Anda di halaman 1dari 4

MIASTENIA GRAVIS

Definisi
Miastenia Gravis (MG) : kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pasca sinaptik asetilkolin nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor Ach ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat.

Epidemiologi
o o o o o Prevalensi 1-7 kasus per 10.000 Semua usia namun memiliki puncak insiden yang berbeda pada pria dan wanita Wanita 20-30 tahun Pria 50-60 tahun Wanita : pria = 3 : 2

Faal Neuromuskular Junction


Potensial aksi akan dibawa sampai ke terminal button kanal Ca2+ terbuka keluarnya vesikel-vesikel berisi asetilkolin secara eksositosis. Asetilkolin akan berdifusi melewati celah antara saraf dan otot, lalu menempel pada reseptor di motor end plate. Melekatnya asetilkolin akan membuat teraktivasi, Na+ masuk dan K+ keluar dari otot. Hal ini akan membuat potensial aksi pada otot, potensial aksi akan menyebar. Setelah itu Ach akan dihancurkan oleh asetilkolinesterase.

Manifestasi Klinis

Khas : Kelemahan otot setelah beraktivitas dan setelah istirahat pulih kembali

(simptomatik jika AchR <30%). Kelemahan otot umumnya bersifat khas. Pertama menyerang kelopak mata sehingga timbul ptosis. Lalu timbul juga facial weakness. Kesulitan dalam mengunyah. Kelemahan otot umumnya proximal dan asimetris. Deep tendon reflex tetap normal. Jika kelemahan terjadi sampai pasien membutuhkan alat bantu nafas, disebut keadaan crisis.

Jika selama 3 tahun hanya terjadi pada otot extraocular, maka kemungkinan tidak akan menjadi generalized. Sehingga disebut Ocular MG. MG dibagi menjadi 4 golongan: Golongan 1 : Gejala hanya tampak pada otot ocular. Golongan 2a: Kelemahan dan kelelahan umum yang ringan.

Golongan 2b: Kelemahan dan kelelahan umum yang sedang, disertai kelemahan otot ocular dan bulbar yang ringan dan sedang. Golongan 3 : Kelemahan dan kelelahan umum yang berat, disertai kelemahan otot bulbar dan ocular. Golongan 4 : Krisis MG.

Krisis kolinergik terjadi karena penumpukan kolinesterase inhibitor (neostigmin, fisostigmin) dan kehancuran organofosfat. Hal ini menyebabkan stimulus Ach berlebihan di myoneural junction sehingga menimbulkan paralisis berupa flaccid pada otot. Secara klinis tidak dapat dibedakan dengan kelemahan akibat MG.

Patofisiologi
Prinsip utama pada MG adalah berkurangnya reseptor Ach pada postsinaps. Ditambah lagi dengan flattened dari postsinaptic fold, sehingga transmisi Ach b erkurang. Sehingga menghasilkan potensial dibawah potensial aksi. Sehingga timbul kelemahan otot. Jumlah Ach yang dikeluarkan per impuls akan berkurang setiap kali aktivitas (presynaptic rundown). Pada pasien MG, berkurangnya efisiensi transmisi dan presynaptic rundown akan menyebabkan bertambah sedikitnya impuls yang berhasil mengaktivasi otot. Sehingga timbul kelemahan. MG diyakini sebagai suatu penyakit autoimun. Adanya antibodi anti AchR, menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor Ach. Hal ini terjadi karena: 1. Terjadinya cross link antara Antibodi AchR dengan AchR, sehingga mendegradasi AchR 2. Memblokade tempat melekatnya Ach pada reseptor 3. Merusak reseptor dengan perantaraan komplemen Antibodi diduga adalah IgG dan T cell dependent. Ada juga imun respons MuSK (muscle specific kinase), sangat penting pada proses diferensiasi AchR. Terjadinya autoimun ini belum diketahui pasti. Timus yang mengalami hiperplastik diduga menjadi salah satu faktor (mengandung AchR, sehingga memicu autoantigen)

Diagnosa
1. Anamnesa Riwayat kelemahan otot, terutama setelah aktivitas dan membaik setelah istirahat. 2. PF

Ptosis Diplopia Motor power survey : quantitative testing of muscle strength, Forward arm abduction time (5min) Vital capacity Absence of other neurologic signs.
3. PP (sangat diperlukan untuk diagnosa MG)

Pemeriksaan lab : Anti-AchR radioimunoassay 85% positive in generalized MG; 50% in ocular MG. Definite diagnosis if positive; negative result does not exclude MG. 40% of AchR antibody-negative patients with generalized MG have anti-MuSK antibodies (anti Muscle Specific tyrosine Kinase). Repetitive nerve stimulation penurunan >15% at 3 Hz : highly probable Single-fiber electromyography (SFEMG) blocking and jitter, with normal fiber density: confirmatory, but not specific. Ice pack test Radiologi: CT toraks/ Ro toraks untuk mencari timoma Tes tensilon menggunakan edrofonium klorida 2 mg + 8 mg IV (kl disuntik membaik MG)

Pengobatan
Medikamentosa: Piridostigmin (Ach-i) tablet 60 mg. Dosis awal 4 x 15mg (1/4 tablet), setelah 2 hari dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30mg, jika perlu dapat ditingkatkan menjadi 4x60mg. Dosis max 6 tablet/ hari. Jika tidak berespons dapat diberikan kortikosteroid ataupun azatioprin. Kortikosteroid (prednisolon) diberikan selang sehari. Dosis pertama 10mg (1x pagi hari), ditingkatkan 10mg sampai 1,5mg/kg selang sehari. Dosis dipertahankan sampai pasien mengalami remisi (beberapa bulan). Dosis dikurangi per 10mg setiap 3-4 minggu sampai 20 mg/ selang sehari. Dosis kembali dikurangi 1mg tiap bulan dan diberikan kembali dosis tinggi bila relaps.

Azatioprin (imunomodulasi (imunosupresi)) diberikan dosis awal 2x25mg. Ditingkatkan 25mg/hari sampai mencapai 2,5mg/kg/hari. Sebelum terapi uji darah rutin (hitung jenis) dan fungsi hati dahulu, ini dilakukan setiap minggu selama 8 minggu, kemudian setiap 8 bulan.

Timektomi: pada hyperplasia timus dan tumor dapat membentuk antibodi berlebihan. Plasmaferesis IVIG Dalam pengobatan MG ingat jangan terapi berlebihan (krisis kolinergik) ataupun tidak adekuat Obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi akut: antibiotik (makrolid, fluorokuinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, klorokuin). Antiaritmia (beta blocker, ca blocker, kuinidin, lidokain, prokainamid), CPZ, pelemas otot.

Prognosis: Bervariasi dari remisi total sampai meninggal. Perlu diingatkan bahwa MG tidak dapat disembuhkan secara sempurna, tapi gejala dapat dihilangkan/ dikurangi.

Anda mungkin juga menyukai