Anda di halaman 1dari 5

Konflik Antar Agama : Alasan Perbedaan Doktrin hanya Sebagai Topeng

Berbicara persoalan antar agama sangat sensitif sifatnya, bagi sebagian besar masyarakat kita, entah apa yang menyebabkan demikian. Meski seseorang berbicara perbedaan agama apabila dibicarakan dengan kepala dingin dan intelektualitas seharusnya tidak akan berkonflik meski sensitif. Diberbagai televisi diberitakan berbagai kekerasan terjadi hanya karena gesekan sedikit dengan persoalan agama. Seharusnya agama menjadikan manusia damai namun realita terbalik dengan harapan. Semakin hari kekerasan atas nama agama kian memprihatinkan. Maraknya konflik antar agama menyebabkan masyarakat berpandangan bahwa agama adalah sumber konflik. Beragama merupakan hak asasi manusia , kebebasan beragama merupakan satu-satunya HAM pertama yang tertuang didalam UUD RI 1945 sebelum di amandemen. Dalam pemberitaan di berbagai media massa, kerap terbaca bahwa perbedaan doktrin dianggap sebagai penyebab utama terjadinya konflik beragama, sebuah klaim yang agak sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Dalam kasus Ahmadiyah, banyak pihak menuding bahwa keyakinan terhadap kenabian Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri, dan tafsiran terhadap al-Quran dan al-Hadis yang dirasa menyimpang dari pandangan mayoritas umat Islam, merupakan akar penyebab konflik sosial terhadap pengikut Ahmadiyah. Maka, solusinya, termasuk yang disuarakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Surya Dharma Ali (Tempo Interaktif, Selasa (8/2), Ahmadiyah harus membentuk agama tersendiri. Mereka berasumsi, dengan menjadi agama baru (dengan nabi dan kitab tersendiri), umat Muslim tidak akan lagi berselisih dengan mereka.

Pandangan semacam ini tentu saja janggal, karena tidak sesuai dengan fakta sejarah terbentuknya kelompok agama baru. Secara umum, agama baru pada awalnya merupakan sebuah gerakan pembaharuan terhadap agama induk dan tidak bermaksud untuk membentuk agama tersendiri. Hal inilah yang terjadi misalnya pada agama Kristen di mana hanya setelah terjadi situasi tertentu,

muncul tokoh yang berperan besar dalam melakukan pemisahan diri, seperti yang ditunjukkan oleh Rasul Paulus. Maka tak heran jika agama baru tersebut, meski telah memisahkan diri, masih mempertahankan beberapa ajaran lama, termasuk mengakui kesucian kitab suci sebelumnya. Dalam kasus agama Budha, kita lihat bagaimana konsep-konsep Hindu, seperti samsara, dharma, inkarnasi, dan lain lain, banyak diserap. Bahkan Islam sendiri, dalam al-Quran, menyatakan bahwa ia tidak membawa ajaran baru, namun hanya meneguhkan ajaran lama yang telah ada pada wahyu-wahyu sebelumnya, dan mengembalikan apa yang telah dianggap menyimpang atau dilupakan (Misalnya Al Quran 5:48). Jika fakta sejarah memperlihatkan bahwa pembentukkan agama baru lebih merupakan proses internal umat ketimbang hasil pemaksaan dari luar, tidak ada jaminan bahwa jika itu dilakukan otomatis akan membawa perdamaian dengan pengikut agama lama. Bukankah agama Islam, Kristen, dan Yahudi, merupakan entitas-entitas yang memiliki identitas terpisah, tetapi mengapa masih sering terjadi konflik di antara mereka? Jika memang pembentukkan agama baru merupakan jawaban terhadap setiap konflik antar kelompok agama, atas dasar otoritas apakah pihak-pihak luar melakukan pemaksaan, dan siapakah yang memberi wewenang pada mereka untuk melakukannya. Hanya di dalam sistem otoriterlah, pemaksaan semacam itu bisa berlangsung. Bencana kemanusiaan yang terjadi lewat konflik antaragama pada dasarnya disebabkan oleh ketidakadilan. Problem ketidakadilan ini kemudian digiring ke ranah agama sehingga konflik yang terjadi seolah-olah bersumber dari masalah agama. Konflik di Ambon dan Poso beberapa waktu lalu juga berakar oleh ketidakadilan. Ia mengutarakan konflik Poso berawal dari kecemburuan kalangan agama tertentu terhadap kalangan agama lain yang mendominasi jabatan politik di daerah tersebut. Konflik Ambon pun berawal dari ketimpangan ekonomi kalangan agama tertentu dengan kalangan agama yang lain menyusul jatuhnya harga cengkeh, hasil bumi utama daerah tersebut.

Agama kerap dijadikan alasan konflik karena dalam agama terdapat solidaritas yang tinggi. Solidaritas inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh pemimpin agama tertentu untuk mendorong massa melakukan kekerasan. Penyelesaikan berbagai konflik beragama harus dimulai dari individu beragama itu sendiri. Mereka harus menyadari bahwa setiap agama memiliki teks dan ajaran yang terkadang tafsirnya masih ambigu, yang berakibat pada praktik dan keyakinan beragama yang berbeda. Untuk itulah dibutuhkan toleransi. Membangun kehidupan bermasyarakat tanpa memandang perbedaan agama, tentu merupakan awal yang sangat positif, karena tidak ada upaya perdamaian agama yang lebih baik, selain dialog dalam kehidupan sehari-hari. Yang tak kalah pentingnya adalah peran tokoh-tokoh agama, yang harus memberikan

pemahaman keagamaan yang damai, dan tidak menonjolkan perbedaan untuk mendiskreditkan orang lain. Sebagai panutan umat, mereka harus menyatakan bahwa urusan kebenaran agama adalah urusan pribadi (dalam Islam, bagimu agamamu, bagiku agamaku), yang tak boleh diganggu siapapun. Dalam mengeluarkan fatwa, para ulama tidak boleh semata-mata mendasarkan pandangannya pada penafsiran keagamaan yang sempit, tetapi sebaliknya harus meletakkannya dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia yang pada kenyataannya terdiri atas berbagai kelompok yang berbeda, bukan saja intra agama, tetapi bahkan antar agama. Pada tingkat negara, pemerintah harus kembali pada konstitusi, UndangUdang Dasar 1945, yang telah secara jelas memberikan jaminan kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan kepada setiap pemeluk agama. Pemerintah harus memainkan perannya sebagai bapak yang adil dan bijaksana dan menghindari politisasi perbedaan keyakinan untuk kepentingan politik. Di lain pihak, aparat keamanan dan hukum harus bertindak tegas terhadap mereka yang mencoba mengusik ketenangan beragama. Mereka tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang hanya membela kepentingan kelompok tertentu. Solusi untuk menurunkan disintegrasi akibat konflik agama pun dapat dilakukan dengan penyelesaian masalah utama yang mendasari. Seperti masalah ketidakadilan dan ekonomi.

Sebagai kesimpulan, akar konflik agama tidaklah tunggal yang sematamata berdasarkan perbedaan keyakinan dan doktrin, sehingga penyelesaiannya harus mempertimbangkan faktor politik, ekonomi dan sosial, dan lain-lain. Di sisi lain, perbedaan dalam beragama harus dihormati, bahkan dijadikan sebagai rahmat bagi umat manusia.

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

MASA DEPAN HAK AZAZI BERAGAMA DI INDONESIA

OLEH : YOSSY NARA INTAN SARI 04091001082

PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2012

Anda mungkin juga menyukai