Anda di halaman 1dari 16

Demam Berdarah Dengue Fatal pada Dewasa: Menekankan Manifestasi Klinis dan Laboratorium Pre-fatal Evolusioner

Abstrak
Latar Belakang: Deskripsi yang lebih baik dari manifestasi klinis dan laboratorium pasien demam berdarah dengue (DBD) yang fatal adalah penting dalam memperingatkan dokter akan demam berdarah yang berat dan memperbaiki pengelolaan. Metode dan Temuan: Dari 309 orang dewasa dengan DBD, 10 pasien fatal dan 299 yang bertahan hidup (kontrol) secara retrospektif dianalisis. Mengenai penyebab kematian, perdarahan gastrointestinal (GI) masif ditemukan pada 4 pasien, dengue shock syndrome (DSS) saja pada 2 pasien; DSS / perdarahan subarachnoid, meningitis /bakteremia Klebsiella pneumoniae, pneumonia terkait ventilator, dan perdarahan GI masif/ bakteremia Enterococcus faecalis masingmasing satu. Pasien fatal ditemukan memiliki frekuensi yang jauh lebih tinggi dari penurunan kesadaran awal (24 jam setelah rawat inap), hipotermia, perdarahan GI/ perdarahan GI masif, DSS, bakteremia bersamaan dengan/ tanpa syok, edema paru, kegagalan ginjal/ hati, dan perdarahan subarachnoid. Di antara mereka yang mengalami perubahan kesadaran awal, perdarahan GI besar sendiri/ dengan uremia/ dengan bakteremia E.faecalis, dan meningitis/ bakteremia K.pneumoniae masing-masing ditemukan pada satu pasien. Ditemukan proporsi bandemia yang lebih tinggi dari data laboratorium awal (kedatangan) pada pasien yang fatal dibandingkan dengan kontrol, dan proporsi yang lebih tinggi dari leukositosis prafatal dan lebih rendah dari jumlah trombosit pra-fatal dibandingkan dengan data laboratorium awal dari pasien fatal. Perdarahan GI masif (33,3%) dan bakteremia (25%) merupakan penyebab utama leukositosis pra-fatal pada pasien meninggal, 33,3% pasien dengan trombositopenia yang sangat berat prefatal (<20000/L), dan 50% pasien dengan perpanjangan waktu protrombin pra-fatal (PT) mengalami pendarahan GI masif. Kesimpulan: Laporan kami menyoroti penyebab kematian selain DSS pada pasien dengan demam berdarah yang berat, dan menunjukkan bahwa hipotermia, leukositosis dan bandemia mungkin merupakan tanda-tanda peringatan dengue

yang berat. Dokter harus waspada terhadap potensi berkembangnya perdarahan GI masif, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran awal, trombositopenia berat, pemanjangan PT dan/ atau leukositosis. Antibiotik harus secara empiris digunakan untuk pasien dengan risiko bakteremia sampai terbukti sebaliknya, terutama pada mereka dengan penurunan kesadaran awal dan leukositosis.

Pendahuluan
Dengue adalah infeksi virus yang paling umum ditularkan nyamuk di dunia [1]. Secara klinis, dengue berkisar dari penyakit demam non-spesifik, asimtomatis yaitu dengue klasik, sampai demam berdarah dengue/ dengue shock syndrome (DHF / DSS) [1]. Angka kematian dan penyebab kematian pada pasien demam berdarah yang terkena sangat bervariasi dari satu laporan ke laporan lain [1-13]. Sementara DSS merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan penyakit DBD yang dilaporkan beberapa seri [1-13], penyebab-penyebab selain DSS yang terutama bertanggung jawab atas kematian, dilaporkan oleh yang lain [2,10,12-14]. Akan tetapi, hanya sejumlah kecil kasus kematian berkaitan dengan dengue yang dimasukkan untuk analisis di setiap seri ini [2,8,10-12]. Deskripsi yang lebih baik dari presentasi klinis dan laboratorium dari kasus-kasus dengan hasil yang fatal dapat menyebabkan dokter menyadari awal dari tanda-tanda peringatan dengue sehingga meningkatkan pengelolaan dan ketepatan waktu. Untuk mencapai hal ini, pentingnya analisis berkelanjutan dari temuan yang relevan pada pasien demam berdarah fatal dari populasi yang terkena dengue tidak bisa terlalu ditekankan. Di antara epidemi demam berdarah besar di Taiwan selama 3 dekade terakhir, wabah demam berdarah yang besar disebabkan oleh DENV-1 terjadi pada tahun 1987-1988 di selatan Taiwan, diikuti satu wabah lagi yang disebabkan oleh DENV-2 tahun 2002 di wilayah geografis yang sama [15]. Selama epidemi demam berdarah tahun 2002 di selatan Taiwan, ada lebih dari 5000 kasus DBD yang dilaporkan, dan sebagian besar dari mereka adalah DBD yang berkembang pada orang dewasa [15,16]; sebagai catatan, kematian terkait dengue ditemukan pada 10 orang dewasa yang dirawat di Kaohsiung Chang Gung Memorial Hospital (KSCGMH), fasilitas 2.500 tempat tidur yang melayani sebagai

perawatan primer dan pusat rujukan tersier di daerah ini. Dalam studi ini, kami secara retrospektif membandingkan gambaran klinis dan laboratorium orang dewasa yang terkena dampak dengue dan ternyata berakibat fatal dan yang selamat, dan menganalisis kasus demam berdarah yang fatal dengan tujuan untuk memahami penyebab kematian dan mengklarifikasi evolusi klinis dan laboratorium yang mendahului kematian. Ringkasan Penulis Angka kematian dan penyebab kematian pada pasien demam berdarah sangat bervariasi dari satu seri dengan seri yang lain. Pemahaman yang lebih baik dari manifestasi klinis dan laboratorium pasien yang fatal dengan demam berdarah dengue (DBD) adalah penting dalam memperingatkan dokter tentang beratnya demam berdarah dan meningkatkan pengelolaan. Dalam analisis retrospektif dari 10 orang dewasa yang meninggal dan 299 selamat (kontrol) karena DBD, dengue shock syndrome (DSS) saja ditemukan hanya pada 20% kematian terkait dengue, sementara perdarahan gastrointestinal (GI) masif yang sulit disembuhkan, ditemukan pada 40%, dan DSS disertai perdarahan subarachnoid, perdarahan GI masif yang sulit disembuhkan disertai bakteremia, sepsis/ meningitis bakterial, dan sepsis akibat ventilator terkait pneumonia masing-masing ditemukan pada 10%. Perubahan kesadaran awal (berkembang 24 jam setelah rawat inap), perdarahan GI/ perdarahan GI masif disertai dengan bakteriemia secara signifikan ditemukan di antara pasien yang meninggal. Data kami menunjukkan bahwa hipotermia, leukositosis dan bandemia pada saat datang ke rumah sakit dapat menjadi tanda peringatan dari dengue berat. Dokter harus waspada terhadap potensi berkembangnya perdarahan GI masif, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran dini, trombositopenia berat, perpanjangan waktu protrombin dan/ atau leukositosis. Antibiotik harus secara empiris digunakan untuk pasien dengan risiko bakteremia sampai terbukti sebaliknya, terutama pada mereka dengan penurunan kesadaran awal dan leukositosis.

Bahan dan Metode

Pernyataan Etika Data dalam penelitian ini dianalisis secara anonim, dan penelitian ini dilakukan dengan surat pernyataan persetujuan pasien yang disetujui oleh Institutional Review Board of KSCGMH (Dokumen No 99-2671B). Pasien dan definisi Pasien dengan diagnosis demam berdarah yang masuk ke KSCGMH antara bulan Juni dan Desember 2002 secara potensial memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam penelitian retrospektif ini. Semua kasus DBD yang didiagnosis secara klinis secara serologis ditegakkan oleh setidaknya satu dari kriteria berikut: (i) reaksi berantai reverse transcriptase-polymerase positif (RT-PCR), (ii) positif enzyme-linked immunosorbent assay untuk antibodi spesifik imunoglobulin M untuk virus dengue dalam serum fase akut, dan (iii) setidaknya empat kali lipat peningkatan titer inhibisi hemaglutinasi spesifik dengue dalam serum penyembuhan bila dibandingkan dengan serum fase akut [17]. Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan adanya demam, perdarahan, trombositopenia (<100x109 sel/L) dan bukti klinis kebocoran plasma (yaitu, adanya hemokonsentrasi, efusi pleura, asites dan /atau hipoalbuminemia) yang menunjukkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah [17]. Hemokonsentrasi mengacu pada peningkatan >20% hematokrit yang dihitung sebagai: (hematokrit maksimum - hematokrit minimum) x100/hematokrit minimum. Tingkat beratnya DBD pada pasien DBD secara serologi dikelompokkan berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO). Grade I mengacu pada hasil tes tourniquet positif yang merupakan satusatunya manifestasi perdarahan, sementara kelas II mengacu pada perdarahan spontan. Grade III mengacu pada kegagalan sirkulasi yang bermanifestasi sebagai pulsasi cepat dan lemah, juga tekanan denyut yang kecil ( 20 mmHg), sedangkan grade IV mengacu pada syok berat, dengan denyut atau tekanan darah yang tak terdeteksi. DHF grade III dan IV dikelompokkan sebagai DSS. Semua pasien DBD fatal dalam seri ini mengakibatkan kematian terkait dengue yang disebut sebagai kematian yang terjadi dalam waktu tiga minggu setelah rawat inap karena DBD. Hipotermia mengacu pada suhu <360C yang diperiksa setidaknya dua kali dari gendang telinga pasien demam berdarah.

Perdarahan gastrointestinal (GI) masif didefinisikan sebagai pasase dari sejumlah besar feses seperti ter atau berdarah disertai dengan ketidakstabilan hemodinamik dan/ atau penurunan cepat dalam kadar hemoglobin menjadi 7.0 g/dL. Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai peningkatan pesat serum kreatinin (Cr) 0,5 mg/dL dibandingkan dengan yang ditemukan pada saat pasien datang ke rumah sakit. Kegagalan hati akut didefinisikan sebagai peningkatan kadar serum alanine aminotransferase (ALT) 400 U/L (nilai rujukan, <40 U/L). Leukositosis didefinisikan sebagai hitung sel darah putih perifer >12000/L. Bandemia mengacu pada adanya granulosit bentuk pita dalam darah perifer. Trombositopenia berat mengacu pada jumlah trombosit <20000/L. Perpanjangan waktu protrombin (PT) didefinisikan sebagai PT 3 detik dibanding kontrol, dan perpanjangan activated partial thromboplastin time (APTT) didefinisikan sebagai APTT 20% dibandingkan kontrol. Bakteremia konkuren (bersamaan) didefinisikan sebagai pertumbuhan bakteri positif dari darah yang diambil untuk kultur dalam waktu 72 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit untuk demam berdarah. Informasi demografis, klinis, laboratorium dan pencitraan dari pasien DBD yang masuk dalam penelitian diambil dari tinjauan retrospektif dari grafik medis mereka untuk analisis. Data laboratorium awal mengacu pada data yang dideteksi dari pasien yang menderita demam berdarah pada saat kedatangan mereka di KSCGMH. Data laboratorium pra-fatal adalah data yang terdeteksi dari spesimen darah pasien yang fatal yang diambil dalam waktu 48 jam sebelum kematian. Analisis statistik Tiga ratus sembilan pasien DBD yang masuk dalam analisis dipisahkan menjadi dua kelompok: mereka yang fatal (kelompok fatal, N = 10) dan yang selamat (kelompok kontrol, N = 299). Para pasien selamat adalah mereka dengan informasi rinci yang tersedia. Kami membandingkan data demografi, klinis, karakteristik pencitraan dan laboratorium awal dari pasien fatal dan dari kontrol, serta data laboratorium pra-fatal dan data laboratorium awal dari pasien fatal. Mann-Whitney U test digunakan dalam perbandingan variabel berkelanjutan,

sedangkan uji exact Fisher digunakan untuk penilaian variabel dikotomis. 2-tailed P<0,05 dianggap signifikan secara statistik.

Hasil
Deskripsi demografis dan manifestasi klinis pasien yang fatal Total sebanyak 714 orang dewasa dengan penyakit demam berdarah ditemukan di KSCGMH selama periode penelitian, dan di antara mereka, 10 (8 pria dan 2 wanita, usia rata-rata, 63,5 tahun [kisaran, 33-78]) dengan DBD (7 DBD grade II dan 3 DSS) menjadi fatal, bertanggungjawab terhadap angka kematian terkait dengue sebesar 1,3% (rincian ditunjukkan pada Tabel S1). Dari pasien fatal, penyimpangan waktu antara onset demam berdarah dan datang ke rumah sakit berkisar antara 1 sampai 6 hari (rata-rata, 2 hari), antara datang ke rumah sakit sampai kematian 2 sampai 18 hari (median, 4,5 hari), dan antara onset demam berdarah sampai kematian 4 sampai 21 hari (median, 7,5 hari). Dengan pengecualian pada 2 pasien dimana tes diagnostik dengue dilakukan dari spesimen darah yang dikumpulkan pada hari ke-3 rawat inap, semua pasien diambil sampel darahnya untuk diagnosis demam berdarah dalam waktu 24 jam setelah masuk. Median dari onset dengue sampai diagnosis definitif dibuat adalah 5 hari (kisaran, 4-11 hari). Infeksi DENV-2 pada semua pasien fatal ditegakkan oleh RT-PCR. Manifestasi yang menunjukkan kebocoran plasma pada pasien fatal meliputi hemokonsentrasi (pasien 2, 5-10), adanya efusi pleura (pasien 1, 3-6, 8 dan 10) dan hipoalbuminemia (pasien 1, 2 dan 4). Tujuh pasien (pasien 1-4, 6, 7 dan 9) dengan DBD grade II mengalami syok yang disebabkan sepsis bakterial (pasien 1 dan 4), sepsis bakterial yang bersamaan dan perdarahan GI masif (pasien 9), dan perdarahan GI masif (pasien 2, 3, 6, dan 7). DSS sendiri ditemukan pada 3 pasien (pasien 5, 8 dan 10). Syok, apapun penyebabnya, berkembang dalam 1 hingga 16 hari (median, 3 hari) setelah perawatan di rumah sakit, dan 4 dan 17 hari (median, 6,5 hari) setelah onset demam berdarah. Di antara 3 pasien DSS, DSS dikenali pada hari ke-3 (pasien 8 dan 10) dan hari ke-6 (pasien 5) dari saat rawat inap mereka masing-masing. Pasien 2 mengalami 2 episode perdarahan GI masif dengan syok hipovolemik pada hari ke-8 dan 16 dari lamanya tinggal di rumah sakit, secara berurutan. Pasien 4 dengan kanker paru-paru yang mendasari

menderita syok septik pada hari ke-15 rawat inapnya. Informasi demografis, klinis dan laboratorium dari pasien fatal dan kontrol diringkas dalam Tabel 1 dan 2. Berbagai manifestasi klinis ditemukan pada masing-masing 10 pasien yang fatal (Tabel 1). Yang pertama, dalam urutan menurun, adalah demam (>380C) (90%), perdarahan GI (90%), efusi pleura (70%), nyeri tulang, dan batuk (masing-masing 60%). Tanda-tanda peringatan awal yang dilaporkan sebelumnya untuk dengue berat [11,17,18], yaitu, muntah terus menerus ditemukan pada 4 (40%) pasien, dan nyeri perut berkelanjutan pada 2 (20%). Edema paru berkembang pada 3 pasien (pasien 4, 5 dan 8), 2 dari mereka dengan DSS mengalami edema paru akut yang muncul pada hari ke 5 (pasien 5) dan hari ke-6 (pasien 8) setelah onset demam berdarah, secara berurutan, sedangkan yang lain (pasien 4) dengan kanker paru-paru dan hipoalbuminemia (serum albumin, 1,4 g / dL [kisaran normal, 3,0-4,5 g/dL]) mengalami syok septik pada hari ke-15 di rumah sakit (hari ke-17 setelah onset dengue) sehingga menerima resusitasi cairan, dan edema paru ditemukan pada hari berikutnya. Gagal ginjal akut ditemukan pada 8 pasien (pasien 1, 2, 4-9) dengan data yang tersedia, dan gagal hati akut pada 4 (pasien 1, 6-8) (57,1%) dari 7 pasien dengan data yang tersedia. Bakteremia yang menyertai tercatat pada 3 (pasien 1, 4 dan 9) (37,5%) dari 8 pasien fatal yang darah sampelnya diambil untuk kultur bakteri dalam waktu 72 jam setelah dirawat di rumah sakit (Tabel S1). Dari 3 pasien bacteremia tersebut, satu (1 pasien) mengalami meningitis Klebsiella pneumoniae, sementara dua lainnya mengalami K.pneumonia primer (pasien 4) dan bakteremia Enterococcus faecalis (pasien 9), secara berurutan. Dari total 9 pasien (pasien 2-10) dengan perdarahan GI, 4 (pasien 3, 7, 9 dan 10) (44,4%) mengalami perdarahan GI pada saat datang, 5 (pasien 2, 3, 6, 7 dan 9) (55,5%) mengalami pendarahan GI masif, dan 3 (pasien 3, 7 dan 9) (33,3%) mengalami perdarahan GI masif dalam waktu 24 jam setelah masuk. Di antara 5 pasien dengan perdarahan GI masif, bakteremia E. faecalis ditemukan pada salah satu pasien (pasien 9); perdarahan aktif ditemukan dari endoskopi pada pasien lain (pasien 3) dengan ulkus lambung, dan pasien lain (pasien 7) dengan perdarahan lambung. Hanya pasien 3 dan 7 yang mendapat pemeriksaan endoskopi. Di antara 5 pasien dengan perdarahan GI

masif, gagal ginjal akut berkembang pada 2 pasien (pasien 2 dan 9), dan gagal ginjal dan hati akut bersamaan pada 2 lainnya (pasien 6 dan 7). Dari 5 pasien fatal dengan gangguan kesadaran, 4 (pasien 1, 2, 7 dan 9) ditemukan mengalami perubahan kesadaran dalam waktu 24 jam dan satu (pasien 5) pada hari ke-4 tinggal di rumah sakit. Kelima pasien diambil sampel darahnya untuk kultur bakteri, dan salah satu dari mereka (pasien 1) diambil sampel cairan serebrospinalnya untuk kultur bakteri. Di antara 4 pasien dengan penurunan kesadaran awal, perdarahan GI masif saja (pasien 7), uremia dan perdarahan GI masif (pasien 2), bakteremia E.faecalis dan perdarahan GI masif (pasien 9), dan meningitis dan bakteremia K.pneumoniae (pasien 1) masing-masing terjadi pada 1 pasien. Hipernatremia (natrium serum >170 mEq/L [kisaran normal, 134-148 meq/L]) sebagai tambahan ditemukan pada pasien 2 pada hari ke-8 tinggal di rumah sakit. Perubahan kesadaran tiba-tiba berkembang pada pasien 5 pada hari ke-4 rawat inapnya yang disebabkan dari perdarahan subarachnoid yang diungkapkan oleh computed tomography otak, dan sebuah studi angiografi otak ditangguhkan khususnya karena kondisi kritis dan gagal ginjal akut, kultur darahnya terhadap bakteri adalah negatif, dan meskipun hiperkalemia (kalium serum, 7.9 meq/L [kisaran normal, 3,6-5,0 meq/L]) ditemukan pada hari ke 7, hemodialisis tidak dilakukan karena secara hemodinamik tidak stabil. Baik hiperglikemia maupun hipoglikemia ditemukan pada 10 pasien fatal dalam seri ini. Hiponatremia tidak ditemukan dalam seri kami. Kadar kalsium serum tidak dinilai pada pasien fatal. Hipotermia tercatat dalam 2 (20%) pasien (pasien 6 dan 9). Satu pasien (pasien 9) dengan hipotermia yang terdeteksi pada kedatangan mengalami bakteremia primer E. faecalis bersamaan, sementara pasien lain (pasien 6) mengalami perubahan suhu mendadak dengan peralihan cepat dari demam ke hipotermia pada hari ke-4 nya tinggal di rumah sakit, dan kultur bakteri darahnya negatif. Semua pasien mengalami kegagalan pernafasan yang mengharuskan dukungan ventilator mekanik. Waktu rata-rata dari saat pasien datang ke rumah sakit pasien sampai memulai ventilasi mekanis adalah 3 hari (kisaran, 1-6 hari), dan akar penyebab kegagalan pernafasan termasuk perdarahan GI masif (pasien 3,

6, 7 dan 9), sepsis (pasien 1), DSS (pasien 8 dan 10), perdarahan subarachnoid (pasien 5), mengantuk terus-menerus yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah rawat inap (pasien 2) dan kanker paru-paru dengan efusi pleura (pasien 4). Pengobatan untuk 10 pasien yang fatal Cairan intravena meliputi saline 0,9%, ringer laktat, dan dextrose 5% dalam salin 0,9% diberikan pada laju infus mulai dari 0,6 mL/kgBB/jam menjadi 2,7 mL/kgBB/jam untuk 10 pasien yang fatal sebelum berkembangnya syok dan/ atau perdarahan GI masif. Selain itu, transfusi trombosit dan/ atau komponen darah lainnya (yaitu, sel darah merah packed dan/ atau fresh frozen plasma) diberikan untuk pasien fatal. Penggantian cairan intravena dan transfusi darah dirinci dalam Tabel S1. Sebelum berkembangnya syok, suplemen cairan intravena dengan salin 0,9% untuk 3 pasien dengan DSS adalah 1,6 mL/kg BB/jam (pasien 5), 1,3 mL/kgBB/jam (pasien 8) dan 0,8 mL/kgBB/jam (pasien 10), secara berurutan. Kadar hemoglobin yang meningkat jelas ditemukan pada pasien dengan DSS pada hari syok berkembang. Hanya transfusi trombosit yang diberikan untuk 3 pasien ini sebelum berkembangnya DSS. Di antara 5 pasien (pasien 2, 3, 6, 7 dan 9) dengan perdarahan gastrointestinal masif, suplemen cairan intravena (0,9% saline atau ringer laktat) diinfuskan dengan laju mulai dari 1,4 mL/kgBB/jam menjadi 2,5 mL/kgBB/jam sebelum berkembangnya syok hipovolemik, dan 2 sampai 8 unit sel darah merah packed yang ditransfusikan pada hari perdarahan GI muncul (Tabel S1). Karena sepsis bakteri yang menyertai tidak dapat dieksklusikan pada pasien yang sakit kritis ini, semua pasien mendapat antibiotik intravena dalam waktu 72 jam setelah masuk. Setelah rawat inap, 3 pasien (pasien 1, 4 dan 9) dengan bakteremia yang menyertai, mendapat antibiotik empiris (yaitu, ceftriaxone untuk pasien 1, piperasilin dan gentamisin untuk pasien 4, dan ceftriaxone dan penisilin untuk pasien 9) dimana selanjutnya isolat bakteri menjadi rentan dalam vitro. Penyebab kematian

Ketika membahas penyebab kematian pada kesepuluh pasien fatal ini, pendarahan GI masif yang susah dihentikan dengan syok hipovolemik ditemukan pada 4 (40%) (pasien 2, 3, 6, dan 7), DSS saja pada 2 (20%) (pasien 8 dan 10), sedangkan DSS dengan perdarahan subarachnoid (pasien 5), bakteremia K. pneumoniae dan meningitis dengan syok septik (pasien 1), sepsis karena ventilasi mekanis terkait pneumonia (pasien 4), juga bakteremia E.faecalis yang menyertai dan perdarahan GI masif yang susah berhenti dengan syok (pasien 9), masingmasing (10%) ditemukan pada satu pasien. Tidak ada pasien fatal (meninggal) yang menjalani autopsi. Gambaran laboratorium pra-fatal pada pasien fatal Leukositosis pra-fatal ditemukan pada 6 (pasien 4, 5, 6, dan 8-10) (66,7%) dari 9 pasien (pasien 1, 2, dan 4-10) dengan data yang tersedia, dan bandemia pada 4 (pasien 1, 2, 5 dan 7) (66,7%) dari 6 pasien (pasien 1, 2 dan 4-7) di mana jumlah diferensial sel darah putih perifer tersedia. Dari 6 pasien dengan leukositosis yang berkembang pra-fatal, 2 (pasien 4 dan 10) memiliki leukopenia pada saat kedatangan mereka, 4 diambil sampel darahnya untuk kultur bakteri dan bakteremia E. faecalis (pasien 9) ditemukan pada satu pasien (25%), semuanya mengalami perdarahan GI, dan 2 (pasien 6 dan 9) (33,3%) mengalami perdarahan GI masif. Perpanjangan PT pra-fatal ditemukan pada 6 (75%) (pasien 2, 4-6, 8 dan 9) dari 8 (pasien 1, 2, 4-6, dan 8-10) pasien dengan data yang tersedia. Dari catatan, keenam pasien dengan perpanjangan PT pra-fatal selanjutnya mengalami perdarahan GI, dan dari antaranya, 3 (50%) mengalami perdarahan GI masif. Trombositopenia berat pra-fatal ditemukan pada 6 (60%) pasien yang fatal (pasien 1, 3, 5 dan 8-10); dari mereka, 5 (pasien 3, 5 dan 8-10) (83,3%) mengalami perdarahan GI, dan 2 (33,3%) (pasien 3 dan 9) mengalami perdarahan GI masif. Hiperkalemia pra-fatal ditemukan hanya pada 1 (pasien 5) dari 6 (pasien 2, 4, 5, 7-9) pasien dengan data yang tersedia. Perbandingan gambaran demografi, klinis dan laboratorium awal antara pasien fatal dan kontrol, dan perbandingan gambaran laboratorium prafatal dan awal dari pasien yang fatal

Perbedaan signifikan dalam demografi dan manifestasi klinis antara pasien fatal dan kontrol meliputi jenis kelamin laki-laki (80% vs 44,1%, P = 0,047), syok hipovolemik karena perdarahan GI masif (50% vs 0,7%, P < 0,001), bakteremia yang menyertai (37,5% vs 3,9%. P = 0,010), bakteremia disertai syok (25 % vs 1,3%, P = 0,022), DSS (40% vs 2,3%, P< 0,001), edema paru (30% vs 2,8%, P = 0,005), gagal ginjal akut (100% vs 2% , P< 0,001), gagal hati akut (57,1% vs 4,4%, P< 0,001), hipotermia (20% vs 0%, P = 0,001), perdarahan GI (90% vs 16%, P< 0,001) ,perdarahan GI masif (50% vs 0,7%, P< 0,001), perdarahan subarachnoid (10% vs 0%, P = 0,032) dan perubahan kesadaran dini (40% vs 0%, P< 0,001) (Tabel 1). Ditemukan proporsi bandemia lebih tinggi secara signifikan (37,5% vs 1,8%, P = 0,001) dari data laboratorium awal antara pasien fatal dan kontrol, dan proporsi leukositosis pra-fatal lebih tinggi secara signifikan (66,7% vs 10%, P = 0,020) dan jumlah trombosit pra-fatal yang lebih rendah (median, 17000 sel/L vs 35000 sel/L; P< 0,001), dibandingkan dengan data laboratorium awal dari pasien fatal (Tabel 2).

Pembahasan
Interval waktu dari onset dengue sampai kedatangan pasien di KSCGMH antara kelompok fatal dan kontrol tidak berbeda secara signifikan (rata-rata, 2 hari vs 3 hari, P = 0,055) (Tabel 1). Waktu masuk pada kedua kelompok yang fatal maupun kontrol memungkinkan kita untuk mengevaluasi perubahan evolusioner penting pada pasien demam berdarah karena kejadian-kejadian kritis (misalnya, tekanan darah yang jatuh dan kolaps sirkulasi) biasanya terjadi antara hari ke-3 dan hari ke 7 dari perjalanan penyakit [17,18]. Angka kematian karena kasus dengue dilaporkan bervariasi dari 0,5% sampai 5,0% [2-4,7,9,10,12]. Akan tetapi, setelah DSS berkembang, kasus kematian dapat melambung sampai setinggi 12-44% [3-5]. Serial kami menunjukkan bahwa dari semua kematian terkait DBD, DSS sendiri hanya menyumbang 20%, sedangkan perdarahan GI masif yang sulit dihentikan sendiri sebesar 40%, dan DSS disertai perdarahan subarachnoid, perdarahan GI masif

disertai bakteremia, sepsis bakteri dengan meningitis, dan sepsis akibat ventilator terkait pneumonia masing-masing bertanggung jawab atas 10%. DSS ditandai dengan kebocoran plasma berat yang menyebabkan berkembangnya syok, dan penggantian volume yang tepat adalah landasan terapi untuk pasien yang terkena [17]. Perlu dicatat, volume suplemen cairan intravena sebelum perkembangan penuh dari DSS pada 3 pasien (pasien 5, 8, 10) di seri kami jelas suboptimal [17,18]; terlepas dari resusitasi cairan berikutnya dan transfusi darah /komponen darah, mereka meninggal karena syok sangat serius dan kegagalan multi-organ antara hari ke-6 dan 7 setelah onset penyakit. Edema paru berkembang pada 2 pasien (pasien 5 dan 8) dengan DSS pada hari ke 5 dan 6 setelah onset demam berdarah, secara berurutan, disertai dengan hemokonsentrasi yang jelas (lihat Tabel S1 untuk rincian) yang menunjukkan kebocoran cairan terus-menerus dari kompartemen intravaskular ke kompartemen ekstravaskuler dan ruang alveolar paru-paru pada khususnya, menyebabkan syok yang sangat serius dan edema paru. Sebaliknya, edema paru berkembang pada hari ke-16 pada pasien 4 yang memiliki kanker paru-paru yang mendasari dengan efusi pleura berat yang dengan jelas diakibatkan dari overload cairan. Skema WHO terbaru mengklasifikasikan dengue dalam hal keparahan klinis, sebagai demam berdarah yang berat (misalnya, adanya perdarahan hebat, kebocoran plasma berat dan/ atau keterlibatan organ berat) atau dengue non-berat, untuk alasan praktis, pasien dengan demam berdarah non-berat yang kemudian dipisahkan ke dalam orang-orang dengan tanda-tanda peringatan (misalnya, sakit perut, muntah terus-menerus, akumulasi cairan klinis, perdarahan mukosa, letargi/ gelisah, pembesaran hati, dan peningkatan hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat dalam jumlah trombosit) dan pasien yang tidak masuk keduanya [18]. Pasien demam berdarah berat dengan kebocoran plasma dan/ atau perdarahan memerlukan resusitasi cairan agresif dan transfusi darah tambahan, sedangkan pasien demam berdarah non-berat dengan tanda peringatan membutuhkan pengawasan ketat, intervensi medis yang tepat dan hidrasi intravena, karena mereka berada pada risiko tinggi berkembangnya penyakit menjadi fase kritis dengue berat [18]. Selain yang disebutkan di atas, data kami menunjukkan bahwa leukositosis, bandemia dan hipotermia mungkin merupakan

tanda-tanda peringatan dengue. Dari sudut pandang patofisiologi, leukositosis dan /atau bandemia menunjukkan infeksi bakteri yang memperberat penyakit dan/ atau rangsangan stres lainnya [19]. Data kami menunjukkan bahwa perdarahan GI masif (33,3%) dan bakteremia (25%) menjadi penyebab utama leukositosis prefatal pada pasien DBD. Secara signifikan, leukositosis ditemukan pada pasien meninggal sebelum kematian mereka, dan bandemia ditemukan pada saat datang ke rumah sakit pada pasien yang fatal (Tabel 2), menunjukkan bahwa bandemia mungkin menjadi parameter peringatan dini dengue. Perdarahan mukosa dapat terjadi pada setiap pasien dengan demam berdarah, dan jika pasien tetap stabil dengan cairan resusitasi/ penggantian, perdarahan mukosa harus dianggap sebagai minor [18]. Perdarahan mukosa kecil pada pasien DBD sering diakibatkan dari diapedesis eritrosit sekitar pembuluh darah dengan sedikit reaksi inflamasi [20]. Jika pendarahan besar terjadi, biasanya adalah dari saluran GI [2,12,21,22], dan salah satu faktor risiko untuk perdarahan GI utama adalah adanya ulkus peptikum [21], yang sayangnya tidak jarang berkembang pada pasien di bawah tekanan [23]. Satu seri dengue dengan 30 kasus kasus demam berdarah yang fatal mengungkapkan bahwa 80% dari pasien yang fatal mengalami perdarahan GI, dan pendarahan berat dengan syok yang menyumbang 30% dari kematian [2]. Data yang dilaporkan sebelumnya [2,12,22] dand ata kami menunjukkan bahwa bahkan perdarahan GI kecil atau sedang harus dianggap sebagai tanda peringatan demam berdarah yang berat dan pasien yang bersangkutan membutuhkan pemantauan ketat, karena berpotensi berkembang menjadi perdarahan GI masif yang sukar dihentikan dan mengancam nyawa. Ulkus lambung dan gastritis hemoragik, masing-masing ditemukan pada endoskopi satu pasien fatal dengan perdarahan GI masif dalam seri kami, menimbulkan pertanyaan apakah H2-blocker atau proton-pump inhibitor harus digunakan pada pasien dengan DBD berat untuk pencegahan perdarahan GI masif. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menjawab pertanyaan ini. Perlu dicatat, perdarahan masif GI ditemukan pada 75% pasien yang mengalami perubahan kesadaran awal (Tabel 1); 50% pasien dengan pemanjangan PT pra-fatal dan 33,3% pasien dengan trombositopenia berat prefatal yang mengalami perdarahan GI masif. Data ini menunjukkan bahwa dokter harus

waspada terhadap potensi berkembangnya perdarahan GI berat ketika menghadapi pasien DBD dengan penurunan kesadaran, dan perpanjangan PT persisten dan trombositopenia, dan dengan demikian memulai pengelolaan tepat waktu yang diperlukan. Nyeri perut dan muntah terus-menerus, tanda-tanda peringatan klinis demam berdarah berat yang disebutkan sebelumnya [11,17,18], tidak berbeda antara pasien fatal dan kontrol dalam seri ini. Sebaliknya, hipotermia signifikan yang ditemukan pada pasien yang fatal menunjukkan bahwa hal tersebut harus dianggap sebagai tanda peringatan dengue. Pasien demam berdarah yang terkena dampak hipotermia oleh karenanya harus dipantau secara intensif, dan pemeriksaan agresif diperlukan untuk memperjelas potensi penyebab sehingga pengobatan yang efektif dapat dimulai tepat waktu. Perlu dicatat bahwa 50% dari pasien kami yang datang dengan penurunan kesadaran awal menderita sepsis bakterial yang bersamaan (meningitis K.pneumoniae dan bakteremia E.faecalis, masing-masing), menyoroti kebutuhan pemberian antibiotik empiris langsung untuk pasien demam berdarah dengan penurunan kesadaran untuk sepsis bakterial yang mungkin menyertai, sampai terbukti sebaliknya. Bakteri (2 K. pneumoniae dan 1 isolat E. faecalis) yang tumbuh dari kultur darah 3 pasien (dua dari mereka masing-masing dengan hipertensi dan kanker paru-paru yang mendasari) dan diambil dalam waktu 48 jam setelah masuk rumah sakit merupakan dari flora normal usus. Pengamatan kami dan bakteremia bersamaan yang sebelumnya dilaporkan pada pasien DBD yang disebabkan oleh anggota Enterobacteriaceae [12,24] menunjukkan bahwa pasien DBD rentan terhadap invasi aliran darah oleh mikroba dari saluran usus yang biasa dihuni mikroba tersebut. Temuan ini konsisten dengan perkembangan tempat masuk bakteri dalam usus oleh disintegrasi hambatan mukosa usus pada pasien DBD yang dilaporkan sebelumnya [25,26]. Dari pasien bacteremik fatal dalam seri ini, satu pasien dengan bakteremia K. pneumoniae dan yang lainnya dengan bakteremia K. pneumoniae simultan dan meningitis dengan jelas mengalami syok septik, sedangkan syok pada pasien yang mengalami perdarahan GI masif dan secara bersamaan bakteremia E. faecalis mungkin akibat baik dari hipovolemia

maupun sepsis, dalam pandangan bahwa E. faecalis memiliki virulensi klinis yang relatif rendah [27]. Namun demikian, data kami menunjukkan bahwa ketika membahas penggunaan empiris antibiotik untuk pasien demam berdarah yang dicurigai disertai dengan bakteremia, adalah wajar untuk menutupi bakteri dari saluran pencernaan. Tidaklah mengherankan bahwa gagal ginjal akut (100%) dan gagal hati akut (57,1%) berkembang secara eksklusif pada pasien DBD fatal dalam seri kami, karena kebocoran plasma yang parah, perdarahan masif dan/ atau syok yang berat akan mengakibatkan jaringan menjadi hipo-perfusi, berpotensi menyebabkan gagal ginjal dan gagal hati akut [16,28,29]. Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, korban meninggal dalam seri ini dapat menjadi bias oleh kondisi beratnya pasien yang dihasilkan dari pemilihan pasien dan pola rujukan di pusat medis tunggal. Kedua, kurangnya protokol pengobatan standar untuk kasus demam berdarah yang parah dapat membiaskan hasil klinis pasien dalam analisis retrospektif ini, penelitian ini dengan demikian membahas evolusi klinis dan laboratorium pra-fatal pada pasien DBD yang meninggal, tetapi bukan kesesuaian pengobatan untuk mereka. Ketiga, sejumlah kecil kasus yang fatal membuat kekuatan statistik menjadi cukup kecil. Sebagai kesimpulan, laporan kami menyoroti penyebab kematian selain DSS pada pasien dengan demam berdarah yang berat, dan menyarankan bahwa selain skema yang disebutkan oleh WHO 2009, hipotermia, leukositosis, dan bandemia dapat merupakan tanda-tanda dari dengue berat. Perubahan kesadaran awal dan perdarahan GI/ perdarahan GI masif secara signifikan ditemukan di antara pasien DBD yang meninggal di seri ini. Pasien demam berdarah harus dipantau ketat dan diobati dengan tepat bila perdarahan GI muncul, karena berpotensi berkembang menjadi perdarahan GI masif, bila perdarahan GI masif berkembang, pasien berada pada risiko tinggi kematian, dan hal ini mungkin terutama berlaku pada pasien dengan perubahan kesadaran awal, leukositosis, trombositopenia berat dan perpanjangan PT. Antibiotik harus ditambahkan secara empiris untuk pasien yang berisiko untuk berkembangnya bakteremia, terutama pada mereka dengan penurunan kesadaran awal dan munculnya leukositosis. Data kami menunjukkan bahwa bandemia saat datang ke rumah sakit dapat menjadi

parameter peringatan untuk demam berdarah yang berat, dan pemantauan potensi munculnya leukositosis dan trombositopenia persisten mungkin dapat membantu dalam evaluasi keparahan DBD progresif. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi pengamatan kami. Temuan resisitasi cairan dan transfusi darah/ komponen darah suboptimal dalam beberapa kasus fatal pada seri ini menggarisbawahi pentingnya penggantian volume dengan infus cairan dan transfusi darah/ komponen darah yang tepat waktu dan efektif untuk pasien dengan demam berdarah yang berat.

Anda mungkin juga menyukai