Anda di halaman 1dari 13

Pembacaan Jurnal

PROGNOSIS TERJADINYA REKURENSI KARSINOMA LARING PASCA LARINGEKTOMI


Anthony Po Wing Yuen, FRCSE, FRCSG, DLO, Chiu Ming Ho, FRCSE, FRACS, William lgnace Wei, MS, FRCSE, DLO, and Lai Kun Lam, FRCSE, FRACS

ABSTRAK
LATAR BELAKANG
Rekurensi atau kekambuhan pasca laringektomi total sering terjadi pada karsinoma laring yang progresif. Hal ini mencetuskan timbulnya total. beberapa studi penelitian yang bertujuan meninjau prognosis terjadinya rekurensi karsinoma laring pasca laringektomi

METODE
Dari hasil pengumpulan data pasien dengan karsinoma sel skuamosa laring, didapatkan 165 pasien mengalami rekurensi setelah menjalani laringektomi total. Hasil data ini diperoleh dalam rentang waktu dari tanggal Januari 1971 sampai Desember 1990.

HASIL
Dari 165 pasien yang mengalami rekurensi, 34 orang (21%) mendapatkan pengelolaan tindakan pembedahan. Pada 34 pasien tersebut, masingmasing pasien mengalami rekurensi pada organ yang berbeda, antara lain:

Pembacaan Jurnal

Faringeal mengenai 11 pasien, Trakeostomal mengenai 3 pasien, Nodul mengenai 15 pasien, Faringeal dengan nodul mengenai 2 pasien, dan Metastasis ke paru mengenai 3 pasien. Setelah dilakukan pengelolaan tindakan pembedahan pada pasien, rekurensi terjadinya tumor kembali sekitar 44% dan tingkat kelangsungan hidup pasien selama 5 tahun sebesar 42 %. Sedangkan pada 131 pasien lainnya yang hanya mendapatkan pengelolaan tindakan paliatif, memiliki tingkat kelangsungan hidup selama 5 tahun sebesar 2 %.

KESIMPULAN
Studi penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien yang mendapatkan pengelolaan dengan tindakan pembedahan akibat terjadinya rekurensi tumor laring setelah laringektomi total memiliki prognosis yang memuaskan. Pemeriksaan atau follow-up jangka pendek setelah operasi pertama sangat penting untuk mendeteksi secara dini adanya rekurensi, sehingga pengelolaan dengan operasi masih memungkinkan untuk dilakukan.

Pembacaan Jurnal

PENDAHULUAN
Insiden terjadinya Karsinoma laring di Hongkong sebesar 4,5 per 100.000 populasi per tahun. Di departemen kami, radioterapi merupakan pengobatan utama untuk karsinoma laring stadium 1 dan 2 karena angka kesembuhan tinggi dan kualitas suara setelah terapi biasanya baik. Parsial laringektomi jarang dilakukan untuk karsinoma stadium awal. Total laringektomi dengan atau tanpa kombinasi radioterapi merupakan pengobatan utama untuk karsinoma stadium 3 dan 4 untuk pengontrolan loko-regional tumor yang lebih baik. Total laringektomi juga merupakan pengobatan pilihan jika radioterapi mengalami kegagalan.2,3 Namun lebih dari 50 % pasien mengalami rekurensi pada faring, trakeostoma, kelenjar limfe leher,atau lokasi yang jauh setelah menerapkan total laringektomi sebagai pengobatan. Kami telah mengadopsi prosedur bedah radikal untuk pasien dengan tumor kepala leher yang rekuren. Tujuan diadakannya studi penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas pengobatan dengan cara pembedahan pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa laring yang mengalami rekurensi setelah pembedahan total laringektomi.

PASIEN DAN METODE


Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis 165 pasien dengan karsinoma sel skuamosa laring yang rekurens setelah total laringektomi antara Januari 1971 sampai Desember 1990 di departemen bedah Universitas Hongkong, Queens Mary Hospital. Dimana terdapat 384 pasien yang mendapatkan pengelolaan total laringektomi untuk karsinoma laring pada periode ini,antara lain:

Pembacaan Jurnal

241 pasien mendapatkan pengelolaan laringektomi karena terjadi kegagalan radioterapi 143 pasien mendapatkan pengelolaan total laringektomi sebagai pengelolaan primer, dengan 74 pasien diantaranya diberikan tambahan radioterapi pasca operasi.

Dari 265 pasien dengan kelenjar limfe leher N0, dilakukan pengawasan ketat kecuali 35 pasien lainnya yang mendapatkan pengelolaan diseksi leher radikal elektif karena memerlukan flap miokutaneus pektoralis mayor untuk rekonstruksi faring, dan 2 pasien lainnya yang mendapat diseksi leher selektif elektif regio II, III, dan IV. Sebanyak 119 pasien dengan nodul mendapat diseksi leher radikal klasik. Tumor rekuren di obati dengan tindakan operatif jika memungkinkan untuk dilakukan tindakan. Kelayakan operasi dari tumor rekuren ditentukan oleh dokter bedah pada saat terjadinya rekurensi dan tidak bisa teranalisa secara akurat pada individu pasien yang berbeda dengan pembelajaran sebelumnya. Walaupun begitu, prinsip umum untuk kelayakan operasi di adaptasi departemen kami. Rekurensi loko-regional dianggap layak untuk pengelolaan operasi jika tumor bisa dengan tuntas di reseksi dan dapat direkonstruksi. Rekurensi loko-regional dikatakan tidak layak untuk operasi jika terjadi infiltrasi luas, terfiksasi pada otot prevertebra maupun struktur tulang, atau perluasan ke mediastinum. Metastasis jauh tidak dapat dioperasi kecuali tumor terbatas pada 1 lobus paru dan bisa dihilangkan dengan lobektomi dengan fungsi residual paru yang baik. Semua tumor lokoregional yang diikuti dengan metastase jauh tidak bisa dilakukan operasi. Pasien dengan tumor yang ditetapkan tidak layak dioperasi diberikan pengobatan paliatif. Radioterapi paliatif hanya diperuntukkan bagi mereka yang belum pernah mendapat radioterapi. Kemoterapi sistemik paliatif diberikan hanya jika kondisi umum memuaskan dan fungsi dari organ major seperti sumsum tulang, hati, dan ginjal normal. Kesehatan medik dan pilihan pasien penting dalam menentukan rencana manajemen terapi individual. Metode life table dan Wilcoxon (Gehan) statistic (SPSS for windows) digunakan untuk analisa prognosa aktual.

Pembacaan Jurnal

HASIL Ditemukannya 165 pasien yang menderita rekurensi setelah dilakukan total laringektomi untuk karsinoma laring. Dari 165 pasien ini: 105 pasien dioperasi dikarenakan kegagalan radioterapi, 34 pasien diterapi dengan kombinasi radioterapi post-operasi dan 26 pasien diterapi hanya dengan tindakan operasi.

Menurut stadium klinis UICC (1982) 2 pasien termasuk stadium II, 43 pasien stadium III, dan 120 stadium IV. Operasi primer mereka terdiri dari: 101 pasien total laringektomi, 19 pasien laringofaringektomi, dan 45 pasien faringolaringoesofagektomi (PLO). Dari 109 pasien dengan N0, 90 pasien tidak mendapat diseksi leher elektif, 18 pasien mendapat diseksi leher radikal elektif dan 1 pasien mendapat diseksi leher elektif selektif regio II,III,IV. Sebanyak 56 pasien lainnya dengan N+ mendapat diseksi leher radikal klasik. Rentang follow up dari pasien ini adalah 2-142 bulan (rata-rata 33 bulan). Dari 165 pasien yang mengalami rekurensi setelah operasi, sebanyak 34 pasien (21%) dilakukan tindakan pengelolaan operasi kembali untuk tumor rekuren. Semuanya berjenis kelamin laki-laki dengan umur antara 33 sampai 72 (rata-rata 59 tahun). Sebanyak 23 pasien telah mendapat pengelolaan operasi setelah kegagalan radioterapi, 8 pasien telah mendapat kombinasi operasi dengan radioterapi post-operasi dan 3 pasien hanya mendapat pengelolaan operasi untuk karsinoma laring. Rata-rata waktu deteksi dari rekurensi setelah laringektomi adalah 12 bulan (SD, 11 bulan). Dari 131 pasien (79%) lainnya yang diberikan terapi paliatif tanpa tindakan operasi diantaranya 121 laki-laki dan 10 perempuan dengan range umur dari 34 sampai 81 tahun (rata-rata 61 tahun). Rata-rata waktu deteksi rekurensi sejak dilakukan tindakan operasi adalah 11 bulan (SD, 12 bulan). Dari 131 pasien ini 112 mendapat terapi radioterapi terlebih dahulu. Sebanyak 4 pasien yang tidak mendapat radioterapi radioterapi untuk terlebih dahulu diberikan terapi 50 paliatif pasien loko-regional rekurensi. Sebanyak

Pembacaan Jurnal

diberikan terapi sistemik kemoterapi paliatif, terdiri dari: 5-FU, cisplatin atau metotrexat untuk tumor rekuren. Pola dari rekurensi setelah laringektomi dan hasil dari pengelolaan operasi tertera pada table 1. Dari 11 operasi penyembuhan untuk rekurensi faringeal, 10 pasien mendapat total laringektomi dan 1 pasien mendapat faringolaringoesofagektomi (PLO). Dari 10 pasien yang mendapat laringektomi sebelumnya, 3 orang dapat sembuh dengan faringektomi, 1 sembuh dengan faringektomi dengan diseksi leher radikal elektif (RND), dan 6 sembuh dengan PLO. Pasien lainnya yang mendapat PLO sebelumya di terapi dengan faringektomi dan elektif RND. Sebanyak 3 trakeostomal rekurensi diterapi dengan reseksi trakea dan diseksi mediastinal. Dari 38 rekurensi nodul tanpa RND sebelumnya, 31 pasien mendapat radioterapi pada leher sebelumnya dan 7 pasien tidak mendapat radioterapi sebelumnya. Dari 15 RND rekurensi nodul saja, 13 pasien mendapat radioterapi sebelumnya dan 2 pasien lainnya tidak. Dari 2 pasien yang mendapat operasi untuk faringeal dan nodul rekuren, 1 pasien sembuh dengan faringektomi dengan RND dan 1 lainnya sembuh dengan PLO dan RND. Sebanyak 3 pasien dengan metastase paru soliter yang terbatas pada 1 lobus dilakukan lobektomi paru, diagnosa patologiknya sesuai dengan lesi metastase dari karsinoma laring. Semua pasien dengan rekurensi nodul setelah diseksi leher sebelumnya, trakeostomal dengan rekurensi nodul, dan loko-regional dengan metastase jauh merupakan penyakit yang tidak layak untuk dilakukan pengelolaan operasi. Dari 165 pasien dengan tumor rekuren, hanya 34 (21%) pasien yang memungkinkan mendapat operasi kembali.

Pembacaan Jurnal

Tabel 1. Pola kekambuhan dan hasil dari pengelolaan operasi

Lokasi kekambuhan pertama Faring

Kekambuh an, n 22

Pengelola an operasi, n (%) 11 (50)

Hasil dari operasi (n)

Kematian akibat operasi (2) Kekambuhan nodul (1) Kekambuhan loko-regional (1) Metastasisjauh (1) Kekambuhan tracheostomal (2) Metastasis jauh (1) Kekambuhan nodul ipsilateral (6) Kekambuhan nodul kontralateral (1) Kekambuhan nodul (1)

Tracheostome

11

3 (27)

Kelenjar limfe leher tanpa RND sebelumnya

38

15 (39)

Pembacaan Jurnal

Metastasis jauh (1)

Kelenjar limfe leher dengan RND sebelumnya Faring dan Kelenjar limfe leher Tracheostoma dan Kelenjar limfe leher Metastasis jauh Tracheostome dan distant Total

0 (0)

--

14

2 (14)

Tidak ada kekambuhan

0 (0)

--

55 15

3 (5) 0 (0)

Kekambuhan paru (1) --

165

34 (21)

Kematian akibat operasi (2) Kekambuhan (16)

Dari 34 operasi tersebut, 16 pasien mengalami tumor rekuren. Di antara 16 pasien yang gagal dalam operasi, hanya 2 pasien yang melakukan pengelolaan operasi kedua. kedua pasien ini kembali mendapatkan rekurensi pada tempat yang sama pada leher setelah diseksi leher radikal untuk rekurensi nodul. seorang pasien menjalani eksisi radikal untuk tumor rekuren diikuti dengan eksisi kulit di atas tumornya, tetapi tetap saja tumor kembali muncul. Pasien lainnya menjalani eksisi tumor dengan eksisi kulit di atas tumornya bersamaan dengan faringektomi parsial dan pasien dapat tetap hidup bebas dari tumor. Dari total 34 pasien yang menjalani operasi, 2 (6%) pasien meninggal karena komplikasi operasi, 15 (44%) pasien meninggal

Pembacaan Jurnal

karena rekurensi tumor, 4 (12%) meninggal tanpa sebab yang tidak terkait, dan 13 (38%) tetap hidup tanpa tumor pada follow up terakhir. Dari 131 lainnya yang diberikan terapi paliatif, 129 pasien meninggal karena tumor dan hanya 2 yang diberikan kemoterapi untuk metastase jauh yang bertahan hidup untuk 2 tahun. Survival rate dari 2 grup pasien tersebut tercantum pada figure1. Lima tahun survival rate dari pasien dengan terapi pengelolaan operasi adalah 42% dan 2% pada terapi paliatif. Rata-rata survival dari pasien dengan terapi operasi adalah 32 bulan dan terapi paliatif 7 bulan. Pasien yang menjalani terapi pengelolaan operasi mempunyai tingkat bertahan hidup yang lebih lama dibanding dengan terapi paliatif. (Wilcoxon, p < .001)

Gambar 1. Angka kelangsungan hidup pasien dengan kekambuhan Karsinoma Laring

DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengelolaan bedah untuk karsinoma laring yang berulang atau rekuren setelah sebelumnya dilakukan laringektomi total, memiliki hasil yang dapat diterima. Pengelolaan secara bedah memiliki hasil yang memuaskan dalam angka pengontrolan tumor, dengan tingkat kekambuhan 44% dan angka tingkat kelangsungan hidup selama 5 tahun memungkinkan untuk pembedahan, radioterapi sebesar 42%. kemoterapi Untuk pasien-pasien dengan tingkat penyakit yang dianggap tidak dan

Pembacaan Jurnal

bukanlah pengobatan yang efektif. Sayangnya, hanya 21% penderita yang dapat diobati dengan pembedahan pada kasus kekambuhan karsinoma laring. Sebagian besar pasien tidak dipertimbangkan untuk pembedahan karena tumor yang berulang sudah terlalu lanjut untuk dilakukan reseksi kuratif pada saat terdeteksi. Kekambuhan keganasan faring yang berdiri sendiri memiliki tingkat kemungkinan operasi tertinggi (50%) dan tingkat kegagalan terendah setelah pembedahan karena gejala disfagia cenderung terjadi pada stadium awal. Saat ini, kami melakukan endoskopi fleksibel ketika ada gejala yang dicurigai sebagai kekambuhan lokal. Penting untuk melakukan endoskopi lebih dini setiap kali pasien mulai merasa tidak nyaman untuk menelan makanan. Biopsi harus selalu dilakukan, bahkan pada striktur jinak yang tampak sekalipun, dan harus diulang sebelum pelebaran faring dilakukan. Faringektomi sirkumferensial saja biasanya cukup untuk kekambuhan lokal, dan faringoesofagektomi diperlukan jika tumor telah meluas ke kerongkongan bagian bawah. Sebelum adanya flap myocutaneous pectoralis mayor (PMF), kita ubah faringektomi menjadi faringoesofagektomi sehingga mempermudah gaster untuk dilakukan anastomosis faringogastric. Ketika PMF terjadi, kami menggunakan tabung PMF untuk menjembatani faring yang tidak intak. Penggunaan tabung PMF mengurangi angka mortalitas operasi dan komplikasi thorak dengan menghindari diseksi abdominal dan mediastinal, Dalam tetapi memiliki tahun kerugian terakhir, berupa kita tingginya insiden kebocoran dan striktur. beberapa telah menggunakan jejunum bebas untuk rekonstruksi faring. Jejunum bebas dianjurkan karena dapat diandalkan dan memiliki angka insidensi yang rendah untuk kebocoran dan striktur. Dari 11 pasien yang menjalani bedah untuk kekambuhan tumor faring, hanya 2 yang didapatkan kekambuhan kembali pada lehernya setelah operasi. Hasil penelitian pada pasien dengan kekambuhan lokal yang memungkinkan untuk dioperasi menunjukkan bahwa, prognosis setelah pembedahan dinilai baik. Hubungan kekambuhan nodal dengan kekambuhan faring, bagaimanapun, mengindikasikan penyakit yang lebih lanjut dan hanya 2 (13%) pasien yang dianggap memiliki kemungkinan untuk dioperasi.

10

Pembacaan Jurnal

Kekambuhan nodul lebih sulit untuk dideteksi dini dengan palpasi karena kulit leher telah menebal akibat operasi sebelumnya dan radioterapi pada leher. Hanya 39% dari pasien kekambuhan nodul leher yang sebelumnya menunjukan pemeriksaan klinis kelenjar limfe N0 memungkinkan untuk pembedahan. Prognosis pembedahan untuk kekambuhan nodul kurang memuaskan dibandingkan dengan kekambuhan pada faring, dan pada 53% pasien kembali mengalami kekambuhan setelah dilakukan diseksi leher radikal. Dari 7 pasien yang mengalami kekambuhan regional setelah pembedahan RND, hanya 1 pasien yang dapat diselamatkan dengan reseksi radikal kedua yang meliputi kelenjar getah bening, kulit yang terlibat, dan faring, tetapi 6 pasien lainnya meninggal karena mengalami kekambuhan di leher. Mengingat tingkat kekambuhan nodal yang tinggi setelah RND, radioterapi pasca operasi direkomendasikan untuk pasien yang tidak memiliki riwayat pengobatan radioterapi sebelumnya. Kekambuhan Trakeostomal saja tidak umum (3%), dan semuanya memiliki hasil yang mematikan. Hanya 3 (27%) pasien dianggap memungkinkan untuk pembedahan, dan sisanya tidak dapat disembuhkan. Meskipun dilakukan pembedahan secara radikal, prognosis kekambuhan trakeostomal tetap buruk. Kekambuhan trakeostomal lebih sering terjadi pada pasien dengan karsinoma laring subglottic.14 Mengingat prognosis yang buruk dari kekambuhan tracheostomal, telah direkomendasikan untuk tindakan diseksi kelenjar getah bening paratrakeal bersama dengan tiroidektomi total dilakukan dengan adanya keterlibatan tumor subglottic untuk mengurangi kekambuhan trakeostomal.15-17 Dalam penelitian kasus, metastasis paru soliter merupakan satusatunya metastasis jauh yang bisa diobati melalui pembedahan. Dari 3 pasien yang menjalani lobektomi paru, 1 pasien mengalami kekambuhan paru kembali. Meskipun sulit untuk menilai sejauh mana mikrometastasis dengan teknologi yang tersedia, namun reseksi metastasis paru soliter sebaiknya dilakukan, karena penyembuhan seringkali terjadi.18,19 Dapat disimpulkan bahwa, pasien dengan kekambuhan awal memiliki prognosis yang memuaskan setelah pembedahan.

11

Pembacaan Jurnal

Sayangnya, hanya 21% pasien bisa menjalani operasi terhadap kekambuhan. Hal ini tidak diragukan lagi penting untuk mencegah kekambuhan pada pengobatan karsinoma laring, tetapi tidak kalah penting bahwa pasien harus dipantau untuk mendeteksi rekurensi dini sehingga mereka masih bisa menjalani pembedahan.

REFERENSI
1. Hong Kong cancer registry, 1989. Hospital Authority, March 1993, p. 12. 2. Lam KH, Wei WI, Wong J, et al. Surgical salvage of radiotherapy failures in cancer of the larynx. J Laryngol Otol 1983; 97: 351356. 3. Yuen APW, Wei WI, Ho CM. Results of surgical salvage for radiation failures of laryngeal carcinoma. Otolaryngol Head Neck Surg 1995; 112: 405-409. 4. Yuen APW, Wei WI, Ho CM, et al. Result of surgical treatment of advanced laryngeal carcinoma: pattern of failure. In: Smee R, Bridger GP, eds. Laryngeal cancer. Amsterdam: Elsevier Science BV, 1994: 518-521. 5. The Department of Veterans Affairs Laryngeal Cancer Study Group. Induction chemotherapy plus radiation compared with surgery plus radiation in patients with advanced laryngeal cancer. New Engl J Med 1991; 324: 1685-1690. 6. DeSanto LW. T3 glottic cancer: options and consequences of the options. Laryngoscope 1984; 94: 1311-1315. 7. Mendenhall WM, Parsons JT, Stringer SP, et al. Carcinoma of the supraglottic larynx: a basis for comparing the results of radiotherapy and surgery. Head Neck 1990; 12: 204-209. 8. Yuen A, Medina JE, Goepfert H, Fletcher G. Management of stage T3 and T4 glottic carcinomas. Am J Surg 1984; 148: 467-472. 9. Foote RL, Olsen KD, Buskirk SJ, et al. Laryngectomy alone for T3 glottic cancer. Head Neck 1994; 16: 406-412.

12

Pembacaan Jurnal

10. Lam KH, Choi TK, Wei WI, et al. Present status of pharyngogastric anastomosis following pharyngolaryngooeasophagectomy. Br J Surg 1987; 74: 122-125. 11. Ariyan S. The pectoralis major myocutaneous flap. A versatile flap for reconstruction in the head and neck. Plast Reconst Surg 1979; 63: 73-81. 12. Lam KH, Wei WI, Wong J. The pectoralis major myocutaneous flap in head and neck reconstruction. Asian J Surg 1984; 7: 159-164. 13. Lau WF, Lam KH, Wei WI. Reconstruction of hypopharyngeal defects in cancer surgery: do we have a choice? Am J Surg 1987; 154: 374-380. 14. Rubin J, Johnson JT, Myers EN. Stomal recurrence after laryngectomy. Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 103: 805-812. 15. Harrison DFN. The pathology and management of subglottic cancer. Ann Otol Rhino1 Laryngol 1971; 80: 6-12. 16. Hosal IN, Onerci M, Turan E. Peristomal recurrence. Am J Otolaryngol 1993; 14: 206-208. 17. Yuen APW, Wei WI, Ho CM, et al. Thyroidectomy during laryngectomy for advanced laryngeal carcinoma-whole organ section study with long-term functional evaluation. Clin Otolaryngol, 1995; 20: 145-149. 18. Mazer TM, Robbins KT, McMurtrey MJ, Byers RM. Resection of pulmonary metastases from squamous carcinoma of head and neck. Am J Surg 1988; 156: 238-242. 19. Finley RK, Vermin GT, Driscoll DL, et al. Results of surgical resection of pulmonary metastases of squamous cell carcinoma of the head and neck. Am J Surg 1992: 164: 594-598.

13

Anda mungkin juga menyukai