Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS MODUL HUKUM AGAMA DAN MORAL Seorang Pasien Yang Menolak Pengobatan

KELOMPOK 6
030.07. 198 030.08. 218 030.09. 016 030.09. 017 030.09.018 030.09.019 030.09.021 030.09.082 030.09.084 030.09.085 030.09.086 030.09.087 030.09.134 030.09.135 Olga Ayu Pratami Rifqa Wildaini Andreas Ronald Barata s Andreas Surya Andri Changat Angelia Elisabeth Mambu Angelina Goenawan Fanny Isyana Fardhani Febrian Tan Jaya Febriani Muldiati Fenni Cokro Fhiserra Kusuma Primadha Lailil Indah Seftiana Laksmi Putri Ayukinati

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

BAB I PENDAHULUAN

Dalam pelaksanaannya, dunia kedokteran berpegang teguh kepada empat kaidah dasar moral (moral principles) yaitu: otonomi berarti setiap tindakan medis haruslah memperoleh persetujuan dari pasien, beneficence berarti setiap tindakan medis harus ditujukan untuk kebaikan pasien, non-maleficence berarti setiap tindakan medis harus tidak boleh memperburuk keadaan pasien, dan justice berarti bahwa sikap atau tindakan medis harus bersifat adil. Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti etika kedokteran saat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai perawatan kesehatan mereka telah diabadikan dalam aturan hukum dan etika di seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak Pasien dari World Medical Association menyatakan: Otonomi pasien adalah salah satu hak pasien yang mendasar oleh karena berkaitan dengan hak asasi dalam memperoleh perlindungan atas integritas tubuhnya. Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pasien dewasa yang sehat mentalnya memiliki hak untuk memberi izin atau tidak memberi izin terhadap prosedur diagnosa maupun terapi. Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusannya. Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa yang akan diperoleh, dan apa dampaknya jika menunda keputusan.

BAB II LAPORAN KASUS

Skenario 1 Ny. S 35 tahun datang berobat ke sebuah klinik bedah dengan keluhan utama tidak dapat buang air kecil. Setiap kali ingin BAK perlu ditolong dengan memakai kateter. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap termasuk dengan kolonoskopi, ditemukan adanya tumor pada daerah kolon yang mendesak vesika urinaria sehingga mengakibatkan kesulitan BAK. Dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan pembedahan pengangkatan tumor mengingat tumornya belum seberapa besar. Ny. S dan keluarga setuju dengan saran dokter dan menandatangani informed consent. Saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak terjadi perlengketan dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium sebelah kiri. Dihadapkan pada kenyataan yang ada pada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah, dokter segera memutuskan untuk melakukan reseksi kolon dan mengangkat ovariumnya tanpa konsultasi dulu dengan dokter obgyn. Setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan penyinaran itu, Ny. S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena sangat mual dan nyeri yang kadang hampir tidak tertahankan. Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apapun dan memilih tinggal dirumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa diobati dan hidupnya tidak lama lagi.

Skenario II Sikap Ny. S yang menolak semua terapi dari dokter berdampak pada kondisi fisiknya yang semakin kurus. Atas saran teman-temannya dan juga desakan keluarga, Ny. S lalu mencoba berobat ke pengobatan alternative. Ramuan jamu dari pengobatan alternative ternyata tidak memberikan perbaikan pada kondisi kesehatannya. Kondisi Ny. S semakin parah dan sekarang malah sering merasakan sakit yang luar biasa yang hampir tidak tertahankan. Melihat keadaan Ny. S, suaminya lalu minta bantuan dokter didekat rumahnya

untuk mengatasi rasa sakitnya. Dokter lalu memberikan suntikan morfin. Akibat suntikan itu, Ny. S tertidur dan kelihatannya rasa sakitnya bisa diredakan. Namun setelah efek morfin itu hilang, Ny. S tampak kembali kesakitan sehingga dokter terpaksa harus memberikan suntikan morfin beberapa kali dengan dosis yang semakin bertambah. Pada akhirnya nyawa Ny. S tidak dapat dipertahankan, ia akhirnya meninggal.

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Status Pasien Identitas Pasien Nama Usia : Ny. S : 35 tahun

Jenis Kelamin : Wanita Alamat Status Pekerjaan :: Menikah :-

Tanda Vital Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Suhu :::::: Tidak dapat buang air kecil

Keluhan Utama

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat Penyakit Keluarga: -

3.2. Daftar Masalah

Daftar masalah Ny. S

Dasar

Penjelasan Sangat pasien mempengaruhi mengenai persepsi

Menderita tumor di kolon yang Hasil menyebabkan sulit buang air pemeriksaan kecil kemudian saat dilakukan dokter operasi, ditemukan tumor primer di ovarium kiri. Tindakan reseksi kolon

penyakitnya.

Pasien merasa sakit parah dan penyakitnya disembuhkan tidak dapat

dan Tindakan dokter Menurut sisi medis dan moral, tanpa bedah tindakan yang dilakukan dokter ini bertujuan baik demi kebaikan

pengangkatan konsultasi

ovarium

pasien. Namun, sebaiknya dokter memberikan penjelasan akan

tindakannya ini kepada keluarga pasien setelah operasi selesai. Ada pula kemungkinan bahwa keluarga pasien dapat menjadikan hal ini sebagai perkara. Komunikasi yang kurang baik Riwayat Komunikasi merupakan elemen

pemeriksaan oleh penting dalam setiap hubungan dokter dokter-pasien. Komunikasi yang salah dan buruk dapat berdampak buruk bagi kedua belah pihak. Pada kasus ini dokter seharusnya sigap dan empati terhadap

penderitaan pasien dan berusaha mengurangi Komunikasi penderitaannya. buruk dapat

berdampak pada penolakan terapi dan sederet masalah lainnya. Penyuntikan morfin Hasil Menurut kelompok kami, indikasi

pemeriksaan

dan pemberian mungkin sudah

dokter di dekat tepat, namun dibutuhkan edukasi rumah dan pengawasan yang ketat akan efek samping pemberian morfin. Perlu juga ditelusuri mengenai cascade anti nyeri dalam

menangani kasus kanker stadium akhir. Terapi alternatif yang sia-sia Hasil anamnesis Pasien berusaha mendapatkan

pengobatan dengan jamu namun tidak mendapat hasil dan

kondisinya semakin memburuk. Dokter sebaiknya mengedukasi

mengenai terapi alternative dengan benar agar pasien tidak

membahayakan dirinya sendiri. Paliatif care Hasil pemeriksaan Dapat dilakukan kualitas untuk hidup

meningkatkan

pasien. Dilaksanakan melalui ilmu interdisiplin. melibatkan dengan Sebaiknya rohaniwan kepercayaan juga sesuai pasien.

Dipandang dari segi bioetik juga baik sebab mengutamakan prinsip beneficience.

3.3. Perspektif hukum A. Perluasan Operasi

Pada pasal 7 PerMenKes No.585/MenKes/Per/IX/1989 disebutkan bahwa: (1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.

(2) Perluasan operasi ang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. (3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.1 Pada kasus ini, diketahui bahwa saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak perlengketan dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium kiri. Pada keadaan ini, perluasan operasi dapat dilakukan karena dihadapkan pada kenyataan yang ada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah. Namun yang sangat disayangkan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini, seharusnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti USG sebelum dilakukan operasi agar tidak terjadi kesalahan diagnosis. Dalam hal ini, seperti yang tercantum pada ayat ke (3), dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau

keluarganya mengenai perluasan operasi yang telah dilakukan. B. Penolakan Tindakan Medis Oleh Pasien

Pada Declaration of Lisbon (1981) : The Rights of the Patient disebutkan beberapa hak pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang bebas, hak menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi, hak atas kerahasiaan, hak mati secara bermartabat, dan hak atas dukungan moral atau spiritual.2 Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 menyebutkan beberapa hak pasien, yakni hak atas informasi, hak atas second opinion, hak atas kerahasiaan, dan hak atas persetujuan tindakan medis. Menurut UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 4-8 disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan; akses atas sumber daya; pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan; lingkungan yang sehat; info dan edukasi kesehatan yg seimbang dan bertanggung jawab; dan informasi tentang data kesehatan dirinya. Hak-hak pasien dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi: 1. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat). 2. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, izin ybs, kepentingan ybs, kepentingan masyarakat). 3. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan penyelamatan nyawa atau cegah cacat). Selain itu, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (Perlindungan Pasien) Pasal 56 disebutkan:

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. (2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada: a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas; b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c. gangguan mental berat. (3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.3 Pada kasus diketahui bahwa setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan penyinaran itu, Ny. S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena mual dan nyeri yang kadang-kadang hampir tidak tertahankan. Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apa pun dan memilih tinggal di rumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa diobati dan hidupnya tidak akan lama lagi. Berdasarkan ketentuan hukum yang telah tersebut di atas, seorang dokter wajib memberikan penjelasan mengenai segala tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien, namun Ny. S berhak untuk memilih atau menghentikan pengobatan baginya. Dalam hal ini, dokter tidak bisa memaksakan keputusan pasien, namun dokter dapat memberikan penjelasan ulang tentang apa yang akan terjadi apabila pasien menolak pengobatan, serta memberikan second opinion pada pasien. Jika memungkinkan, dapat pula disarankan pada pasien dan keluarganya untuk mendapatkan pelayanan perawatan paliatif.

C.

Paliatif Care

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization; WHO) memberikan definisi perawatan paliatif sebagai berikut (2005): Paliative Care is an integrated system of care that: improves the quality of life, by providing pain and symptom relief, spiritual and psychosocial support from diagnosis to the end of life and bereavement. (Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang meningkatkan kualitas hidup, dengan meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan dukungan spiritual dan

psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hidup, dan dukungan terhadap keluarga yang merasa kehilangan). perawatan paliatif merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang relatif baru di Indonesia. Kebijakan perawatan paliatif ini baru dicanangkan pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dengan diterbitkannya SK Menkes RI nomor

604/MENKES/SK/IX/1989. Sedangkan pelayanan perawatan paliatif untuk masyarakat baru dimulai pada tanggal 19 Februari 1992. pada pasien ini, dimana telah mengalami kanker stadium lanjut karena diketahui telah terjadi penyebaran dari kanker primernya dan menolak untuk mendapatkan pengobatan, sebenarnya mungkin dapat disarankan untuk mengikuti paliatif care sebagai second opinion untuk meningkatkan kualitas hidup serta meringankan penderitaannya. Selain itu, dapat pula memberikan dukungan pada keluarga melalui pelayanan ini.

3.4. perspektif bioetika

1. Dokter bedah mengangkat tumor ovarium tanpa konsultasi ahli Obstetri dan Ginekologi Penjelasan dari sudut pandang bioetika: Secara bioetika seorang dokter bedah yang melakukan perluasan operasi tanpa mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada yang lebih berkompeten dapat dibenarkan apabila tujuannya adalah untuk menegakkan asa beneficence dan nonmaleficence. Dalam sudut pandang beneficence, dokter akan melakukan segala sesuatu demi kebaikan pasien sehingga yang telah dilakukan dokter adalah baik menurut etika karena pada saat itu gangguan kausatif ( tumor primer ) Ny. S adalah pada ovarium kirinya sehingga demi kesembuhan Ny. S seharusnya ovarium kiri harus diangkat Menurut aspek nonmaleficence (do no harm), maka tindakan pengangkatan ovarium kiriyangdilakukan dokter bedah tersebut adalah baik karena apabila dokter bedah harus menutup kembali luka operasi demi kepentingan untuk mengkonsultasikan dan memeriksakan Ny. S terlebih dahulu kepada ahli Obstetri dan Ginekologi, maka ini akan merugikan pasien dari segi waktu, luka operasi, dan biaya karena operasi harus dilakukan dua kali. Pandangang etika menyatakan tindakan dokter bedah tersebut buruk apabila setelah perluasan operasi yang dilakukan, dokter bedah tidak memenuhi aspek otonomi pasien dan

justice bagi pasien. Sehingga untuk memenuhi aspek tersebut, maka komunikasi post operasi menjadi sesuatu yang penting dan jangan sampai diabaikan. 2. Penolakan kemoterapi dan radioterapi Tindakan Ny. S melakukan penolakan kemoterapi dan radioterapi dipandang buruk dalam sudut pandang etika. Hal ini dikarenakan etika berpandangan bahwa apabila Ny. S menolak melakukan terapi yang seharusnya dapat berhasil karena tumor primer yang ada telah diangkat tetapi malah menolaknya, maka hal ini akan berdampak pada pembiaran diri untuk meninggal perlahan seperti yang terjadi pada eutanasia pasif atau bunuh diri. Solusi yang terbaik adalah memberikan edukasi dan komunikasi, serta pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dari aspek biopsikososial dan kulturan yang dilakukan oleh dokter, keluarga, dan pemuka agama untuk memperbaiki persepsi pasien sehingga pasien memiliki motivasi tinggi untuk mejalankan pengobatan dan sembuh. 3. Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi sesungguhnya merupaka hak otonomi pasien, menurut sudut pandang bioetika. Namun, hal ini dipandang buruk secara etika karena berdasarkan etika teleologi yang berpegang teguh pada hasil yang didapatkan akibat perbuatan pasien tersebut, maka akan berakibat pada penyerahan diri kepada kematian yang seharusnya bisa ditunda apabila pasien mau menjalankan terapi sebagaimana mestinya sesuai prosedur yang ada. 4. Pengobatan alternatif yang menjadi pengobatan sia-sia Secara deontologi, maka pengobatan alternatif adalah baik adanya karena tujuannya adalah untuk menolong orang yang sakit, tetapi hal ini dipandang buruk oleh etika karena dalam pandangan teleologi, hasil yang didapatkan oleh Ny. S melalui pengobatan alternatif tidak ada dan cenderung memperburuk keadaan Ny. S karena penyakit Ny. S yang tidak terobati oleh terapi alternatif tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengobatan sia-sia yang merugikan Ny. S sehingga aspek beneficence dan nonmaleficence tidak terpenuhi. 5. Terapi palliative dengan morphin Pada dasarnya tujuan dokter memberikan terapi palliative dengan morphin adalah untuk mengurangi rasa sakit Ny. S karena dokter bermaksud untuk melakukan yang terbaik demi pasien, seperti yang tercermin dalam praktik beneficence menurut bioetika. Hal ini menjadi baik menurut etika. Namun, akan menjadi buruk menurut etika apabila

dokter dalam pemberian morphin pada Ny. S tidak memberikan edukasi yang adekuat kepada keluarga Ny. S mengenai efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian morphin tersebut, pemberian morphin tidak sesuai indikasi, tidak melakukan pemantauan berkala terhadap Ny. S setelah pemberian morphin. Hal demikian berarti dokter melanggar prinsip otonomi pasien, beneficence, nonmaleficence dan justice.

3.5 Perspektif Kedokteran Perspektif kedokteran dapat dimasukkan dalam pandangan kedokteran terhadap tindakan dokter bedah dalam perluasan operasi, edukasi yang diberikan dalam kemoterapi dan radioterapi, terapi alternative, pemberian analgetik pada pengobatan paliatif

a. Tindakan perluasan operasi seharusnya dokter bedah menyadari kompetensinya pada saat akan melakukan perluasan operasi pada tumor primer ovarium kiri. Tumor primer ditemukan saat operasi dilakukan sehingga pengangkatan ovarium kiri tidak tercantum dalam informed consent yang telah dilakukan pada preoperative sehingga diperlukan pendapat dari dokter obstetric dan ginekologi sebelum dilakukan pengangkatan. Konsultasi seharusnya dilakukan sehingga

menghindarkan dokter bedah tersebut dari tindakan yang tidak sesuai dengan SOP yang legal b. KIE dalam kemoterapi dan radioterapi Pola hubungan dokter pasien sangat memegang peranan dalam keadaan tersebut. Collegial model menjadi pola hubungan dokter pasien yang paling dapat diterima. Seharusnya diperlukan adanya praktisi interdisisplin yang terdiri dari ahli bedah, ahli onkoloh, psikiater, dan dokter keluarga yang dengan komunikasi persuasive dan penuh pengertian sehingga dapat memberikan perspektif yang baik bagi persepsi pasien

c. Terapi alternative Untuk kasus penyakit yang berat dan membahayakan nyawa seharusnya tidak dilakukan terapi alternative. Terapi yang dilakukan seharusnyaterapi komplementer. Dokter seharusnya menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai terapi konvensional dan komplementer yang harus atau dapat dipilih oleh pasien berdasarkan EBM atau RCT yang telah teruji efektivitasnya 10

d. Pemberian analgetik pada terapi alternative Seharusnya dokter tidak langsung memberikan morphin karena morphin merupakan golongan narkotika yang merupakan pilihan terakhir penghilang rasa nyeri apabila obat analgetik seperti OAINS, steroid, dan opiat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinyauntuk menghilangkan rasa nyeri pada penyakit Ny.S

3.6. Pandangan Agama a. Islam Dalam pandangan Islam, penyakit merupakan cobaan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Ketika seseorang sakit disana terkandung pahala, ampunan dan akan mengingatkan orang sakit kepada Allah SWT. Aisyah pernah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : 'Tidak ada musibah yang menimpa diri seorang muslim, kecuali Allah mengampuni dosa-dosanya, sampaisampai sakitnya karena tertusuk duri sekalipun" (H.R. Buchari). Allah SWT menciptakan cobaan antara lain untuk mengingatkan manusia terhadap rahmat-rahmat yang telah diberikan-Nya. Allah SWT memberikan penyakit agar setiap insan dapat menyadari bahwa selama ini dia telah diberi rahmat sehat yang begitu banyak. Namun kesehatan yang dimilikinya itu sering kali di abaikan, bahkan mungkin disia-siakan. Padahal ia mempunyai harga yang sangat bernilai tiada tolak ukur dan bandingannya. Disamping itu, sakit juga digunakan oleh Allah SWT untuk memperingatkan manusia atas segala dosa-dosa dan perbuatan jahatnya selama hidup di dunia. Kalau dahulu seorang insan yang banyak berbuat kesalahan tidak berfikir tentang dosa dan pahala, maka disaat sakit biasanya manusia teringat akan dosa-dosanya sehingga ia berusaha untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah SWT.

Konsep-konsep pengobatan dalam islam 1. Keyakinan

11

Ketika seseorang sakit, ia harus sangat meyakini bahwa sakit yang dialaminya tersebut berasal dari Allah SWT, dan Allah juga yang akan menyembuhkannya. Seperti dalam firman Allah : Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku (Asy-Syuaraa [36]:80) Di samping itu ada juga hadist yang berbunyi Lii Kulli Daa In Dawaun yang artinya Setia penyakit ada obatnya. Seseorang yang menderita suatu penyakit haruslah mempunyai keyakinan yang sangat kuat bahwa semua penyakit pasti ada obatnya. 2. Menggunakan obat yang halal dan dan Thoyyib sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah kalian, tapi jangan dengan yang haram (Riwayat Abu Dawud). Konsep kedua dalam pengobatan islam adalah adalah menggunakan obat yang halal dan thoyyib. 3. Tidak membawa mudharat dan mencacatkan tubuh Dalam pengobatan islam, kita dianjurkan untuk tidak melakukan pengobatan yang kiranya pengobatan tersebut membawa kemudharatan yang justru menimbulkan masalah baru bagi seseorang. 4. Tidak berbau takhayul, bidah, dan kurafat Ketiga hal diatas wajib dihindari karena dapat mengakibatkan pelakunya jatuh dalam jurang kekafiran. 5. Mencari yang lebih baik Seseorang dianjurkan untuk terus berikhtiar sampai penyakit itu sembuh atas izin Allah. 6. Ikhlas, sabar, dan bertawakal Konsep konsep yang telah disebutkan diatas hendaknya dapat diterapkan oleh pasien sendiri yang tertimpa penyakit, maupun oleh dokter sendiri dalam menghadapi dan menyikapi penyakit pasiennya.

Pandangan islam tentang perawatan paliatif Dalam islam, ada salah satu layanan Hu Care atau Husnul Khatimah Care yang merupakan pengembangan perawatan paliatif yang sudah dikenal sebagai sistem perawatan terpadu. Tujuannya meningkatkan kualitas hidup dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lainnya.

12

Memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Termasuk dukungan pada keluarga yang kehilangan. Program ini sekaligus menjawab kebutuhan pasien dan keluarganya dalam mempersiapkan akhir hidup yang baik dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam. Terutama dalam hal memahami konsep sehat-sakit, ikhtiar-tawakal, keyakinan-amalan yang bermanifestasi pada sikap dan perilaku pasien. Unsur utama meraih husnul khatimah dalam pelayanan Hu Care adalah pasien dapat menerima takdir sakitnya.

Pengobatan alternatif menurut pandangan islam Islam memperbolehkan pengobatan alternatif asalkan itu tidak menggunakan bahan yang haram ataupun seseuatu yang menuju kearah musyrik. Memanfaat suatu benda untuk penyembuhan dengan mempercayai benda tersebut dapat membawa kesembuhan pada dirinya termasuk sesuatu yang musyrik, (contoh:jimat) o Barang siapa yang menggantungkan jimat, berarti ia telah melakukan perbuatan syirik. (HR. Ahmad dan Hakim). Artinya, menggantungkan jimat dan hatinya bergantung kepadanya berarti berbuat syirik. o Ungkapan abadi dari Abu Qurath 4500 tahun yang lalu : jadikanlah makananmu sebagai obatmu dan obatilah setiap penderitaan dengan nabati yang tumbuh di bumi, karena nabati itulah yang paling pantas untuk menyembuhkan.

b. Hindu Penyakit itu datang dari dalam maupun dari luar diri sendiri. Menurut ajaran Hindu, Bhuwana Agung atau Alam Raya maupun Bhuwana Alit atau Alam Kecil (Badan Manusia) terdiri dari lima unsure utama yaiyu aksa (leher), wayu (udara), teja (api), apah (air), pertiwi (tanah). Kalau kelima unsur ini tidak seimbang baik dari dalam maupun dari luar maka akan menyebabkan penyakit. Bahwa yang menyebabkan seseorang sakit adalah tidak adanya harmoni pada diri perseorangan dalam hubungannya dengan lingkungan luarnya dan obat adalah alat untuk mengembalikan harmoni ini.

13

c. Katholik

Sakit Manusia yang sakit merupakan konsekuensi logis manusia sebagai mahkluk yang memiliki tubuh. Tubuh manusia sebagai mahkluk hidup bersifat sangat rapuh. Oleh karena itu manusia tidak tidak bisa tidak menderita sakit. Seperti kematian demikianpun rasa sakit bersifat merelativir. Dan yang menyebabkan sakit adalah manusia itu sendiri, karena kelalaian manusia menjaga tubuh Pandangan tersebut dilandasi oleh pemahaman orang katolik tentang eksistensi Allah atau Tuhan sebagai Mahabaik. Mahabaik berarti tidak bisa dibandingkan kebaikan-Nya dengan kebaikan manusia. Allah Mahabaik artinya Allah tidak baik seperti manusia yang baik. Pandangan yang demikian merupakan analogi entis, yaitu argument tentang derajat kesempurnaan berdasarkan tingkat yang berbeda. Allah adalah cinta kasih (1 Yoh 4: 8-16). Bukan Tuhan yang menyebabkan manusia sakit tetapi karena kelalaian manusia. Oleh karena itu segala sesuatu yang tidak baik tidak berasal dari allah Penyakit merupakan percobaan yang paling berat, dan setiap penyakit akan mengingatkan kita pada suatu kematian [KGK 1500 (Katekismus Gereja Katolik)]. Penyakit dapat menyebabkan rasa takut, sikap menutup diri malahan kadang-kadang rasa putus asa dan pemberontakan terhadap Allah. Tetapi ia juga dapat membuat manusia menjadi lebih matang, dapat membuka matanya untuk apa yang tidak penting dalam kehidupannya, sehingga ia berpaling kepada hal-hal yang penting. Sering kali penyakit membuat orang mencari Allah dan kembali lagi kepada-Nya (KGK 1501).

Penderitaan Kalau mengalami kejahatan dan penderitaan, iman akan Bapa yang mahakuasa dapat diuji secara serius. Sewaktu-waktu Allah tampaknya tidak hadir dan tidak mampu mencegah kemalangan. Namun Allah Bapa menyatakan kekuasaan-Nya atas cara paling rahasia dalam penghinaan dan kebangkitan Putera-Nya, yang mengalahkan yang jahat. Dengan demikian, Yesus yang tersalib adalah "kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah

14

lebih besar hikmatnya daripada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia" (1 Kor 1:2425). Dalam pembangkitan dan pengangkatan Kristus, Bapa menunjukkan "kekuatan kuasa-Nya" dan menyatakan betapa "hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya" (Ef 1:19). (KGK 272). Dengan kata lain, penderitaan merupakan sesuatu yang menguji iman kita kepada Tuhan, sehingga penderitaan harus diterima dan dihadapi dengan mendekatkan diri kita kepada Tuhan.

Kematian Agama Katolik memandang kematian badan manusia sebagai awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Kematian badan manusia bukan merupakan akhir dari kehidupan. Agama Katolik percaya akan kehidupan kekal (Surga) dan kematian kekal (neraka). Selain surga dan neraka juga ada apa yang disebut dengan tempat penyucian. Tempat penyucian adalah suatu tempat atau keadaan sementara bagi jiwa orang orang saleh yang berada dalam keadaan dosa ringan atau tidak berdosa berat. Jiwa jiwa tersebut belum boleh memandang wajah allah atau belum boleh masuk Surga karena masih ada dosa yang perlu disucikan. Berdasarkan doa orang orang yang masih hidup dan berdasarkan kerahiman Allah mereka diperbolehkan masuk Kerajaan Abadi yaitu Surga.

Pengobatan Alternatif dan Pengobatan Paliatif Dalam Agama Katolik, tidak ada larangan bagi orang sakit untuk menjalani pengobatan alternative dan pengobatan paliatif, selama pengobatan pengobatan ini dapat menyembuhkan atau membuat keadaan menjadi lebih baik. Hal ini berdasarkan pada landasan ajaran agama Katolik, yaitu Hukum Cinta Kasih dan KGK 1506 1510, dimana Kristus mengajak para murid muridnya dan juga gereja untuk menyembuhkan dan merawat para orang orang sakit.

d. Kristen Penderitaan :

15

Adalah suatu pemurnian Allah yaitu yang membuahkan damai sejahtera melalui sakit penyakit. [Ayub.5 : 17-18 ; Ibrani.2 : 11 ; 1 Korintus.11 : 32] Sakit :

Adalah dosa yang berasal dari perilaku hidup tidak sehat yaitu tidak menjaga tubuh sebagai Bait Roh Kudus yang berasal dari Allah sendiri [1 Korintus.6 : 19-20]

e. Buddha 3.7 Solusi Untuk permasalahan kasus diatas, dimana pasien menolak dilakukannya kemoterapi sebagai terapi paliatif pasca operasi sebagai dokter seharusnya melakukan edukasi kembali mengenai kepentingan pelaksanaan kemoterapi tersebut, hubungan yang dibangun antara dokter dan apsien sebaiknya dilandasi dengan rasa kepercayaan dan pembinaan rapport dengan baik. namun jika kemoterapi tidak dapat diterima dan dijalankan pasien dokter juga harus menghormati hak oonomi pasien sebagai landasar tertinggi hal yang perlu di[erhatikan dari segi bioetika. Selain dilakukannya pembinaan hubungan yang baik antara dokter dan pasien, keluarga pasien seharusnya memberikan dukungan terbaik dan menenangkan pasien untuk tetap tabah dan tidak mudah menyerah menghadapi permasalahannya. Bimbingan kerohanian sangat diperlukan agar psikologis pasien lebih tenang. Keputusan keluarga pasien dan teman-temannya untuk memilih pengobatan alternatif, ada baiknya. Jika keluarga pasien meminta masukan dari dokter, sebaiknya sebagai dokter menerima keputusan pasien dan menjelaskan bahwa untuk memilih pengobatan alternatif diperlukan pemahaman mengenai landasan ilmiahnya. Namun juga tidak bertentangan dengan agama pasien tersebut. Dikarenakan pasien sudah berada di fase terminal, keluarga juga perlu dipersiapkan untuk dapat menerima keadaan pasien, harus kuat untuk mengahdapi kemungkinan terburuk, yaitu kematian yang terjadi apda pasien.

16

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Hak Pasien dan Kewajiban Dokter Berdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu: 1. The Rights to health care 2. The Rights to self determination Secara tegas The World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas, hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat, hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya, hak untuk mati secara bermartabat dan hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral. UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan. Di sisi lain pasien juga memiliki kewajiban, demikian pula dokter juga memiliki hak. Namun yang lebih utama dibicarakan adalah kewajiban dokter yang dimilikinya sejak dia mengucapkan sumpah dokter. Kewajiban tersebut adalah: 1. Kewajiban profesi sebagaimana terdapat di dalam lafal sumpah dokter, kode etik kedokteran, standar prilaku profesi (SOP) dan standar pelayanan medis (SPM) 2. kewajiban yang lahir oleh karena adanya hubungan dokter-pasien UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merumuskan hak dan kewajiban dokter dan pasien di dalam pasal-pasal 50-53. dokter dan dokter gigi memiliki hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, hak untuk memberikan layanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya dan hak menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan dokter gigi berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak

17

mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/ kedokteran gigi. Sementara itu, berdasarkan UU Praktik Kedokteran pasien memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. Adapun pasal 45 ayat (3) menyatakan tentang penjelasan tersebut di atas sekurang-kurangnya meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang akan dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan. Di sisi lain pasien berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. (1)

4.2 Informed consent 1. Prisip moral utama dokter

Dalam profesi kedokteran, dikenal 4 prinsip moral utama yang harus dijunjung tinggi seorang dokter, yaitu5: a. Prisnsip otonomi

Yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip otonomi pasien dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. b. Prinsip beneficence

Yaitu prinsip moral yang mnegutamakn tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. c. Prinsip non maleficence

Yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. d. Prinsip justice

Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya. 2. Informed consent 18

Informed consent adlah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilaukan terhadap pasien. Informed consent lebih kearah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.5 Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu5: a. Threshold elements

Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini diartikan berkapasitas untuk membuat keputusan. Secara hukum seseorang dianggap kompeten adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa disini berarti telah mencapai usia 21 tahun atau telah pernah menikah. b. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaiotu disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemehaman). Hal ini member konsekuensi pada tenaga medis untuk memberikan informasi sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Seberapa baik suatu informasi harus diberikan kepada pasien dapat dilihat dari 3 standar, yaitu: Standar praktek profesi

Kewajiban memberikan informasi dan criteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dlaam komunitas tenaga medis. Standar subyektif

Keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Standar inisangat sulit dilaksanakan atau hampir mustahil untuk memahami nilai-nilai yang secara individual dianut pasien. Standar pada reasonable person

Merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang awam. Subelemen pemahaman dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis, dan imaturitas, banyak ahli mengatakan, apabila elemen ini tidak dilakukan, maka dokter dianggap lalai melaksanakan tugasnya member informasi yang adekuat. c. Consent elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebaasan) dan authorization (persetujuan).

19

Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya penipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hukum. Doktrin informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan: Keadaan darurat medis Ancaman terhdap kesehatan masyarakat Pelepasan hak memberikan consent Clinical privilege Pasien yang tidak kompeten memberikan consent

Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola peroleh informed consent. Seorang yang dianggap sudah piku n, orang yang dianggap memiliki mental yang lemah untuk dapat menerima kenyataan dan orang dlam keadaan terminal dianggap tidak berkompeten menerima informasi yang benar apalagi membuat keputusan medis. Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak menyetujui terapi. Banyak ahli mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolute, artinya masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini karena dokter akan mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk mencegah perbuatan bunuh diri, kewajiban melindungi pihak ketiga, dna integritas etis profesi dokter.5 3. Proxy consent

Proxy consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang yang memberikan proxy-consent adalah: Suami/isteri Anak Orang tua Saudara kandung,dll

Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

4.3 Pengobatan Alternatif Pandangan Hukum

20

Pemerintah telah mengeluarkan undang undang PERMENKES RI No 1109/PER/IX/2007 tentang batasa terapi alternatif yaitu. Terapi alternatif merupakan terapi non-konvensional untuk meningkatkan kesehatan pasien yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan harus dilandasi pengetahuan biomedik. Individu yang menjalankan usaha terapi altrernatif seyogyanya memiliki izin dari pemerintah untuk menjalankan praktik di bidang kesehatan. Pro dan kontra tentang pengobatan alternatif : Pro pengobatan alternatif Pada umumnya biaya untuk terapi alternatif lebih murah, efek samping lebih sedikit, tindakan tidak invasif, menggunakan bahan bahan alamiah. Kontra pengobatanalternatif Tidak ada pembuktian atau evidence based, tidak jelas bahan yang digunakan dalam pengobatan, tidak melaporkan praktek kepada dinas kesehatan sehingga tidak memiliki surat, membuka peluang terjadinya penipuan. Pandangan bioetika tentang pengobatan alternatif Terapi alternatif berdasarkan sudut pandang bioetika: Otonomi : Pasien berhak memilih pengobatan yang akan dilakukan Beneficence : Melakukan yang terbaik untuk proses perbaikan diri pasien dari penyakit Nonmaleficence : Selama terapi yang di lakukan tidak memperburuk kesehatan pasien

Sebagai seorang dokter terhadap pengobatan alternatif Menghormati otonomi Pasien berhak dan bebas memilih dan memutuskan tindakan apa yang akan di lakukan dalam proses pengobatan dan penyembuhan atas dirinya. Melindungi agar pasien tidak dirugikan Sebagai dokter berkewajiban untuk menjelaskan tentang penyakit yang di derita pasien. Dan memberikan masukan apa yang sebaiknya dilakukan untuk proses

21

perbaikan pasien dari penyakitnya tersebut. Tanpa menentang prinsip otonomi yang dimiliki pasien untuk memilih pengobatan dokter. Memastikan pengobatan alternatif yang akan dijalankan pasien sesuai dengan evidence based medicine Perwatan paliatif Perawatan paliatif adalah stiap bentuk perawatan medias atau perawatan yang berkonsentrasi pada pengurangan gejala penyakit. Tujuan dari perawatan paliatif mencegah dan mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa . Non rumah sakit perawatan paliatif tidak tergantung pada prognosis dan ditawarkan dalam hubunganya dengan kuratif dan semua bentuk lain yang sesuai perawatan medis . Perwatan palliatif juga dapat digunakanuntuk mengurangi efek samping dari pengobatan kuratif, seperti mengurangi rasa mual yang berhubungan dengan kemoterapi. Perwatan paliatif itu sendiri berguna untuk Penatalaksanaan nyeri Penatalaksanaan keluhan fisik lain Asuhan keperawatan Dukungan psikologis Dukungan sosial Dukungan kultural dan spiritual Dukungan persiapan dan selama duka cita

Istilah perawatan paliatif semakin digunakan berkaitan dengan penyakit lain selain kanker seperti kronis, gangguan paru progresif, penyakit ginjal, gagal jantung kronis, HIV/AIDS, dan kondisi neurologis progresif.

22

BAB V KESIMPULAN
Ny. S memiliki hak otonomi yang harus dihormati. Pemaksaan pengobatan bagi penyakit terminal dari carcinoma ovarium yang diderita Ny. S tidak dibenarkan oleh agama, hukum, dan buruk menurut sudut pandang bioetika. Namun, pembiaran tanpa usaha untuk mengobati secara tepat juga menjadi masalah moral tersendiri bagi para praktisi medis yang seharusnya berpihak pada kehidupan dan mencegah kematian yang belum saatnya. Pengobatan sia sia yang dilakukan melalui pengobatan alternatif juga dipandang buruk oleh sudut pandang etika, walaupun pengobatan alternatif yang dilakukan sukarela adalah benar menurut hukum, agama, dan etika. Masalah Ny. S seharusnya diselesaikan melalui pendekatan holistik yang persuasif dari aspek biopsikososial dan spritual. Seharusnya masalah Ny. S diselesaikan dengan komunikasi. Komunikasi untuk memperbaiki persepsi pasien memegang peranan penting sehingga pasien tetap memiliki motivasi dan semangat untuk menjalani pengobatan demi mengupayakan kesembuhan. Pada akhirnya Ny. S meninggal. Seharusnya apabila Ny. S dan keluarga Ny. S mau melakukan terapi palliative, maka keluarga dapat menerima dengan ikhlas kematian Ny. S dan semua akan dalam keadaan lebih siap.

23

BAB IV DAFTAR PUSTAKA


1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran.

Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007. p. 10-2. 2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang

kedokteran. Jakarta: FKUI; 1994. 3. The World Medical Association. 2005. World Medical Association

Declaration of Lisbon on The Rights of The Patient. Available at: http://dl.med.or.jp/dl-med/wma/lisbon2005e.pdf. Accessed on June 29, 2012. 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009. Available at:

http://dinkes.demakkab.go.id/v2010/dokumen/uu_no_36_thn_2009ttg_kesehatan.pdf. Accessed on June 29, 2012.

24

Anda mungkin juga menyukai