Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT MINI SEPTEMBER 2013

MILIARIA

OLEH : Andi Fajar Apriani 110 209 0106 PEMBIMBING: dr. Wiwiek Amriyana Saputri

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2013

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa: Nama NIM Fakultas Universitas Judul Referat : Andi Fajar Apriani : 110 209 0106 : Kedokteran : Universitas Muslim Indonesia : Miliaria

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Mengetahui,

September 2013

Pembimbing

dr. Wiwiek Amriyana Saputri

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. DAFTAR ISI ..................................................................................... I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. DEFINISI............................................................ EPIDEMIOLOGI........................................................... ETIOLOGI ..................................................................... PATOGENESIS.............................................................. DIAGNOSIS .................................................................. DIAGNOSIS BANDING ............................................. PENATALAKSANAAN ............................................... PROGNOSIS.................................................................. i ii 1 1 2 2 3 8 9 10 11

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... LAMPIRAN

MILIARIA

I.

Definisi Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat, ditandai dengan

adanya vesikel milier.(1) Retensi dari kelenjar keringat ini merupakan dampak dari oklusi ductus keringat ekrin, mengakibatkan erupsi yang biasanya terjadi saat cuaca panas, iklim yang lembab, seperti pada daerah tropis dan selama musim panas.(2) Miliaria terjadi sebagai akibat dari gangguan integritas saluran kelenjar keringat dan sekresi keringat ke lapisan epidermis. Paparan sinar ultraviolet, adanya orgaanisme di kulit, dan episode berkeringat yang berulang mendukung faktor-faktor ini. Berdasarkan gambaran klinis dan temuan histopatologis, miliaria dibedakan menjadi 4 kelas : miliaria kristalina, miliaria rubra, miliaria pustulosa, dan miliaria profunda.(3) Miliaria juga dikenal dengan sebutan biang keringat, keringat buntet, liken tropikus, atau prickle heat.(1) II. Epidemiologi Miliaria umum terjadi pada bayi pada minggu pertama kehidupannya dimana saat ini bayi sedang beradaptasi dengan lingkungannya, dan pada segala usia pada suhu yang panas, berkeringat berlebihan, terjadi sumbatan pada kelenjar keringat atau kombinasi faktor-faktor ini.(4) Miliaria terjadi pada individu dari semua ras, meskipun beberapa studi menunjukan bahwa orang Asia yang memproduksi keringat lebih sedikit dibandingkan kulit putih kurang cenderung memiliki miliaria rubra. Predileksi jenis kelamin umumnya sama. Miliaria rubra dan miliaria kristalina dapat terjadi pada segala usia. Tetapi yang paling umum pada bayi. Data terbaik tentang kejadian miliaria pada bayi baru lahir adalah dari survei jepang lebih dari 5000 bayi, survey ini mengungkapkan bahwa miliaria kristalina ditemukan pada 4,5% dari neonatus dengan usia rata-rata 1 minggu. Miliaria rubra muncul 4% pada

neonatus, dengan usia rata-rata 11-14 hari. Sebuah studi survei 2006 dari Iran menemukan angka kejadian miliaria dari 1,3 % pada bayi baru lahir. Dan sebuah survei pasien anak di Norheastren India memperlihatkan kejadian miliaria 1,6%. Miliaria profunda lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada bayi dan anak-anak. Di seluruh dunia, miliaria paling banyak di lingkungan tropis, utamanya orang-orang yang baru saja pindah dari lingkungan tropis yang temperaturnya lebih panas. Miliaria telah menjadi masalah penting bagi personil tentara Amerika dan Eropa yang bertugas di Asia Tenggara dan Pasifik.(5) III. Etiologi Tiga bentuk miliaria (miliaria kristalina/sudamina, miliaria rubra/prickly heat, dan miliaria profunda) terjadi akibat dari baik oleh adanya obliterasi ataupun oleh adanya gangguan pada saluran kelenjar keringat. Tipe miliaria ini berbeda dalam bentuk gejala klinis akibat adanya perbedaan level dimana letak obliterasi ini terjadi, meskipun beberapa penulis meyakini bahwa adanya gangguan pada ductus kelenjar keringat ini lebih memegang peranan penting dibandingkan dengan tingkat obliterasinya. Pada miliari kristalina, obstruksi yang terjadi sangat superficial pada stratum corneum dan vesikel terletak pada subcorneum. Pada miliaria rubra, perubahan lebih lanjut yang terjadi termasuk keratinisasi dari bagian intraepidermal dari saluran kelenjar keringat, dengan adanya kebocoran dan pembentukan vesikel di sekitar saluran. Sedangkan pada miliari profunda, terdapat ruptur pada saluran kelenjar keringat pada tingkat atau dibawah dermalepidermal junction.(6) IV. Patogenesis Patogenesisnya belum diketahui pasti, terdapat 2 pendapat. Pendapat pertama mengatakan primer, banyak keringat dan perubahan kualitatif, penyebabnya adanya sumbatan keratin pada muara kelenjar keringat dan perforasi sekunder pada bendungan keringat di epidermis.(1) Jika kondisi lembab dan panas tetap bertahan, individu terus memproduksi keringat secara berlebihan tetapi tidak dapat mengeluarkan keringat kepermukaan

kulit karena adanya penyumbatan duktus. Hasil penyumbatan ini adalah terjadinya kebocoran saluran kelenjar keringat yang menuju ke permukaan kulit, baik dalam dermis maupun epidermis dengan anhidrosis relatif. Ketika titik kebocoran terletak pada stratum corneum atau tepat dibawahnya, seperti miliaria kristalina, peradangan kecil yang akan muncul, dan lesinya akan asimptomatik. Sebaliknya, di miliaria rubra, yang kebocoran keringat ke dalam lapisan subcorneal menghasilkan vesikel spongiotik dan infiltrat sel radang periductal kronis pada lapisan papillare dermis dan epidermis bagian bawah. Pada miliaria profunda, keluarnya keringat ke lapisan papillare dermis menghasikan infiltrat limfositik periductal dan spongiosis saluran intra-epidermal.(5) Pendapat kedua mengatakan bahwa primer kadar garam yang tinggi pada kulit menyebabkan spongiosis dan sekunder terjadi pada muara kelenjar keringat. Staphylococcus diduga juga mempunyai peranan.(1) Miliaria juga dihubungkan dengan pseudohypoaldosteronisme, meskipun agak jarang. Kadar garam yang tinggi pada keringat dapat memicu kerusakan saluran ekrin, yang akan menyebabkan lesi yang mirip dengan lesi pada miliaria rubra.(6) Bakteri yang mendiami permukaan kulit, seperti Staphylococcus epidermidis dan

Staphylococcus aureus, diperkirakan memainkan peran dalam patogenesis miliaria. Dalam miliaria tahap akhir, terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis dari acrosyringium. Sumbat hiperkeratotik mungkin muncul dan menghalangi saluran ekrin, tapi hal ini sekarang diyakini sebagai tahap akhir dan bukan penyebab atau pencetus dari oklusi.(5) V. 1. Diagnosis Gejala Klinis Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan tambahan, umumnya disertai rasa gatal, terutama ada bagian tubuh yang tertutup pakaian. Penyakit ini diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Miliaria kristalina Pada miliaria kristalina, oklusi dari saluran ekrin pada permukaan kulit menyebabkan andanya akumulasi dari keringat dibawah permukaan stratum corneum.(7) Vesikel bersifat jernih, berdinding tipis, dengan ukuran 1-2 mm, dan tanpa adanya area inflamasi, umumnya asimptomatik. Vesikel ini kemudian akan ruptur, dan diikuti dengan deskuamasi superficial.(6) Vesikel berisi keringat ini terletak dekat dengan permukaan kulit dan tampak seperti tetesan embun yang jernih. Tidak tampak eritem atau hanya sedikit, dan lesinya bersifat asimptomatik. Vesikel dapat muncul sedikit atau berkelompok dan paling sering menyerang balita, orang dengan tirah baring, atau orang yang sedang kepanasan.(7)

Gambar 1 : miliaria kristalina (dikutip dar kepustakaan 2) b. Miliaria rubra Miliaria rubra (pricky heat) terjadi akibat obstruksi pada kelenjar keringat yang menuju di epidermis dan dermis bagia atas, menyebabkan munculnya papul inflamasi yang gatal disekitar poripori. Miliaria rubra sering pada anak-anak dan orang dewasa setelah episode berkeringat yang berulang dalam keadaan yang panas dan lembab. Erupsi ini biasanya mereda dalam sehari setelah pasien berada pada lingkunga yang lebih dingin. Beberapa kasus dari miliari rubra akan membentuk pus, yang akan menjadi miliari pustulosa.(3) lesi

miliaria rubra ini muncul sebagai lesi yang khas, sangat gatal, berbentul papulovesikel eritematous yang disertai dengan rasa seperti tertusuk-tusuk, terbakar, atau kesemutan.(2)

Gambar 2 : Miliaria rubra (dikutip dari kepustakaan 2 dan 6) c. Miliaria profunda Bentuk ini hampir selalu mengikuti serangan berulang dari miliaria rubra, dan tidak lazim ditemukan kecuali pada daerah-daerah tropis. Lesinya pada umumnya mudah terlewatkan dalam pemeriksaan. Kulit yang terkena pada umumnya muncul dengan papul pucat dan solid dengan ukuran 1-3 mm, khususnya pada batang tubuh, dan kadangkadang pada anggota gerak. Tidak ada rasa gatal ataupun rasa tidak nyaman pada lesi kulit.(6) Miliaria profunda terjadi ketika keringat merembes ke lapisan dermis yang lebih dalam. Selama paparan panas yang intens atau setelah injeksi lokal agen kolinergik, kulit yang terkena dapat tertutupi dengan papul yang berwarna daging yang multipel. Adanya oklusi saluran ini dalam tingkatan yang bervariasi merupakan penyebab miliaria.(3)

Gambar 3 : Miliaria profunda (dikutip dari kepustakaan 7) d. Miliaria pustulosa Miliaria pustulosa didahului oleh dermatitis lain yang telah menyebabkan jejas, destruksi, atau bloking pada saluran keringat. pustul gatal ini paling sering terletak pada area intertriginosa, permukaan flexor ekstremitas, scrotum, dan punggung pasien dengan tirah baring. Dermatits kontak, lichen simplex kronis, dan intertrigo sering dihubungkan dengan miliaria pustulosa, meskipun miliaria terjadi beberapa minggu setelah adanya penyakit-penyakit ini. Episode yang rekuren mungkin sebagai tanda adanya pseudohipoaldosteronisme tipe I.(2)

Gambar 4 : Miliaria pustulosa (dikutip dari kepustakaan 2)

2.

Pemeriksaan Fisis Dermatologi (8) a. Lesi primer Lesi histologis primer awal pada miliaria yaitu vesikel intraepidermal kristalin yang berkembang menjadi papul eritem kecil dengan oklusi. Pustul dapat terbentuk kemudian. b. Lesi sekunder Infeksi sekunder dapat menyebabkan impetiginiasi c. Distribusi lesi Distribusi mikro Periporal (mengelilingi orificium saluran keringat) Distribusi makro Papul periporal dalam jumlah besar muncul secara simetris pada area batang tubuh, dan intertriginosa. Area wajah, lengan, telapak tangan, dan telapak kaki tidak ditemukan.

Gambar 5 : Mikrodistribusi miliaria (dikutip dari kepustakaan 8)

3.

Gambaran histopatologi Pada miliaria kristalina vesikel intrakorneal atau subkorneal tanpa sel-sel inflamasi disekitarnya, obstruksi saluran ekrin dapat diamati dalam stratum korneum. Pada miliaria rubra, spongiosis dan vesikel spongiotik yang diamati dalam stratum malphigi, berkaitan dengan saluran keringat ekrin, tampak peradangan periduktal. Pada lesi awal miliaria profunda, infiltrat

periductal limfositik ini terdapat dalam papillare dermis dan epidermis bagian bawah. Eosinofilik resisten diastase Periodic Acid Schiff (PAS) positif dapat dilihat dalam lumen duktus. Pada lesi tingkat lanjut, sel-sel inflamasi mungkin ada pada dermis bagian bawah, dan limfosit memasuki saluran ekrin. Spongiosis dari epidermis sekitarnya dan hiperkeratosis parakeratotic dari acrosyringium yang dapat diamati.(5) 4. Pemeriksaan laboratorium Pada miliaria kristalina pemeriksaan sitologi dari isi vesikuler gagal untuk menemukan sel-sel inflamasi atau sel raksasa berinti (seperti yang diharapkan pada herpes vesikel). Pada miliaria pustulosa pemeriksaan sitologi isi pus menunjukan sel-sel inflamasi. Tidak seperti eritema toxicum neonatorum, eosinofil tidak menonjol. Pewarnaan Gram dapat mengungkapkan adanya coccus Gram positif (misalnya staphylococcus).(5)

VI. 1.

Diagnosis banding Folikulitis Folikulitis adalah infeksi bakteri lokal pada satu folikel rambut. Disertai dengan pustule dan eritema. Folikulitis pada wajah dikenal sebagai Acne vulgaris. Pada tahap lanjut menjadi furunkel atau karbunkel. Lesi pada kulit bisa terjadi krusta dalam beberapa hari dan kambuh tanpa skar pada kebanyakkan kasus.(3)

Gambar 6 : Staphylococcal folliculitis (dikutip dari kepustakaan 3)

2.

Kandidasis Kandidosis adalah infeksi pada kulit atau mukosa yang disebabkan oleh jamur genus Candida. Tes KOH (+). Lesi satelit (+).(3)

Gambar 7 : Kandidiasis intertriginosa dengan lesi satelit tipikal (dikutip dari kepustakaan 3)

VII. 1.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan Umum Penderita sebaiknya menghindari aktivitas/keadaan yang memicu

berkeringat, karena hal ini dapat mengeksaserbasi gejala dan mereaktivasi erupsi. Suhu yang tinggi, khususnya dengan kadar kelembaban tinggi atau ketika memakai pakaian ketat aakan memperburuk penyumbatan kelenjar keringat. Pakaian yang dikenakan sebaiknya berbahan ringan, longgar, dan menyerap keringat untuk menjaga tingkat kelembaban kulit.(8) 2. Terapi Topikal Penanganan yang dapat dipertimbangkan untuk mempercepat resolusi miliaria adalah dengan lubrikasi epidermal. Penggunaan lubrikan OCT yang mengandung urea dan -hydroxy acid. Penggunaan topikal Lanolin Anhidrose juga dilaporkan bermanfaat.(8) Lanolin Anhidrose meringankan penyumbatan pori-pori dan dapat membantu sekresi keringat yang normal. Oinment hidrofilik juga membantu dalam mengurangi sumbatan keratinosa dan membantu memperlancar aliran sekresi keringat.(2)

Beberapa data mengungkapkan penggunaan sabun antibakteri juga dapat

menguntungkan, dan pada kasus-kasus refrakter, penggunaan intermitten sabun atau losion Benzoil Peroxida juga dapat membantu.(8) Losion Kalamine juga mungkin bermanfaat untuk mengurangi rasa tidak nyaman, tetapi karena efek mengeringkannya, emolien lunak seperti krim minyak dapat mencegah timbulnya kerusakan epidermis yang lebih lanjut.(6) 3. Terapi Sistemik Antibiotik sistemik sebaiknya digunakan ketika ada bukti yang jelas adanya infeksi sekunder. Penggunaan antibiotik harus berdasarkan kultur dan sensitivitasnya. Obat ini tidak berefek pada proses primer dan tidak dibutuhkan untuk penanganan pada kasus miliaria saja. Terapi awal sebaiknya yang berkenaan dengan spektrum sensitivitas S. epidermidis dan antibiotik yang dipilih harus dapat mencapai kelenjar keringan dan permukaan kulit.(8) Jika tidak ada sepsis sekunder yang luas, efek dari antibiotik topikal atau sistemik ataupun obat-obatan antibakterial lainnya dalam penanganan miliaria mengecewakan, namun terdapat beberapa aturan dalam penggunaan profilaksis. Asam Askorbat oral 500 mg dua kali sehari dapat menurunkan derajat keparahan miliaria dan derajat anhidrosis pada penyakit yang akan muncul kemudian. Isotretinoin juga dilaporkan dapat membantu pada kasus miliari profunda yang sulit.(6)

VIII. Prognosis Kebanyakan pasien sembuh dalam hitungan minggu, setelah mereka pindah ke lingkungan yang dingin.(5)

DAFTAR PUSTAKA

1.

Natahusada, E.C. Miliaria. In: Prof.Dr.dr.Adi Djuanda, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed 6. Jakarta. FK UI; 2010.p.276-77

2. William DJ, Timothy GB, Dirk ME. Dermatoses Resulting From Physical Factors. In: Sue Hodgson/Karen Bowler, editors. Andrews Disease of the skin: Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevier; 2006. p. 23-24 3. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Disorders Affecting the Sweat Glands : Miliaria In: Wolff K, Lowell A, Katz GSI, Paller GAS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th ed. United state of America. McGraw-Hill; 2008. p. 730 4. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Disorders of Sweat Glands : Miliaria. In Thieme Clinical Companions Dermatology: Thieme New York; 2006. p. 528 5. Levin NA. Dermatologic Manifestations of Miliaria Clinical Presentation. Medscape ref. 2012. 6. Coulson IH. Disorders of Sweat Glands. In: Rooks textbook of dermatology. 8th ed. United kingdom. Willey-blackwell; 2010. p. 44.15-44.16. 7. Habif TP. Acne, Rosacea, and Related Disorder. In: Habif TP, editor. A Clinical Dermatology : a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. London. Mosby; 2004. p. 205. 8. Trozak DJ, Tennenhouse JD, Russell JJ. Miliaria Rubra (Prickly Heat). In: Trozak
DJ, Tennenhouse JD, Russell JJ editors. Dermatology Skills for Primary Care; An Illustrated Guide: Humana Press; 2006. p. 101-103

Anda mungkin juga menyukai