Anda di halaman 1dari 2

SBY, Rohingya, Syiah, Ahmadiyah dan Kebencian Antar Suku, Agama dan Golongan

Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tengah mengalami tantangan dan tentangan justru dari kelompok mayoritas penduduknya. (Maka tak salah jika pendidikan Pancasila perlu digalakkan lagi.) Penyebab dari tentangan kelompok mayoritas adalah kepribadian yang tidak kuat dan keyakinan dari kelompok mayoritas yang tengah mencari jati diri. Kelompok mayoritas memerankan diri menjadi tirani atas minoritas. Perlindungan kepada kelompok minoritas dan lemah baik suku, agama, maupun keterbelakangan berupa kebodohan dan kemiskinan dianggap suatu keistimewaan bagi mereka. Tirani mayoritas atas minoritas itu semakin menemukan bentuknya ketika timbul konflik. Kaum lemah dan miskin kehilangan tanahnya yang diserobot oleh perusahaan besar. Negara tidak memberikan pembelaan. Golongan mayoritas melarang kepercayaan tertentu untuk diyakini. Misalnya Ahmadiyah dan Syiah dilarang dianut oleh mayoritas penduduk. Penganut Ahmadiyah dan Syiah tidak boleh hidup di Negara Pancasila. Negara melakukan pembiaran ketika dua kelompok penganut agama tersebut diserang oleh penganut kepercayaan lain. Bangsa Indonesia, suku-suku dan agama di Indonesia sebenarnya tidak memiliki dasar kebencian satu sama lain sejak zaman dahulu. Perbadaan dianggap sebagai keberagaman dan keindahan. Suku dan agama berbeda saling mengenal dan melengkapi dalam kehidupan. Namun semenjak Islam garis keras gaya Arabia, bukan Islam damai ala Indonesia, yang rahmatan lil alamin, yang diajarkan oleh NU dan Muhammadiyah serta Persis, masuk dan menguasai panggung kampanye kekerasan, maka sejak saat itu konflik terus bermunculan. Keadaan ini ditambah dengan kemiskinan dan kepemimpinan SBY yang lemah yang mengakibatkan kelompok garis keras ini semakin berkibar. Pendirian rumah ibadah pun menganut paham meminta persetujuan mayoritas penduduk di suatu tempat. Jika mayoritas penduduk mengizinkan maka pendirian tempat ibadah baru bisa dilaksanakan. Padahal Negara menjamin kebebasan memeluk agama dan kepercayaan. Kebebasan beragama tanpa kebebasan mendirikan tempat ibadah adalah omong kosong. Satu kaki dipasung, satu kaki yang lain disuruh berlari. Inilah cara Negara Pancasila membonsai minoritas dengan cara menghalangi minoritas untuk beribadah. Jika mayoritas memiliki keluasan dan pemahaman kuat dalam beragama, maka tidak akan menimbulkan masalah. Misalnya pendirian rumah ibadah di Papua, Maluku dan Sulawesi Utara, sebagai contoh tidak akan menimbulkan masalah. Masyarakat yang tinggal jauh dari Pusat Pemerintahan Indonesia, Jakarta, di sana memahami kebebasan beragama jauh lebih baik daripada Bogor dan Jakarta. Konflik semacam Gereja Yasmin tidak terjadi di Sulawesi Utara dan Papua. Mereka lebih memahami kebebasan beragama dan Pancasila daripada masyarakat lain di wilayah Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menunjukkan kekuatannya dan kewenangannya untuk memimpin menyelesaikan konflik. Konflik Ahmadiyah, Syiah, Yasmin, Mesuji dan tempat lainnya sampai sekarang tidak menemukan penyelesaiannya sampai sekarang. Hukum dibuat oleh masyarakat mayoritas dengan prinsip tirani mayoritas atas minoritas berlaku. Siapa yang kuat dan banyak jumlahnya akan menang dan menguasai kelompok yang lebih kecil. Kebanggan semu akan kemenangan dalam hati dan jiwa ketika melihat kaum lemah tersiksa menjadi tontonan kenikmatan bagi jiwa mayoritas.

Kondisi Muslim Rohingya di Burma atau Myanmar sangat mengenaskan. Tuduhan perkosaan Juni lalu yang mengakibatkan pembunuhan terhadap Rohingya terus dilakukan. Negara Burma membiarkan mayoritas penduduk Burma membunuh para Muslim Rohingya. Masyarakat minoritas Rohingya miskin dan tanpa identitas - ditolak sebagai warga Burma dan tidak diterima sebagai warga Bangladesh. Kebijakan hanya menerima mereka yang telah tinggal di wilayah Burma lebih dari dua generasi orang tuanya. Bagaimana mengidentifikasi mereka sementara mereka tidak memiliki identitas apapun selama ini? Ini persyaratan mustahil bisa dipenuhi oleh warga Rohingya agar bisa diakui oleh Myanmar sebagai warga Negara Myanmar. Akal akalan yang sama namun berbeda konteksnya - kalau Rohingya terkonsentrasi di satu tempat sementara minoritas Ahmadiyah, Syiah dan minorotas agama lain tersebar di seluruh wilayah - dilakukan oleh mayoritas bangsa ini berupa peraturan pemerintah yang aneh-aneh. SKB tiga menteri yang mengatur pendirian rumah ibadah sebagai contoh. Kita wajib berteriak membela Rohingya yang minggu lalu namun kita melakukan pembiaran pelarangan dan pengusiran serta penyiksaan terhadap Ahmadiyah, Syiah dan minoritas lain dan kaum lemah. Kepemimpinan lemah SBY tersebut telah menyuburkan ekstrimisme agama, suku dan golongan yang semakin marak. Organisasi berpaham radikal dan pro kekarasan seperti FPI dan kelompok organisasi suku serta paham agama militan semakin berkembang. Agama dijadikan alat penekan terhadap kaum lemah. Kekuasaan digunakan untuk memenangkan kaum kuat seperti perusahaan dan kaum kaya dalam usaha perampasan tanah rakyat. Kondisi ini direspons dan dimanfaatkan oleh baik kelompok kuat dan mayoritas maupun kelompok lemah dan minoritas. Kelompok kuat dan mayoritas semakin menekan dan menginjak hak azasi si lemah. Kelompok minoritas dan lemah pun memanfaatkan kekuatan dan imajinasi sebagai pihak yang teraniaya sebagai bentuk perlawanan mereka. Maka terjadilah konflik antara pihak mayoritas yang kuat dengan kelompok minoritas yang lemah perlawanan untuk menunjukkan tidak mau dianiaya oleh kelompok mayoritas dan kuat dari kelompok yang lemah. Maka Rohingya adalah korban tirani mayoritas atas minoritas. Ahmadiyah, Syiah, Mesuji dan kaum minoritas di Indonesia juga demikian, ditambah sikap kepemimpinan yang lemah dari SBY. Keadaan ini tidak akan terjadi dalam masa pemerintahan kuat Jenderan Aung. Juga tidak terjadi dalam pemerintahan Soeharto dan Gus Dur. Maka, kesengsaraan minoritas Rohingya dan Ahmadiyah, Syiah dan kaum lemah lainnya akan bisa diatasi jika hukum tidak memihak kelompok mayoritas dan ada perlindungan terhadap kaum minoritas dan lemah di manapun juga. Juga kepemimpinan kuat para pemimpin dan presiden akan menjamin tegaknya hukum di mana pun. Tidak di Myanmar. Tidak juga di Indonesia. Sehingga konflik dan penderitaan minoritas tidak terjadi, karena pada dasarnya bangsa Indonesia dan bangsa Myanmar cinta damai.

Anda mungkin juga menyukai