Anda di halaman 1dari 34

Text Book Reading

REHABILITASI KOGNITIF PADA DEMENSIA

Pembimbing dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

Disusun Oleh Lita Hervitasari G1A212031

SMF ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2012

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Text Book Reading (TBR) berjudul

REHABILITASI KOGNITIF PADA DEMENSIA

Disusun Oleh Lita Hervitasari G1A212031

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Pada tanggal :

Oktober 2012

Mengetahui, Pembimbing

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

KATA PENGHANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada hadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Teks Book Reading (TBR) yang berjudul Rehabilitasi Kognitif Pada Demensia yang menjadi salah satu syarat dalam keikutsertaan ujian kepanitraan klinik senior Ilmu Penyakit Syaraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Dalam menyelesaikan penulisan TBR ini, penulis ingin menyatakan terima kasih kepada: 1. Dr. Muttaqien Pramudigdo Sp.S selaku sebagai dokter pembimbing dalam pembuatan TBR ini. 2. Teman- teman Co-Ass yang ikut dalam kepaniteraan senior Ilmu Penyakit Syaraf ini. Penulis selaku manusia juga menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan dan penulisan TBR ini sehingga penulis mengaharapkan kritik dan saran untuk perbaikan demi kemajuan dan pembaruan TBR ini. Penulis berharap semoga TBR yang berjudul Rehabilitasi Kognitif Pada Demensia dapat bermanfaat bagisemua pihak yang berkepentingan dalam pengembangan kemajuan ilmu kedoteran. Amin Purwokerto, Oktober 2012

Lita Hervitasari

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demensia merupakan masalah terbesar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta makin meningkanya usia harapan hidup di hampir seluruh behalan dunia
(1).

Studi

prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah pasien dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050 (1). Demensia merupakan sindroma yang ditandai oelah berbagai gangguan kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah intelegensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, mencerna masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemapuan sosial (1,2). Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori)

merupakan suatu hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya, penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya (2). Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia. Oleh karena itu perlu dilakukan rehabilitasi kognitif yang dapat membantu penderita demensia dalam memperbaiki fungsi kognitif untuk mencegah atau memperlambat penderita jatuh dalam kondisi yang benar-benar mengalami disfungsi hidup seharihari,(3). Rehabilitasi kognitif merupakan terapi nonfarmakologi yang bertujuan meningkatkan kognisi yang berfokus pada domain kognitif tertentu seperti kegiatan dasar, activity daily living (ADL), keterampilan sosial dan gangguan perilaku. Training kognitif ini meliputi stimulasi kognitif, rehabilitasi memori, orientasi realitas dan rehabilitasi neuropsikologi
(3).

. Meta analisis studi

pengujian kognitif pada tahun 1980-2004 mendukung bahwa pelatihan kognitif yang efektif berpengaruh pada belajar, memori, fungsi eksekutif, Activity Daily Living (ADL), kognitif umum, depresi dan fungsi umum yang berhubungan dengan diri sendiri (3).

II TINJAUAN PUSTAKA A. Demensia 1. Definisi Demensia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan sebagian besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental yang luas. Gejala demensia seperti kehilangan memori, gangguan berbahasa, disorientasi, perubahan kepribadian, kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, pengabaian diri, gejala psikiatri dan perilaku diluar karakter(4,1) .Gangguan kognitif yang terjadi cukup mengganggu fungsi sosial ataupun pekerjaan, gangguan ini dapat terjadi karena berbagai proses neurodegenaratif dan proses iskemik (4). Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara multidimensional dan terus-menerus, disebabkan oleh kerusakan organik system saraf pusat, tidak disertai penurunan kesadaran secara akut seperti halnya terjadi pada delirium (2) 2. Epidemiologi Di kawasan Asia Pasifik, pada tahun 2005 penderita demensia berjumlah 13,7 juta orang dan menjelang tahun 2050 diprediksikan jumlah ini akan meningkat menjadi 64,6 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah kasus baru di kawasan adalah 4,3 juta per tahun. Menjelang tahun 2050 jumlah ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 19,7 juta kasus baru pertahun . Prevalensi penyakit Alzheimer menunjukkan peningkatan empat kali lipat pada usia di atas 50 tahun pada 1 : 45 orang Amerika (5,1). 6

3. Klasifikasi Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya (6,7) 2.1 Menurut umur 2.1.1 2.1.2 Demensia sinilis (>65 tahun) Demensia prasenilis (<65 tahun

2.2 Menurut perjalanan penyakit 2.2.1 2.2.2 Revesibel Ireversibel (Normal pressure hydrocepalus, subdural

hematoma, defisiensi vitamin B, hipitiroidism, intoksikasi Pb). 2.3 Menurut kerusakan struktur otak 2.3.1 2.3.2 2.3.3 2.3.4 2.3.5 2.3.6 2.3.7 2.3.8 2.3.9 2.3.10 2.3.11 2.3.12 Tipe alzheimer Tipe non-Alzheimer Demensia vaskular Demensia Jisim Lewy (Lewy Body demantia) Demensia Lobus frontal-temporal Demensia terkait dengan HIV-AIDS Morbus Parkinson Morbuas Huntington Morbus Pick Morbus Jakob-Creutzfeldt Sindrom Gerstmann-Straussler-Scheinker Proin disease

2.3.13 2.3.14 2.3.15 2.3.16

Palsi Supranuklear progresif Multiple skelosis Neurosifilis Tipe campura (tipe demensia Alzheimer dan demensia

vaskuler) 2.4 Menurut sifat klinis 2.4.1 2.4.2 4. Etiologi (7) 3.1 Demensia Degeneratif 3.1.1 3.1.2 3.1.3 3.1.4 3.1.5 3.1.6 3.1.7 Penyakit Alzheimer Demensia Frontotemporal (Penyakit Pick) Penyakit Parkinson Penyakit Huntington Demensia Lewy Body Ferokalsinosis serebral idiopatik Kelumpuhan supranuklear yang progresif Demensia propius Pseudo-demensia

3.2 Kelainan Psikiatri 3.2.1 3.2.2 Pseudodemensia pada depresi Penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut

3.3 Fisiologis 3.3.1 Hidrocephalus tekanan normal

3.4 Kelainan Metabolik 3.4.1 Defisiensi vitamin (misalnya vitamin B12, folat)

3.4.2 3.4.3 3.5 Tumor

Endokrinopati (hipotiroidisme) Gangguan metabolisme kronik (contoh : uremia)

Tumor primer maupun metastase (misalnya meningioma atau tumor metastasis dari tumor payudara atau tumor paru) 3.6 Trauma 3.6.1 3.6.2 3.7 Lain-lain 3.7.1 3.7.2 3.7.3 3.7.4 3.8 Infeksi 3.8.1 3.8.2 3.8.3 Penyakit Prion (misalnya penyakit Creutzfeldt-Jakob) Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) Sifilis Penyakit Wilson Leukodistrofi metakromatik Neuroakantositosis Normal-pressure hydrocephalus Demensia pugilistica, posttraumatic dementia Subdural hematoma

3.9 Kelainan jantung, vaskuler dan anoksia 3.9.1 Infark serebri (infark tunggal maupun mulitpel atau infark lakunar) 3.9.2 Penyakit Binswanger (subcortical arteriosclerotic

encephalopathy) 3.9.3 Insufisiensi hemodinamik (hipoperfusi atau hipoksia)

3.10 Penyakit demielinisasi 3.10.1 Sklerosis multipel 3.11 Obat-obatan dan toksin 3.11.1 Alkohol 3.11.2 Logam berat 3.11.3 Radiasi 3.11.4 Pseudodemensia akibat pengobatan (misalnya penggunaan antikolinergik) 3.11.5 Karbon monoksida 5. Patofisiologi Pada otak seorang penderita demensia, terbentuk protein abnormal yang disebut amiloid. Sejumlah amiloid terhampar pada lapisan luar otak dan membentuk plak. Plak amiloid ini akan mempengaruhi neuron. Secara fisiologis neuron ini mengandung protein yang berfungsi mempertahankan bentuk neuron
(8)

. Neuron yang abnormal ini dianggap

sebagai hasil dari perubahan struktur sel. Beberapa neuron mati, kolaps, dan menyusut membentuk gumpalan. Gumpalan dan plak dari protein amiloid ini tampak pada pemeriksaan mikroskopis, ini merupakan cirikhas dari penyakit demensia alzheimer (9). Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit demensia menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada

10

korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi(10) .

Gambar 1.1 Sel otak pada demansia Alzheimer dengan sal otak normal (10) Peranan asetilkolin dan norepinefrin dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun (10). Faktor genetik dianggap berperan dalam perkembangan demensia. Beberapa gen mengalami kelainan (mutasi), gen abnormal ini selanjutnya dapat mewariskan penyakit. Mutasi gen pada kromosom yang berbeda (kromosom 1, 14, dan 21) telah dilaporkan dapat menyebabkan alzheimer. Jika seseorang memiliki salah satu dari gen yang mutasi ini, ia akan menurunkan kelainan ini pada separo anaknya (8,10).

11

Kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan dengan membran yang normal. Penelitian melalui spektroskopik resonansi molekular (Molecular Resonance Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien dengan penyakit Alzheimer (11). Penyebab lainnya adalah ditemukannya suplai darah ke otak yang berkurang. Hal ini disebabkan olah adanya aterosklerosis pada pembuluh darah. Ateroskleroisis ditandai dengan arteri menyempit sehingga darah yang dialirkan lebih sedikit, membetuk gumpalan darah di arteri dan berdampak penyumbatan di seluruh permukaan arteri. Jika hal ini terjadi pada otak akan menyebabkan stroke atau infark. Demensia vaskuler dapat terjadi karena suplai darah ke otak berkurang sebagai akibat pembuluh arteri yang menyempit karena ateroma atau karena stroke(11).

Gambar 2.1 Kerusakan sal saraf pada demensia vaskuler 6. Gambaran klinik (12) Gambaran utama demensia ditandai olah munculnya defisit kognitif multipleks, antara lain :

12

6.1 Gangguan memori Dalam hal ini ketidakmampuan penderita untuk belajar hal-hal baru atau lupa akan hal-hal baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. 6.2 Gangguan orientasi Daya ingat yang terganggu secara progresif dapat membuat penderita lupa terhadap orang, tempat dan waktu. 6.3 Afasia Ditandai dalam bentuk kesulitan untuk menyebut nama orang atau benda. Tak hanya itu penderita afasia mungkin dalam bahasa lisan dan tertulis dapat juga terganggu. 6.4 Apraksia Merupakan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan

meskipun kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan suatu barang tertentu. 6.5 Agnosia Merupakan ketidakmampuan untuk mengenali atau

mengidentifikasi benda maupun fungsi sensorik utuh. 6.6 Perubahan kepribadian Pasien dengan demensia mungkin dapat menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek mereka terhadap orang lain. perilaku

13

7. Diagnosis klinis (12) 7.1 Anamnesis Wawancara sebaiknya dilakukan langsung pada penderita dan keluarga yang sehari-hari berhubungan dengna penderita. Hal yang penting diperhatikan adalah riwayat penurunan fungsi kognitif. Awitan mendadak dan adanya perubahan perilaku dan kepribadian. 7.1.1 Riwayat medis umum Demensia dapat merupakan akibat sekunder dari berbagai penyakit, sehingga perlu ditanyakan riwayat infeksi kronis (HIV atau Sifilis), gangguan endokrin

(Hipertiroid/hipotiroid), DM, neoplasma, kebiasaan merokok, penyakit jantujng, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia, dan aterosklerosis. 7.1.2 Riwayat neurologis Perlu ditanyakan mengenai etiologi demensia seperti gangguan serebrovaskular, trauma kapitis, infeksi SSP, epilepsi, tumor cerebri, dan hidrocefalus. 7.1.3 Gangguan kognisi Riwayat gangguan kognitif merupakan bagian

terpenting dari diagnosis demensia. Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang, gangguan orientasi, gangguan fungsi eksekutif. 14

7.1.4 Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian Adanya gejala neuropsikologis berupa waham,

halusinasi, misidentifikasi, depresi, apatis dan cemas. Gejala perilaku dapat berupa berpergian tanpa tujuan, agitasi, agresifitas fisik maupun verbal, restlessness dan dishinbisi. 7.1.5 Riwayat intosikasi Perlu ditanyakan riwayat intoksikasi almunium, air raksa, pestisida, alkoholisme dan merokok. Riwayat

pengobatan pemakaian kronis antidepresan dan narkotika. 7.1.6 Riwayat keluarga Riwayat demensia, gangguan psikiarti, depresi, penyakit parkinson. 7.2 Pemeriksaan fisik Tidak ada pemeriksaan khusus pada pasien demensia. Pemeriksaan neurologis : dilihat adanya tekanan tinggi intra kranial, gangguan neurologis misalnya gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan penglihatan, gerakan abnormal/apraksia dan adanya refleks patologis. 7.3 Pemeriksaan penunjang 7.3.1 Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu

15

pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat . 7.3.2 Imaging Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan. Pada demensia vaskuler ditemukan infark multiple bilateral yang terletak pada hemisfer yang dominan dan struktur limbik, stroke lacunar multipel atau adanya lesi periventricula yang meluas sampai ke daerah substansia alba 7.3.3 Pemeriksaan EEG Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.

16

7.3.4

Pemeriksaan cairan otak Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.

7.3.5

Pemeriksaan genetika Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.

7.4 Pemeriksaan neuropsikologis Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving.

Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses 17

depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut: mampu menyaring secara cepat suatu populasi, mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia (19,20) Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai etapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi(19,20) Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (19,20). Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu

pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan

18

ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat (19,20). 8. Penalataksanaan Penatalaksanaan demensia meliputi non farmakologis dan

farmakologis. Berikut akan diuraikan pengobatan pada penderita demensia. 8.1 Non Farmakologi Terapi non farmakologi pada orang dengan demensia sangat penting untuk mendukung agen psikofarmakologi yaang digunakan pada pengobatan demensia dan telah terbukti efektif manfaatnya. Sebelum memberikan suatu intervensi non

farmakologis, masalah periaku/kebiasaan atau gejala yang terdapat pada seorang penderita harus diidentifikasi dan diperhitungkan dalam hal frekuensi dan tingkat keparahannya. Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dalam hal ini sangatlah penting. Tujuan dari perawatan penderita harus jelaskan kepada perawat atau pengasuh penderita; walaupun perilaku yang ditargetkan tidak dapat dihilangkan sepenuhnya tetapi paling tidak dapat dikurangi dan ditoleransi (14).

19

Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti (14): 8.1.1 Pendekatan untuk pengasuh Pengasuh penderita demensia harus mendapat edukasi tentang proses penyakit dan manifestasi klinis penyakit. Dalam situasi yang baik, peniruan strategi yang meliputi berfikir dengan tenang, menggunakan sentuhan, musik, boneka, dan keluarga. Membantu pengasuh

mengerti kunci intensitas perilaku yang sangat penting. 8.1.2 Pendekatan Tingkah Laku Pendekatan yang sangat membantu pada masa lalu harus dicoba sebelumnya.lebih baik mengalihkan perhatian pasien yang sedang marah atau agresif dari pada mencoba untuk mengetahui alasan mereka. Terapi yang baik berfokus pada respon emosi, bukan isi dari kata-kata

penderita. Penggunaan terapi yang mengingatkan pada sesuatu seperti menceritakan kembali pengalaman yang

menyenangkan. Selain itu juga digunakan terapi seperti tari, seni, musik dan olah raga. 8.1.3 Modifikasi Lingkungan Pasien dengan perilaku yang tidak agresif secara fisik, misalnya seperti mondar-mandir dan berjalan, mungkin akan merespon terhadap penciptaan lingkungan yang aman dimana mereka dapat berjalan tanpa risiko.

20

Barang-barang seperti senjata dan pisau harus dijauhkan. Membuat lingkungan yang aman adalah pekerjaan yang sedang diusahakan. Untuk pasien dalam stadium lanjut, lingkungan yang aman dapat dicapai hanya dalam pengaturan yang khusus seperti unit Alzheimer atau fasilitas perawatan jangka panjang. 8.1.4 Pengembangan dan Perawatan Rutin Pasien dengan demensia harus mendapatkan

perawatan yang konsisten. Melayani makan pada waktu yang sama akan mengurangi stres dan kemungkinan gangguan perilaku. 8.1.5 Intervensi Sensorik Sentuhan mungkin bermanfaat pada banyak orang dewasa yang lebih tua yang delusional. Terapi musik dan hewan peliharaan yang menciptakan lingkungan seperti di rumah pada panti jompo, hal ini sepertinya dapat mengurangi perilaku yang mengarah pada psikosis dan dapat meningkatkan kualitas hidup. 8.2 Farmakologi (15) 8.2.1 Cholinergic-enhancing agents Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan penelitian. Pemberian cholinergicenhancing agents menunjukkan hasil yang lumayan pada beberapa penderita; namun demikian secara keseluruhan

21

tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia

alzheimerntidak semata-mata disebabkan oleh defisiensi kolinergik; demensia ini juga disebabkan oleh defisiensi neurotransmitter lainnya. Sementara itu, kombinasi

kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat kompleks; pemberian obat kombinasi ini harus hati-hati karena dapat terjadi interaksi yang mengganggu sistem kardiovaskular. 8.2.2 Choline dan lecithin Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan memori. Pemberian prekursor,

choline dan lecithin merupakan salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan, namun demikian tidak

memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline ada sedikit perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual. Dengan lecithin hasilnya cenderung negatif, walaupun dengan dosis yang berlebih sehingga kadar dalam serum mencapai 120 persen dan dalam cairan serebrospinal naik sampai 58 persen. 8.2.3 Neuropeptide, vasopressin dan ACTH Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh perhatian. Neuropeptida dapat

memperbaiki daya ingat semantik yang berkaitan dengan

22

informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa gangguan psikoorganik, pemberian ACTH dapat memperbaiki daya konsentrasi dan memperbaiki keadaan umum. 8.2.4 Nootropic agents Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering digunakan dalam terapi demensia, ialah nicergoline dan co-dergocrine mesylate. Keduanya

berpengaruh terhadap katekolamin. Co-dergocrine mesylate memperbaiki perfusi serebral dengan cara mengurangi tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen otak. Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi bingung, serta memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline tampak bermanfaat untuk memperbaiki perasaan hati dan perilaku. 8.2.5 Dihydropyridine Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type calcium channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic dihydropyridine bermanfaat untuk mengatasi kerusakan susunan saraf pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat untuk mengembalikan fungsi

kognitif yang menurun pada lansia dan demensia jenis Alzheimer. Nimodipin memelihara sel-sel endothelial /kondisi mikrovaskular tanpa dampak hipotensif dengan

23

demikian sangat dianjurkan sebagai terapi alternatif untuk lansia terutama yang mengidap hipertensi esensial. 9. Pencegahan Sebenarnya tidak diketahui secara pasti cara mencegah penyakit demensia, namun secara umum dapat dilakukan dengan menghindari atau mengurangi faktor risiko vaskular. Pada usia pertengahan dan usia tua harus diperhatikan faktor risiko vaskular dan faktor risiko modifikasi seperti merokok, konsumsi alkohol, obesitas, hipertensi, kolesterol). Dan melakukan pengobatan segera bila telah mengalami faktor risiko tersebut(16). 10. Komplikasi Demensia pada tahap lanjut dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti pneumonia, episode demam, dan masalah makan. Komplikasi ini dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas di atas 6 bulan. Gejala distress dan intervensi yang membebani umumnya terjadi pada beberapa penderita. Pada suatu studi kohort penderita prospektif penghuni panti jompo menunjukkan bahwa pasien dengan demensia lanjut memiliki angka kematian yang tinggi karena masalah infeksi dan makanan yang cenderung berkembang dalam tahap terminal demensia
(18,1)

11. Prognosis Nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu: (1) a. Derajat beratnya penyakit b. Variabilitas gambaran klinis

24

c. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi prognostik penderita demensia. Pasien dengan demensia mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder, seperti pneumonia. B. Rehabilitasi kognitif Rehabilitasi kognitif merupakan terapi aktif, direktive, timelimited, pendekatan terstruktur yang digunakan untuk mengatasi beberapa gangguan psikiatri (misalnya depresi, kecemasan, nyeri, problem dan phobia). Terapi nonfarmakologis ini bertujuan meningkatkan kognisi yang berfokus pada domain kognitif tertentu seperti kegiatan dasar, activity daily living (ADL), keterampilan sosial dan gangguan perilaku. Training kognitif ini meliputi stimulasi kognitif, rehabilitasi memori, orientasi realitas dan rehabilitasi neuropsikologi (17). Secara garis besar, rehabilitasi kognitif dapat dilakukan

berdasarkan timbulnya gangguan sebagai berikut : (17, 18) a. Gejala utama Gangguan kognitif, gangguan fungsional dan gangguan sosial. b. Gejala tambahan Agitasi, agresi, depresi, psikosis, gangguan repetisi, gangguan tidur, dan gangguan perilaku non spesifik.

25

1. Jenis rehabilitasi kognitif terdiri dari : 1.1 Stimulasi kognitif Stimulasi kognitif mengacu pada keterlibatan kegiatan yang membutuhkan fungsi mental yang diprogramkan dari jenis lain pelatihan kognitif. Kegiatan stimulasi dapat berupa aktif dan pasif. Kegiatan aktif misalnya kelmpok diskusi menganai kajadian terbaru atau memecahkan teka-teki silang. Kegiatan pasif termasuk mengamati alam, mendengarkan pembacaan puisi, musik, menonton drama. Stimulasi kognitif efektif untuk meningkatkan kognisi dan memperkuat bahwa kombinasi stimulasi kognitif dengan obat dinilai paling efektif dan dapat meningkatkan skor MMSE, namun pada tingkat yang lebih rendah.(17, 18). 1.2 Rehabilitasi memori Rehabilitasi memori berfokus pada pengkodean

informasi pada area otak yang kurang dipengaruhi oleh AD. Training memori berdasarkan tiga karakteristik (19) a. Target spesifik mengkode memori dan pengulangan b. Biasanya menguji satu metode pelatihan c. Target lokasi khusus pada kerusakan dan fungsi daerah tersebut Teknik yang digunakan dalam pelatihan memori termasuk belajar eksplisit, pembelajaran dari kesalahan, pembelajaran implisit dan memmory aids.(19)

26

1.2.1 Strategi belajar eksplisit Pembelajaran eksplisit yaitu pembelajaran dengan menghafal, berorientasi verbal, dan dalam keadaan sadar untuk menciptakan memori atau belajar

ketrampilan. (19) 1.2.2 Strategi belajar dari kesalahan Merupakan pembelajaran dengan pendekatan

menghindari kesalahan selama fase belajar, sehingga mengurangi kemungkinan informasi salah. Hal ini berfokus pada koreksi kesalahan yang dibuat selama proses belajar (19, 20) 1.2.3 Startegi pembelajaran implisit Memori implisit bersifat nonverbal, observasional dan dapat dilakukan kapan saja misalnya ketrampilan motorik. (19) 1.3 Orientasi realitas Orientasi realitas berhubungan dengan informasi orang, tempat, dan waktu. Pada individu dengan demensia orientasi realita dapat dilakukan terus menerus melalui kontak komunikasi sepanjang hari (19). 1.4 Rehabilitasi neuropsikologi Rehabilitasi neuropsikologi bertujuan untuk

mengoptimalkan fungsi, meminimalisasi risiko cacat yang berlebihan dan mencegah perkembangan psikologi sossial

27

negatif. Proses aktif ini memungkinkan orang untuk mencapai optimalisasi fungsi fisik, psikologis, sosial dan berguna dalam bidang kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, ADL dan hubungan sosial (20).

28

III KESIMPULAN 1. Demensia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan sebagin besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental yang luas yang disebabkan oleh kerusakan organik system saraf pusat, tidak disertai penurunan kesadaran secara akut seperti halnya terjadi pada delirium 2. Etiologi demensia meiputi vasular dan alzheimer. Adapun disebabkan oleh penyakit yang lain separti HIV, trauma kepala, parkinson, henti jantung, hipoksia otak, ensefalitis muncul tiba-tiba. 3. Penatalaksaan demensia dilakukan secara farmakologis dan non farmakologi. Farmakologi terdiri beberapa golongan obat demensia meliputi antipsikotik tipikal, antipsikotik atipikal, antidepresan, mood stabilizer, cholinesterase inhibitor dan beberapa jenis obat lainnya. Semantara non farmakologi salah satunya adalah rehabilitasi kognitif. 4. Rehabilitasi kognitif merupakan terapi aktif, direktive, pendekatan terstruktur yang digunakan sebagai terapi nonfarmakologis dan bertujuan meningkatkan kognisi yang berfokus pada domain kognitif tertentu seperti kegiatan dasar, activity daily living (ADL), keterampilan sosial dan gangguan perilaku. 5. Training kognitif ini meliputi stimulasi kognitif, rehabilitasi memori, orientasi realitas dan rehabilitasi neuropsikologi.

29

DAFTAR PUSTAKA 1. Charles D. Mild kognitif impairment: prevalence, prognosis, aetiology, and treatment. Lancet Neurology. 2003; 2: p. 1521. 2. Dahlan P. Definisi dan diagnosis banding sindroma demensia. Berkala Neuro Sains. 1999; 1(1): p. 39-43. 3. Sitzer, D.I., Twamley, E.W., & Jeste, D.V. Cognitive training in Alzheimers disease: A meta-analysis of the literature. Acta Psychiatrica Scandinavica. 2006; 114: p. 75- 90. 4. WHO. (2012). Dementia A Public Health Priority. switzerland: united Kingdom. 5. Health, T. N. (2007). Dementia. The Royal Collage of Psychiatrists and the British Psychological Society 6. Alexopoulos GS, M. B. (2012). Dementia classification. Advances in psychiatric treatment , vol. 18, 315317. 7. Riri, J., & Ari, B. (2008). Demensia. Pekanbaru: University of Riau 8. DeCarli C, Reed T, Miller BL, et.al (2008) Impact of Apolipprotein E 4 and Vascular Disease om Brain Morphology in Men from the NHLBI Twin Study. American Heart Associatio; (5):1548-53 9. Beilby JP, Hunt OCJ, et.al.(2003). Apolipoprotein E Gene Polymorphism are associated with Carotid Plaque Formation but not With Intimamedia Wall Thickening. American Heart Association.;(10):869-739

30

10. Corwin EJ (2000). Demensia dalam buku saku patofisiologi editor Endah P. EGC, Jakarta. Hal 181-182 11. Rochmach W, Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

KedokteranUniversitas Indonesia; .h .1374 12. Janice E. Graham, A. B. (2008). Symptoms And Signs In Dementia: Synergy And Antagonism. American Heart Associatio , 50-62. 13. Cummings JL, (2006). Alzheimers disease. N Engl J Med.;351:56-67 14. Geldmacher D, Whitehouse P, (2005) Evaluation of Dementia. The New England Journal of Medicine.; (8);330-364 15. Mardjono, M., & Sidharta, P. (2009). Demensia dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: EGC. 16. Baehr, M., & Frotscher, M. (2007). Demensia dalam Diagnosis Topik Neurologis. Jakarta: EGC. 17. Bottino, C.M., Carvalho, I.A., Alvarez, A.M., Avila, R., Zukauskas, P.R., Bustamante, S.E. Cognitive rehabilitation combined with drug treatment in Alzheimers disease patients: A pilot study.. Clinical Rehabilitation. 2005; 19: p. 861-869 18. Bird TD,Miller BL.Alzheimers disease and other dementias. (2005) Dalam: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, penyunting. Harrisons Principles of Internal Medicine, Edisi ke-16. New York :McGraw-Hill Medical Publishing Division;.h.2393-406

31

19. Woods B, Aguirre E, Spector AE, Orrell M. Cognitive stimulation to improve cognitive functioning in people with dementia (review). The

Cochrane Collaboration. 2012;(2). 20. Mimura, M., & Komatsu, S. (2007). Cognitive Rehabilitation and Cognitive Training for mild Dementia. Japanes Psychogeriatric Society , 137-41.

32

Lampiran. Tabel 1.1 Pmeriksaan status mental mini (MMSE) No Tes Orientasi 1 2 3 Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa? Kita berada dimana? (negara),(propinsi),(kota),(rumahsakit), (kamar) Registrasi Sebutkan 3 buah nama benda (apel,meja, atau koin), setiap benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan Atensi dan kalkulasi Kurangi 100 dengan 7. Bilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja berbalik kata WAHYU (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan, misalnya uyhaw=2 nilai) Mengingat kembali (recall) Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas Bahasa Pasien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku) Pasien disuruh mengulang kata-kata namun, tanpa,bila Pasien disuruh melakukan perintah :ambil kertas ini dengan tangan anda!. Lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai. Pasien disuruh menbaca dan melakukan perintah pejamkanlah mata anda! Pasien disuruh menulis dengan spontan Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini : 5 5 3 Nilai maksimal

6 7 8 9 10 11 12

3 2 1 3 1 1 1

33

Tabel 2.2 Interpretasi pemeriksaan MMSE Metode Single cut off Rentang SKOR <27 <23 >25 Pendidikan <25 INTERPRETASI Penurunan fungsi kognitif Peningkatan odds demensia Penurunan odds demensia Tidak normal untuk

pendidikan 8 tahun. <26 Tidak normal untuk

pendidikan SMA/SMU. Tidak normal untuk

pendidikan sarjana <27 Keparahan 27-30 23-27 Tidak ada gangguan kognitif. Gangguan kognitif ringan Gangguan kognitif berat 17-23 0-16

34

Anda mungkin juga menyukai