Anda di halaman 1dari 13

Kolaborasi Genuine Peradaban Islam dan Agama Cina

Oleh Samsul Hidayat Judul buku: Kearifan Sufi dari Cina Penulis: Sachiko Murata Penerbit: Kreasi Wacana, Yogyakarta Cetakan Pertama: Juli, 2003 Tebal: 381 halaman Harga: Rp. 25.000,Synopsis: Chinese Gleams of Sufi Light, a work that has been translated into Indonesian: Kearifan Sufi dari Cina (2003), is Sachiko Muratas profound exploration to uncover the creative views and philosophical thoughts of a Chinese Moslem scholar during the transition, between the Ming Dynasty and the Qing Dynasty (1644-1912). Through insightful consideration, Murata proves Wang Tai-y and Liu Chih, two prominent Chinese Moslem scholars, to be reputable people who successfully composed a brilliant understanding of sufism by synthesizing and integrating Neo-Confucianism and Islam. In stating their views, it seemed that Chinese Moslem leaders had to work hard especially in translating Arabic concepts into Chinese characters. Difficulties in finding the equivalent theological terms of Islam such as Allah, Muhammad, Al-Quran, tauhid, etc, forced them to master and use mazhab idoms; that is, Confucianism, Buddhism and Taoism which had been extensively used by Chinese people. In contrast, Sachiko Murata didnt seem to have any difficulties in stating the fundamentals of NeoConfucianism and its correlation with the mystical world of Islam. In a learning tradition which has never been static or monolithic, Murata put the status of NeoConfucianism on the same level as various and dynamic traditions of Islam. As stated by Tu Weiming in his introduction, Chinese Moslem theologians were very familiar with Neo-Confucian ways of thinking. They deliberately accommodated and adjusted their theologies with Neo-Confucianist viewpoints, and as a result of their dedication towards social values and Neo-Confucianist ethical conventions, contributed their Neo-Confucianism viewpoints to the people so that they could accept their theological views. Other masterworks that were born from the wisdom of Chinese Sufis are the prestigious works of Wang Tai-y such as, Hsi-chen Cheng-ta or Real Commentary In The True Teaching, Ching-chen Tahseh or Great Learning of the Pure and Real, and Cheng-chiao Chen-chuan or The Actual Interpretation Of Ancient Teaching. Liu Chih published Tien-fang Hsing-li or The Arabic Philosophy and Tien-fang Hsing-li (tse yao-chieh) or The Conventions and Arabic Etiquettes (the most important and selected). Unlike Wang Tai-y who was known as a Confucianist Moslem because of his efforts in

describing Islam by adopting the phrases of literature and the ancient Chinese books corresponding to Confucianist ideas, Liu Chih was known as a Confucianist Moslem because of his keenness toward Neo-Confucianism by elaborating the exquisite teaching in which differences of the mazhab were blended. Additionally, Sachiko Murata stressed the importance of an extensive and dynamic interpretation in order to illustrate the vibrant sources in Islamic traditions. She also emphasized modern views that tend to dislike religion. In contrast, former Chinese Moslem leaders were very familiar with other teaching concepts so they were in a conducive atmosphere for producing masterworks at that time. Some similar concepts in well known traditions are: concept of monism (Tauhid), nature, sagehood, living purpose and, social political teaching. Muratas great work was admired by Tu Weiming, a scholar of NeoConfucianism, who appreciated her initiative in bringing light to the darkness of Islamic Chinese theology and uncovering a secret in the studies of religious comparison. Tu Weiming said that her effort had important implications to other research; those being Chinese religion, East Asian viewpoints, and studies of religious comparison. It also helps us to put the Confucianism-Christianity dialogue in a wider context, classify Chinese religions in a more ecumenist way rather than the trinity, and identify the contours of Islamic studies in traditional China. Keywords: Wang Tai-y; Liu Chih; Neo-Confusian; mystical Islam. ADA SEBUAH KERINDUAN yang mendalam bagi para intelektual Muslim Cina pada akhir abad 17 dan awal abad 18 atau pada masa transisi antara akhir kekuasaan Ming dan awal Qing (1644-1912). Kerinduan intelektual Muslim Cina untuk membuka diskursus baru tentang pola interaksi yang baik antara komunitas internal dan eksternal Muslim di tengah-tengah mapannya nilai-nilai Konfusian, yaitu dengan menulis karyakarya teologis yang sangat matang. Dari sini muncullah sosok pemikir-pemikir Muslim yang menulis karya-karya dalam bahasa Cina klasik, sebuah bahasa yang tampak aneh dalam dunia literatur dan komunikasi Islam yang biasanya lebih dekat dengan Arab atau Persia. Karena kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Islam Cina dan masih langkanya penelitian tentang mereka, Sachiko Murata sebagai ahli filsafat dan mistik Timur merasa tertantang untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang Islam Cina di bawah bimbingan Tu Weiming sebagai salah satu tokoh Neo-Konfusian abad ini. Di antara sarjana-sarjana Muslim yang menjadi fokus penelitian Murata adalah Wang Taiy dan Liu Chih. Keduanya merupakan pemikir Muslim Cina yang berhasil menyusun suatu penafsiran yang cerdas dengan melakukan sintesis dan mengintegrasikan ajaran Neo-Konfusian dan Islam.

Untuk menelusuri seperti apa pikiran-pikiran kreatif ulama ini, Murata dengan sangat cantik mengupas satu per satu hasil perenungan filosofis mereka melalui penggalian arkeologis yang seksama dan pencermatan yang baik. Didukung dengan pengarsipan, analisis tekstual, penelitian bibliografis, studi filologis dan penerjemahan sehingga dari penelusuran yang terpadu ini terbit sebuah buku langka dan indah setelah The Tao of Islam (1992) yaitu, Chinese Gleams of Sufi Light (2003) yang diterjemahkan oleh Susilo Adi menjadi Kearifan Sufi dari Cina. Tulisan ini dimulai dengan pembahasan tentang pandangan dunia Islam Cina yang lahir dari elaborasi kreatif teologi Islam dalam sebuah idiom Cina. Selanjutnya, dipaparkan karya dua tokoh sentral Cina yang dipilih Murata, yaitu Wang Tai-y dan Liu Chih termasuk pemikiran-pemikiran mereka tentang Islam. Setelah membahas dua figur sentral tadi, fokus tulisan diarahkan kepada konsep dan ide dasar tradisi Konfusian yang kemudian dituangkan ke dalam prinsip-prinsip tradisi masing-masing aliran yang banyak memiliki kesamaan. Titik Pertemuan Dua Mutiara Perjalanan panjang sarjana Muslim Cina dalam merangkai sebuah sintesis teologi baru Islam ternyata tidak dicapai dengan mudah. Dalam mengekspresikan gagasan mereka, para ulama terpaksa menggunakan idiom non-Islam sebagai media komunikasi, khususnya dunia religius Konfusian. Seperti untuk mengungkapkan konsep Tuhan, kaum Muslim pada periode Tang (618-907) memakai kata langit. Pada masa dinasti Sung (960-1279) menggunakan kata langit dan Budha. Pada akhir dinasti Ming (1368-1644), ketika mereka telah menulis buku-buku dalam bahasa Cina, Tuhan dijuluki sebagai Tuhan Sejati (Chen-chu), Esa Sejati (Chen-i), Penguasa Sejati (Chen-tsai), dan Tuhan (Chu). Dalam pengantar yang ditulis Tu Weiming disebutkan bahwa para teolog Muslim Cina akhirnya sangat akrab dengan cara berpikir Neo-Konfusian. Mereka dengan sadar mengakomodasi dan menyesuaikan teologinya dengan kerangka berpikir Neo-Konfusian. Seperti bagaimana mereka memandang sesuatu, menyaring pengetahuan, memurnikan niat, mensucikan hati dan pikiran, mengolah tubuh, mengharmoniskan hubungan keluarga, mengatur negara dan menebarkan kedamaian di seluruh dunia (hlm. x). Bahkan keasyikan mereka dengan sistem nilai dan aturan-aturan

etis Neo-Konfusian berlanjut dengan memberikan sumbangan kerangka berpikir NeoKonfusian dengan tujuan agar masyarakat luas menerima ide-ide teologis ulama tersebut. Kreativitas para sarjana mengartikulasikan teologi Islam dalam sebuah idiom Cina melahirkan pandangan dunia Islam Cina diibaratkan dengan bertemunya dua mutiara sebagai mata rantai yang saling berhubungan. Di sini pada sarjana tidak mengorbankan nilai-nilai dasar Islam, mereka telah menawarkan perjelasan yang bernuansa dan subtil tentang bagaimana kebenaran Islam dapat direalisasikan secara konkrit di Cina yang Konfusian. Wang Tai-y: Elaborator Kreatif Seorang Muslim Konfusian Salah satu alasan mengapa Murata sangat antusias meneliti Islam di Cina adalah masih langkanya sumber-sumber tulisan kaum Muslim Cina tentang diri mereka sendiri sebelum abad ke- 20. Meskipun komunitas Muslim di Cina telah eksis selama ratusan tahun, penggalian yang mendalam tentang khazanah pemikiran Muslim Cina terbukti masih sangat langka. Wang Tai-y, (1573-1629) sebagai seorang sarjana Muslim yang melakukan kajian Islam pertama yang memakai bahasa Cina, telah memikat hati Murata untuk mengetahui bagaimana ide-ide Islam ditransfer ke milieu intelektual Cina dengan melakukan studi mendalam terhadap karya-karya besarnya. Menurut Donald Leslie dalam bukunya Islam in Traditional China, Wang Tai-y merupakan salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam Cina. Walaupun sangat sedikit data yang menceritakan kehidupan Wang, Murata menguraikan dengan sumber-sumber akurat seperti pengantar-pengantar yang ditulis murid-muridnya terhadap karyakaryanya, menunjukkan bahwa Wang merupakan keturunan Cina Muslim yang menguasai empat ajaran agama utama pada saat itu; Konfusianisme ( Ru Jiao), Taoisme, Budhisme dan Islam. Setidaknya ada tiga karya besar Wang, sekaligus mengangkat dirinya sebagai tokoh besar Muslim Cina, yaitu: Hsi-chen Cheng-ta atau Ihwal Sebenarnya tentang yang Sejati berikut Lampiran (Fu-lu) dan Tambahan (Sheng-yu). Selain itu, Ilmu Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati (Ching-chen Tahsueh) dan Interpretasi Sebenarnya atas Ajaran Kuno atau Cheng-chiao Chen-chuan.

Dalam karyanya Hsi-chen Sheng-ta, Wang mencoba menguraikan Islam dengan mencoba mengadopsi secara mendalam ungkapan-ungkapan dari karya sastra dan kitab suci Cina Kuno sehingga tampak sejalan dengan ide-ide Konfusian. Di sinilah kemudian mengapa Wang disalahkan oleh sarjana-sarjana lainnya walaupun menurut Murata, sesungguhnya Wang tetap kritis terhadap tiga tradisi Cina. Hal ini tampak dari pandangannya yang bertentangan dengan adat kebiasaan Cina sendiri seperti bermain judi, minum anggur dan makan babi. Berikut adalah kutipan dialog Wang dengan beragam orang yang diambil dari Jawaban-jawaban Sebenarnya tentang yang Sejati: Seorang pendeta Tao bertanya, Manakah yang lebih mulia langit atau bumi? Wang menjawab, Jika Anda mengetahui mana lebih dahulu antara laki-laki dan perempuan, Anda akan dengan sendirinya mengetahui mana yang lebih mulia dan lebih rendah antara langit dan bumi (hlm. 268). Dalam kesempatan lain seorang tamu bertanya, Di mana tempat tinggal Tuhan Sejati? Wang menjawab, Bertempat tinggal adalah sifat makhluk dan perubahan. Tanya, Jika sesuatu tidak ada di sini, pasti tempat tinggalnya di luar langit (dan bumi). Bagaimana mungkin itu bukan tempat? Wang menjawab,Ketika yang berada dalam harmoni dan bergerak dan sepuluh ribu hal berkembang, apakah Anda akan mengatakan bahwa musim semi berada di dalam benda-benda itu, atau di luarnya? Di dalam dan di luar hanya bisa kita perdebatkan berdua. Bagaimana Anda menerangkan Tuhan Sejati? Katakan pada saya sebelum ada langit dan bumi, berapa banyak benda yang ada di sini dan berapa banyak yang di luar langit? (hlm. 274). Dalam karyanya yang lain, Ilmu Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati, Wang memaparkan hakikat Allah, alam semesta dan manusia sebagai realitas tunggal dan hubungan antara ketiganya. Yang menarik dari karya ini, menurut Murata, adalah ketika Wang menguraikan persoalan-persoalan pokok dalam sumber-sumber Islam ternyata Wang mengambil istilah-istilah yang digunakan tidak hanya orang-orang Konfusian tetapi juga para pengikuti Tao dan Budhisme dengan menggunakan bahasa dan perumpamaan yang diambil dari tradisi Cina tersebut. Tema tentang ajaran pertama Islam-Tauhid dalam Ilmu Adiluhung dalam pemaparannya mengingatkan kita dengan pemikiran Ibn al-Arabi, walaupun pemikiran Neo-Konfusian lebih dominan. Hal ini disebabkan Ilmu Adiluhung awalnya merupakan karya Konfusius, Book of Rites yang dikonversi Wang menjadi karya bernuansa Islam. Pemilihan judul Ilmu Adiluhung oleh

Wang harus dipahami sebagai penegasannya atas kebenaran fundamental ajaran-ajaran Konfusian walaupun akhirnya Wang melakukan elaborasi dengan ajaran Islam yang lebih bernuansa teologis ketimbang sosial versi Konfusian. Sementara karya Wang yang berjudul Cheng-chiao Chen-chuan tidak dibahas Murata seperti dua karya besar sebelumnya yang dilampirkan secara utuh dan dianalisa secara mendalam pada bab 2, 3 dan 4 dalam buku terbitan Kreasi Wacana Yogyakarta ini. Liu Chih: Simbol Renaisans Islam Cina Tokoh kedua yang diangkat Murata dalam bukunya ini adalah Liu Chih (16621730). Liu merupakan teolog paling terkemuka di dunia Islam Cina pada awal abad ke 18. Tu Weiming melukiskannya sebagai tanda renaisans Islam Cina, meneruskan kepeloporan Wang Tai-y. Dibesarkan di lingkungan keluarga yang berbasis agama, Liu memulai tulisannya pada usia 30 tahun dan menyelesaikan karya penting pertamanya pada tahun 1704 dengan judul, Tien-fang Hsing-li yang biasa diterjemahkan dengan Filsafat Arab. Yang menarik, banyak sarjana yang menyebut Liu sebagai Konfusian Muslim karena ketertarikan dan simpatinya yang sangat tinggi terhadap Konfusianisme. Berbeda dengan Wang, Liu Chih sangat bersahabat dengan pandangan Konfusian, bahkan dia tidak melihat pertentangan yang mendasar dengan Islam. Satu bukti dari kemampuan Lui mengelaborasi ajaran Islam dan Konfusian adalah konsep keterpaduan antara Tuhan dan manusia. Pandangannya tentang Tuhan yang Maha Tinggi di dasarkan pada wacana sufistik melahirkan fusi baru antara horizon Islam dan Konfusian. Liu mengapresiasi dua keyakinan ajaran ini dalam sebuah penggabungan konsep keseimbangan dan holistisitas relasi antara Tuhan dan manusia. Di sinilah karya-karya Liu terasa semakin indah dalam kepiawaian Murata membiarkan sentuhan sufistik menembus kebekuan teologi Islam Cina sehingga membuka wacana yang tertutup dalam studi perbandingan agama. Contoh lain yang menarik dari karya Liu adalah ketika Ia berbicara tentang awal mula penciptaan dan perubahan. Baginya Ilmu dan kekuasaan-Nya merupakan sumber kemahaan-Nya dan mewujud sebagai fungsi batiniah ke dalam dan ke luar. Ketika fungsi batiniah mulai bekerja, yin dan yang terpisah dan mewujud menjadi air dan api.

Api menyala bersama dengan udara, kemudian terbentuklah langit dan bintang-bintang. Air meresap masuk ke dalam tanah, kemudian terbentuklah daratan dan lautan. Empat unsur lainnya membentuk sepuluh ribu hal (hlm. 29). Dalam menerangkan ajaran Islam, Liu Chih merujuk kepada karya-karya sufi dan Neo-Konfusian dengan mengharmonisasikan ajaran-ajaran metafisik, kosmologi dan spiritualitas seperti yang terdapat dalam beberapa karyanya seperti dalam Filsafat Arab dan Aturan-aturan dan Tata Kesopanan Arab. Dalam dua karya tersebut Liu banyak menyebut beberapa penulis dan hasil karya Persia dan Arab seperti Mirshd al-Ibd karya Najm al-Dn Rz, Asyiatal-lamat karya Abd al-Rahmn Jam, Maqshad-i aqsh karya Azz al-Dn Nasaf dan Lawih karya Jm. Buku yang terakhir diterjemahkan sendiri oleh Liu Chih dan dilampirkan pada bab V dibuku ini. Dalam Filsafat Arab, jelas sekali nampak sentuhan mistik dalam setiap bab uraian Liu. Studi tentang alam dan petunjuk ini sangat dekat dengan pendekatan NeoKonfusian walaupun dua belas diagram yang disertakan pada masing-masing dari lima buku dalam Filsafat Arab mengingatkan kita dengan gambar-gambar berdiagram karyakarya pemikiran Ibn al-Arabi dalam bahasa Arab dan Persia dari sekitar tahun 8 Hijriah (14 M) ke belakang. Lebih spesifik dapat kita lihat dari ringkasan buku pertama Liu yang terdiri dari: Bab pertama; tentang awal mula penciptaan dan perubahan. Bab dua; usaha-usaha yang terpisah dari sepuluh ribu hal. Bab tiga; bagaimana sifat dan tubuh manusia mewujud. Bab empat; tentang kebaikan-kebaikan terpelihara di dalam tubuh, hati, sifat dan tugas manusia. Dan Bab lima; bagaimana segala sesuatu yang dijelaskan dalam empat bab terdahulu kembali kepada yang maha esa. Mengenal Lebih Dekat Neo-Konfusian Murata agaknya tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam menjelaskan dasar-dasar ajaran Neo-Konfusian dan korelasinya dengan mistik Islam. Sebagai sebuah tradisi belajar yang hampir tidak pernah statis dan monolitik, Murata menempatkan posisi Neo-Konfusian setara dengan tradisi Islam yang sangat beragam dan dinamis. Konfusianisme atau Ru Jiao sebagai sebuah mazhab pemikiran sekaligus kepercayaan dan keagamaan masyarakat Cina menemukan kebangkitannya pada abad 10 M. Sebutan Neo merujuk pada wajah baru aliran ini yang banyak mengambil istilah dan konsep Tao dan Budha. Tidak heran jika orang-orang Neo-Konfusian sendiri

dan di antara pengikut Tao dan Budha sering terjadi dialog, kritik bahkan perselisihan sehubungan dengan terdistorsinya ajaran Konfusius dan Mencius oleh ide-ide dari dua tradisi lainnya. Beberapa ajaran Neo-Konfusian yang didiskusikan misalnya tentang tiga konsep pokok; prinsip (li), sifat (hsing), dan takdir atau amanah (ming). Bahkan menurut Wingtsit Chan, pada masa Chu Hsi, tokoh terbesar Neo-Konfusian, materi diskusi terus dikembangkan seperti konsep tentang Puncak Agung (tai-chi), energi vital (atau kekuatan materiil, chi), penelitian atas segala sesuatu (ko-wu), dan kemanusiaan. Chu Hsi menggambarkan Puncak Agung sebagai Prinsip yang berdiri sendiri, meliputi segala sesuatu dan mengatur segala sesuatu. Sebagai kebenaran dan hukum universal, Prinsip merupakan sebuah proses penciptaan yang selalu dihubungkan dengan energi vital, chi sebagai kekuatan yang mewujud dan menentukan gerakan (tung) sekaligus kesunyian (ching) segala sesuatu yang tampak oleh manusia (hlm. 52). Konsekuensinya seluruh alam semesta sangat dinamis dan selalu berubah karena prinsip yang menghadapinya. Sehingga substansi atau prinsip ( ti) yang berjumlah satu memancar dalam milyaran fungsi menjadi wujud-wujud yang muncul di seluruh jagat semesta alam. Sementara dalam konteks diri manusia, prinsip memiliki kata kunci sebagai hsin atau hati. Dalam tradisi sufi, penyucian hati merupakan ajaran mutlak dan syarat bagi pencapaian kedekatan khusus dengan Allah. Kesempurnaan manusia hanya ditemukan dalam diri atau hati yang bermanfaat (shalih). Di sinilah pentingnya pengembangan tubuh sebagai proses penyempurnaan sifat manusia menuju kesatuan dengan Tuhan sebagai prinsip dari segala sesuatu. Dengan bahasa simpatik Murata melukiskan cara pandang Neo-Konfusian yang mendasar atas segala sesuatu sebagai sebuah prinsip, yakni Tao atau Puncak Agung, menciptakan keaneka-ragaman yang tak terhingga yang disebut Langit, Bumi dan sepuluh ribu hal. Segala sesuatu mengada oleh karena peran energi-energi vital, yin dan yang, sebagai wujud dari prinsip tersebut. Fungsi setiap benda berada, tetapi pada dasarnya, substansi dari segala sesuatu adalah Puncak Agung. Benda-benda secara alamiah mengikuti amanah langit, namun sebagian sifat benda menunjukkan karakteristik langit yang lebih utuh dibandingkan dengan sebagian yang lain. Sementara itu, sifat manusia menjadi kotor dan perlu disucikan dan dibersihkan. Penyucian ini

dilakukan dengan ilmu yang bertujuan memulihkan hati yang benar, dimana segala kebaikan sepenuhnya hadir (hlm. 57). Prinsip-prinsip Tradisi yang sama Di cover bagian belakang buku Murata ini dikutip perkataan seorang Profesor dari National University Singapura, Lee Cheuk Yin, Jika ini yang disebut Islam, maka Islam adalah sebuah agama yang luar biasa. Agaknya ungkapan ini tidak berlebihan karena beberapa sarjana yang juga sudah membaca teks-teks karya sarjana Muslim ini ternyata melontarkan pendapat yang sama. Pujian yang diberikan kepada karya Wang Tai-y ini didasarkan pada kemampuannya menulis teks-teks Islam berbahasa Cina yang tidak berpihak pada ajaran khusus manapun. Hal ini sekaligus menghapus stereotipe-stereotipe Islam modern oleh intelektual Barat dan sepenuhnya mengubah prakonsepsi-prakonsepsi mereka tentang peran Islam di Cina. Murata menyindir umat Islam saat ini karena ketidaktahuan mereka lalu mempersempit interpretasi Islam dalam kerangka ideologis yang kaku dan kelemahan umat Islam dalam menghadapi impersonal modernitas. Lebih lanjut, Murata menyarankan pentingnya interpretasi yang luas dan dinamis guna memperlihatkan kekayaan sumber-sumber dalam tradisi Islam. Murata juga menyoroti pemikiranpemikiran modern yang cenderung membenci agama, sebaliknya para ulama Muslim Cina terdahulu sangat akrab dengan prinsip-prinsip ajaran lain sehingga terciptalah suasana yang kondusif termasuk dalam penulisan karya-karya besar pada saat itu. Berikut ini adalah beberapa contoh prinsip yang sama dalam tradisi-tradisi agama yang sudah dikenal oleh para ulama Cina. 1. Prinsip Tauhid Di dalam pemikiran Islam tauhid diartikan sebagai keesaan atau mengesakan yang kadang diterjemahkan ke dalam bahasa Cina sebagai hsi-i, mengikut yang esa. Murata menyebut tauhid sebagai prinsip iman yang menjadi mata air dari seluruh pemikiran teologis. Prinsip tauhid kemudian mengkristal ke dalam ide-ide tentang Realitas Tunggal dan Puncak, baik transendensi dan imanensi, maupun penegasan ketakterbandingan Allah (tanzih) dan keserupaan-Nya (tasybih), kemudian melahirkan ide yin dan yang dalam pemikiran teologi Islam.

Walaupun dalam beberapa hal terdapat perbedaan ketika membahas keesaan dasar dari seluruh realitas seperti istilah-istilah personal Tuhan sebagaimana dalam bahasa Islam, namun ungkapan-ungkapan khas untuk Tuhan yang biasa digunakan ulama Cina seperti Tuhan Sejati berasal dari tradisi ketuhanan Konfusian. Bahkan istilah-istilah abstrak yang digunakan dalam pembahasan nilai-nilai metafisis dan filosofis Konfusian memiliki banyak kesamaan dalam teks-teks Islam. Hal ini terlihat dalam karya Wang Tai-y, Ilmu Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati, yang banyak mengadopsi bahasa dan tamsil tradisi Cina ke dalam konsep kesatuan Tuhan, manusia dan alam semesta. Di dalam teks Islam, Allah sendiri sering disebut dengan istilah esensi dan sifat (dzat wa shifat), dan sebagai padanannya para ulama Cina memakai ungkapan-berpasangan Neo-Konfusian baku seperti alam asal (pen-jan) dan gerakan dan kesunyian (tung-ching), atau dzat (ti) dan fungsi (yung). Sehingga Wang Tai-y memandang metafisika Neo-Konfusian cukup memadai sebagai dasar untuk menjelaskan pengertian tauhid yang mengandung konsekuensi pengembangan diri dan transformasi individual (hlm. 23). 2. Prinsip Alam Semesta (nature) Siapapun tidak akan bisa menyangkal pandangan tentang alam pemikiran Cina yang mengajarkan keharmonian dan keseimbangan antara langit dan bumi. Dunia diakui sebagai lokus dimana sifat Tao dan Budha menampilkan realitasnya sehingga peran suci dan kewahyuan dunia menjadi sangat penting dan berharga. Namun banyak yang melupakan bahwa ide-ide tentang keseimbangan langit dan bumi begitu jelas baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam pesan-pesan al-Quran. Dengan demikian, para ulama Cina begitu mudah mencari ide keseimbangan kosmik dalam membahas prinsip alam semesta ini (hlm. xxxix). 3. Prinsip Manusia Bijak (sagehood) Ajaran tentang orang arif, nabi, kuncu, atau Boddhisattva merupakan khazanah penting dalam titik temu empat tradisi ini. Kearifan dari sesorang tokoh merupakan keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan yang harmonis dengan langit dan bumi. Prinsip yang sama ini semakin memudahkan bagi Muslim Cina masuk ke dalam pola pikir dan budaya masyarakat Cina (hlm. xl).

10

Sebagaimana Muhammad dinamakan sheng atau orang yang arif, orang yang arif adalah istilah yang diperuntukkan bagi Konfusius dan guru-guru agung sebelumnya. 4. Prinsip Tujuan Hidup Dari kerinduan akan lahirnya manusia-manusia arif di muka bumi, empat tradisi ini sepakat dalam memegang kata kunci tujuan fundamental hidup yaitu belajar bagaimana menjadi manusia. Dengan demikian menjadi manusia berarti bagaimana menjalani kehidupan sesuai dengan teladan yang dicontohkan orang-orang bijak tersebut. 5. Prinsip Ajaran Sosial Politik Ajaran-ajaran tentang hubungan-hubungan sosial dalam Konfusian seperti pentingnya memiliki kepribadian dan mengikuti Tao demi memperoleh ketertiban, perdamaian dan harmoni sepenuhnya tidak disangkal olah Islam termasuk Budha dan Tao. Begitupun ke empat tradisi ini sepakat menganggap negara dan industri sebagai penyebab terkikisnya kesadaran dan upaya manusia menuju Tuhan. Salah satu sabda Konfusius yang selaras dengan pemikiran tiga tradisi lainnya adalah: Orang-orang kuno yang ingin menegakkan kebenaran yang mereka yakini di dunia ini mula-mula akan mengatur negaranya. Mereka yang ingin mengatur negaranya mula-mula akan mengatur keluarganya. Mereka yang ingin mengatur keluarganya akan mengasah kehidupan spiritualnya. Mereka yang ingin mengasah kehidupan spiritualnya akan menyucikan hatinya. Mereka yang ingin menyucikan hatinya akan meluruskan niatnya. Mereka yang ingin meluruskan niatnya akan menambah ilmunya...Dari Anak Surga sampai orang awam, semuanya harus menggali kehidupan pribadi sebagai akarnya. Tidak pernah terjadi ketika akar tidak teratur, cabang dan rantingnya tumbuh teratur (hlm. xiii). Penutup Sulit bagi kita untuk membantah bahwa karya Murata ini telah membuka peluang dan semangat baru bagi studi-studi perbandingan peradaban dunia khususnya agama Cina dan pemikiran Asia Timur. Upaya Sachiko tersebut juga membantu kita untuk lebih terbuka dalam mengategorikan agama-agama Cina secara lebih ekumenis dibandingkan sekedar tiga ajaran, walaupun Sachiko terkesan tidak berani untuk

11

berterus-terang dalam mendudukkan posisi tiga agama selain Islam hanya sebagai sebuah tradisi semata. Namun kearifannya dalam menguraikan ide dasar empat ajaran dan tradisi agama Cina patut diberikan penghargaan. Di samping prestasinya dalam mengupas kontur-kontur studi Islam di Cina tradisional dengan sangat baik, Murata, sekali lagi memperlihatkan kepiawaiannya sebagai intelektual yang jujur dan adil, termasuk dalam meneliti karya besar sarjana Muslim Cina ini. Bagi seorang peminat mistik agama dan kearifan tradisi Cina, membaca buku ini seakan memuaskan dalam upaya yang bersahaja menemukan butir-butir mutiara dari tiap khazanah agama untuk kemudian menjadikannya sebagai bagan yang lebih kokoh dalam pandangan dunia kita terhadap agama-agama Cina. Selamat membaca.

Daftar Pustaka Fletzher, Joseph F. 1995. Studies on Chinese and Islamic Inner Asia . Aldershot: Valiorum. Izutsu, Toshihiko. 1983. Sufism and Taoism. Tokyo: Iwanami Shoten. Leslie, Donald. 1986. Islam in Traditional China. Canberra: Canberra Colege of Advanced Education. ____________. 1981. Islamic Literature in Chinese. Canberra: Canberra Colege of Advanced Education. Murata, Sachiko. 1992. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought. Albany: SUNY Press. Murata, Sachiko and William C. Chittick. 1994. The Vision of Islam. New York: Paragon.

12

13

Anda mungkin juga menyukai