Anda di halaman 1dari 10

30 Jun 2009 | Komentar: 0 Memberikan Evaluasi atau Penilaian yang Wajar kepada Siswa Oleh: Titin Prihatin Rahayu

Guru SMK, Bendahara Klub Guru cabang Malang Raya Tugas guru di antaranya melaksanakan evaluasi. Tetapi, dalam pelaksanaannya, banyak sekali kendala kegagalan. Karena itu, kita harus mencari faktor kendala dan mengurangi faktor kegagalan evaluasi tersebut dengan meningkatkan kompetensi kita sebagai guru Sebagaimana diketahui, tugas guru pada akhir tujuan pembelajaran adalah mengevaluasi anak didik. Guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik dengan pemahaman arti evaluasi sendiri sebagai proses interpretasi serta pembuatan keputusan yang diberikan untuk anak didik. Sering kita bertanya pada saat mengadakan evaluasi, apakah para peserta didik belajar tentang apa yang kita inginkan agar mereka mempelajarinya? Salah satu fungsi atau tugas guru sebagai penilai hasil belajar siswa, guru wajib secara berkesinambungan mengikuti perkembangan anak didiknya sampai batas pemahaman yang dikuasai siswa. Sebenarnya, melalui evaluasi, guru dapat memperoleh informasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan. Lewat informasi, diharapkan ada umpan balik dari siswa yang dapat dijadikan dasar untuk pengembangan bagi guru untuk melakukan perbaikan atau peningkatan dalam proses belajar mengajarnya. Guru harus siap mengadakan evaluasi di setiap akhir materi pembelajaran atau melihat apakah anak didik sudah mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan dalam kurikulum. Timbul suatu pertanyaan, kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan evaluasi? Sebenarnya, kapan waktu yang tepat gurulah yang paling mengetahuinya, apakah di setiap akhir kompetensi? Ataukah pelaksanaan evaluasi bisa diselipkan pada saat proses pembelajaran berlangsung? Selain waktu pelaksanaannya, yang tak kalah penting adalah tujuan evaluasi tersebut, apakah sekadar memberikan nilai dengan angka pada akhir semester atau guru mengharapkan umpan balik dari siswa. Terlepas dari hal itu, evaluasi bertujuan untuk mengukur keberhasilan pembelajaran dan mengetahui ketepatan model pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar . Evaluasi pun dapat dipakai untuk menilai hasil mengajar guru. Yakni, apakah guru mampu menilai dirinya sendiri dan mencari letak kekurangannya. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan bagi guru. Terlepas dari tujuan evaluasi, perlu dipikirkan apakah guru telah berhasil melaksanakan evaluasi? Pertanyaan tersebut harus mampu dijawab dengan menelaah bahwa saat ini banyak kendala yang dialami seorang guru saat mengadakan evaluasi. Ada yang berhasil, namun banyak juga yang merasa gagal. Nah, yang gagal tentunya memiliki kendala saat mengadakan evaluasi tersebut. Karena evaluasi yang digunakan pada dasarnya untuk membuat keputusan berupa angka

dengan menggambungkan tiga aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, nilai yang dicapai siswa masih di bawah standar atau di bawah kriteria ketuntasan minimal. Di sinilah, kita kadang merasa gagal sebagai guru dalam melaksanakan evaluasi di akhir proses pembelajaran. Ada beberapa penyebab yang bisa dimasukkan sebagai indikasi kegagalan kita sebagai guru saat melaksanakan evaluasi. Di antaranya, guru kurang mampu memberikan motivasi siswa untuk belajar, guru tidak menggunakan media ketika mengajar, guru menggunakan model pembelajaran yang tidak sesuai, guru kurang disiplin dalam mengelola waktu, dan guru kurang menguasai materi yang diajarkan. Yang lebih parah, ada guru yang tidak mempunyai kemauan untuk belajar menambah pengetahuan dan ilmunya. Yang diberikan di kelas berkisar dari ilmu yang dimiliki saja, tanpa ada usaha dari guru tersebut untuk mengasah ilmunya dengan banyak membaca buku misalnya. Problem kegagalan saat evalusi tersebut harus segera ditanggulangi dengan tetap berpegang prinsip pada tujuan evaluasi itu sendiri. Karena itu, minimalkan penyebab kegagalan evaluasi dengan meningkatkan kompetensi sebagai guru. Guru juga harus memberikan materi pelajaran kepada anak didik dengan persiapan yang matang, mulai perencanaan materi, media yang digunakan, model yang cocok, dan alat evaluasi yang digunakan. Mari kita mulai dari sekarang. Identitas Penulis Nama : Dra Titin Prihatin Rahayu M.M Email : titinprihatin@gmail.com Unit Kerja : SMK Muhammadiyah 3 Kab.Malang (Saat ini sebagai Bendahara/Pengurus Harian Klub Guru Cab Malang Raya) Artikel 27 Jun 2009 | Komentar: 0 Pembelajaran Berbasis Pembentukan Konsep Diri

Anna Mariana Guru TPA Al-Hanif Cihanjung, Cimahi, Jabar Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 menyatakan, pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun jika kita melihat kenyataannya, realisasi dari tujuan tersebut masih jauh dari harapan. Betapa tidak, sederet tindakan 'amoral' hampir setiap hari kita dengar bahkan kita saksikan. Ironisnya, itu semua terjadi dilakukan oleh orang-orang yang pernah atau sedang bergelut dengan bangku sekolah. Kesannya, pendidikan seolah justru melahirkan permasalahan bukan memberikan solusi. Padahal seharusnya, pendidikan menjadi kekuatan untuk mengubah ketidakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral menuju makarimal akhlak, kekeringan spiritual ke arah power of spiritualism dan seterusnya. Karena itu, patut kita ambil hikmah untuk kemudian mencarikan solusinya. Salah satu tawarannya adalah, dengan mengoptimalkan kegiatan pembelajaran yang mampu mendorong pada pembentukan karakter (character building) siswa. Mata pelajaran agama pada khususnya dan umumnya pelajaran yang lain jangan sampai terjebak pada orientasi nilai-nilai angka semata tanpa diimbangi perubahan karakter pada diri siswa. Dalam khazanah Islam, kita kenal kalimat mutiara : ''Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dari zaman-mu''. Artinya, anak didik kita hari ini adalah calon pemimpin yang akan datang. Oleh karena itu, salah satu hikmahnya adalah bagaimana kita mampu menanamkan konsep diri pada anak didik kita dalam rangka menghasilkan anak didik yang berkarakter (berakhlak) dan kelak mampu menjadi generasi yang mampu memimpin bangsa ini dengan peradaban yang tinggi dan dihiasi oleh kemuliaan akhlaknya (karakter yang luhur). Menurut William Kitpatrick (1992), sebuah karakter akan tercipta dalam pribadi seseorang memerlukan tiga komponen (components of good character). Yaitu pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), perasaan tentang moral atau kebaikan (moral feeling), dan aplikasi kebaikan (moral action). Oleh karena itu, optimalisasi pembinaan semacam ini harus continue dan efektif, terlebih saat ini virus-virus zaman semakin marak merongrong moralitas anak melalui berbagai media. Karenanya, sekolah sebagai salah satu persinggahan sekaligus 'kawah candra di muka' bagi anak, harus mampu tampil menangkap fenomena dewasa ini. Dalam diri anak harus tertanam konsep diri yang kuat. Karenanya sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua setelah di keluarga, harus mampu membentengi diri anak dari berbagai ekses negatif lingkungan, baik yang datang melalui media ataupun pergaulan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter (character building)

melalui penguatan konsep diri merupakan salah satu solusi yang efektif. Ikhtiar tersebut dapat dilakukan di antaranya melalui beberapa hal berikut ini. Pertama, mempermudah pujian dan penghargaan yang proporsional sebagai upaya membangun afirmasi positif pada pikiran dan jiwa anak yang diharapkan dapat menghembuskan semangat yang positif. Kedua, memfasilitasi akses dengan orang yang potensial menjadi idola. Artinya, para pendidik harus mampu menggiring siswa untuk mengidolakan sosok yang baik, dan sebagai umat Islam, Rasulullah SAW adalah teladan utama. Ketiga, mengadakan kunjungan kepada orang yang keadaannya jauh di bawah ataupun yang lebih maju. Hal ini bertujuan untuk membangun semangat bersyukur, empati, simpati dan rangsangan positif. Keempat, membangun semangat berlomba sehingga terbangun jiwa yang kompetitif dalam kehidupan. Kelima, pembinaan iman dan taqwa dalam bentuk pembiasaan shalat berjamaah, pelaksanaan shalat sunah tahajud dan dhuha, ataupun dzikir asmaul husna sebelum belajar. Bila itu semua telah mampu ditanamkan, maka ada faktor yang tidak bisa ditinggalkan yakni keteladanan. Guru adalah orang yang digugu dan ditiru. Oleh karenanya, pastikan diri kita menjadi tokoh panutan bagi siswa. Mustahil suatu karakter yang mulia akan terjadi dengan baik, manakala keteladanan tidak tampak dalam diri kita sebagai guru.

Menjadi Guru yang Dirindukan Siswa Oleh Winarsih Kepala SMP Islam Al-Azhar Kelapa Gading, Surabaya Istilah guru bisa diartikan digugu lan ditiru (dipercaya dan diteladani). Artinya, sosok guru sangat dipercaya oleh siswa dan segala perilaku guru dicontoh anak didiknya. Dalam pengertian itu, seorang siswa selayaknya mematuhi apa yang dikatakan dan diperintah guru. Kenyataannya, yang demikian itu tidak selalu terjadi. Kondisi siswa yang heterogen sangat memungkinkan terjadinya suasana yang kurang bisa diharapkan. Dalam satu kelas, ada beberapa tipe siswa. Ada, misalnya, tipe siswa yang sangat patuh. Tipe siswa inilah yang sering diharapkan pendidik. Guru tidak akan dibuat pusing oleh siswa tipe ini. Seandainya semua siswa dalam kelas termasuk tipe ini, alangkah tertibnya kelas dan betapa membahagiakan kondisi seperti itu. Namun, dalam kelas hampir selalu ada siswa tipe lain. Yakni, siswa tipe tidak patuh dan sulit diatur. Dengan kehadiran siswa tipe tersebut, tidak mudah bagi seorang guru untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang nyaman. Keberadaan dua tipe siswa yang bertolak belakang tersebut menciptakan perbedaan psikologis, khususnya kondisi emosi, guru terhadap siswa. Jika guru mengajar siswa tipe pertama, suasana hati guru senang. Sebaliknya, jika akan mengajar kelompok siswa tipe kedua, guru akan merasa terbebani. Bahkan, tak jarang guru merasa berat hati mengajar kelompok siswa tipe tersebut. Kondisi begitu ternyata memengaruhi metode pembelajaran terhadap siswa. Guru cenderung memilih metode pembelajaran yang kurang sistematis. Sebab, guru berpikir percuma menerapkan metode pembelajaran yang tertuang dalam RPP. Akibatnya, penyampaian materi jadi amburadul dan tidak sistematis. Dampaknya, siswa tidak memperoleh pengalaman belajar sebagaimana yang diinginkan guru setelah proses mengajar. Jika kondisi begitu dibiarkan, apalagi kalau sampai menjadi model pembelajaran si guru, bisa dipastikan siswa tidak akan belajar. Siswa akan bosan dan ujung-ujungnya tidak menyukai si guru dan pelajaran yang diajarkannya. Padahal, bila siswa tidak menyukai pelajaran, sulit diharapkan mereka berprestasi dalam pelajaran tersebut. Demikian pula, jika siswa tidak menyukai guru, jangan harap mereka berdisiplin saat si guru mengajar. Guru akan kian sulit mengelola kelas. Suasana kondusif untuk belajar akan kian sulit diciptakan. Kalau sudah begitu, tak jarang guru akan mengambil jalan kekerasan. Bisa marah, memukul, membanting pintu, bahkan keluar dari kelas. Jika itu terjadi, bukan suasana

kondusif yang muncul, tapi kebencian siswa terhadap guru kian menumpuk. Doa buruk mungkin akan dilontarkan siswa terhadap gurunya dalam kondisi tersebut. Bahkan, mungkin saja guru akan dikeroyok siswa, dilaporkan ke polisi, dan lain-lain. Tentu, yang begitu tidak seharusnya terjadi. Pertanyaannya, bagaimana solusinya? Sebagai guru, kita harus siap menghadapi segala tipe siswa dalam kelompok siswa yang heterogen. Kita harus menyadari bahwa siswa adalah individu yang unik. Siswa mungkin tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan. Gurulah yang harus menciptakan kondisi agar siswa mengerti apa yang harus mereka lakukan. Di sinilah peranan penting pemilihan metode pembelajaran yang tepat. Kian kreatif guru memilih metode pembelajaran tiap kali menyampaikan materi, kian kecil kemungkinan siswa bosan mengikuti pelajaran. Guru akan lebih mudah menciptakan suasana kondusif dan siswa akan lebih mudah dikondisikan. Pengelolaan kelas akan berjalan dengan baik. Dampaknya, siswa akan belajar setelah guru mengajar. Jika hal itu sudah tercipta, kita akan lebih mudah menaklukkan siswa. Siswa akan merindukan kehadiran guru di kelas. Siswa akan haus materi pelajaran yang dibawakan si guru. Bisa dibayangkan, betapa indah saat kita berada di posisi guru yang dirindukan siswa. (s

Artikel 15 Mar 2009 | Komentar: 0 Pujian sebagai Stimulus Pembelajaran Oleh: Tri Sulistini, Guru SMPN 6 Pamekasan SELAMA ini, guru meyakini bahwa penghargaan dan pujian akan mampu memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran dan memberikan efek positif lainnya. Misalnya, mampu meningkatkan prestasi belajar. Padahal, itu tidak selamanya benar. Pemberian penghargaan dan pujian dalam waktu pendek dan tidak terus-menerus memang mampu memotivasi siswa. Namun, itu tidak untuk jangka panjang dan terus-menerus. Menurut David Paul (2003:116), penghargaan dan pujian ternyata tidak selalu berakibat positif kepada siswa. Banyak akibat tidak baik yang bisa ditimbulkan dari pemberian penghargaan dan pujian yang tidak tepat. Antara lain, menurunkan tingkat ketertarikan. Penghargaan atau pujian lazimnya diberikan kepada siswa yang telah mampu melakukan aktivitas pembelajaran dengan baik atau sangat baik. Namun, semakin banyak guru menggunakan penghargaan dan pujian, guru semakin membutuhkannya dan semakin sulit baginya untuk berhenti. Ini disebabkan siswa melakukan tindakan tertentu bukan karena mereka ingin melakukannya, tapi lebih kepada keinginan untuk mendapatkan penghargaan atau pujian. Siswa akan lebih fokus kepada bagaimana reaksi yang diberikan guru daripada tugas atau latihan yang diberikan guru. Jika guru berhenti memberikan penghargaan atau pujian untuk kegiatan baik atau sangat baik, biasanya siswa kehilangan rasa ketertarikan untuk mata pelajaran tersebut. Penghargan dan pujian juga dapat menurunkan keaktifan siswa dalam belajar. Jika siswa mendapatkan penghargaan dan pujian, tanpa disadari oleh guru, siswa tersebut telah kehilangan fokus pembelajaran mereka. Mereka hanya melakukan sesuatu yang terkait dengan penghargaan dan pujian tersebut. Mereka cenderung tidak ingin mengambil kesempatan lain yang tidak ada hubungannya dengan penghargaan dan pujian tersebut. Mereka tidak mau mengambil risiko-risiko pembelajaran yang memungkinkan gagal mendapatkan penghargaan dan pujian. Bahkan, sudut pandang mereka semakin sempit dan pada akhirnya tidak mampu memfokuskan diri kepada kompetensi yang sedang dipelajari. Akhirnya, mereka tidak mampu berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Penghargaan dan pujian pun memungkinkan kelas terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah siswa yang senantiasa mendapat penghargaan dan pujian dan kelompok kedua adalah siswa yang tidak mendapatkan apa-apa. Jika siswa pada kelompok kedua dapat bersikap positif dengan berusaha mengejar ketertinggalan mereka, dipastikan pembelajaran bisa berhasil. Sebaliknya, jika kelompok kedua bersikap negatif, semua itu justru membuat kelompok kedua semakin terpuruk. Dengan kata lain, kelompok pertama semakin cepat meraih

keberhasilan, sedangkan kelompok kedua akan jauh tertinggal. Bagaimana seharusnya guru menempatkan penghargaan dan pujian sebagai stimulus yang memicu keberhasilan pembelajaran? Guru dianjurkan untuk memperbaiki sistem penilaian. Siswa harus dibiasakan mendapatkan nilai baik jika belajar dengan baik dan sebaliknya akan kehilangan nilai jika tidak bekerja dengan baik. Sistem penilaian yang baik membuat siswa merasa dihargai dan dipuji. Memberikan penghargaan dan pujian sebaiknya mengarah langsung kepada pekerjaan yang dilakukan siswa, bukan kepada individu. Lalu, guru harus melibatkan diri dalam tugas yang dikerjakan siswa dengan membuka dialog tentang aktivitas atau tugas tersebut dan membahas kesulitan mereka. Kemudian, menirukan kalimat mereka yang dianggap benar dan menuliskan pekerjaan mereka yang dianggap benar di papan. Dengan begitu, tergalilah potensi mereka secara utuh, yang sebenarnya merupakan penghargaan dan pujian tertinggi bagi siswa. (oki) Artikel 03 Jul 2009 | Komentar: 1 Memperebutkan Mendiknas Oleh: Darmaningtyas Aktivis Pendidikan, Tinggal di Jakarta JAKARTA, KOMPAS.com Hiruk-pikuk kampanye calon presiden dan calon wakil presiden juga diwarnai tarik-menarik kepentingan partai politik peserta koalisi. Peserta koalisi pendukung capres-cawapres mulai pasang tarif terkait dengan jabatan sebagai imbalan. Jabatan atau imbalan itu, salah satunya, adalah memperebutkan jabatan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Perebutan kursi Mendiknas ini merupakan berita menarik karena sebelumnya jabatan yang paling diperebutkan adalah di kementerian bidang perekonomian, terutama keuangan, BUMN, dan pertambangan. Baru kali ini jabatan Mendiknas diperebutkan secara terbuka. Atau, mungkin karena setelah reformasi menteri pendidikan dijabat golongan tertentu terus, maka dianggap given sehingga tidak diperebutkan secara terbuka. Baru setelah peta politik berubah, perebutan terjadi. Mengapa diperebutkan? Mengapa jabatan Mendiknas diperebutkan? Pertama, tiap tahun Departemen Pendidikan Nasional mengelola sekitar 35 juta siswa (TK sampai SMTA). Bila ditambah jumlah mahasiswa, guru, dan dosen, sekitar 40 juta jiwa. Ini potensi massa amat besar bagi parpol yang ingin memenangi pertarungan di masa mendatang.

Sejarah membuktikan, Orde Baru dapat bertahan lama salah satunya karena mampu mencuci otak pelajar dan mahasiswa sehingga tiap lulusan tidak terbiasa menghadapi perbedaan pendapat. Para pengurus parpol tahu potensi itu, maka perlu direbut. Kedua, Depdiknas memiliki anggaran paling besar dibandingkan dengan departemen lain. Dana pendidikan bukan hanya dari APBN, tetapi juga dari APBD dan iuran masyarakat. Secara akumulatif, dana yang terhimpun di dunia pendidikan, TK-perguruan tinggi, bisa mencapai lebih dari Rp 200 triliun per tahun dan dapat digunakan untuk apa saja. Ketiga, menguasai Depdiknas berarti menguasai murid, mahasiswa, guru, dosen, dana, kurikulum, prasarana dan sarana, serta kebijakan. Semua itu dapat dipakai untuk apa saja, termasuk indoktrinasi nilai-nilai yang sesuai dengan garis politik penguasa. Kata Althusser, institusi pendidikan itu bagian dari aparatus ideologi, yang mengajarkan know-how, tetapi dalam bentuk memastikan kepatuhan terhadap ideologi yang sedang berkuasa. Dengan demikian, tidak terelakkan kepentingan penguasa akan tersampaikan melalui sekolah/kampus dengan segala kebijakannya. Jabatan Mendiknas itu amat strategis. Namun, sungguh tragis sekaligus hancur bangsa ini bila jabatan mendiknas dipegang oleh parpol/golongan tertentu sebagai imbalan mendukung capres-cawapres. Sebab, kebijakan pendidikan yang dibuat tidak akan terbebas dari kepentingan partai/golongan. Padahal, pendidikan seharusnya berpihak pada semua golongan, termasuk mereka yang tidak beragama dan tidak ikut parpol. Untuk itu, perlu ditegaskan, siapa pun presiden terpilih, Mendiknas jangan dijadikan bagian dari dagang sapi. Presiden perlu memiliki visi bahwa pendidikan adalah bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa sehingga harus dijaga netralitasnya dengan tidak menyerahkan kepada parpol atau golongan tertentu. Terlalu besar risikonya bagi bangsa ini bila Mendiknas diserahkan kepada parpol. Mendiknas seperti apa yang diperlukan Pertama, Mendiknas yang mampu berpikir luas, tidak hanya melihat pendidikan dari aspek pendanaan, tetapi juga dari perspektif filsafat manusia, peradaban, budaya, seni, sosial, dan keutuhan bangsa. Seorang Mendiknas yang mampu membuat kebijakan yang memanusiakan manusia, menjunjung tinggi peradaban dan budaya bangsa. Mendiknas hendaknya tidak memenjarakan jiwa manusia dan mengarahkan kita hidup dalam satu dimensi (teknologi informatika) belaka dengan corak budaya tunggal. Kedua, Mendiknas yang mampu memahami bahwa pendidikan bukan sekadar masalah manajerial sajasampai harus disertifikasi dengan ISOtetapi bagian dari proses kebudayaan guna menumbuhkan kepercayaan dan integritas diri sebagai individu, warga, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pendidikan akan melahirkan manusia yang memiliki kepercayaan diri tinggi untuk hidup merdeka.

Ketiga, Mendiknas harus mampu mengembalikan sekolah dan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi milik publik, bukan membiarkan kian elitis karena hanya dapat diakses kelompok berduit. Masyarakat miskin yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara terpaksa ke sekolah swasta yang biasanya harus ditanggung sendiri. Di negara-negara normal, sekolah negeri/PTN dibuka bagi semua, sedangkan yang mahal ada di sekolah-sekolah swasta. Konsekuensi dari pengembalian sekolah negeri/PTN menjadi milik publik adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan UndangUndang Badan Hukum Pendidikan yang liberalistik itu harus direvisi atau dicabut. Keempat, Mendiknas harus mampu menjadikan pendidikan sebagai bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa. Karena itu, berbagai kebijakan pendidikan yang mengarah pada eksklusivisme, termasuk melalui formalisasi agama di sekolah negeri hingga murid diketahui agamanya melalui seragam yang dipakai, pemisahan siswa laki-perempuan dalam kelas/kegiatan, dan menutup akses golongan minoritas ke sekolah negeri tertentu, tak boleh dibuat. Kebijakan yang aneh-aneh itu hanya boleh dilakukan sekolah swasta, bukan sekolah negeri. Sekolah negeri harus terbuka bagi semua golongan tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan ekonominya. Kelima, Mendiknas harus bisa diajak berdialog, misalnya soal ujian nasional. Apakah ujian nasional akan dipertahankan sebagai standar kelulusanmeski penuh manipulasi dan kebohonganatau sebagai pemetaan dan standardisasi mutu yang tidak berdampak pada kelulusan dan tidak harus dilakukan tiap tahun? Konsekuensinya, perlu revisi PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bila Anda profesor doktor yang merasa mampu memenuhi minimal kelima persyaratan itu, silakan mengajukan diri sebagai calon Mendiknas. Namun, bila Anda seorang profesor doktor yang sepaham dengan aneka kebijakan pendidikan yang liberalistik, diskriminatif, dan eksklusif, jangan bermimpi menjadi Mendiknas karena hanya akan memerosokkan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran, secara ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun peradaban. Penolakan terhadap Mendiknas dari parpol juga didasarkan pada sikap pesimisme terhadap mereka yang tidak mungkin mampu menciptakan kebijakan pendidikan yang netral, terbebas dari kepentingan agenda politik internalnya. Untuk itu, dibutuhkan presiden yang sensitif terhadap aneka persoalan kebangsaan agar tidak salah dalam memilih Mendiknas.

Anda mungkin juga menyukai