi kuadrat antara koefisien reliabilitas yang tidak berbasis SEM.
dimensi dengan skor komposit linier optimal
(optimum linear composite), sehingga beberapa Bibliografi
ahli menamakannya dengan reliabilitas
Albo, J. M., Núñez, J. L., Navarro, J. G., &
maksimal (maximal reliability).
Grijalvo, F. (2007) The Rosenberg self-
esteem scale: Translation and validation in
Kesimpulan dan Saran university students. The Spanish Journal of
Sebelum melakukan analisis untuk Psychology, 10(2), 458-467.
mengestimasi reliabilitas pengukuran yang Brouwers, A., & Tomic, W. (2001). The
dilakukan, peneliti diharapkan melakukan factorial validity of scores on the teacher
analisis faktor untuk mengidentifikasi berapa interpersonal self-efficacy scale.
jumlah dimensi yang dihasilkan. Jika hasil Educational and Psychological
identifikasi menunjukkan pengukuran lebih Measurement, 61, 433.
bersifat multidimensi, maka koefisien Cronbach, L. J., Schoneman, P., & McKie, D.
reliabilitas multidimensi dapat dikenakan. (1965). Alpha coefficient for stratified-
Namun, jika menghasilkan pengukuran yang parallel tests. Educational & Psychological
bersifat unidimensi, koefisien reliabilitas yang Measurement, 25, 291-312.
telah dikenal, seperti Alpha Cronbach, Drolet, A. L., & Morrison, D. G. (2001). Do we
Spearman-Brown, atau KR-20, dapat really need multiple-item measures in
48 WIDHIARSO

service research? Journal of Service produce artifactual factors. Journal of


Research, 3, 196–204. Management, 23(5), 659-668.
Hancock, G. R., & Mueller, R. O. (2000). Wang, T. (1998). Weights that maximize
Rethinking construct reliability within latent reliability under a congeneric model.
variable systems. Dalam Cudek, R., duToit, Applied Psychological Measurement, 22(2),
S.H.C., & Sörbom, D. (Eds.). Structural 179-187.
equation modeling: Present and future. Yurdugül, H. (2006). The comparison of
Chicago: Scientific Software International. reliability coefficients in parallel, tau-
Hwang, W. C., Chun, C., Kurasaki, K., Mak, equivalent, and congeneric measurements.
W., & Takeuchi, D.T. (2000). Factor Journal of Faculty of Educational Sciences,
validity of scores on a social support and Ankara University, 39(1), 15-37.
conflict measure among Chinese
Americans. Educational and Psychological
Measurement, 60(5).
Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E. (2003,
April). Estimating Reliability for
Multidimensional Composite Scale Scores.
Paper yang dipresentasikan pada the annual
meeting of American Educational Research
Association, Chicago.
McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of
tests and items. British Journal of
Mathematical and Statistical Psychology,
34, 100–117.
Mosier, C. I. (1943). On the reliability of a
weighted composite. Psychometrika, 8, 161-
168.
Raykov, T., & Shrout, P. E. (2002). Reliability
of scales with general structure: Point and
interval estimation using a structural
equation modeling approach. Structural
Equation Modeling, 9(2), 195–212.
Segars, A. H. (1997). Assessing the
unidimensionality of measurement: A
paradigm and illustration within the context
of information systems research. Omega,
25(1), 107-121.
Spector, P., Brannick, P., & Chen, P. (1997).
When two factors don't reflect two
constructs: How item characteristics can
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 49–59

Menafsir Fenomena Latah sebagai


Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu
(Suatu Kajian Psikoantropologi)

Hatib Abdul Kadir


Mahasiswa Program MA pada Center for Religious and Cross-cultural Studies,
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Latah is a social behavior phenomenon which has been examined


theoretically by some anthropologists, historians, and psychologists.
They tried to explain latah and its relation to gender, ethnicity,
colonialism discourse, and mental health. Latah is considered as part of
the Malay's cultural emotions. The orientalists in the middle of
nineteenth century depicted their amazement on finding this
phenomenon. They tried to place latah into several cultural and
psychological terms, such as cultural bound syndrome, regional
peculiarities, psychodrama shamanic, hysterical psychosis, arctic
hysteria, reactive psychosis, startled reaction, and fright neurosis. Latah
has become part of the power discourse in defining the identity of the
Malays, which is in between of personal and public place, profane and
sacred realm, and consciousness and unconsciousness. This article tries
to analyze the articles on latah which is considered as social and cultural
phenomenon in Southeast Asian countries, particularly in Indonesia.

Keywords: latah, psychocultural phenomenon, cultural emotion, Malays,


Malaysia, Indonesia, collective unconsciousness, psychoanthropology

Fenomena latah mengingatkan saya ketika Sungai Simpang Kanan. Sepulang dari sana
kecil. Pada waktu itu, saya tinggal di sebuah sembari membawa seember air, ia bertemu
daerah bernama Kuala Simpang. Daerah ini dengan para tetangga yang memang suka
terletak di perbatasan antara Aceh dengan menggoda si Atu’ ini. Para tetangga itu
Sumatera Utara. Di daerah yang indah ini, dengan tiba-tiba berkata “siram tu’-siram
setiap saat kita dapat melihat negara Malaysia tu’!”. Maka, dengan spontanitas, Atu’
yang hanya dibatasi oleh selat yang tak menyiramkan air yang dibawanya kepada
sedemikian lebar. Di Kuala Simpang ini, orang-orang tak dikenal yang tengah lewat...
hiduplah seorang laki-laki paruh baya yang Dan basahlah mereka…. (Irwan Abdullah,
rumahnya tak jauh bersebelahan dengan dalam Kuliah Tafsir Kebudayaan di Program
rumah orang tua saya. Laki-laki bernama Atu’ Antropologi Budaya, Universitas Gadjah
ini mempunyai kebiasaan yang sangat disukai Mada, 2 April 2006)
oleh tetangga-tetangga mereka, yakni latah.
Pada suatu waktu, ia tengah mencari air di
49
50 KADIR

Tabel 1.
Latah dan contoh-contoh ”latah” yang lain
Malayan Ainu Siberian Afro-Arab Lapp French
latah imu mieryachit ”latah” panic Canadian
jumping
Gender mainly mainly mainly mainly men mainly mainly men
women women women women
Coprolalia yes yes yes usually not not noted not noted
noted
Echolalia yes yes yes ? not noted yes
Echokinesis yes yes yes yes yes ?
Automatic yes yes yes not noted not noted yes
obedience
Local term yes yes yes in some cases not noted yes

Latah merupakan sebuah fenomena budaya Sejumlah analisis menunjukkan bahwa latah
yang pada umumnya terjadi pada masyarakat dapat merupakan fenomena psikologis yang
Melayu―sebagaimana ditunjukkan dalam muncul karena masyarakat Asia
narasi perkuliahan Irwan Abdullah (2006) di Tenggara―sebagai negara terjajah (colonized)
atas, meskipun, berdasarkan hasil penyelidikan dan terisolasi (isolated) dari dunia
Winzeler (1995), latah tidak hanya ditemukan luar―mengalami berbagai bentuk keterkejutan
dalam budaya Melayu (lihat Tabel 1). tatkala bertemu dengan dunia Barat yang baru,
Latah didefinisikan secara komprehensif asing, mengagumkan, dan penuh kekuatan
oleh Wilkinson (1902, dalam Winzeler, 1995), (Kenny, 1978; Tseng, 2006; Winzeler, 1984).
sebagai berikut: Tulisan ini di samping hendak mengkaji
lebih jauh analisis di atas, utamanya sekaligus
...Maka permainsuri pun latah-lah saperti ingin mengaitkan fenomena latah dengan emosi
orang gila tiyada khabarkan diri-nya: the sebuah kebudayaan, dalam hal ini latah di
queen fell into a fit of latah and became as semenanjung Malaya dan Indonesia.
one mad, not knowing what she was doing;
Ht. Koris. Karena bonda Morah di-dalam
Genealogi Fenomena Latah
latah-nya barang kata orang semuwa di-
turut-nya: Mother Morah is suffering from Latah merupakan suatu emosi kebudayaan
one of her fits of latah; all that people say she yang khas dari masyarakat Melayu (Gimlette,
mimichs; Ht. Koris. Pura-pura latah: 1912; Kenny, 1978; Winzeler, 1995).
pretending to be a latah subject; Sh. Bur.
Penafsiran terhadap latar belakang fenomena ini
Nuri, 23. Bukan-nya patah, ruwat; Bukan-nya
dapat dilakukan melalui pendekatan
latah, di-buwut: it is not broken but bent; it is
psikoantropologis, psikoanalisis, dan psikiatris.
not hysteria, it is only pretence; ― a
Dalam perspektif peneliti Barat, latah
proverbial expression, the first of which is
often given to suggest the second. L. Mulut: a merupakan suatu kondisi kebudayaan
slight form of latah in which a shock causes masyarakat yang sulit dimengerti sebab-
the victim to fly into a paroxysm of coarse akibatnya (Geertz, 1968). Munculnya latah
language but nothing more .... telah diteliti sejak abad pertengahan oleh
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 51

kalangan petualang hingga pegawai pemerintah Bias persepsi latah nampak pada definisi
kolonial. Dalam pandangan Barat, latah Horne (dalam Kenny, 1990: 332), sebagai
dipandang unik dan eksotis. Perspektif berikut:
psikokultural dalam pandangan Barat
menjelaskan keberadaan latah, misalnya, Latah: a mental disorder present in certain
sebagai berikut: lower class women past middle age
characterized by involuntary compulsive
The upbringing, general cultural environment, utterance of obscenities, parodying of other’s
and biological predisposition of the latah actions or other socially or morally offensive
victim combine in such a way that his/her behaviour.
susceptible to the kinds of shocks which
precipitate latah episodes. When such shocks Dari perspektif psikiatris telah banyak
occur barely repressed material of a largely sebutan yang ditujukan kepada penyandang
sexual nature spontaneously rises to the latah, seperti psychosis, hysterical psychosis
surface in the form of obscenities or arctic hysteria, reactive psychosis, startle
threatening erotic dreams. With the reaction, fright neurosis, dan hypnoid state
controlling powers of the ego temporary in (Ellis, 1897; van Brero, 1895). Berbagai istilah
abeyance, the latah may be induced to
tersebut menggambarkan bahwa latah
involuntarily imitate or repeat the words and
merupakan perbuatan dalam hal dimana
deeds of onlookers. (Kenny, 1990: 128)
individu mengalami kehilangan kontrol atas
dirinya sendiri. Latah diketahui bukan
Bagi orang Barat, di samping bersifat
merupakan pembawaan dari lahir, melainkan
eksotis, fenomena latah juga menjadi suatu
bersifat temporer, bergantung pada karakter
bahan anekdot tersendiri. Orang Barat
lingkungan pergaulan, dan dapat menular
menyebutnya sebagai “strange tales of native
kepada rekan lainnya. Mudahnya penularan ini
people” atau cerita aneh dari masyarakat
karena latah muncul secara spontanitas namun
pribumi (Kenny, 1990: 125-126). Dalam hal ini,
terus terjadi secara berulang, dalam bentuk
fenomena latah diserupakan dengan bentuk
perkataan dan ekspresi tubuh. Hal ini
mimikri terhadap fenomena hysteria, dalam hal
menyebabkan orang-orang disekitarnya mudah
mana istilah ini berhubungan erat dengan rahim.
sekali melakukan proses mimikri (peniruan)
Seorang perempuan Barat akan berteriak
terhadap pelaku latah yang berekspresi secara
histeris tatkala mengalami persalinan yang
berulang tersebut (Winzeler, 1984).
dilakukan secara tradisional yang sangat
Fenomena latah muncul semarak pada
menyakitkan. Namun, dalam perspektif laki-
masyarakat Islam di semenanjung Malaysia,
laki Barat, hysteria tidak dianggap sebagai
seperti Kelantan dan Trengganu, orang-orang
sebuah kesakitan, melainkan keanehan
pedalaman Semai di dataran tinggi
(peculiarities) yang dilakukan kaum perempuan
semenanjung Malaya, hingga membentang di
(Aberle, 1952; Yap, 1952). Istilah yang bernada
wilayah Jawa. Beberapa laporan menyebutkan
perbandingan antara bidang psikiatris dan
bahwa fenomena latah juga muncul di wilayah
antropologis ini merupakan dominasi persepsi
Serawak; Singapura; Kalimantan, khususnya
yang sangat “bias Barat”.
Dayak Iban; kaum migran Malaysia;
52 KADIR

masyarakat Jawa Timur, khususnya di Surabaya mempunyai kekuasaan yang bersifat superior.
(dalam wujud ritual drama masyarakat kelas Di Jawa, latah disinyalir muncul pertama
bawah); dan orang-orang Bali. Secara masif, kali pada kaum perempuan yang bekerja
kasus ini tidak muncul di kalangan Jawa sebagai pembantu di kalangan keluarga Belanda
aristokrat (priyayi) dan di perkampungan China. (Geertz, 1968: 96). Seorang pembantu dianggap
Oleh karena itu, keadaan latah bersifat regional mempunyai kontak terdekat dengan keluarga
culture atau indigenous milieu yang hanya ada penguasa yang ada di dalam rumah. Dengan
pada masyarakat tertentu, yakni khususnya pada demikian, latah merupakan gaya bahasa yang
masyarakat Melayu (Winzeler, 1991; Winzeler, telah terdistorsi maknanya, kemudian ia
1995). Pada masyarakat Barat, fenomena latah terdistribusikan keluar, sehingga menjadi arena
juga disebut sebagai cultural bound syndrome perbincangan yang cukup menyenangkan dan
yang terjadi pada lingkungan pergaulan tertentu seru di kalangan kelas bawah. Dalam konteks
(Winzeler, 1995: 5-6). ini, latah diinterpretasikan sebagai bentuk
Diskusi mengenai apakah latah merupakan imitasi bahasa yang tersebar pada wilayah rural
suatu bentuk kebiasaan abnormal, ataukah latah society. Penafsiran mengenai dampak
identik dengan identitas kebudayaan tertentu kedatangan kolonial ini diperteguh dengan
yang dianggap hal yang wajar, merupakan hal pengamatan H.B.M. Murphy (1976: 3-9).
yang menarik untuk diikuti. Salah satu pendapat Murphy menyatakan bahwa ia tidak
menganggap latah sebagai cultural bound menemukan referensi latah pada masyarakat
syndrome atau juga disebut regional Melayu sebelum tahun 1850 atau pertengahan
peculiarities, karena latah merupakan salah satu abad 19. Namun, Kenny mengemukakan
bentuk dari tingkat ke-stress-an seseorang yang bahwa, pengamatan Murphy ini sedikit lengah,
hanya ada pada wilayah tertentu. Beberapa mengingat wilayah pedalaman merupakan area
perspektif melihat bahwa fenomena latah yang lepas dari pengamatan, diperkuat dengan
sebagai bentuk epidemi kebudayaan pra-Eropa temuan lain yang mengungkapkan bahwa latah
di Melayu (Winzeler, 1995: 74-78). Masyarakat merupakan fenomena kaum pedalaman yang
dianggap terkejut tatkala menyaksikan telah ada, bahkan jauh sebelum kedatangan
kedatangan kolonial dengan tubuh mereka yang kolonial (Kenny, 1990: 127-130).
tinggi, putih, berbadan besar, serta nyata-nyata Di wilayah semenanjung Malaya,
berbeda dari bentuk fisik warga setempat. munculnya latah diinterpretasikan berasal dari
Sebagai respon psikologis, keterkejutan melihat dunia perdukunan yang penuh dengan dunia
masyarakat baru tersebut diekspresikan melalui misteri (Kenny, 1990: 131). Perspektif ini
kata-kata yang diucapkan secara cepat, riuh diistilahkan sebagai psychodramatic shamanic,
rendah, dan berulang-ulang, sehingga mewabah dalam hal mana individu pada tingkat
pada beberapa komunitas. Dengan demikian, keterkejutan tertentu akan mengalami momen-
latah dianggap sebagai bentuk keterpanaan momen yang bersifat trance/nirsadar secara
(startling), bentuk peniruan, dan sekaligus sesaat. Konsep latah pertama kali ditemukan
pengejekan (mimicry) terhadap kaum kolonial pada berbagai individu yang sering menyendiri
yang secara fisik berbeda dengan masyarakat di sebuah hutan. Keterkejutan secara alami
pribumi―namun yang sebagai pendatang dengan menyebut nama-nama binatang, seperti
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 53

harimau, macan, buaya, hingga ular, dipercaya terkejut bahwa ternyata ia mampu mengandung.
akan membawa spirit asosiatif dengan binatang Untuk mencegah dari perilaku latah yang
tersebut. Dalam hal ini, binatang, hutan, dan berkelanjutan, maka diperlukan seorang dukun
kesepian, diinterpretasikan sebagai suatu media yang mendampingi sang ibu ini. Kasus-kasus
transformasi individu menuju ke dunia misteri. mengenai dukun atau bidan tradisional yang
Individu mempunyai konsep diri yang mendua. menghadapi latah banyak ditemukan di dataran
Ketidaksadaran diri (loss of control) tinggi Semai, semenanjung Malaya (Ellis, 1897:
diidentifikasikan ketika ia masuk hutan, 33; Yap: 1952: 8-12). Dalam penyelidikan
sedangkan kesadaran diri (self-control) terhadap hal ini, diketahui bahwa latah muncul
diidentifikasikan ketika ia berada di kampung, karena sang ibu mengalami depresi hebat ketika
di tengah-tengah masyarakat. Kampung anak yang sangat dikasihinya meninggal dunia.
dianggap sebagai dunia yang penuh dengan Kasus-kasus latah ini mempunyai hubungan
nilai humanitas, penuh interaksi sosial yang erat dengan aspek medikal, yang kemudian
hidup, sedangkan sungai dimaknai sebagai ditangani oleh dukun perempuan yang dianggap
sebuah batas antara kampung dan hutan. Ketika mempunyai interaksi dengan makhluk di luar
seseorang telah memasuki hutan, maka ia akan manusia (Kenny, 1990: 132-134).
menemui sebuah kehidupan yang misterius dan Interpretasi lain terhadap fenomena latah
tak terduga. Tidak mengherankan apabila mengungkap bahwa kemunculannya dianggap
gerakan penyandang latah sering diidentikkan sebagai respon terhadap kecemasan seksual,
layaknya seekor macan yang tengah terkejut. khususnya kaum perempuan yang mengalami
Hal ini diperkuat dengan perilaku si latah dalam masa menopause karena menyadari bahwa
mengurangi keterkejutannya, yakni dengan ketuaan benar-benar telah mendatanginya
berespons yang seolah-olah bertemu dengan (Geertz: 1968: 103; Yap, 1952: 12; Winzeler:
macan pula. Demikianlah, gerakan latah 1984: 96). Interpretasi ini cukup meragukan,
manusia juga dipadankan dengan konsep shock, karena budaya pos-menstruasi atau menopause
atau keterkejutan yang menduplikasi gerak pada masyarakat Melayu―yang oleh
hewan di hutan. perempuan Barat dianggap sebagai sesuatu
Beberapa kasus di semenanjung Malaya yang menakutkan―sesungguhnya merupakan
juga menyebutkan bahwa gerak-gerik latah hal yang biasa-biasa saja bagi perempuan
menjadi alat bantu perhubungan antara arwah Melayu. Terdapat ada lima alasan, mengapa
dengan kehidupan pada saat terjadi kelahiran menopause bukan hal yang menakutkan bagi
seorang bayi. Gerak-gerik latah juga menjadi perempuan Melayu (Omar, 1994: 34-82).
alat bantu yang bersifat transenden, yang Pertama, menopause menandai masuknya
nampak pada momen-momen seperti perempuan ke fase kedua manusia. Perempuan
keterkejutan di saat tengah melakukan meditasi. justru memasuki sebuah dunia baru yang
Kasus keterkejutan juga terjadi pada ibu-ibu dianggapnya lebih matang. Kedua, kejadian
yang telah lama mempunyai keinginan untuk menopause seiring usia dianggap dialami oleh
mendapatkan momongan, dan ketika tahu perempuan yang lebih dewasa dan dihormati.
bahwa ia mengandung. Latah dengan tiba-tiba Beberapa etika adat mengharuskan orang yang
dapat disandang oleh ibu tersebut, karena ia lebih muda (biasa disebut anak) mengharuskan
54 KADIR

hormat padanya (seperti ungkapan, “Anak yang Latah merupakan fenomena yang menjadi
soleh mesti hormat orang tua, mesti ingat jasa arena multitafsir yang dapat dipandang dari
orang tua”). Meskipun tidak dapat berbagai konteks kejadian. Misalnya, latah
bereproduksi dan berhenti masa suburnya, diidentikkan dengan keeksentrikan yang
perempuan Melayu cukup bahagia, karena telah berkaitan erat dengan karakter perempuan
melewati masa tersebut. Ketiga, pendapat (effeminate), dihubungkan pada ranah mistis
perempuan Melayu yang sudah mengalami dan ketidaknormalan mental (mental disorder),
menopause selalu didengarkan oleh orang yang diakibatkan oleh keganjilan sebuah mimpi,
berada usianya berada bawahnya, karena hingga kegilaan (insanity) (Ellis, 1897; Geertz,
mereka dianggap lebih pandai dan bijak. 1968; Murphy, 1976; Winzeler, 1984). Clifford
Keempat, perempuan menopause mempunyai Geertz menyebut fenomena latah sebagai “stage
akses yang lebih bebas dalam berperan di fright” (Geertz, 1960: 241-260), yakni sebuah
masyarakat. keadaan dimana individu mengalami
Latah juga menghinggapi perempuan yang kehilangan kontrol dalam mode tindakan. Yang
terkena ilmu sihir, perempuan yang berprofesi dilakukan individu tersebut adalah
sebagai dukun beranak, kaum transvestit, pengungkapan berbagai simpul emosi yang
hingga dialamatkan pada penganut agama kuno terbaur menjadi satu, yakni antara keterkejutan,
(Kenny, 1990: 132). Demikianlah, bersama ketakutan, hingga keberanian. Beragamnya
dengan uraian lain di atas, fenomena latah di penafsiran terhadap fenomena latah karena
masyarakat nampak identik dengan gejala perbuatan ini menjadi sebuah gerak-gerik
perilaku yang dialami kaum perempuan, bawah sadar, dalam hal mana
khususnya perempuan kelas bawah yang penyikapan/respons terhadap suatu simbol dan
termarjinalisasi. Nampak bahwa peneliti Barat kode-kode tertentu bersifat spontan tanpa
yang bertemu dengan fenomena latah telah berafirmasi dengan masyarakat sekitar.
menciptakan batasan-batasan budaya Dalam kebudayaan Jawa, Geertz (1960;
berdasarkan kelas, politik aliran, gender, ras dan 1979) mengoposisikan kasus latah ke dalam
kebangsaan, yang kemudian diteorisasikan ruang budaya yang dikotomis antara mode
secara general, melalui bahasa-bahasa ilmiah. pembicaraan (mode of speech) yang “halus” dan
Teorisasi terhadap latah selama ini lahir dari “kasar”. Latah dianggap sangat tabu jika ia
ilmuwan di masa kolonial dan bersifat Euro- dilakukan dalam wilayah aristokrat (dalam hal
American-sentris. Beberapa pandangan melihat ini: keraton). Sebaliknya, latah menjadi
bahwa latah tidak lepas dari adanya fenomena emosional yang menyenangkan,
dikotomisasi budaya antara kelas bawah dengan bahkan menghibur, ketika berada di wilayah
kelas atas serta perempuan dan laki-laki. masyarakat akar rumput. Wilayah aristokrat
Fenomena ini muncul pada dua wilayah dipandang selalu dipenuhi dengan atmosfir
subordinan, yakni pada perempuan dan perbuatan penuh kesopanan dan pengendalian
masyarakat kelas bawah. diri, sebaliknya wilayah akar rumput
dikontekskan sebagai masyarakat ekspresif,
Latah dalam Berbagai Konteks kasar, riuh rendah dan tak memberi ruang ketat
Psikoantropologi Emosi pada nilai hierarkis (Geertz, 1979: 333-348;
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 55

Kenny, 1990: 126). dengan sejumlah uraian sebelumnya. Konsep


Lingkungan pergaulan pada kasus latah latah yang tumbuh di semenanjung Malaysia
menjadi kode tersendiri bagi masyarakat tidak lepas dari adanya colonial encounter
sekitarnya. Dalam budaya Jawa, kedudukan (antara colonializer dengan colonialized),
atau status seseorang ditentukan oleh banyak sehingga latah tumbuh ketika terjadi kontak
hal di samping kekayaan, keturunan, pekerjaan, antara pembantu yang keluarga tuan kolonial
dan usia. Mode berbahasa dan gaya berbicara yang ada dalam rumah, kemudian membentuk
merupakan kode yang sangat jelas sebuah distribusi mimikri. Dengan perkataan
menunjukkan sebuah status. Latah identik lain, konsep latah terbangun melalui konstruk
dengan kelas bawah karena perilaku ini nyaris servant-mastery antara masyarakat setempat
tidak memberi ruang kerendahatian si dengan kaum koloni.
pembicara, di samping menghadirkan ekspresi Ketiga, latah mempunyai hubungan erat
emosi yang tidak mencerminkan bahwa si dengan istilah semangat atau tindakan yang
pelaku latah tengah berbicara dengan kelas cukup berapi-api dari individu. Karakter emosi
yang lebih atas, atau berhadapan dengan kelas kesemangatan dari individu ini bersifat defensif
yang lebih bawah. (Kenny, 1990: 130-131). Kesemangatan
Di Jawa, latah dianggap sebagai suatu perucapan latah terjadi ketika ada pemicu yang
bentuk bahasa yang lepas dari organisasi sosial menggerakkan keterkejutannya, dan pelaku
yang kaku dan dianggap sebagai budaya kasar akan mengeluarkan respon balik yang juga bisa
karena sejumlah hal (Geertz, 1960; Geertz, diartikan sebagai bentuk pertahanan. Bentuk
1968). Pertama, perbuatan latah lepas dari semangat yang defensif dianggap sebagai
serangkaian konjugasi bahasa yang seharusnya strategi untuk mereduksi kekhawatiran dan
penuh dengan hierarki dan kerapian. Untuk ketakutan penyandang latah. Dalam perspektif
mengeluarkannya, tak perlu ada pemilihan kata Jawa, perilaku berapi-api, terlalu bersemangat
denotatif yang penuh kesopanan, karena latah dan mudah terkejut, mudah heran (“Ojo
keluar nyaris tanpa kesengajaan dan rekayasa. kagetan, ojo nggumunan”) merupakan tindakan
Kedua, latah identik dengan keterusterangan yang tidak dianjurkan oleh kalangan aristokrat
terhadap suatu maksud dan kehendak. Jawa. Tindakan ini hanya pantas dilakukan oleh
Sedangkan dalam aristokrasi Jawa, konsep orang-orang yang tidak berpendidikan dan
kehendak merupakan sesuatu yang sebaiknya berperadaban halus. Merupakan karakter orang
tidak diungkapkan secara langsung, tiba-tiba, Jawa untuk selalu tenang, sabar, dan bijak,
serta transparan. Menjadi lebih bijaksana ketika menanggapi sesuatu.
apabila suatu kehendak ditunda atau Keempat, kata-kata spontan yang
disembunyikan terlebih dahulu. Dalam perilaku dikeluarkan dalam latah sering bersifat cabul
Jawa, langkah bijak terhadap suatu kekecewaan (dirty jokes) dan merujuk kepada anggota-
dan keterkejutan bukan respon secara ekspresif, anggota tubuh yang sensitif, seperti menyebut
melainkan diungkapkan di belakang atau salah satu bagian alat kelamin dengan
dengan cara solilokui (Bahasa Jawa: menggunakan bahasa daerah. Padahal
nggembremeng atau menggerundel). Analisis mengeluarkan kata-kata tubuh tertentu sangat
pertama dan kedua tersebut agak berbeda dianggap tidak sopan dalam pandangan kelas
56 KADIR

terdidik dan aristokrat. Pada tataran perilaku Tertawa akibat melihat kelatahan seseorang
kecabulan, penyandang latah justru menjadi menghadirkan suasana interpretasi emosi yang
suatu hiburan tersendiri, tatkala dengan ambigu pula. Pada satu sisi, respons
responsif ia memelorotkan celana atau pakaian penyandang latah dianggap menyenangkan
penutup aurat tertentu akibat dikejutkan oleh sekaligus menghibur, namun di sisi lain respons
suatu perintah secara tiba-tiba. Dalam sebuah penyandang latah dianggap tidak pantas atau
studi kasus, pada fenomena latah di Serawak bahkan subversif. Latah dapat dikategorikan
yang merujuk pada sejumlah nama hewan, sebagai tindakan subversif karena didalamnya
dunia mistis dan organ seksualitas tubuh juga terdapat lelucon yang menjadi sebuah bahan
terjadi, seperti laporan berikut (Kenny, 1990: tertawaan, dalam hal mana lelucon ini
136): mempunyai sifat menyindir yang sangat keras
terhadap nilai-nilai normatif yang berlaku
A survey study of latah among Malay women dalam struktur suatu masyarakat. Dalam kaitan
included as content: male genitalia hanging dengan hal ini, Danadjaja (2002) memasukkan
on a tree; detached male and female genitalia lelucon ke dalam bagian folkore lisan, yakni
on their own; basketfuls of steamed male cerita rakyat yang masuk ke dalam sub bagian
genitalia; giving birth; ghosts and worms;
dongeng. Dandjaja mengatakan bahwa joke
snaky; monkey and crocodiles; similar
atau anekdot berfungsi sebagai protes sosial
dreams are reported from peninsular
atau sindiran, dapat juga digolongkan sebagai
Malaysia as well.
joke politik. Latah dapat menjadi bagian
Pada konteks wilayah Trengganu, Malaysia, sindiran tersebut. Ruang humor pada kasus
latah pada kaum laki-laki diidentikkan dengan latah menunjukkan simbol ekspresi emosi yang
kepemilikan potensi menyanyi yang baik. hierarkis―egaliter dalam sebuah relasi sosial.
Sedangkan, perempuan latah dianggap sebagai Selain dipercaya sebagai sebuah gejala yang
perempuan yang elegan dan penuh kehormatan bersifat sementara (transitory), terdapat dua
(jika meminjam istilah Jawa: “perempuan yang karakter lainnya bagi penyandang latah.
tanpa tedeng aling-aling”) (Geertz, 1968: 100). Pertama, yang bersifat natural, misalnya, pada
Di Jawa, sang pelaku latah dianggap sebagai kasus beberapa anggota keluarga di Jawa yang
orang yang lucu. Semakin ia mudah terkejut rentan menyandang kebiasaan latah ini,
dan semakin cabul kata-kata yang dikeluarkan, sehingga tidak jarang orang Jawa
semakin lucu orang menganggapnya. Kelucuan menganggapnya sebagai suatu “keturunan
akan semakin bertambah karena sang pelaku sosial”. Di sisi lain, latah menjadi bagian dari
terkadang berani mengeluarkan kata-kata yang ekshibisionisme, atau sekedar pameran yang
tak beraturan (chaotic) dengan merusak tatanan dibuat-buat, akibat meniru tren dari rekan-
bahasa baku yang telah ada. Akibat kelucuan rekannya (Elliz, 1897: 32-40).
yang berulang-ulang, maka seringkali rekan- Dalam konstruk jender, latah berkaitan erat
rekan si latah tak bosan menggodanya. Inilah dengan karakter keperempuanan (effeminate),
mengapa fenomena penyandang latah di Jawa karena latah sering dialami oleh kaum
justru mendapatkan empati tersendiri dalam perempuan. Namun demikian, konstruk jender
lingkungan pergaulan. ini mengalami ambiguitas. Hal ini karena
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 57

perempuan yang menyandangnya dianggap sadar. Oleh karena latah diidentikkan dengan
memiliki tingkat femininitas yang rendah situasi liminal tubuh, maka latah juga muncul
apabila dikaitkan dengan konsep semangat dan dari batas pertemuan yang sifatnya dikotomis.
ekspresivitas emosi meledak-ledak―yang Interpretasi awal mengira bahwa kondisi latah
seharusnya disandang oleh kaum laki-laki muncul dari adanya colonial encounter, namun,
(Kenny, 1990:34-5). Di sisi lain, bagi laki-laki, selanjutnya, interpretasi mistis menganggap
latah yang dialami perempuan justru dianggap bahwa latah juga muncul dari adanya
sebagai suatu perilaku yang tidak maskulin dan pertemuan masyarakat kampung dengan
penuh kecabulan, karena yang menjadi makhluk asing di hutan (encounter in forest).
parameter maskulinitas bagi laki-laki adalah Dalam hal ini, kampung didudukkan sebagai
amok/ngamuk (Jawa; Aceh: Aceh Pungoh; wilayah berkebudayaan, sedangkan hutan
Maluku: Kapitang) (Reid, 1992), dalam hal ditempatkan sebagai wilayah misterius dan
mana laki-laki yang pernah mengamuk tidak untuk dihuni. Bagi para penduduk
dianggap sebagai laki-laki yang kuat, bahkan kampung, memasuki hutan akan menimbulkan
disegani. Selanjutnya, lagi-lagi, perempuan berbagai keterkejutan dari suara-suara aneh
penyandang latah didudukkan pada posisi yang yang kemudian diikuti oleh penduduk.
ambigu, karena keterkejutan perempuan di satu Pengikutan inilah yang kemudian dianggap
sisi menunjukkan suatu hubungan emosional dengan asal munculnya latah.
yang penuh semangat dan demonstratif, namun Kedua, latah dapat disimpulkan sebagai
di sisi lain dipandang bahwa perempuan fenomena emosi kebudayaan Melayu yang
tersebut berada di posisi kesadaran yang tidak sifatnya partikular dan khas, sebagaimana telah
seimbang. Pada kode kultural yang lain, latah ditunjukkan oleh seluruh tulisan di atas. Sifat
juga identik dengan laki-laki yang berorientasi khusus dan khas ini semakin diperkuat dengan
seksual sejenis (homoseksual) dan transvestit. dialaminya kesulitan oleh para teoris Barat
Beberapa laporan, seperti Peacock (1968), untuk menentukan seperti apakah representasi
menggambarkan model kelatahan yang konsep latah pada masyarakat Melayu. Sejauh
diaplikasikan dalam berbagai pertunjukkan ini, latah sempat didefinisikan dalam beberapa
lawak. konsep, seperti psychosis, hysterical psychosis
arctic hysteria, reactive psychosis, startle
Kesimpulan dan Saran reaction, fright neurosis, hypnoid state, hingga
psychodramatic shamanic. Munculnya konsep
Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat
psikologis ini berasal dari pertemuan antara
disimpulkan bahwa, pertama, pada fenomena
masyarakat pribumi dengan masyarakat
latah terkandung batas-batas psikologis budaya
kolonial―yang mendefinisikan perilaku lokal
dimana karakternya menjadi sebuah peran
masyarakat Melayu. Kajian Barat melihat
tersendiri bagi seseorang yang menyandangnya.
bahwa latah sebagai bentuk emosi budaya
Latah berada pada ruang-ruang batas pertemuan
dianggap sebagai bagian dari bentuk
yang bersifat ambigu, antara lain: (a) ruang
ketidaksadaran kolektif (collective
sakral dan profane, (b) ruang personal dan
unconsciousness) dari masyarakat Timur.
ruang publik, (c) ruang liar dan ruang normatif,
Nampak bahwa terdapat sebuah rasionalitas
dan (d) diri yang sadar dan diri yang tidak
58 KADIR

tersendiri dari budaya Timur yang gagal Kenny, M.G. (1978, September). Latah: The
ditangkap oleh bangunan narasi besar dari symbolism of a putative mental disorder.
ilmuwan Barat. Memang, selama ini teori besar Culture, Medicine and Psychiatry, 2(3),
dalam ilmu pengetahuan modern mempunyai 209-231.
bias problematis, karena menghasilkan otoritas Kenny, M.G. (1990). Latah: The logic of fear.
dalam melegitimasi dan mengonsepsikan Dalam Karim, W.J. (Ed.), Emotions of
fenomena sosial kebudayaan dan makna culture. Singapore: Oxford University
kebenaran, menciptakan nilai-nilai dengan Press.
mengklaim siapa yang normal siapa yang Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of
bukan, serta siapa yang tinggi dan siapa yang latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-
rendah. bound syndromes, ethnopsychiatry, and
Latah harus dipahami sebagai sebuah istilah alternative therapies. Honolulu: The
yang memuat fenomena dan fakta emosi yang University Press of Hawaii.
kompleks. Untuk meneliti lebih lanjut, sangat Peacock, J. L. (1968). Rites of modernization:
diperlukan data lapangan secara mendetail dan Symbolic and social aspects of Indonesian
interpretasi psikohistoris-budaya yang proletarian drama. Chicago: University of
meyakinkan serta representatif. Chicago Press.
Omar, R. (1994). Malay woman in the body:
Bibliografi Between biology and culture. Kuala
Lumpur: Fadjar Bakti.
Aberle, D. F. (1952). Arctic hysterial and latah
Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam kurun
in Mongolia. Transactions of the New York
niaga 1450-1680: Tanah di bawah angin
Academy of Sciences, 2nd series, 14, 291-
(Mochtar Pabotinggi, Penerj.). Jakarta:
297.
Yayasan Obor Indonesia.
Danandjaja, J. (2002). Folklore Indonesia.
Tseng, W.-S. (2006). From peculiar psychiatric
Jakarta: Grafitti.
disorders through culture-bound syndromes
Ellis, W. G. (1897). Latah: A mental malady of
to culture-related specific syndromes.
the Malays. Journal of Mental Science, 43,
Transcultural Psychiatry, 43(4), 554-576.
32-40.
Yap, P. M. (1952). The latah reaction: Its
Gimlette, J. D. (1912, Agustus). Remarks on the
pathodynamics and nosological position.
etiology, symptoms, and treatment of latah,
Journal of Mental Science, 98, 515-564.
with a report of two cases. British Medical
van Brero, P. C. (1895). Latah. Journal of
Journal, 2, 455-457.
Mental Science, 41, 537.
Geertz, C. (1960). The religion of Java. Free
Winzeler, R. L. (1984, April). The study of
Press, Glencoe, Ill.
Malayan latah. Indonesia, 37, 77-104.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
Winzeler, R. L. (1991). Latah in Sarawak, with
cultures. New York: Basic Books.
the special reference to the Iban. Dalam
Geertz, C. (1979). Abangan, santri, priyayi,
Sutlive, V. H. (Ed.), Female and male in
Jakarta: Pustaka Jaya.
Borneo: Contribution and challenges to
Geertz, H. (1968, April). Latah in Java: A
gender studies. Williamsburg, VA: College
theoretical paradox. Indonesia, 5, 93-104.
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 59

of William & Mary.


Winzeler, R. L. (1995). Latah in Southeast
Asia: the history and ethnography of a
culture-bound syndrome. UK: Cambridge
University Press.
60 KADIR
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 60–63

Menyimak Kritik Bandler

Limas Sutanto
Asia Pacific Association of Psychotherapists

The purposes of this article are to describe Bandler's criticism toward


behaviorism and its further influence to the works of helping professions
(psychologists, psychiatrists, counselors, psychotherapists, etc). The
author described the facts that the therapeutic effect of the works
delivered by the helping professions in this country was not as efficient
and effective as it had expected. This was due to the theoretical
interpretation which received more attention from the professionals, than
observation and attendance to the physiological process in the brain (as
the concrete object of soul and self) of troubled persons. The author
suggested that the curriculum and training of helping profession
education need to be developed and invited the educators and trainers to
have deeper concern toward observing and listening skill ability of those
who are students of helping field of study.

Keywords: brain, soul, self, helping professions, therapeutic effect,


theoretical interpretations, observing and listening abilities

Apa yang dikemukakan Richard Bandler canggih di tengah alam semesta), dan kemudian
(salah satu pelopor dan pengembang dari kotak hitam itu keluarlah sebuah respons.
neurolinguistic programming) dalam bukunya, Mereka memastikan, apa yang terjadi hanyalah
Richard Bandler’s Guide to Trance-formation antara S dan R (stimulus dan response).
(2008), cukup penting untuk disimak oleh para Menyikapi itu semua, Bandler menegaskan
psikolog, psikiater, konselor, psikoterapis, dan dengan ungkapan lugas, “They were wrong”.
insan-insan lain yang terangkum dalam helping Yang keliru adalah bahwa apa yang terjadi
professions. Bandler (2008) mengatakan dengan antara S dan R itu sedemikian diabaikan,
ungkapan yang agak keras, bahwa para terapis padahal justru sesungguhnya apa yang terjadi di
perilaku (behaviorists) mengejawantahkan sana–yang terjadi dalam otak–sangat penting
inspirasi B.F. Skinner dengan mencoba untuk diketahui. Pengetahuan mengenai apa
memecahkan masalah jiwani dengan yang terjadi dalam otak itu akan sedemikian
mengeliminasi (mengabaikan) otak. Mereka memungkinkan para psikolog, psikiater,
melewatkan, atau mem-by pass otak serta konselor, dan psikoterapis untuk membantu
menerangkan betapa semua perilaku adalah klien atau pasien membuat perubahan secara
buah dari suatu rangsangan (stimulus) yang cepat dan efektif pada dirinya; atau, dengan
masuk ke dalam “kotak hitam” (black box) perkataan lain, membantu klien atau pasien
(yang sesungguhnya adalah otak–organ paling memecahkan masalah-masalahnya dan
60
KRITIK BANDLER 61

mencapai penyembuhan secara cepat dan yang sangat diperlukan oleh setiap psikolog,
efektif. Pada titik ini, terapi (psikoterapi dan psikiater, konselor, dan psikoterapis, sebagai
konseling) perlu mendapatkan pemaknaan baru, orang-orang yang dianggap mampu dan perlu
sebagai sebuah proses relasional yang menguak melaksanakan tugas serta keahlian mereka
fakta-fakta tentang apa yang terjadi dalam otak. sebagai helper dan terapis bagi klien-klien atau
Ungkapan “apa yang terjadi dalam jiwa” kini pasien-pasien mereka. Yang sangat diperlukan
perlu dimaknai lebih konkret sebagai “apa yang adalah kesediaan dan kemampuan untuk
terjadi dalam otak”. Oleh karena apa yang melihat (mengamati) dan mendengarkan setiap
terjadi dalam otak itu pada dasarnya merupakan klien atau pasien dengan tepat. Melihat
perubahan-perubahan neurologis dan (mengamati) serta mendengarkan dengan tepat
perubahan-perubahan bahasa, maka psikolog, berarti mengetahui apa yang terjadi dalam otak
psikiater, konselor, dan psikoterapis perlu (jiwa; diri) pasien dan klien, sebagaimana
memahami perubahan-perubahan neurologis adanya; sekali lagi, sebagaimana adanya,
apa dan perubahan-perubahan bahasa apa yang bukan “apa yang terjadi dalam diri klien atau
terjadi dalam otak pasien atau klien. pasien berdasarkan penafsiran (interpretasi)
psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis”,
Mengamati dan Mendengarkan Porus bukan pula “apa yang terjadi dalam diri klien
atau pasien menurut teori atau kerangka teoretis
Perubahan-perubahan neurologis pada
ini atau itu”.
seseorang selalu menampakkan gejala-gejala
dan tanda-tanda yang dapat dilihat (diamati)
Sibuk Melekat Pada Teori
dan didengarkan oleh orang lain. Perubahan-
perubahan bahasa pada seseorang pun dapat Yang patut disesalkan adalah bahwa apa
dilihat (diamati) dan didengarkan oleh orang yang tergelar di tengah kenyataan kinerja
lain. Pada titik ini Bandler menegaskan betapa profesional dan pelaksanaan tugas para
manusia selalu saja membocorkan isyarat- psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis,
isyarat melalui setiap porus (“lubang terkecil di di sana-sini, justru masih mencerminkan betapa
permukaan tubuhnya”) tentang apa yang terjadi mereka sibuk sekali menekankan dan membela
dalam otaknya, tentang bagaimana dirinya teori-teori mereka, dan mereka selalu saja repot
memproses informasi. Kata Bandler, “People mencoba menafsirkan (menginterpretasikan)
leak clues from every pore about how they’re pengalaman klien-klien atau pasien-pasien
processing information.” Bandler memandang mereka, bukan melihat (mengamati) dan
bahwa setiap manusia selalu saja membocorkan mendengarkan apa yang sedang terjadi dalam
isyarat-isyarat itu tanpa henti. Oleh karenanya, otak (jiwa; diri) pribadi yang sedang berada di
ia menegaskan bahwa manusia tidak pernah hadapan mereka.
tidak berkomunikasi, atau tidak pernah bisa Pada perspektif ini, psikolog, psikiater, dan
berhenti mengomunikasikan dirinya kepada psikoterapis psikoanalitis (mungkin termasuk
orang-orang lain, bahkan ketika ia memutuskan penulis sendiri!) mengatakan bahwa mereka
untuk tidak mengatakan apa pun kepada siapa dapat meraih kebenaran tentang klien atau
pun. pasien melalui tindakan menganalisis dan
Apabila demikian, maka terdapat hal-hal menginterpretasikan mimpi-mimpi klien atau
62 SUTANTO

pasien, melalui tindakan menganalisis dan mereka yakini, dan mereka tidak makin
menginterpretasikan resistensi serta transferensi memahami apa yang sesungguhnya terjadi
yang terjadi dalam relasi mereka dengan klien dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien.
atau pasien. Sebagian terapis–seiring dengan Mereka memahami apa yang benar menurut
teori-teori yang mereka kuasai–meyakini, dan peta mereka sendiri, bukan memahami peta
selalu saja meyakini bahwa seorang pasien atau sang klien atau pasien sebagaimana adanya.
klien gangguan stres pascatraumatis Yang dipahami oleh psikolog, psikiater,
(posttraumatic stress disorder) akan mengalami konselor, dan psikoterapis adalah the truth
penyembuhan seiring dengan makin seringnya according to my own theory, atau the reality as
dia “mengalami kembali dan mengolah” I subjectively perceived, bukan what was
(working through) pengalaman traumatisnya. happening inside the patient’s psyche, bukan
Padahal, apa yang terjadi dalam otak (jiwa; diri) pula what is really happening in the patient’s
klien atau pasien gangguan stres pascatraumatis brain.
adalah pengulangan-pengulangan nirsadar
pengalaman traumatis. Oleh karena itu, dapat Kesimpulan dan Saran
dikatakan bahwa sesungguhnya problem pasien
Sungguhkah memahami klien atau pasien
atau klien gangguan stres pascatraumatis
menurut pengertian terapis sendiri (berdasarkan
berintikan obsesi dan kompulsi untuk kembali
teori yang dikuasai oleh terapis; berdasarkan
ke pengalaman traumatis yang telah berlalu.
interpretasi yang dibuat oleh terapis) adalah
Dengan memahami “apa yang terjadi dalam
lebih bermanfaat bagi klien atau pasien
otak (jiwa; diri) pasien atau klien”, dan bukan
daripada memahami apa yang sedang terjadi
memahami “semata berdasarkan teori tertentu”,
dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien?
dapat dipertanyakan, apakah pendekatan yang
Kendati jawaban kita bisa dan boleh sedemikian
menekankan tindakan “mengalami kembali dan
beragam, namun tidak ada salahnya psikolog,
mengolah pengalaman traumatis” merupakan
psikiater, konselor, dan psikoterapis menyimak
pendekatan yang terbaik untuk menyembuhkan
kritik Bandler untuk menumbuhkembangkan
pasien atau klien gangguan stres
kemampuan terapeutis profesionalnya. Dapat
pascatraumatis.
dirasakan, kurikulum pendidikan dan pelatihan
Semakin sibuk dan lekat seorang psikolog,
berbagai helping profession (psikolog, psikiater,
psikiater, konselor, dan psikoterapis terhadap
konselor, dan psikoterapis), dan praksis
teori-teori terapinya, semakin banyak pula lah ia
pendidikan dan pelatihan berbagai helping
melakukan interpretasi terhadap klien atau
profession itu, di negeri ini, masih kurang,
pasiennya. Selanjutnya, seiring dengan kian
bahkan mungkin sangat kurang, memberikan
seringnya mereka melakukan interpretasi,
perhatian pada upaya menumbuhkembangkan
mereka pun menjadi kian kehabisan waktu
kemampuan melihat (mengamati) dan
untuk melakukan dua aktivitas profesionalnya
mendengarkan dengan tepat, bagi setiap peserta
yang terpenting: melihat (mengamati) dan
didik.
mendengarkan. Hasilnya adalah, psikolog,
Kritik Bandler mungkin dapat menggugah
psikiater, konselor, dan psikoterapis makin
kita untuk menumbuhkembangkan kurikulum
memahami klien atau pasien menurut teori yang
pendidikan dan pelatihan serta praksis
KRITIK BANDLER 63

pendidikan dan pelatihan bagi psikolog,


psikiater, konselor, dan psikoterapis yang
memberikan perhatian besar bagi upaya
menumbuhkembangkan kemampuan yang
efektif untuk melihat (mengamati) dan
mendengarkan dengan tepat.

Bibliografi
Bandler, R. (2008). Richard Bandler's guide to
trance-formation: How to harness the
power of hypnosis to ignite effortless and
lasting change. Florida, US: Health
Communications, Inc.
64 SUTANTO
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 64–70

Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah


Dalam Perspektif Psikologi Sosial
Koentjoro Beben Rubianto
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Forum Komunikasi Tafsir Hadis Indonesia

The purpose of this article is to describe the dynamics of radicalism


among the Indonesian Moslems. In Indonesia, radicalism is mostly
induced by the Moslems’ depressed and threatened feeling due to their
being marginalized in political life and individually brainwashed by the
religion teachers through dogmatic teaching. From group processes point
of view, Islamic radicalism groups tried to enlist people to their groups as
they believe that this recruiting effort will unify Islam and the country.
The author proposes his opinion that the radical groups in order to be exist
and as they were unable to find alternatives for their struggle, they
provoked terrorism. Reasoned action theory (Ajzen & Fishbein, 1980) and
frustration–aggression theory (Dollard, Doob, Miller, Mowerer, & Sears,
1939) in the field of social psychology are relevant to analyze the
Moslems’ radical behavior. The author suggested that Islamic radicalism
needs appropriate channels for their concerns (for example, through mass
media); however, it also needs to be sharply distinguished from terrorism
and violence for Islam means "natural law", "safe", and "peace".

Keywords: radicalism, terrorism, militant, Islam, losers, ingroup-


outgroup feeling, reasoned-action, frustrations, psychology of
teaching/dakwah, religious peace

Bom yang meledak di Sharm el-Sheik, Afganistan, tetapi juga sebutan-sebutan


Mesir, pada 2005, yang menewaskan sedikitnya tadi―apalagi dikaitkan dengan peledakan
88 orang, konon merupakan perbuatan salah bom―cenderung ditujukan kepada kelompok-
satu jaringan Al-Qaeda (“Al-Qaeda Mesir,” kelompok bernuansa Islam. Artinya, sebutan
2005), meskipun indikasi ini perlu dikaji radikal, militan, dan teroris dianggap memiliki
kebenarannya. Yang pasti, pelaku peledakan daya tarik bila dikaitkan dengan sentimen
bom di area wisata laut merah―maupun dalam keagamaan daripada dengan ideologi, politik,
peristiwa ledakan-ledakan bom lainnya―akan budaya, hankam, dan lain-lain, serta cenderung
mendapat tanggapan dan sebutan yang berkonotasi negatif. Benarkah demikian?
bermacam-macam dari masyarakat, antara lain: Menurut penulis, invasi atau campur tangan
radikal, militan, dan teroris. Yang menarik, Amerika ke Afganistan, Libia, Palestina,
bukan saja Obama sekarang mulai menarik Bosnia, dan kemudian dilanjutkan invasi
pasukannya dari Irak dan akan berkonsentrasi di Amerika ke Irak, semakin membenarkan
64
RADIKALISME ISLAM 65

hipotesis Huntington (1998), bahwa dengan Pada tahun 1996, Sarwono Kusumaatmadja
redanya perang dingin Amerika versus Soviet, menyadarkan penulis bahwa kita bangsa
maka yang dianggap musuh Amerika adalah Indonesia adalah bangsa yang besar.
Islam. Dikatakannya, bahwa ada sekitar 15-20 persen
Tulisan ini hendak menelaah bagaimana penduduk Indonesia yang memiliki taraf
radikalisme Islam terjadi di Indonesia dan kehidupan sebagaimana orang Swiss
mengapa hal tersebut harus terjadi di Indonesia. (Kusumaatmadja, komunikasi personal di
Gedung Konsulat RI di Melbourne, 1996).
Indonesia sebagai Melting Pot Apabila di tahun itu jumlah penduduk Indonesia
adalah 195 juta (Badan Pusat Statistik Republik
Negara yang berpenduduk dan memeluk
Indonesia, 2006), maka orang Indonesia yang
agama Islam terbesar di dunia adalah Indonesia.
memiliki taraf kehidupan sebagaimana orang
Oleh karenanya, ada saja yang menganggap
Swiss berjumlah kira-kira 30-40 juta. Marilah
bahwa Indonesia adalah ancaman apabila ia
kita bandingkan dengan Australia yang total
merupakan negara yang kuat. Hal ini dapat
jumlah penduduknya hanya sekitar 20,4 juta
dibuktikan dari fenomena “Indonesia Phobia”
(“Australia,” 2009) dengan luas wilayah yang
yang ditunjukkan oleh sebagian politisi dan/atau
sedikit lebih besar daratannya dibandingkan
masyarakat Australia (“Australians see,” 2005).
dengan Indonesia. Dengan tingkat keterdidikan
Dalam konteks ini, apabila teori Huntington
masyarakat Indonesia yang makin meningkat
diterapkan di Indonesia, dan melihat fenomena
dan apabila kemudian jumlah kelas menengah
terorisme di Indonesia, maka teori itu kemudian
bertambah, ini dianggap oleh mereka sebagai
mendekati kebenaran. Indonesia sebagai negara
sebuah ancaman. Oleh karena itulah, penyebab
berpenduduk mayoritas Islam yang kaya
teror kemudian diciptakan, dan Indonesia
sumberdaya jelas merupakan ancaman.
merupakan melting pot-nya. Kelompok pesimis
Di mata penulis, aksi teror bukanlah hanya
akan mengatakan bahwa Indonesia tidak akan
aksi bom dan penembakan misterius. Namun,
pernah aman.
lebih dari itu, kasus narkoba juga bagian dari
Sebuah tesis hasil penelitian mahasiswa
terorisme. Kekalahan Cina atas Inggris hingga
program Magister Psikologi di Sekolah
lepasnya Macau dan Hongkong terjadi akibat
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
candu. Afganistan menjadi bulan-bulanan
Yogyakarta meneliti hubungan antara ayat yang
Amerika; banyak orang tidak menyangka
mengandung jihad dengan tingkat agresivitas.
bahwa Afganistan adalah produsen opium
Ditemukan bahwa mahasiswa yang
terbaik di dunia. Belajar dari sejarah Cina
mendapatkan bacaan ayat yang mengandung
dengan perang candunya, maka dapat
jihad, agresivitasnya meningkat secara
dipertanyakan apakah narkoba yang beredar di
signifikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa
Indonesia terkait dengan terorisme ini. Amerika
radikalisme tidak selalu disebabkan karena
dan beberapa Negara sekutunya menghendaki
tindakan represif suatu rezim pada umat Islam,
agar Indonesia, negara dengan jumlah
tetapi juga dapat terjadi karena proses
penduduk yang beragama Islam terbesar di
brainwashing. Ketaatan yang terkait dengan
dunia ini, menjadi kerdil alias tidak pernah
agama seringkali dapat terjadi karena sifat
menjadi besar.
66 KOENTJORO DAN RUBIANTO

dogmatis dari ajarannya. Banyak kisah kemerdekaan demikian kuat, maka perbedaan
menunjukkan keterkaitan tersebut, baik pada yang ada di antara mereka tidak mereka
sekte keagamaan di Amerika, Afrika, maupun hiraukan. Bagi mereka, yang penting adalah
Asia. Misalnya, seorang santriwati dibujuk oleh merdeka. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila
kyainya agar mau dinikahi dengan alasan kemudian bergulir semboyan, “Merdeka atau
menjadi istri kyai jaminan surga; hal ini jauh Mati!”. Dalam bahasan psikologi, kelompok
lebih baik, menurut sang kyai, dari pada dengan kondisi di atas merupakan gambaran
santriwati tersebut di dunia tidak mendapat bahwa mereka telah mengacuhkan perasaan
surga. Oleh karenanya, tidaklah aneh apabila ingroup-outgroup. Bahwa tujuan yang lebih
militanisme dalam kegiatan radikalisme dalam besar mengalahkan sentimen dan loyalitas pada
agama ini dapat dengan mudah dibentuk. Orang kelompoknya.
dengan mudah dan sukarela dipengaruhi untuk Dampak dari perasaan ingroup-outgroup lah
mati syahid atas nama sebuah perjuangan, yang kemudian dapat memunculkan
“Lebih baik dapat surga di akhirat daripada superioritas. Bahwa kelompokku lebih hebat
tidak mendapat surga di dunia maupun di apabila dibanding dengan kelompok lain. Dalam
akhirat.” Barangkali hal ini diilhami dari sebuah pendekatan statistika, posisi kelompok radikal
kredo “isy kariman au mut syahidan” (“Hidup ini terletak pada dua ujung sebuah kurva
mulia atau mati syahid”). Menurut penulis, normal, yang menurut penulis terjadi secara
dalam konteks bahasan ini, lebih tepat apabila alamiah.
kredo itu berbunyi “isy kariman wa mut Ada orang atau kelompok yang menyatakan
syahidan” (“Hidup mulia dan mati pun bahwa ketidakpuasan orang-orang Islam radikal
syahid”). tertentu terhadap kebijakan penguasa pada
waktu perjuangan merebut kemerdekaan
Radikalisme dalam Perspektif Indonesia menyebabkan mereka berhimpun
Group Processes dalam satu wadah, yaitu Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam
Ketika Indonesia belum merdeka, terdapat Indonesia (NII). Menurut mereka, barangkali
kesadaran yang amat kuat pada masyarakat salah satu sumber masalahnya adalah
negeri ini untuk bersatu, bahu membahu perdebatan tentang pasal 29 UUD 1945.
mengusir penjajah. Sejarah mencatat Pendapat orang atau kelompok ini benar, namun
munculnya organisasi Islam, seperti Sarikat tidaklah seluruhnya benar. Ketika kemerdekaan
Dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdatul tercapai, kemudian “kue kekuasaan” dibagi dan
Ulama, yang dengan gaya dan caranya masing- aturan main kemudian dibuat. Muncullah
masing berjuang, bersatu dengan kelompok ketidakpuasan pihak-pihak yang terlibat. Di
nasionalis dan kelompok lain, untuk sinilah bentrok dan radikalisme di awal
memerdekakan negeri ini. Pada zaman sebelum kemerdekaan terjadi. Ketiga negosiasi-negosiasi
kemerdekaan ini, ada sebagian mereka yang politik jalan buntu, ketika golongan Islam
ketika berperang mengelompokkan diri dalam berhadapan dengan golongan nasionalisme,
ikatan agama, serta ada pula yang masing-masing kelompok berusaha masuk
mengatasnamakan ikatan tertentu yang lain. wilayah kekuasaan, namun pada sisi lain, ada
Meskipun demikian, karena tujuan
RADIKALISME ISLAM 67

juga kelompok yang teraleniasi dan itu adalah tempat orang-orang Islam teralienasi pada
golongan Islam. Kondisi ini dapat dilihat jaman rezim Soeharto dan bahkan Soekarno.
bahwa, hingga tahun 1955, terjadi beberapa kali Zada (2003), mengutip pendapat Hunter,
pergantian kepemimpinan di Indonesia. mengemukakan enam ideologi gerakan yang
Islam adalah sebuah ideologi agama syamil dapat mempersatukan kelompok radikal, yaitu:
(global), kamil (sempurna), wamutakamil (dan
disempurnakan). Jutaan umat Islam setiap hari (a) konsep din wa daulah. Islam merupakan
melihat fenomena yang beraneka ragam di sistem kehidupan total, yang secara universal
masyarakat. Banyak orang kemudian merasa dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu,
tidak puas terhadap tatanan dan kondisi dan tempat. Pemisahan antara din (agama)
dan daulah (negara) adalah hal yang mustahil
masyarakat yang amburadul tidak sesuai ajaran
dapat diterima oleh kelompok radikal. Bagi
Islam. Bukanlah hal yang mustahil apabila
kelompok radikal, agama dan negara adalah
kemudian banyak yang ingin melakukan
dua hal yang tak terpisahkan dan hendaknya
purifikasi agama. Mereka tidak puas dengan dipahami secara integral; (b) kembali ke
kondisi lingkungannya yang jauh berbeda Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini, umat Islam
dengan ajaran dan syariat Islam, atau, paling diperintahkan untuk kembali pada praktek
tidak, dengan idealisme mereka tentang Islam, ajaran Nabi yang puritan dalam mencari
syariat, dan Negara Islam. Orang yang sealiran keaslian ajaran dan pembaruan; (c)
dengan pemahaman ini, melalui interaksi puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai
mereka yang sengaja mereka selenggarakan dan adat-istiadat Barat ditolak sebagai sesuatu
atau kebetulan, kemudian berhimpun diri. yang sekuler dan asing bagi Islam. Oleh
karena itu, mereka menuntut agar media
Dengan alasan pemurnian ajaran agama, maka
massa mampu memberikan dakwah secara
mereka menciptakan simbol-simbol dan cara
puritan yang berkeadilan sosial. Namun,
berpakaian yang berbeda dengan khalayak
tuntutan yang demikian itu mungkin akan
ramai. Akibatnya sangatlah jelas, bahwa mengalami masalah besar, sebab pada sisi
simbolisme merupakan proses pemilahan “siapa yang lain, kesadaran jender menuntut adanya
yang termasuk kelompok saya” dan “siapa yang pemaknaan ulang terhadap Al Qur’an; (d)
bukan termasuk kelompok saya”. Kondisi ini kedaulatan syariat Islam; (e) jihad sebagai
diperparah dengan tindakan represif rezim instrumen gerakan; dan (f) perlawanan
Soeharto yang pada satu sisi terhadap Barat yang hegemonik dan
menumbuhsuburkan Islam―yang seperti intervensinya di Negara-negara Islam, seperti
dimaui penguasa saat itu, namun pada sisi yang Libia, Bosnia, Palestina, Afganistan, dan Irak
(Ahmed & Donnan, 1994).
lain memberangus kegiatan Islam yang
berseberangan dengan keinginan rezim.
Dalam konteks tersebut, penulis
Tindakan represif itu tidak membunuh akar
berpendapat bahwa, bagi penganut radikalisme
gerakan Islam radikal, namun justru
modern di Indonesia, kenyataan adanya sejarah
memberikan dampak pada militanisme dan
DI/TII dan NII menjadi semacam reinforcement
radikalisme. Kondisi ini pernah penulis
atau penguat perilaku, atau pertanda bahwa
buktikan ketika berkunjung ke Manly (sebuah
dahulu pun pernah ada gerakan radikal seperti
suburb di utara Sydney). Di sana, ada masjid
yang mereka lakukan saat ini.
68 KOENTJORO DAN RUBIANTO

Radikalisme dan Perilaku Orang Kalah dilakukan melalui media.


Kelompok radikal yang satu terhadap yang
Radikalisme dalam Islam pernah tercoreng lain secara santun juga menginginkan adanya
dengan kasus yang dimuat dalam novel Tuhan, superioritas, meskipun pada dasarnya mereka
Ijinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka adalah minoritas. Dengan demikian, konflik
Seorang Muslimah, karya Muhidin M. Dachlan antar-kelompok radikal pun amat sangat
(2004), yang secara tidak sengaja membedah mungkin terjadi. Sebuah pertanyaan yang
kehidupan kelompok radikal. Novel itu pantas diajukan adalah, “Mungkinkah kelompok
membuka kedok bahwa kelompok yang minoritas mempengaruhi mayoritasnya?"
menggunakan simbol atau asesoris Islam Jawabnya adalah mungkin. Menurut teori
radikal tertentu ternyata tidak melaksanakan psikologi, kelompok minoritas dapat
syariat dan ajaran Islam secara kaffah mempengaruhi mayoritas apabila terpenuhi
(menyeluruh). Radikalisme yang clandestine beberapa syarat, antara lain: (a) apabila jika
lah, menurut hemat penulis, yang justru terdapat masalah yang menyangkut kepentingan
merupakan gerakan yang paling mungkin dan umum, mereka berdiri dan menjadi garda
paling efektif dilakukan oleh kelompok radikal terdepan, dan (b) apabila mereka konsisten
Islam di balik lingkungan sistematis budaya dengan perjuangannya dan ideologinya
Barat yang amat dominan dan membelenggu. (Koentjoro, 2002).
Kegiatan teror yang dilakukan oleh kelompok
ini merupakan metafora tentang eksistensinya.
Radikalisme dalam Perspektif Psikologi
Meskipun diakui bahwa terorisme
merupakan bagian dari psy-war, namun Dalam konteks Psikologi Dakwah,
terorisme adalah tindakan orang kalah. fenomena radikalisme dalam Islam sungguh
Terorisme berbeda dengan radikalisme dan tidak menguntungkan. Islam dalam hal ini jauh
militanisme. Teror memiliki dua sifat: (a) terror dari kesan sebagai agama yang rahmatan lil
for production of fear, yang bersifat murni dan ‘alamin. Dengan metafora pedang dan huruf
dirancang untuk menimbulkan rasa takut, dan Arab dalam bendera Islam, serta teriakan
(b) terror by siege, yang bersifat kontra-teror, “Allahu Akbar!“ dan tidak takut mati, tentulah
dengan sengaja menciptakan suasana membuat miris orang yang melihatnya.
mencekam untuk menimbulkan situasi berjaga- Terdapat beberapa stigma tentang Islam yang
jaga (Koentjoro, 2002). Meski perilakunya muncul secara kental, antara lain: (a) Islam
adalah sama, namun dalam hal makna ia adalah kekerasan atau teror, (b) Islam adalah
berbeda, karena radikalisme dan militanisme merusak dan tidak memberi solusi, dan (c)
tidak selalu ditempuh melalui terorisme. Agama yang berhak eksis di muka bumi
Terorisme, menurut penulis, adalah bahasa hanyalah Islam. Gerakan Islam radikal lebih
orang kalah. Teror adalah alternatif terakhir cenderung berorientasi memerangi orang atau
dari sebuah perjuangan. Perjuangan radikalisme kelompok masyarakat atau agama yang
dan militanisme di abad mendatang sebenarnya berusaha mempengaruhi orang masuk ke agama
dapat dilakukan melalui media. Reputasi Islam selain Islam. Di samping itu, perasaan ingroup-
telah hancur, karena efek media. Oleh karena outgroup juga menyebabkan munculnya
itulah, sudah saatnya perjuangan umat Islam pandangan bahwa orang-orang yang Islamnya
RADIKALISME ISLAM 69

tidak seperti mereka merupakan orang kafir. menarik untuk diamati. Namun eksklusivisme
Belajar dari kasus G-30-S/PKI, maka kita mereka menjadikan peneliti amat susah masuk
dapat saja tidak setuju atau memberantas kedalam kelompok ini. Penelitian tentang
komunisme. Namun, manusia pengikut ajaran komando jihad pernah juga dilakukan oleh
komunisme itulah yang harus kita sadarkan dan mahasiswa Magister Psikologi UGM, namun
kita ajak masuk Islam, bukan malah dimusuhi mereka mendapatkan kendala untuk masuk
atau dijauhi seperti selama ini. lebih dalam. Anehnya, banyak Islam radikal
Ketika penulis (Koentjoro) belajar di selalu mengatasnamakan dirinya sebagai Ahlul
Melbourne Australia pada tahun 1996, penulis Sunnah Wal Jamaah.
dan kawan-kawan kedatangan satu kelompok Menurut perspektif frustrasi-agresi yang
radikal. Sebagai saudara setanah air, mereka dikembangkan oleh Dollard, Doob, Miller,
kami anggap sebagai tamu terhormat yang Mowerer, dan Sears (1939), agresivitas suatu
sedang melakukan syiar agama. Namun perilaku individu atau kelompok sebanding
demikian, mereka tidak menyadari bahwa dengan tingkat frustrasi yang dialami oleh
perilaku mereka menusuk perasaan istri ketua kelompok atau individu tersebut. Radikalisme
kelompok pengajian kami. Pada saat memang berbeda dengan agresivitas, namun
rombongan itu bertamu ke rumah ketua dalam banyak hal, kita melihat adanya korelasi
kelompok pengajian kami, pintu dibuka dan antar keduanya. Iklim demokratis dan
yang membukakan pintu adalah istri ketua kemerdekaan berserikat telah dibuka sejak
kelompok pengajian kami. Namun, mereka pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga kini.
kemudian dengan segera menutup matanya Ini mengindikasikan bahwa, dalam konteks
dengan telapak tangannya sembari gerakan, terdapat perbedaan ideologi
membelakangi nyonya rumah. radikalisme antara zaman Soeharto dengan
Kondisi seperti di atas jelas amat tidak pasca Abdurrahman Wahid. Frustrasi akibat
menguntungkan bagi perkembangan Islam. tindakan represif barangkali sudah tidak ada
Oleh karenanya, persepsi terhadap Islam yang lagi, demikian pula gerakan clandestine.
telah mengarah menjadi stigma harus diubah Radikalisme yang terjadi saat ini lebih kepada
kedalam mekanisme dakwah yang sejuk, pemurnian ajaran agama Islam, dan sebagian
menerima, dan bukan menghukum. Dalam lagi adalah tuntutan konsep din wa daulah
perspektif keperilakuan, agama atau keyakinan (Islam sebagai sistem kehidupan total).
berada di atas sikap dan amat sangat sulit
diubah. Kondisi ini barangkali menjelaskan Kesimpulan dan Saran
kepada kita tentang militanismenya mereka.
Radikalisme dan militanisme memang
Berdasarkan pendekatan teori reasoned action
dalam hal tertentu dibutuhkan untuk purifikasi
dari Ajzen dan Fishbein (1980), keyakinan akan
agama. Namun demikian, Islam sebagai agama
radikalisme dapat dianalisis terletak pada
rahmatan lil ‘alamin tetap harus diciptakan,
wilayah objective norms dan subjective norms,
karena Islam itu sendiri artinya “selamat” atau
yang amat dekat dengan niat dan perilaku.
“kedamaian”. Bukankah Tuhan
Perilaku kelompok radikal dengan segala
mengultimatum, “watawaa shou bilhaq
cirinya, sebagai sebuah fenomena sosial,
watawaa shou bisshabr” (Menegakkan
70 KOENTJORO DAN RUBIANTO

kebenaran haruslah disertai dengan http://www.thejakartapost.com/news/2005/0


kesabaran/santun)? Penempatan bilhaq dan 4/21/australians-see-susilo-openminded-
bissharb dalam satu ayat yang sejajar, honest.html
mengindikasikan bahwa secara teologis, Tuhan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
menghendaki adanya fatsoen (kode etik) dalam (2006). Tingkat kemiskinan di Indonesia
menegakkan ajaran-Nya. Oleh karena itu, perlu tahun 2005-2006. Ditemukembali pada 6
diciptakan mekanisme yang memberi April 2009, dari
kesempatan untuk menjadi militan dan radikal. http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskin
Namun, kedamaian agama lewat silaturahmi an-01sep06.pdf
juga wajib ditegakkan. Dachlan, M. M. (2004). Tuhan, izinkan aku
Satu hal yang perlu dievaluasi adalah bahwa menjadi pelacur! Memoar luka seorang
hendaknya militanisme dan radikalisme muslimah. ScriPta Manent.
dibedakan dari kekerasan. Militan dan radikal Dollard, J., Doob, L., Miller, N. E., Mowerer,
tidak selalu berbuat kekerasan yang melanggar O. H., & Sears, R. R. (1939). Frustration
aturan. and aggression. New Haven, CT: York
Untuk menciptakan pencitraan radikalisme University Press.
yang baik, perjuangan melalui media sangat Huntington, S. P. (1998). The clash of
penting dilakukan umat Islam saat ini. civilizations and the remaking of world
Hancurnya FEER, Asiaweek, dan media lain order. UK: Simon & Schuster.
yang menjadi kepanjangan tangan Amerika, Koentjoro. (2002). Psikologi politik: Materi
mengindikasikan adanya kesadaran terhadap kuliah mahasiswa program S1 psikologi
local wisdom. Bahwa telah terdapat kesadaran Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
kritis bangsa untuk tidak dicekoki informasi Tidak diterbitkan.
dari satu arah saja. Zada, K. (2003, 15 Agustus). Ideologi Gerakan
Islam Radikal. Media Indonesia.
Bibliografi
Ajzen, I., & Fishbein, M. 1980. Understanding
attitudes and predicting social behavior.
NJ: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Al-Qaeda Mesir bertangung jawab atas bom
Sharm El-Sheikh. (2005, 24 Juli).
Kapanlagi.com. Ditemukembali pada 6
April 2009, dari
http://www.kapanlagi.com/h/0000074077.ht
ml
Australia. (2009). Wikipedia. Ditemukembali
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Australia
Australians see Susilo as open-minded, honest.
(2005, 21 April). The Jakarta Post.
Ditemukembali pada 6 April 2009, dari
RADIKALISME ISLAM 71
Psikobuana ISSN 2085-4242
2009, Vol. 1, No. 1, 71–72

Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana


(Judul, 22 point Centered)

Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi


Nama dan alamat lembaga (12 point centered)

Abstract is written in English and Indonesian, limited to 200 words, and


written in single paragraph. Abstract should contain goal, research
method, and short description of result. (11 point, use block format, no
indentation).

Keywords: written inline, three to ten words (10 point).

Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format umumnya mengikuti kaidah-kaidah yang tertuang
final artikel Jurnal PsikoBuana. Bagian pendahuluan dalam Publication Manual of the American
ini tanpa menggunakan heading "Pendahuluan" atau Psychological Association (APA) 5th ed. (2001).
"Latar Belakang". Heading tanpa penomoran dengan maksimal dua
peringkat sub-heading:
Panduan Bagi Penulis
Ini Heading
Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk
softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush
ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah Left, Capitalize Keywords)
surat pemberitahuan revisi.
Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first
artikel yang tidak dimuat. Kepastian line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading
pemuatan/penolakan /revisi dilakukan secara peringkat satunya adalah "Prosedur Pengumpulan
tertulis. dan Analisis Data", maka teks dalam paragraf ini
Manuskrip orisinal beserta tiga eksemplar menerangkan hal tersebut.
salinannya dikirimkan dalam format soft copy Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a)
(Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan
media cakram kompak ke alamat surat Sidang masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan
Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak
alamat penyunting@psikobuana.com diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian,
gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan
Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji
hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan
sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi
Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New
dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan
Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan, tidak
problem-problem terkait yang dipandang dapat
melebihi 15 halaman. Penulisan naskah pada
memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,
PANDUAN BAGI PENULIS

implikasi, dan rekomendasi. Artikel hasil pemikiran


Bibliografi
meliputi: (a) pendahuluan (latar belakang, tujuan,
ruang lingkup), (b) bahasan utama (terbagi dalam Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D.
beberapa bagian), dan (c) penutup atau kesimpulan (2002). The personality paradox in offender
dan rekomendasi. profiling: A theoretical review of the processes
Tabel dan gambar harus diberi caption involved in deriving background characteristics
(judul/keterangan) menggunakan huruf besar di from crime scene actions. Psychology, Public
awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case Policy, and Law, 8(1), 115-135.
untuk gambar), serta dengan penomoran yang Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of
berurutan. Caption tabel diletakkan di atas, geographical profiling. UK: Virgin Books.
sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997,
simetris di tengah (centered), dan dibuat ukurannya April). Level of voice among adolescent males
tidak terlalu kecil. and females. Paper presented at the bi-annual
Usahakan penggunaan gambar dua warna meeting of the Society for Research in Child
(hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar. Development, Washington, DC.
Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam Johnson, E. (1995). The role of social support and
format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian gender orientation in adolescent female
bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin development. Disertasi, tidak diterbitkan,
penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus University of Denver, Denver, CO.
disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of
ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound
statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p < syndromes, ethnopsychiatry, and alternative
0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05 therapies. Honolulu: The University Press of
untuk uji-t; 2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk Hawaii.
kai kuadrat, dan sejenisnya. National Council Against Health Fraud. (2001).
Pseudoscientific psychological therapies
scrutinized. NCAHF news, 24(4).
Cara Mengacu dan Bibliografi
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
Penulisan acuan mengikuti format APA (2001). http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html
Contoh cara mengacu: Petition for the recognition of police psychology as
Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, "Setiap a proficiency in professional psychology.
fase dari tahapan itu hendaknya dilalui," namun .... (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009,
Subagyo ("Kesalehan Lingual," 2008) dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police
berargumen bahwa kekerasan verbal .... %20Psychology%20Proficiency%20Petition-
Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter, Final.pdf
Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a; Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori
McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. &
serupa mengenai .... Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya
Bibliografi, terbatas pada sumber yang dirujuk, asli diterbitkan tahun 1970)
disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A New Brain
termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang for Intel. Time Magazine, 9-10.
berasal dari sumber primer (laporan penelitian,
artikel jurnal / majalah ilmiah). Contoh penulisan
bibliografi:

Anda mungkin juga menyukai