Anda di halaman 1dari 2

Strategi Of Dakwah Dipublikasikan: 20/04/2006 07:23:53 Oleh : Heri Akhmadi Pernahkah Antum memperhatikan iklan produk pemutih tubuh

merk CITRA yang sering tayangkan di televisi akhir-akhir ini dengan berbagai varian iklannya?. Salah satu variannya adalah tentang seorang wanita yang sedang kumpul bareng teman-temannya di sebuah kafe, lalu diceritakan di iklan itu bahwa wanita tadi melihat seorang ibu yang hamil tua sedang mengalami kontraksi. Wanita tadi (dan teman-temannya) menjadi kebingungan apa yang harus diperbuat. Namun setelah Ia mencium aroma tangannya (yang sudah di olesi CITRA aromaterapi tentunya), seolah kebingungan itu sirna dan dengan cepat tanggap Ia mempunyai ide untuk menolong wanita hamil tersebut. Ada yang menarik dari iklan itu untuk dianalisis dari sisi strategi (komunikasi) pemasaran. Di sini Ane tidak membicarakan tentang produk citra tadi, atau tentang akhlak wanita di iklan tersebut namun berkaitan dengan apa sebenarnya (value) yang ingin dipasarkan oleh produsen citra kepada konsumennya (customer). Dari iklan tersebut seolah digambarkan bahwa orang yang menggunakan CITRA tidak sekedar akan mendapatkan kulit putih dan halus sesuai dengan fungsi dasar (basic value) dari produk CITRA, tetapi mereka juga akan merasakan pengalaman (experience) yang berbeda yaitu aroma yang menenangkan/menentramkan sehingga menghadirkan kesejukan tidak cuma di kulitnya tetapi juga kesejukan hatinya. Fenomena di atas sudah marak ditemukan dalam strategi pemasaran pada perusahaan-perusahaan modern. Diantaranya yang diterapkan oleh jaringan toko-toko roti modern, semacam BreadTalk, Bread-In dan lain-lain (di Jakarta dan kota-kota besar lainnya). Diantara strateginya adalah dengan menghadirkan suasana dapur pembuatan roti dihadapan pelanggan. Bahkan mereka pun membiarkan para pembeli melihat koki pembuat roti tersebut asyik membuat roti dengan tangan-tangan yang belepotan adonan. Padahal dulu, rahasia dapur ini tabu dilihat pengunjung karena biasanya mereka tidak ingin pembeli melihat suasana dapur yang berantakan. Namun demikian, hal-hal seperti itulah yang justeru membuat pembeli rela antri dan membayar lebih. Hal itu karena mereka tidak mau sekedar membeli roti tetapi juga pengalaman (experience) yang mereka peroleh dari bau roti, pemadangan dapur yang berantakan, dan suasana lain yang diciptakan pada saat membeli roti. Anehnya, semua itu rupanya bisa membuat roti tersebut terasa lebih enak. Strategi ini diterapkan karena mereka semuanya setuju bahwa apa yang membuat roti mereka laku atau tidak, salah satunya , adalah dari pengalaman (experience) yang tercipta. Itulah Experiental Marketing (EM), sebuah strategi pemasaran dimana memasarkan barang tidak hanya soal produk yang berkualitas tetapi sudah keluar dari nilai dasarnya (basic value) yaitu dengan memberikan pengalaman (experience) dari produk. Experiental Marketing (EM) sudah menjadi buzz word di dunia pemasaran dengan jargonnya yang terkenal .they dont buy product or service but they buy experience.yang menggebrak dunia pemasaran pada akhir 90-an. Konsep ini kian mantap saja dipergunakan oleh berbagai kalangan di dunia pemasaran untuk menunjukkan diferensiasi yang unik dibandingkan competitor. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih luas dan implementatif dengan konsep Customer Experience Strategy (CES). Secara teoritis EM dan CES lahir dari pemikiran bahwa dalam kondisi sekarang, untuk memasarkan produk para pemasar tidak bisa hanya mengAntumlkan fitur dan benefit saja sebagai senjata. Alasannya, kedua hal tersebut adalah hal yang paling mudah ditiru oleh pesaing. Jadi, kalau Antum hanya mengAntumlkan fitur dan benefit untuk memasarkan produk (dakwah) Antum, maka Antum termasuk golongan pemasar (Dai) tradisional. Prof. Bernd Schmitt dari Harvard Bussines School mengatakan, berfikir tentang fitur dan benefit hanya membiarkan strategi Antum dicuri oleh pesaing. CES harus dilakukan dengan cara memahami esensi dari merk dan esensi semacam apa yang diinginkan oleh konsumen atau pelanggan(customer). Langkah selanjutnya kemudian adalah mengelola environment di sekitar merk tersebut. Oleh karena itu, CES adalah soal memahami lifestyle konsumen dan melebarkan pAntumngan pemasar dari produk ke proses konsumsinya (dari product oriented ke customer oriented). Contoh riil, sebagaimana dikemukakan Schmitt, dahulu orang menggunakan sabun untuk membersihkan diri (mandi) sebelum melakukan aktifitas, tetapi sekarang sabun dilihat sebagai sesuatu yang memanjakan konsumen atau sesuatu yang membuat konsumen serasa hadir di spa dengan aroma terapinya (sabun aroma terapi). Itulah yang dimaksud Schmitt sebagai pAntumngan terhadap proses konsumsi.Pertanyaannya adalah, mengapa sesuatu/hal-hal yang bersifat emosional tersebut penting? Hal ini bisa terjawab karena konsumen/manusia pada dasarnya adalah makhluk emosional. Jika mau dilihat secara sederhana konsep EM dan CES sebenarnya juga merupakan upaya menghapus ide fitur dan benefit dan mengubahnya menjadi sebuah pengalaman (experience) yang unik di mata konsumen. Hal ini bisa dilihat baru-baru ini misalnya yang dilakukan oleh pompapompa bensin modern yang kini banyak bermunculan di Indonesia (di Jakarta dan kota-kota besar lainnya). Pompa bensin Shell dan Petronas misalnya, tidak hanya menyediakan pompa pengisian bahan bakar tetapi juga supermarket dan rumah makan, stasiun pengisian angin dan air radiator. Bahkan ketika masuk ke pompa bensin, pengemudi langsung dihampiri oleh petugas (yang berpakain rapi dan bersih -tidak belel seperti di SPBU Pertamina- serta murah senyum) yang siap melayani dan siap menerangkan jenis bensin yang dijual (yang memang namanya bukan lagi premium atau pertamax seperti di SPBU biasanya). Bahkan service ini ditambah, selagi mengisi bensin, ada petugas yang dengan ramah menawarkan membersihkan kaca atau mengisi angin ban mobil/motor secara GRATISSSS.. Bahkan Antum bisa meninggalkan kendaraan Antum diisi bensinnya, sementara Antum membeli makanan kecil di Supermarket tanpa khawatir akan kecurangan petugas karena SPBU sudah menggunakan sistem billing yang computerized sehingga menjamin kejujuran petugasnya. Pada masa sekarang, memang jangan berharap konsumen akan menoleh ke produk Antum jika Antum tidak membungkusnya dengan pengalaman unik. Kita bisa melihat contoh lainnya di industri HP yang semakin lama menjadi produk dengan sejuta pengalaman. Dari sekadar untuk bicara dan kemudian SMS. Bahkan beberapa merk HP menambahkan fitur game, musik, kamera, MP3 player sampai monitor TV. Akibatnya, konsumen kini membeli handphone bukan hanya karena kemampuannya sebagai alat untuk menelpon(basic value) tatapi justeru pengalaman-pengalaman (experience) baru yang bisa didapat dari handphonenya. Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika NOKIA kemudian membagi-bagi segmennya dalam jumlah yang banyak dimana setiap segmen diberikan produk yang berbeda. Tujuannya agar setiap konsumen semakin memiliki personal experience yang berbeda. Konsep EM dan CES dengan pendekatan lifestylenya ini, sekarang paling banyak digunakan terutama di industri entertainment untuk menjerat konsumen yaitu dengan membangun experience. Konsep ini secara teoritis dibangun dari 5 unsur yaitu sense, feel, think, act dan relate. Sense menyangkut panca indera (seperti penglihatan, pendengaran dan penciuman). Feel merupakan perasaan dan emosi yang timbul. Think adalah

pikiran kreatif yang muncul di benak pelanggan dari sebuah merk. Act menyangkut tindakan fisik dan interaksi yang muncul. Sedangkan Relate adalah upaya menghubungkan merk dengan dirinya, orang lain atau budaya. Makanya tidak mengherankan jika penganut paham CES sering menggunakan pengaruh suara, visual, rasa dan aroma untuk menarik kelima unsure tersebut. Karena mau tidak mau, hal-hal tersebutlah yang paling mudah menarik pengalaman pelanggan. Ditambah lagi dengan unsure non statis, maka terciptalah CES. Pertanyaan BESAR yang kemudian diajukan adalah, bagaimana konsep bisnis ini diterapkan untuk bisnis kita dengan Allah (dakwah)???. Kalau mereka yang berkutat dengan urusan dunia(materi), yang hanya bervisi dunia dan untuk urusan yang tidak berhubungan dengan akhirat saja mereka berusaha dengan segala cara dan upaya yang strategic untuk mensukseskan bisnisnya, bagaimana dengan kita yang sedang berbisnis dengan Allah, yang sudah jelas balasannya di dunia dan akhirat, apakah kita juga tidak lebih canggih dan strategis dalam berdakwah????. Bukankah Allah telah membeli diri dan harta kita dengan profit surga???(QS. Attaubah, 111). Lantas apa yang sudah kita lakukan dalam bisnis kita dengan Allah ini, alat tukar apa yang sudah kita siapkan untuk membeli surga-Nya??? Sudah saatnya dakwah (bisnis dengan Allah) disajikan dengan lebih professional dan kalau perlu dapat memberikan personal experience bagi objek dakwah. Sudah saatnya dakwah kita di KAMMI, kita hadirkan dengan kemasan yang berbeda dari ORMAS lainnya. Sudah saatnya kita tidak hanya mengobral surga dan neraka untuk mengajak orang berdakwah dan terjun dalam dakwah ini. Sudah saatnya kita bisa menciptakan experience yang berbeda bagi objek dakwah, sehingga mereka bisa merasakan perbedaan daripada ketika bergabung dengan jamaah dakwahnya AFI, Indonesian Idol atau yang lebih dekat, bisa berbeda dengan GMNI, FMN, LMND atau HMI, PMII bahkan LDK, NU, MUHAMMADIYAH, HT, PKS atau ORMAS/LDK lainnya. Sehingga objek dakwah(customer) bisa merasakan experience yang berbeda ketika mengikuti kegiatan KAMMI. Kalau sama-sama kajiannya, ustadznya sama, materi juga sama, apa experience yang bisa membuat objek dakwah lebih tertarik kajian KAMMI daripada kajiannya HMI, PMII, PII, atau bahkan Harakah TARBIYAH atau anak LDK. Kita tidak sedang SAINGAN dengan sama-sama ORMAS atau kader dakwah lainnya. Tapi kita sedang berjuang agar RAKYAT sebagai objek dakwah lebih tertarik untuk selanjutnya loyal dengan dakwah yang kita bangun. Bahwa dakwah merupakan sebuah kewajiban itu sudah menjadi 100% keyakinan kita, tapi dakwah juga perlu dipasarkan tidak cuma dengan alasan/dalil Quran dan Hadist, namun dengan experience yang membuat orang tidak merasakannya sebagai sebuah kewajiban tapi sebuah kebutuhan, bahkan lebih dari itu yaitu sebuah kenikmatan sehingga akan memunculkan kader dakwah yang loyal karena menikmati dalam berdakwah. Bukankah yang kita tawarkan kepada customer (objek dakwah/rakyat) adalah SURGA????. Sekali lagi Ane tekankan, bahwa bisnis kita adalah SURGA dan RIDHO ALLAH, yaitu bisnis paling PROFIT karena tidak Cuma menawarkan PROFIT DUNIA tetapi PROFIT AKHIRAT/SURGA. Lantas mengapa bisnis yang profit, prestigious, dan elit ini kita hadirkan dengan standar kaki lima??? Tanpa ada experience sedikitpun.jangan-jangan kita masih terlalu UNDER PD dengan dakwah ini...??? Bukankah Rasul SAW justeru mencontohkan dakwah yang penuh experience???. Kita bisa membuka siroh tentang bagaimana CERDASNYA Rasul menghadirkan dakwah yang penuh experience. Bagaimana Rasul bisa menghadirkan sorga dihadapan para Shahabat, sehingga ketika Beliau bicara tentang SORGA maka para Sahabat dengan serta merta merasakan experience seolah-olah sorga itu ada dihadapannya sehingga mereka termotivasi dengan luar biasa untuk beramal/berdakwah. Atau ketika beliau berbicara tentang NERAKA maka dengan serta merta para Sahabat menangis tersedu-sedu karena takut akan azab Allah. Padahal kita semua tahu bahwa mereka adalah para Sahabat Rasul, umat pilihan, manusia terbaik yang pernah diturunkan yang sudah jelas-jelas Allah ridhoi (QS. AlBayyinah, 8), bahkan ada yang sudah mendapat tiket gratis masuk sorga. Namun mereka begitu terpesona ketika Rasul dengan cerdasnya mengemas dakwah yang penuh dengan experience kepada mereka. (Dari sini bisa kita simpulkan bahwa konsep EM dan CES sebenarnya dicetuskan pertama kali oleh Rasul kita 14 abad yang lampau). Lalu bagaimana dengan dakwah kita.??? Sudahkah kita menghadirkan dakwah yang experience sebagaimana yang Rasul contohkan. Sebuah dakwah yang bisa menimbulkan Sense di mata, telinga, dan hati para objek dakwah (customer). Sehingga pada akhirnya dapat menumbuhkan Feel dalam perasaan dan emosi mereka yang pada tahap selanjutnya akan memunculkan Think di benak objek dakwah (customer). Sehinga pada akhirya objek dakwah (customer) akan Act yaitu dengan menyambut dan aktif dalam dakwah yang kita serukan. Tahap selanjutnya akan membuat objek dakwah (customer) melakukan Relate dengan menghubungkan dakwah ini dengan dirinya, orang lain atau budaya sehingga pada akhirnya akan melahirkan objek dakwah (customer) yang loyal dengan dakwah ini. Karena dakwah ini bukan sekedar mengajak orang datang ikut aksi tetapi selanjutnya taubat dan tidak mau ikut aksi lagi karena tidak ada experience dari dakwah yang kita buat. Semua ini pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih mempunyai keingingan (political will) yang kuat untuk memasarkan dakwah ini dengan lebih cerdas, professional dan modern???. Jawabannya tentu HARUS. Yah.kita harus bisa mengemas dakwah ini agar bisa menghadirkan experience di mata objek dakwah/rakyat (customer) kita. Oleh karena itu, marilah kita hadirkan dakwah ini dengan lebih spesial, karena dakwah adalah bisnis kita yang sesungguhnya dengan Allah. Bisnis yang sudah PASTI UNTUNG dunia wal akhirat. Wallahu Alam Bisshowaab.. Maraji : Al Quran Al Kariem Siroh Rasul dan Sahabat Majalah MARKETING. 2006. Matinya Fitur dan Benefit. Majalah MARKETING edisi khusus customer experience strategy .Marketing 03/VI/Maret 2006 Handi Irawan D. 2006. Customer Experience Strategy . Majalah MARKETING edisi 01/V/Januari 2006 Penulis adalah Humas KAMMI Daerah Purwokerto (superikhwan)

Anda mungkin juga menyukai