Anda di halaman 1dari 9

MAKNA SUMPAH JABATAN

Oleh: Agus Saputera

Pengangkatan seorang pegawai negeri (sipil maupun militer) untuk memangku

jabatan, terutama jabatan penting dengan ruang lingkup luas menyangkut kepentingan orang

banyak adalah merupakan sebuah kepercayaan besar yang diberikan oleh negara. Karena itu

penunjukan atas jabatan tersebut harus dilakukan dengan cara tepat dan seksama. Tentunya

pemilihan terhadap seseorang untuk menduduki suatu jabatan didasarkan atas pertimbangan

kompetensi dan kelayakannya. Dan yang lebih penting lagi adalah jabatan itu mampu

dijalankan dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Ini juga bermakna bahwa jabatan

adalah bentuk pengabdian kepada negara yang dilakukan dengan penuh kejujuran dan

keikhlasan. Sebab cukup banyak orang yang cakap, layak, dan mampu menempati suatu

jabatan penting, tetapi tidak banyak orang yang mampu menjalankannya dengan amanah,

jujur, dan ikhlas.

Konsep agama sendiri menegaskan bahwa jabatan bukan sekedar kontrak sosial (janji)

antara sang pejabat dengan masyarakat, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan

Tuhan. Boleh jadi seorang pemimpin atau pejabat secara normatif dan formal administratif

merasa “sudah menjalankan tugas dan banyak berbuat jasa”, akan tetapi ada sebagian

tindakannya yang mengandung kecurangan, kelicikan, siasat, tipu muslihat, dan penuh

rekayasa yang ditutup-tutupi tanpa sepengetahuan orang lain. Namun harus diingat segala

perbuatannya pasti tidak akan pernah luput dari pengetahuan Tuhan. Di sinilah letak

pentingnya amanah dalam memegang jabatan. Prinsip tersebut secara tegas dinyatakan dalam

Q. S. Yasin (36): 65, yang berbunyi: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, lalu tangan

mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa

yang dahulu mereka kerjakan”.

1
Berkaitan dengan itu, pegawai negeri yang diangkat untuk memangku suatu jabatan,

pada saat pengangkatannya wajib mengangkat Sumpah Jabatan di hadapan atasan yang

berwenang dengan disaksikan orang ramai menurut agama atau kepercayaannya terhadap

Tuhan Yang Maha Esa. Sumpah Jabatan tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Demi Allah ! Saya bersumpah,

Bahwa saya, untuk diangkat dalam jabatan ini, baik langsung maupun tidak langsung,

dengan rupa atau dalih apapun juga, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi

sesuatu kepada siapapun juga; Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik

Indonesia; Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau

menurut perintah harus saya rahasiakan; Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau

suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat

mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan

jabatan atau pekerjaan saya; Bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya,

senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri

atau golongan; Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi kehormatan Negara,

Pemerintah, dan Pegawai Negeri; Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan

bersemangat untuk kepentingan Negara”.

Inti Sumpah Jabatan adalah ikrar kesetiaan, komitmen, kesiapan dan kesanggupan

atas nama Tuhan bahwa jabatan yang dipangkunya akan dilaksanakan secara sungguh-

sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan potensi penyimpangan

dan penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan ditekan dari dalam karena ikatan sumpah

yang pernah diucapkannya.

2
Dengan adanya Sumpah Jabatan itu sesungguhnya seorang pejabat telah diikat oleh

apa yang diucapkannya. Bukan saja karena sumpah tersebut didengar dan disaksikan oleh

khalayak ramai, akan tetapi yang lebih dituntut adalah komitmen yang bersangkutan untuk

melaksanakan isi sumpah dan segala konsekwensi yang mengiringinya. Sumpah Jabatan itu

benar-benar mengikat hati nurani pejabat, sehingga tidak ada keberanian sedikitpun ataupun

hanya sekedar niat untuk melanggarnya, walau tidak ada seorang manusia pun yang

mengetahui.

Lafaz sumpah yang diawali/diakhiri dengan mengucapkan nama Tuhan menyiratkan

makna bahwa segala sesuatu yang dilakukan pejabat selama memegang jabatannya adalah

demi karena Tuhan dan Dia senantiasa mengawasi semua perbuatan. Dan tidak ada satupun

tindakan, berkaitan dengan jabatan langsung maupun tidak langsung kecuali dilakukan demi

kepentingan pemerintah dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sumpah

juga berarti suatu tekad seseorang di depan Tuhannya bahwa ia akan bekerja dan berkarya

sesuai isi sumpah yang diucapkannya dan tidak akan pernah menyimpang. Sumpah Jabatan

merupakan alat kontrol diri yang menempel terus selama jabatan yang diterima sebagai

amanah itu masih digeluti dalam kehidupannya. Bagi yang mengucapkan memiliki keyakinan

bahwa apa yang sedang dipikirkan, direncanakan, diputuskan, dan diamalkan selalu dikontrol

oleh Tuhan walau tanpa seorangpun yang tahu, melihat, atau mendengarkannya.

Makna sumpah jabatan dalam Islam

Ada tiga aspek yang terkandung dalam Sumpah Jabatan menurut pandangan Islam,

yaitu: al-amanah (kepercayaan), ‘adalatul ‘am (keadilan publik) dan ath-tha’ah (ketaatan).

(Al-Asyhar, 2008).

3
Pertama, al-amanah (kepercayaan). Yaitu sumpah setia atas nama Tuhan akan selalu

berbuat jujur, dapat dipercaya dalam menjalankan kepemimpinan merupakan nilai yang

sangat mendasar dalam jiwa seseorang. Ia tidak hanya berlaku bagi seorang pemimpin saja,

namun berlaku untuk semua orang yang percaya akan hari pembalasan. Komitmen para

pemimpin untuk selalu memegang teguh amanah disinggung dalam Q. S. An-Nisa’ (4): 58,

“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.

Sedangkan penegasan terhadap larangan mengkhianati amanah dijelaskan dalam Q. S.

Al-Anfal (8): 27, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan

Rasul dan (juga) janganlah kamu mnegkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu,

sedangkan kamu mengetahui”.

Namun demikian, standar amanah dalam kepemimpinan tidak hanya berhenti pada

aspek moral saja. Lebih dari itu, amanah moral harus pula dikawal dengan amanah

profesional yang tidak kalah pentingnya untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan atau

organisasi. Yang dimaksud dengan amanah profesional adalah mampu memenej secara baik

roda kepemimpinan berdasarkan standar kepemimpinan profesional. Tidak adanya, atau

kurangnya amanah profesional seorang pemimpin akan mengalami kepincangan antara

keberhasilan moral dengan keberhasilan fisik dalam kepemimpinan.

Kedua, ‘adalatul ‘am (keadilan publik). Jabatan yang diberikan kepada seorang

pemimpin secara serta merta mempunyai keterkaitan ruh (semangat) keterwakilan Tuhan di

dunia. Sebagai khalifah Tuhan yang bertugas menata dan mengatur bumi, seorang pemimpin

harus mempunyai jiwa keadilan publik sebagaimana sifat Tuhan Yang Maha Adil, yaitu

keadilan semesta untuk semua kalangan baik makhluk hidup maupun makhluk mati yang

tidak mengenal suku, ras, agama, latar belakang sosial, kelompok dan lain-lain. Sebaliknya,

pengingkaran terhadap keadilan publik berarti pula telah mengesampingkan nilai-nilai

4
ketuhanan. Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah yang menganjurkan kita untuk

selalu berbuat adil dan kebenaran. Banyak ayat al-Quran yang menyinggung masalah

tersebut, diantaranya Q. S. Al-Maidah (5): 8, “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu

sebagai penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil”.

Ketiga, ath-tha’ah (ketaatan). Ketaatan atau kepatuhan harus dilakukan secara timbal

balik antara pemimpin dengan masyarakat, bawahan atau staf yang dipimpinnya. Sumpah

Jabatan merupakan nota kesepakatan antara rakyat dengan pemimpin untuk selalu saling

bekerja sama, menghormati eksistensi masing-masing dan tidak saling meniadakan. Ketaatan

yang harus dilkakukan meliputi kepada sistem politik, sistem hukum, sistem sosial, sistem

budaya yang ada dalam sebuah negara, daerah atau organisasi (unit) pemerintahan.

Penegakan prinsip taat dalam kepemimpinan sejalan dengan firman Allah Q. S. An-

Nisa’ (4 ): 59, “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri

diantara kamu. Didukung oleh sebuah Hadits yang artinya : Barang siapa mentaatiku, maka

ia telah mentaati Allah dan barang siapa membangkang kepadaku maka ia telah

membangkang kepada Allah. Barang siapa mentaati amir (pemimpin)-Ku, maka ia telah

mentaatiku, dan barang siapa membangkang kepada amir-ku, maka ia telah membangkang

kepadaku. (HR. Khamsah).

Menghayati Sumpah Jabatan

Setiap kali dilakukan pengambilan Sumpah Jabatan para pejabat baru, pastilah mereka

mengucapkan sumpah. Namun pada saat bersamaan tidak kurang pula banyaknya para

pejabat berulang kali melanggar butir-butir penerapan sumpah jabatan dalam melaksanakan

tugasnya. Seolah telah mentradisi, sumpah jabatan itu hanya kepentingan seremoni, lalu

sesudah itu ditinggalkan, tidak ada pengaruh apa-apa lagi. Kondisi seperti inilah, selalu

5
meninggalkan rentetan pertanyaan panjang yang sampai saat ini belum mendapatkan jawaban

memuaskan.

Sebagian orang beranggapan si pejabat tidak mendalam keyakinannya bahwa ada

Tuhan yang selalu mengamati setiap gerak-gerik manusia tanpa pengecualian. Ada juga yang

mengkritik karena sumpah jabatan yang sakral seperti itu tidak diucapkan langsung dari hati

nurani sang pejabat, tetapi didikte dengan menirukan ucapan pejabat yang menyumpahnya.

Sebagian pejabat ada beranggapan sumpah jabatan sekadar formalitas, sebagian lagi

bersikap bahwa jabatan adalah lahan mengeruk kekayaan dan fasililitas pribadi, sebagian lagi

memang sejak awal berniat benar memperoleh jabatan itu untuk mendapatkan keuntungan

pribadi dalam berbagai segi kehidupannya, sehingga ”membeli” pun mau walau dari uang

pinjaman.

Jabatan bukanlah fasilitas pribadi maupun hadiah. Jabatan adalah satu tanggung jawab

dan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Bila kita sudah sampai

pada tataran pikiran seperti itu, maka sumpah jabatan dilakukan untuk lebih meyakinkan diri

pejabat. Sumpah jabatan yang dilakukan untuk lebih mempertebal tekad bahwa jabatan

adalah ladang pengabdian dan berkarya untuk kemaslahatan masyarakat. Tidak pernah

terlintas dalam benaknya untuk memperoleh sesuatu yang melanggar sumpahnya, bahkan

setiap gangguan setan untuk menyeleweng selalu dijawab oleh kata hatinya yang sangat kuat

memegang teguh makna kata-kata dalam sumpahnya.

Maka dalam sumpah jabatan yang terpenting adalah pemahaman, penghayatan, dan

pengamalan isi dan maknanya oleh sang pejabat, yang tertanam dalam hati nuraninya. Oleh

karena itu mekanisme sumpah jabatan yang sekarang ini selalu dilaksanakan harus diubah

secara mendasar, bukan sekadar didikte dan orang yang disumpah cukup menirukan,

6
melainkan seharusnya dibaca sendiri oleh pejabat yang bersumpah dengan pelan dan penuh

khidmat. Sumpah jabatan bukan sekadar gerakan bibir tanpa makna, melainkan ungkapan

hati nurani, lubuk hati calon pejabat yang didengar dan disaksikan oleh seluruh hadirin,

malaikat, dan Allah Yang Maha Mendengar. (Purwosaputro, 2008).

Terlepas dari hal tersebut, hal yang paling penting adalah adanya pengambilan ikrar

(komitmen) Sumpah Jabatan bagi calon pejabat. Pengambilan Sumpah Jabatan ini

dimaksudkan untuk menegaskan kembali pada komitmen pribadi seorang calon pejabat yang

disandarkan kepada Tuhan sesuai keyakinannya masing-masing sebelum menjalankan tugas-

tugas pemerintahan atau organisasi. Pengikraran kesesungguhan komitmen dan kesetiaaan

terhadap suatu nilai yang dianut dalam sebuah negara, daerah atau organisasi/unit

pemerintahan tertentu melalui Sumpah Jabatan jelas mempunyai konsekuensi yang tidak

ringan, baik secara normatif maupun pertanggung jawaban spiritual. Semua kebijakan dan

gerak langkah kepemimpinan harus diselaraskan pada undang-undang negara, peraturan dan

garis kebijakan daerah atau unit pemerintahan yang dipimpinnya serta norma-norma sosial

dan agama yang dianut oleh masyarakat.

Konsistensi sikap dan garis kebijakan yang disandarkan penuh pada aspek

pertanggung jawaban Sumpah Jabatan menjadi tolok ukur keberhasilan dalam menjalankan

kepemimpinan. Sebaliknya, pengingkaran terhadap nilai yang terkandung dalam rangkaian

teks Sumpah Jabatan akan membawa malapetaka yang dahsyat, baik di dunia maupun di

akhirat.

Namun, budaya pengingkaran terhadap pesan spiritual Sumpah Jabatan inilah yang

justru banyak dilakukan oleh pemimpin kita dalam semua level kekuasaan. Prinsip Sumpah

Jabatan telah banyak dibelokkan menjadi format ceremony kepemimpinan yang hanya

diletakkan pada bingkai yang profan. Akibatnya, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah

7
menjadi pemandangan nyata di sekitar kekuasaan. Begitu banyak calon pemimpin atau

pejabat yang kasak-kusuk mencari dukungan dengan caranya sendiri-sendiri, namun setelah

memimpin atau menduduki jabatan tertentu ternyata ditemukan banyak penyimpangan.

Komitmen kepemimpinan yang seharusnya berorientasi pada penyejahteraan masyarakatnya,

baik secara materil maupun immateril menjadi terabaikan.

Untuk itulah urgensi Sumpah Jabatan dalam suatu kepemimpinan tidak berhenti pada

aspek verbal dalam sebuah acara pelantikan, namun mempunyai konsekuensi serius yang

bersifat spiritual yang harus dipertanggung jawabkan baik di hadapan masyarakat yang

dipimpinnya, maupun di hadapan Allah swt. Pertanggung jawaban di hadapan rakyat di dunia

akan berhadapan dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku di suatu negara, daerah

atau unit pemerintahan tertentu. Sedangkan di akhirat kelak akan menuai hasil kepemimpinan

berupa pahala atau siksaan yang menyakitkan.

Setiap muslim seharusnya menyadari bahwa setiap manusia akan diminta

pertanggungjawabannya terhadap apa yang telah dilakukannya terlebih bagi seorang pejabat

yang telah dipercayakan untuk memimpin dalam suatu instansi/lembaga/organisasi bagi para

anggotanya khususnya dan masyarakat pada umummya. Jika semua pejabat muslim benar-

benar mengakui Al-Quran sebagai petunjuk dalam memegang amanat yang diberikan maka

semua kejadian yang memalukan diri, keluarga dan membuat sakit hati masyarakat tidak

akan terjadi.

Ketika pemimpin sudah bersumpah atas nama Tuhan dan Kitab Suci untuk

melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, maka ada dua kemungkinan yang akan diraihnya,

yaitu: kepemimpinan yang diberkahi atau kepemimpinan yang dilaknati, baik oleh manusia

atau Tuhan. Meskipun kadang orang tidak mau atau berpura-pura melafalkan teks Sumpah

Jabatan dengan tujuan menghindarkan dari tanggung jawab moral, namun pemberian amanah

8
jabatan kepadanya berkonsekuensi langsung terhadap pertanggungjawaban

kepemimpinannya. Artinya, pejabat yang disumpah maupun tidak sama-sama memiliki

tanggung jawab dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai