Anda di halaman 1dari 51

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan; c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Mengingat . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

-2Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan mencakup pembahasan, pengundangan. 2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan adalah dalam Peraturan PerundangPerundang-undangan. 3. Undang-Undang Peraturan undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Peraturan adalah Pemerintah Peraturan Pengganti Undang-Undang yang Perundang-undangan Peraturan tahapan Perundang-undangan perencanaan, atau penetapan, yang dan penyusunan,

pengesahan

ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 5. Peraturan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

-35. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan undangan 7. Peraturan Perwakilan yang yang Daerah Rakyat ditetapkan lebih oleh tinggi Presiden atau untuk dalam menjalankan perintah Peraturan Perundang-

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Provinsi yang Daerah adalah Provinsi Peraturan oleh Dewan dengan Perundang-undangan dibentuk

persetujuan bersama Gubernur. 8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. 9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap pengaturan suatu masalah tertentu yang dalam dapat suatu dipertanggungjawabkan masalah secara tersebut ilmiah mengenai

Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 12. Pengundangan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

-412. Pengundangan adalah penempatan Lembaran Negara Negara Peraturan Negara Republik Republik

Perundang-undangan Republik Indonesia, Indonesia, Tambahan

dalam Berita Berita

Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara

Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. 13. Materi adalah Muatan materi Peraturan yang Perundang-undangan dalam Peraturan dimuat

Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. 14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1945. Pasal 2 Pancasila merupakan sumber negara. Pasal 3 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. (2) Undang-Undang . . . segala sumber hukum sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

www.djpp.kemenkumham.go.id

-5(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Republik Tahun 1945 dalam tidak Lembaran merupakan Negara dasar Indonesia

pemberlakuannya.

Pasal 4 Peraturan Perundang-undangan ini meliputi yang diatur dalam dan

Undang-Undang

Undang-Undang

Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.

BAB II ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang

harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Pasal 6 . . . Perundang-undangan

www.djpp.kemenkumham.go.id

-6Pasal 6 (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; kedudukan dalam hukum dan g. keadilan; h. kesamaan i. j. pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

BAB III JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

-7c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 selain ayat (1)

sebagaimana

dimaksud

mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Pasal 9 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

-8Pasal 9 (1) Dalam Republik hal suatu Undang-Undang Tahun 1945, diduga

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, Mahkamah Agung. pengujiannya dilakukan oleh

Pasal 10 (1) Materi muatan yang harus diatur dengan UndangUndang berisi: a. pengaturan Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan masyarakat. (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Pasal 11 Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 12 . . . kebutuhan hukum dalam lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

www.djpp.kemenkumham.go.id

-9Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Pasal 13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.

Pasal 15 (1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Peraturan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 10 (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

BAB IV PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bagian Kesatu Perencanaan Undang-Undang Pasal 16 Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan

dalam Prolegnas.

Pasal 17 Prolegnas merupakan sebagaimana skala dalam dimaksud rangka dalam Pasal 16

prioritas

program

pembentukan sistem

Undang-Undang hukum nasional.

mewujudkan

Pasal 18 Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan UndangUndang didasarkan atas: a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. perintah . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 11 c. perintah Undang-Undang lainnya; d. sistem perencanaan pembangunan nasional; e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. rencana pembangunan jangka menengah; dan h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;

Pasal 19 (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2) Materi yang diatur ayat dan (1) keterkaitannya merupakan dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. pada keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang

Pasal 20 (1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. (2) Prolegnas . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 12 (2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. (3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. (5) Penyusunan tahunan dan penetapan pelaksanaan Prolegnas Prolegnas tentang prioritas jangka sebagai

menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 21 (1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan dengan Prolegnas di lingkungan usulan dari DPR fraksi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan mempertimbangkan komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. (4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (5) Ketentuan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 13 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyusunan Prolegnas DPR. (6) Ketentuan lebih

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan lanjut mengenai tata cara

penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 22 (1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan

Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. (2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR.

Pasal 23 (1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Pemerintah daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan e. penetapan/pencabutan Pengganti Undang-Undang. (2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk . . . Peraturan

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 14 a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Bagian Kedua Perencanaan Peraturan Pemerintah Pasal 24 Perencanaan Pemerintah. penyusunan Peraturan Pemerintah

dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan

Pasal 25 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Pasal 26 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 15 Pasal 26 (1) Perencanaan sebagaimana penyusunan dimaksud Peraturan dalam Pemerintah Pasal 25

dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 27 Rancangan kementerian Peraturan dan/atau Pemerintah lembaga berasal dari

pemerintah

nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 28 (1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah. (2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung.

Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 16 Bagian Ketiga Perencanaan Peraturan Presiden Pasal 30 Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.

Pasal 31 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai Presiden. dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan

Bagian Keempat Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 32 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi

dilakukan dalam Prolegda Provinsi.

Pasal 33 (1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2) Materi . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 17 (2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.

Pasal 34 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. (2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan setiap berdasarkan penetapan tahun Daerah skala Prolegda Provinsi prioritas Provinsi penetapan tentang pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. (3) Penyusunan dilakukan Rancangan sebelum

Peraturan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

Pasal 35 Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 18 b. rencana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah. otonomi daerah dan tugas

Pasal 36 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. (5) Ketentuan penyusunan lebih lanjut mengenai di tata cara Prolegda Provinsi lingkungan

Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur. Pasal 37 (1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 19 (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.

Pasal 38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar

kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Anggaran Provinsi. (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum. Pendapatan dan Belanja Daerah

Bagian Kelima Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 39 Perencanaan Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota. penyusunan dilakukan Peraturan dalam Daerah Prolegda

Pasal 40 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 20 Pasal 40 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 41 Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.

Bagian Keenam Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya Pasal 42 (1) Perencanaan Pasal 8 ayat penyusunan (1) Peraturan Perundangdan

undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam merupakan kewenangan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

BAB V . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 21 BAB V PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bagian Kesatu Penyusunan Undang-Undang Pasal 43 (1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD. (3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan c. pencabutan Peraturan Pemerintah atau Pengganti pencabutan Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada diatur. ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang

Pasal 44 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan UndangUndang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 22 (2) Ketentuan Akademik mengenai teknik penyusunan pada Naskah ayat (1)

sebagaimana

dimaksud

tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 45 (1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan UndangUndang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. (2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pasal 46 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Ketentuan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 23 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

mempersiapkan Peraturan DPR.

Rancangan

Undang-Undang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Pasal 47 (1) Rancangan Presiden Undang-Undang oleh yang diajukan atau oleh

disiapkan

menteri

pimpinan

lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. (2) Dalam menteri penyusunan atau Rancangan Undang-Undang, pemerintah panitia pimpinan terkait lembaga

nonkementerian (3) Pengharmonisasian,

membentuk

antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Peraturan Presiden. Rancangan Undang-Undang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Pasal 48 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.

(2) Usul . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 24 (2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi pembulatan, untuk dilakukan pengharmonisasian, dan pemantapan

konsepsi Rancangan Undang-Undang. (3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang. (4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan (3) kepada laporan tertulis DPR mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat pimpinan untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.

Pasal 49 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. (2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan di bidang hukum. persiapan pembahasan dengan

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

Pasal 50 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 25 -

Pasal 50 (1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. (2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. (3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. (4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan UndangUndang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa diperlukan. memperbanyak tersebut naskah dalam Rancangan yang Undang-Undang jumlah

Pasal 51 Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Undang-Undang Rancangan yang Undang-Undang oleh mengenai DPR dan materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan disampaikan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Bagian . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 26 Bagian Kedua Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pasal 52 (1) Peraturan berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilakukan Pemerintah sebagaimana dalam dimaksud pada ayat (1) bentuk tentang pengajuan penetapan Rancangan Peraturan menjadi Pemerintah Pengganti Undang-Undang

harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang

Undang-Undang Undang-Undang.

Pengganti

Undang-Undang

(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. (5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan UndangUndang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (7) Rancangan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 27 (7) Rancangan Peraturan Undang-Undang Pemerintah tentang Pencabutan

Pengganti

Undang-Undang

sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (8) Rancangan Peraturan menjadi Peraturan Undang-Undang Pemerintah tentang Pencabutan Pengganti Undang-Undang Pencabutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan Undang-Undang Pemerintah tentang Pengganti Undang-Undang

dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 53 Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga Penyusunan Peraturan Pemerintah Pasal 54 (1) Dalam penyusunan pemrakarsa dan/atau Rancangan membentuk lembaga Peraturan panitia pemerintah

Pemerintah,

antarkementerian nonkementerian.

(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 28 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pembentukan

panitia

antarkementerian

dan/atau

antarnonkementerian,

pengharmonisasian,

penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Keempat Penyusunan Peraturan Presiden Pasal 55 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau

antarnonkementerian,

pengharmonisasian,

penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.

Bagian Kelima Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 56 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.

(2) Rancangan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 29 (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. (3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a. Anggaran Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Pendapatan dan Belanja Daerah

Pasal 57 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan Akademik mengenai teknik penyusunan pada Naskah ayat (1) sebagaimana dimaksud

tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 58 (1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Pengharmonisasian . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 30 (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 60 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.

Pasal 61 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi. Pasal 62 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 31 Pasal 62 Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Bagian Keenam Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 63 Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah

Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 64 (1) Penyusunan undangan Rancangan dilakukan Peraturan sesuai Perundangteknik

dengan

penyusunan Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (3) Ketentuan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 32 (3) Ketentuan penyusunan mengenai perubahan terhadap teknik

Peraturan

Perundang-undangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pasal 65 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. (2) Pembahasan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan, daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD. (3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. pemekaran, dan penggabungan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan

(4) Keikutsertaan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 33 (4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan UndangUndang yang dibahas. (5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Belanja yang tentang Anggaran pajak, Pendapatan dan Undang-Undang Negara dan Rancangan dengan

berkaitan

pendidikan, dan agama.

Pasal 66 Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan

melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.

Pasal 67 Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas: a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Pasal 68 (1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. c. pengantar musyawarah; penyampaian pendapat mini. (2) Dalam . . . b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 34 (2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden Rancangan menyampaikan pandangan jika

Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan UndangUndang berasal dari Presiden; atau d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden. (3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2). (4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan c. Presiden. (5) Dalam . . . b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 35 (5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana (6) Dalam dimaksud pada ayat I (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. pembicaraan tingkat dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

Pasal 69 (1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan

keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiaptiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi. (2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Pasal 70 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 36 Pasal 70 (1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR.

Pasal 71 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 37 c. Pengambilan sebagaimana keputusan dimaksud persetujuan dalam terhadap huruf b

Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.

Bagian Kedua Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pasal 72 (1) Rancangan Undang-Undang yang telah untuk disetujui disahkan

bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR (2) Penyampaian kepada Presiden Rancangan menjadi Undang-Undang. Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pasal 73 (1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

(2) Dalam . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 38 (2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Rancangan pada Undang-Undang (2), kalimat ini sebagaimana pengesahannya dimaksud ayat

berbunyi:

Undang-Undang

dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (4) Kalimat halaman pengesahan terakhir yang berbunyi sebagaimana sebelum dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada Undang-Undang pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pasal 74 (1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan (2) Penetapan lainnya lainnya sebagai pelaksanaan dan Undangperaturan Undang tersebut. Peraturan Pemerintah dalam yang diperlukan penyelenggaraan

pemerintahan tidak atas perintah suatu UndangUndang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB VIII . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 39 BAB VIII PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 75 (1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. (2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. (3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat DPRD komisi/panitia/badan/alat rapat paripurna. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. kelengkapan

Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan

Pasal 76 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. (3) Ketentuan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 40 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.

Bagian Kedua Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 77 Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bagian Ketiga Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 78 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi. (2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pasal 79 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 41 Pasal 79 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga Daerah puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Provinsi tersebut

disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah menjadi Provinsi Peraturan tersebut Daerah disetujui Provinsi bersama, dan wajib Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. Bagian Keempat Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 80 Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. BAB IX . . . berbunyi: Peraturan Daerah ini

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 42 BAB IX PENGUNDANGAN Pasal 81 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundangundangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; c. Berita Negara Republik Indonesia; d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; e. Lembaran Daerah; f. Tambahan Lembaran Daerah; atau g. Berita Daerah.

Pasal 82 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang-Undang/Peraturan Undang-Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden; dan d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan Indonesia. Pasal 83 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 84 . . . dalam Lembaran Negara Republik Pemerintah Pengganti

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 43 -

Pasal 84 (1) Tambahan yang Lembaran dalam Negara Republik Negara Indonesia Republik

memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan dimuat Lembaran Indonesia. (2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 85 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan urusan oleh menteri di yang bidang menyelenggarakan hukum. pemerintahan

Pasal 86 (1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah. (3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.

Pasal 87 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 44 Pasal 87 Peraturan mempunyai Perundang-undangan kekuatan mulai berlaku pada dan

mengikat

tanggal

diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

BAB X PENYEBARLUASAN Bagian Kesatu Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, dan Undang-Undang Pasal 88 (1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan UndangUndang, hingga Pengundangan Undang-Undang. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.

Pasal 89 (1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 45 (2) Penyebarluasan berasal dari Rancangan DPR Undang-Undang dilaksanakan kelengkapan DPR yang oleh yang yang

komisi/panitia/badan/alat (3) Penyebarluasan pemrakarsa.

khusus menangani bidang legislasi. Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi

Pasal 90 (1) Penyebarluasan diundangkan Undang-Undang Lembaran yang Negara telah Republik

dalam

Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. (2) Penyebarluasan sepanjang Undang-Undang dengan daerah, sebagaimana daerah, dan dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD berkaitan otonomi hubungan pusat dan pembentukan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pasal 91 (1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan penerjemahannya hukum. (2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi. Bagian . . . ke dalam bahasa asing, dilaksanakan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 46 Bagian Kedua Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 92 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah penyusunan Daerah sejak penyusunan Peraturan Prolegda, Daerah, Rancangan

pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.

Pasal 93 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah yang Daerah Provinsi oleh atau alat Kabupaten/Kota legislasi. (2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. (3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. dikoordinasikan

kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang

Pasal 94 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 47 Pasal 94 Penyebarluasan Peraturan oleh DPRD Peraturan Daerah Provinsi yang Provinsi atau telah atau

Daerah dan

Kabupaten/Kota Daerah

diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota.

Bagian Ketiga Naskah yang Disebarluaskan Pasal 95 Naskah Peraturan Perundang-undangan yang

disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.

BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 48 d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 97 Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.

Pasal 98 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 49 Pasal 98 (1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 99 Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan Peraturan Daerah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Provinsi, dan Undang-Undang, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.

BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 100 Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,

Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini.

Pasal 101 . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 50 Pasal 101 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku ini. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang

Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Lembaran Perundang-undangan Negara Republik (Lembaran Nomor Negara 4389), Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 103 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 104 Undang-Undang diundangkan. Agar . . . ini mulai berlaku pada tanggal

www.djpp.kemenkumham.go.id

- 51 Agar setiap orang mengetahuinya, Lembaran memerintahkan ini Negara dengan Republik

pengundangan penempatannya Indonesia.

Undang-Undang dalam

Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 82

www.djpp.kemenkumham.go.id

Anda mungkin juga menyukai