Anda di halaman 1dari 30

EPILEPSI

BAB I PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron. Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi.Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup.Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi Penulisan tugas presentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme terjadinya epilepsy sehingga diagnosis dapat ditegakan lebih dini serta mendapat penanganan yang adekuat dan tepat agar dapat mengontrol gejala dengan baik.

Anisa (06310014)

Halaman 1

EPILEPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang (Heilbroner, 2007)

B. Etiologi dan Presdiposisi Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut : a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera. b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan. c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak. e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

Anisa (06310014)

Halaman 2

EPILEPSI

f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang. h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak Berdasarkan penyebabnya epilepsy dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsy primer dan epilepsy sekunder. Epilepsy primer adalah epilepsy yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti. Epilepsy primer juga disebut dengan idiopatik epilepsy. 1. Epilepsi Primer (Idiopatik) Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada: a. b. c. d. e. f. 2. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) Tumor Otak Kelainan pembuluh darah Epilepsi Sekunder (Simtomatik) Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
Anisa (06310014) Halaman 3

EPILEPSI

kelahiran),

gangguan

metabolisme

dan

nutrisi

(misalnya

hipoglikemi,

fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma (Price, 2006) C. Patofisiologi Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Anisa (06310014) Halaman 4

EPILEPSI

(Silbernagl, 2000)

D. Penegakan Diagnosis a. Anamnesa Riwayat kesehatan adalah dasar dari diagnosis epilepsy. Dokter membutuhkan semua informasi tentang apa yang terjadi sebelum, selama dan setelah kejang. Jika pasien tidak dapat memberikan informasi yang cukup, orang lain yang melihat kejadian kejang dapat turut memberikan informasi. Pertanyaan sebelum terjadinya kejang :
Anisa (06310014) Halaman 5

EPILEPSI

1. Apakah anda mengalami stress yang tidak biasa atau kurang tidur? 2. Kapan terakhir kali kejang? 3. Apakah anda mengkonsumsi obat-obatan termasuk jamu, alkhohol, atau obatobatan terlarang? 4. Apa yang segera anda lakukan saat terjadinya kejang (berbaring, duduk, berdiri)?

Pertanyaan selama kejang : 1. Berapa kali dalam sehari kajang terjadi? 2. Apakah anda tetap sadar atau jatuh pingsan? 3. Bagaimana kejang ini berawal? 4. Apakah ada peringatan sebelum terjadinya kejang? 5. Apakah mata, mulut, wajah , kepala, tangan dan kaki bergerak abnormal? 6. Apakah anda mampu berbicara dan memberikan respon? 7. Apakah anda kehilangan kemmapuan untuk mengontrol kandung kemih dan isi perut? 8. Apakah anda menggigit lidah atau bagian dalam pipi?

Pertanyaan setelah kejang 1. Apakah anda merasa bingung atau lelah? 2. Dapatkah anda berbicara normal? 3. Apakah anda merasa pusing? 4. Apakah otot tubuh terasa sakit?

Anisa (06310014)

Halaman 6

EPILEPSI

Pertanyaan riwayat penyakit dahulu 1. Apakah proses kelahiran anda sulit? 2. Apakah anda pernah mengalami kejang demam ketika anda masih bayi? 3. Apakah anda pernah mengalami trauma kepala, jika iya, apakah anda kehilangan kesadaran setelah peristiwa? Berapa lama anda tidak sadar? 4. Apakah anda pernah menderita meningitis atau ensefalitis? 5. Apakah ada anggota keluarga yang menderita epilepsy, penyakit neurologi, atau penyakit yang berhubungan dengan kehilangan kesadaran?

Jika peristiwa terjadi berulangkali, cobalah untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang berhubungan. Sebagai contoh, seorang wanita dengan epilepsy memiliki episode serangan yang lebih sering saat siklus menstruasi sehingga qita harus lebih waspada pada saat siklus menstruasi datang. Beberapa orang mencoba untuk menghubungkan kejang dengan faktor longkungan seperti stress, pemakaian antibiotic atau terlalu banyak makan gula (Carl,2004). b. Pemeriksaan Fisik Penyakit medis yang meliputi system lain pada tubuh juga dapat menyebabkan kejang sehingga dokter harus melakukan pemeriksaan medis secara menyeluruh. Pada beberapa pemeriksaan dan tes laboraturium dapat digunakan untuk mengetahui apakah hati ,ginjal, dan system tubuh lain bekerja dengan baik (Carl,2004). c. Pemeriksaan Penunjang EEG (ElektroEnchepaloGram) adalah pemeriksaan penting untuk

diagnosis epilepsy karena EEG dapat merekam aktivitas listrik pada otak. EEG aman digunakan dan tanpa rasa sakit.

Anisa (06310014)

Halaman 7

EPILEPSI

EEG memperlihatkan pola normal dan abnormal dari aktivitas listrik otak. Beberapa pola abnormal mungkin terjadi dengan beberapa kondisi yang berbeda tidak hanya pada kejang. Seperti pada trauma kepala, stroke, tumor otak atau kejang. Ahli saraf mungkin akan d. Gold Standart Diagnosis Gold Standart dari epilepsi adalah kejang yang dilihat sendiri oleh dokter yang menangani pasien tersebut.

E. Penatalaksanaan a. Medikamentosa Anti konvulsion untuk mengontrol kejang. Jenis obat yang sering digunakan : Dosis Obat 1 2 Fenobarbital Dilatin (difenilhidantoin) Bentuk Kejang mg/kgbb/hari Semua bentuk kejang 3-8

Semua bentuk kejang kecuali 5-10 bangkitan petit mal, mioklonik atau akinetik.

Mysoline (primidon)

Semua bentuk kejang kecuali petit 12-25 mal

4 5

Zarotin (etosuksinit) Diazepam

Petit mal Semua bentuk kejang

20-60 0,3-0,5

Anisa (06310014)

Halaman 8

EPILEPSI

6 7 8 9

Diamox (asetasolamid) Prednison Dexametasone Adrenokortikotropin

Semua bentuk kejang Spasme infantil Spasme infantil Spasme infantil

10-90 2-3 0,2-0,3 2-4

1.

Phenobarbital (luminal). Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

2.

Primidone (mysolin) Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

3.

Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin) Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH.Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis. Tak berhasiat terhadap petit mal. Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.

4.

Carbamazine (tegretol) Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku. Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.

5. Diazepam. Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.). Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal. 6. Nitrazepam (Inogadon). Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

Anisa (06310014)

Halaman 9

EPILEPSI

7. Ethosuximide (zarontine). Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal 8. Na-valproat (dopakene) Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anorexia. 9. Acetazolamide (diamox). Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

10. ACTH Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantile (PERDOSSI., 2008) b. Non Medikamentosa 1. 2. Tirah baring Diet rendah kalori dan tinggi protein.

Penatalaksanaan Epilepsi Pada Ibu Hamil Pada umumnya perkembangan malformasi fetal sudah dimulai sebelum wanita menyadari kehamilannya secara mantap. Penutupan langit-langit terjadi pada hari ke 47 kehamilan. Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang risiko hamil yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun demikian mereka harus mengetahui bahwa risiko dapat diperkecil dengan tindakan pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan nasehat yang tepat dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harus menggunakan obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik pada ibu yang hamil dan sekaligus ia harus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat anti epilepsi digunakan oleh ibu yang hamil. Terapi yang
Anisa (06310014) Halaman 10

EPILEPSI

dianjurkan ialah penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin paad tahap pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trimester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal Obat-obat tersebut adalah: 1. Trimetadion Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom trimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan bahwa dalam satu keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkan dari ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini; studi lanjutan mengkonfirmasi terhadap risiko tinggi pada sindrom ini,yang mana dapat menyebabkan perkembangan yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainan jantung bawaan. Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan 2. Fenitoin Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan dan mempunyai efek teratogenik. Terdapat kejadian sedikit yang menyebabkan malformasi mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagian besar pasien-pasien diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,sehingga sulit untuk mengevaluasi efek obat secara individual. Angka malformasi total pada 305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 % . Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975) untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus, Yang mana ibu epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal diberi obat golongan hidantoin, Hansons dan kawan-kawan (1976) menemukan 11% mempunyai gambaran

Anisa (06310014)

Halaman 11

EPILEPSI

sebagai sindroma ini (laidlaw, 1988 Yerbi, 1991). Dosis fenitoin antara 150-600 mg/hari. 3. Sodium Valproat Penggunaan obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Pernah dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsi yang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah dengan ciri-ciri: lipatan epikantus inferior, jembatan hidung yang datar, filtrum yang dangkal. Obat ini pada manusia dapat menembus plasenta secara bebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi pada neonatus dari ibu. (Laidlaw, 1988). Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada anternatal diberikan sodium valproat menunjukkan semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah dilaporkan bahwa obat ini dapat menyebabkan kelainan neural tube defect. Pada wanita epilepsi yang hamil bila diberikan obat ini dapat menyebabkan kelainan tersebut kira-kira 1,2%. Dosis sodium valproat antara 600-3000 mg/hari 4. Karbamazepin Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan kepala janin. Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981) didalam penelitiannya terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa penggunaan obat ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat menyebabkan retardasi (Laidlaw, 1988). Juga pernah dilaporkan dari 25 anak dari ibu yang menggunakan obat karbamazepin tunggal ditemukan 20% dengan gangguan perkembangan (Yerby, 1991). Belakangan ini dilaporkan bahwa karbamazepin mengakibatkan meningkatnya kasus spina bifida sebanyak 0,5 1,0%. Dosis karbamazepin 4001800 mg/hari 5. Fenobarbital Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi awal mengatakan bahwa sebagian besar manita epilepsi mendapat kombinasi antara fenotoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila dibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada manusia, Shapiro dan kawan-kawan

Anisa (06310014)

Halaman 12

EPILEPSI

(1976) menemukan fenobarbital tidak menyebabkan meningkatnya angka malformasi . Pemakaian obat ini dapat mengakibatkan sindrom fenobarbital fetus, yang berupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan postnatal, perkembangan lambat. Bagian Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaian fenobarbital sebagai obat pilihan untuk wanita epilepsi yang hamil (Yerby,1991). Selanjutnya Sullivan (1975), pada penelitiannya terhadap tikus yang hamil diberikan obat ini mengakibatkan bibir dan palatum sumbing berkisar antara 0.6 3.9% (Yerbi, 1991). Dosis Fenobarbital antara 30 240 mg/hari (Gilman AG, 1991).

Efek Teratogenik Obat Anti Epilepsi Prosentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah: 1. Trimetadion, lebih 50% 2. Fenitoin, 30% 3. Sodium Valproat, 1,2% 4. Karbamazepin, 0,5-1 % 5. Fenobarbital, 0,6% (Yerby, 1991) Konsentrasi obat anti epilepsi dalam plasma wanita hamil yang akan melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar obat anti epilepsi pada wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan malformasi dari pada wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi tunggal. Sudah barang tentu multipel dan penggunaan dosis tinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak mudah terkontrol. Malformasi fetal yang berhubungan dengan obat-obat anti epilepsi, dengan
Anisa (06310014) Halaman 13

EPILEPSI

adanya kemungkinan neonatus cacad akibat malformasi dan anomaly kongenital. Studi Meadow (1968), yang mencakup kasus kehamilan sejumlah 427 pada 186 wanita epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi, menemukan anak dengan cacad (bibir dan langit-langit sumbing) yang berjumlah cukup banyak. Meadow dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa malformasi kongenital pada anak yang terkena efek obat anti epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan anak yang tidak terkena efek obat anti epilepsy. Malformasi untuk populasi rata-rata berkisar antara 2-3%, sedangkan untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu epilepsi antara 1,25 11%. Menurut peneliti lain berkisar 4-6% (Johnston, 1992). F. Prognosis Ketika pasien telah berhasil bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini mungkin untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur pasien dan tipe epilepsy yang diderita. Hal ini dapat dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman. Hampir seperempat pasien yang bebas kejang selama tiga tahun akan tetap bebas kejang setelah menghentikan pengobatan yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap. Lebih dari setengah pasien anak-anak dengan epilepsy dapat menghentikan pengobatan tanpa perkembangan pada kejang (Tjahjadi, 2005)..

G. Komplikasi Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti: Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada hippocampus, anomia ( ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama benda) Kepribadian keras : agresif dan defensive

Anisa (06310014)

Halaman 14

EPILEPSI

Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi: Aspirasi atau muntah Fraktur vertebra atau dislokasi bahu Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit Status epileptikus Status Epileptikus Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang berulang tanpa kembalinya kesadaran diantara kejang. Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe kejang tetapi yang paling sering adalah kejang tonik klonik. Status epileptikus mungkin menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan mungkin fatal.

Komplikasi meliputi: Aspirasi Kardiakaritmia Dehidrasi Fraktur Serangan jantung Trauma kepala dan oral

Sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP) SUDEP terjadi pada sebagian kecil orang dengan epilepsy . Dengan alasan yang sangat sulit untuk dimengerti, orang sehat dengan epilepsy dapat meninggal
Anisa (06310014) Halaman 15

EPILEPSI

secara mendadak. Ketika hal ini terjadi, orang dengan epilepsy simtomatik memiliki risiko yang lebih tinggi. Dari hasil autopsy tidak ditemukan penyebab fisik dari SUDEP. Hal ini mungkin terjadi karena edem pulmo atau cardiac aritmia. Beberapa orang memiliki risiko yang lebih tinggi dari yang lain seperti dewasa muda dengan kejang umum tonik klonik yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya dengan pengobatan. Pasien yang menggunakan dua atau lebih obat anti kejang mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi untuk SUDEP (Tjahjadi, 2005).

Anisa (06310014)

Halaman 16

EPILEPSI

INFANTIL SPASME Definisi Kata Infantile spasm digunakan untuk menunjukkan tipe seizure, sindroma epilepsy atau keduanya. Infantile spasm(spasme infantil) sinonim dengan Sindroma West. Sindroma West terdiri dari trias yaitu infantile spasms, hypsaritmia pada gambaran interiktal EEG, dan retardasi mental, walaupun diagnosis dapat ditegakkan jika satu dari tiga kriteria tidak terpenuhi. Nama lain salaam atau Jack knife seizure.1,2 Epidemiologi Spasme infantil jarang, dengan insiden kira-kira 0,25-0,42 per 1000 kelahiran hidup dan pada riwayat keluarga epilepsy kira-kira 7-17% (Van den Berg & Yerushalmy 1969, Lacey dan Penry 1976; Westmoreland & Gomez 1987; Cwan & Hudson 1991). Di Amerika Serikat frekuensi Spasme infantil 2% dari jumlah epilepsi pada anak-anak tetapi 25% dari jumlah epilepsi yang onsetnya pada tahun pertama kehidupan. Spasme jarang berkembang sebelum usia 3 bulan, 90% dimulai pada tahun pertama kehidupan, dan puncak insiden pada usia 4 6 bulan.1,3 Insiden pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan sekitar 3:2.7 Patofisiologi Spasme infantil diyakini menggambarkan interaksi abnormal antara struktur korteks dan batang otak. Lesi fokal pada masa kehidupan awal dapat secara sekunder mempengaruhi tempat lain di otak, dan gambaran hipsaritmia menunjukkan aktifitas abnormal yang berasal dari berbagai tempat di otak. Onset spasme infantil yang sering pada bayi menunjukkan bahwa sistem saraf pusat yang immature, penting dalam patogenesisnya. Hubungan otak dan adrenal juga tampaknya terlibat. Suatu teori menyatakan bahwa efek dari berbagi steresor berbeda pada otak yang immature menghasilkan sekresi yang berlebihan dari corticotrophin releasing hormone, menyebabkan spasme. Respon klinis
Halaman 17

Anisa (06310014)

EPILEPSI

terhadap adrenocorticotropic

hormone (ACTH)

dan glucocorticoid dapat

dijelaskan dengan penekanan produksi corticotrophin releasing hormone.1,3 Etiologi Infantil Simptomatik Pasien didiagnosa dengan simptomatik infantile spasm jika suatu faktor yang dapat diidentifikasi bertanggung jawab untuk sindroma ini. Tampaknya kelainan apapun yang dapat menyebabkan kerusakan otak data berkaitan dengan spasme infantile - Daftar penyebab dapat dikelompokkan menjadi gangguan prenatal, gangguan perinatal, dan gangguan postnatal.

spasme

dapat

diklasifikasikan

menurut

penyebab

yaitu

simptomatik, kriptogenik atau idiopatik.1,3

Gangguan

prenatal

mencakup

hidrosefalus,

mikrosefali,

hidransefali, skizensefali, sindroma Sturge Weber, trisomi 21, ensefalopati hipoksik-iskemik, infeksi congenital dan trauma

Gangguan perinatal mencakup ensefalopati hipoksik-iskemik, meningitis, ensefalitis, trauma dan perdarahan intracranial Gangguan postnatal mencakup pyridoxine dependency, non ketotic hyperglycinemia, ensefalopati penyakit maple syrup, fenilketonuria, penyakit mitokondrial, meningitis, ensefalitis,

degeneratif, defisiensi biotinidase dan trauma Memeriksa seorang anak dengan infantile spasm untuk kemungkinan tuberous sclerosis adalah hal yang sangat penting, dan merupakan kelainan yang paling sering, dijumpai pada 10-30% kasus prenatal. Tuberous sclerosis merupakan penyakit yang diturunkan secara otosomal dominan dengan manifestasi yang bervariasi mencakup tumor jantung, tumor ginjal, malformasi kutaneus seperti lesi hipopigmentasi ash-leaf, dan kejang. Pada beberapa pasien, diagnosis familial tuberous sclerosis dijumpai hanya setelah seorang anak mengalami infantile spasm, dan suatu pemeriksaan ekstensif dari anak tersebut dan keluarganya menunjukkan penyakit genetic. 1,3
Anisa (06310014) Halaman 18

EPILEPSI

Kriptogenik Pasien memiliki spasme infantile kriptogenik jika tidak ada penyebab diidentifikasi namun suatu penyebab dicurigai dan epilepsi dianggap sebagai simptomatik Proporsi dari kasus kriptogenik bervariasi dari 8-42%. Rentang yang luas ini dapat berhubungan dengan definisi istilah kriptogenik dan usia saat diagnosis, karena penilaian tingkat perkembangan pada masa bayi cukup sulit Idiopatik Pasien dapat dianggap memiliki idiopatik infantile spasme jika perkembangan psikomotor yang normal muncul sebelum onset symptom, tidak ada penyebab awal atau sebab yang pasti ditemukan, dan tidak ada gangguan neurologi atau neuroradiologi ditemukan. Beberapa peneliti menggunakan kata idiopatik atau kriptogenik dengan maksud yang sama.5 Manifestasi Klinik Manifestasi Iktal Spasme dimulai dengan kontraksi tonik dari otot-otot tubuh dan tungkai yang tiba-tiba, cepat dan perlahan lahan relaksasi selama 0,5 2 detik. o Kontraksi dapat berlangsung 5 10 detik o Intensitas dapat bervariasi dari anggukan kepala yang halus sampai kontraksi yang cepat dari tubuh. o Spasme infantile biasanya terjadi berkelompok, sering beberapa lusin, dipisahkan oleh waktu 5 30 detik. o Spasme sering terjadi tepat sebelum tidur atau ketika akan bangun. Dapat dijumpai selama tidur walaupun hal ini jarang.1,3 Spasme dapat fleksor, ekstensor atau campuran fleksi dan ekstensi. Spasme fleksor terdiri dari kontraksi singkat pada otot-otot fleksor dari leher, tubuh dan tungkai. Dapat menyerupai gerakan memeluk diri sendiri dan sering berkaitan dengan tangisan. Pasien kemudian relaksasi dan kemudian
Anisa (06310014) Halaman 19

EPILEPSI

kontraksi berulang. Serangan ini berlangsung berkelompok sepanjang hari dan berlangsung selama kurang dari 1 menit sampai 10-15 menit, atau lebih lama pada beberapa pasien. Spasme ekstensor terdiri dari kontraksi otot-otot ekstensor dengan ekstensi yang mendadak dari leher dan tubuh dan ekstensi dan abduksi dari tungkai. Spasme gabungan merupakan tipe yang paling sering, terdiri dari fleksi leher dan lengan dengan ekstensi kaki, atau fleksi kaki dengan ekstensi lengan.1,3 Manifestasi Interiktal Suatu kemunduran perkembangan psikomotor menyertai onset spasme pada 7095% pasien. Pemeriksaan Fisik Umum

Pemeriksaan fisik penting untuk membantu mengidentifikasi etiologi spesifik yang dapat menunjukkan gejala sistemik dan neurologis (misalnya tuberous sclerosis)

Seringkali

pasien

dengan

infantile

spasm

menunjukkan

gambaran

pemeiksaan fisik umum yang normal. Tidak ada gambaran fisik patognomonik yang dijumpai pada infantile spasm

Jika terdapat abnormalitas pada pemeriksaan fisik umum (misalnya adenoma sebaceum), etiologi spesifik dapat dijumpai Gunakan lampu Wood untuk memeriksa kulit

Pasien dapat menunjukan keterlambatan pertumbuhan yang menengah hingga berat, yang merupakan temuan yang non spesifik dan lebih merupakan gambaran cedera otak yang mendasarinya, dan tidak menunjukkan sindroma epilepsy spesifik. 1,3 Pemeriksaan Neurologis

Anisa (06310014)

Halaman 20

EPILEPSI

Pemeriksaan neurologis pada pasien dengan spasme infantile menunjukkan abnormalitas pada fungsi status mental, terutama defisit pada fungsi kognitif yang konsisten dengan keterlambatan atau kemunduran perkembangan

Abnormalitas pada tingkat kesadaran, fungsi nervus kranialis dan pemeriksaan reflex/sensorik/motorik merupakan temuan non spesifik dan lebih merupakan gambaran cedera otak yang mendasarinya atau efek pengobatan antikonvulsan daripada gambaran sindromanya

Tidak ada temuan patognomonik pada pemeriksaan neurologis pada pasien dengan infantile spasm. 1,3

Pemeriksaan Laboratorium Sebelum memulai terapi, pertimbangkan pemeriksaan laboratorium berikut:

Darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, glukosa, kalsium, magnesium, fosfor, dan urin analisa dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan metabolic mencakup glukosa, serum laktat dan piruvat, ammonia plasma, asam amino urin dan serum, asam organik, dan biotiinidase.

Kultur darah, urin dan CSF jika dicurigai infeksi. Analisa CSF untuk jumlah sel, glukosa, protein, laktat, piruvat dan asam amino. 1,3

Pemeriksaan Imaging CT-Scan

Anomali

struktur

otak

seperti

hidrosefalus,

hydranencephali,

skizencephali, dan agenesis corpus callosum dapat dikenali secara mudah dengan CT-Scan.2,5

MRI

Sebagai tambahan, kalsifikasi serebral dapat dijumpai pada pasien dengan tuberous sclerosis atau infeksi congenital. 2,5

MRI dapat lebih baik dari CT-Scan dalam mendeteksi area disgenesis kortikal, gangguan migrasi neuron, atau gangguan myelinisasi.2,5 EEG
Anisa (06310014) Halaman 21

EPILEPSI

Indikasi pemeriksaan4 : Mendukung diagnosa klinik epilepsi Membedakan tipe general dari partial Identifikasi sydroma epilepsi Menentukan prognosis pada kasus tertentu Pertimbangan dalam penghentian OAE Membantu dalam menentukan letak focus Gambaran :

Tidak ada irama dasar yang dapat dikenali Gelombang lambat dan gelombang spike dengan amplitudo tinggi dijumpai tersebar, irregular dengan amplitude bervariasi dan asinkron antara 2 hemisfer. Pola ini disebut hipsaritmia.

Selama tidur fase REM, EEG mendekati normal. Rekaman iktal biasanya menunjukkan gelombang lambat, amplitude tinggi, kemudian aktivitas cepat atau melemah pada EEG. Hipsaritma menghilang antara pada suatu cluster dan muncul kembali pada akhir cluster. 3

Terapi Beberapa masalah dalam metodelogi yang digunakan menyebabkan kesukaran dalam penilaian studi klinikal terapetik.1 1. Riwayat penyakit spasme infantile harus dipertimbangkan. Mungkin sulit untuk menentukan efikasi dari efek obat, karena setelah 12 bulan onset seizure, rata-rata 25% mengalami remisi spontan. 2. Ada berbagai faktor penyebab. Hampir semua peneliti sepakat bahwa, hal yang paling penting dalam menentukan efikasi pengobatan dan outcome jangka panjang adalah penyebab spasme infantile itu sendiri. 3. Beberapa studi prospective single dan ouble blind telah dilakukan; paling banyak studi retrospektiv. 4. Dosis dari medikasi dan lama pengobatan bervariasi
Anisa (06310014) Halaman 22

EPILEPSI

5. Penentuan efek akut dari terapi memerlukan monitoring terhadap frekuensi kejang melalui metode yang objektiv (serial 24 jam EEG/video monitoring). Dua penelitian besar dilakukan oleh Child Neurology Societies Terapi Spasme Infantile dengan ACTH dan Kortikosteroid Strategi lama Sejak tahun 1958 telah dilaporkan bahwa ACTH dan kortikosteroid adalah obat yang paling efektif untuk spasme infantile. Menurut penelitian, sekitar 50-80% kasus telah menunjukkan pengurangan kejang dan hilangnya gambaran hypsaritmia pada EEG. Pada masa lalu, ACTH dosis tinggi dan terapi jangka panjang (40-160 unit/hari selama 3-12 bulan) atau dosis rendah jangka pendek (540 unit/hari selama 1 6 minggu) telah digunakan. 1 Insiden relapse yang tinggi setelah penghentian terapi, yaitu 30-65%. Strategi baru : ACTH dosis rendah Pada masa lalu, tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan, mana yang lebih baik ACTH dosis rendah atau tinggi. Beberapa analisa retrospektiv, melaporkan bahwa ACTH dosis tinggi lebih baik daripada dosis rendah untuk mengkontrol kejang dan perbaikan gambaran EEG. (Lombroso 1983, Snead et al,1983). Akan tetapi (Rikkonen,1982 dan Fois 1987) melaporkan bahwa ACTH dosis tinggi tidak lebih baik dari dosis rendah. Pada masa yang sama, studi single bilind yang terbaru menunjukkan tidak ada perbedaan antara 2 grup obat. Kesimpulan, ACTH dosis rendah 5-30 unit/hari tampaknya lebih sesuai, dengan durasi terapi antara 2 minggu dan 6 bulan bergantung kepada etiologi spasme dan respon pasien . Hal ini sudah diaplikasi dan direkomendasikan oleh beberapa peneliti (Fois dkk, 1987; Nolte dkk,1988; Hracovy & Frost,1989; Nolte dkk,1990; Kuriyama dkk,1992; Nolte dkk,1992)1 Beberapa penulis menyatakan ACTH dan prednisone mempunyai potensi yang sama, tetapi beberapa yang lain menyatakan ACTH lebih baik. Terapi dengan Piridoksin dosis tinggi Terapi dengan Piridoksin dosis tinggi dan intravena globulin dosis tinggi juga telah dilaporkan memiliki manfaat dalam menangani anak dengan infantile
Anisa (06310014) Halaman 23

EPILEPSI

spasme. Walaupun begitu, jumlah pasien yang sedikit diobati dan heterogenitas penelitian yang dipublikasikan membuat sulit untuk menilai efikasi obat-obat ini. Dosis awal 10-20 mg/kgBB/hr, titrasi ditingkatkan 10mg/kgbb setiap 3 hari. Dosis rumatan 15-50 mg/kg/hari (100 400 mg/hr).1,3 Valproat Dosis Tinggi Valproat tampaknya terapi alternative yang paling menjanjikan, selain ACTH. Berdasarkan penelitian, dengan dosis rendah 20 mg/hari sekitar 20% pasien menjadi bebas kejang, dengan dosis sampai 100 mg/hari sekitar 40-65% pasien dan dengan dosis tinggi, 100-300 mg/ kg/hari 78% pasien menjadi terkontrol.1,3 Vigabatrin Vigabatrin 200 mg/kg menunjukkan efek yang dramatis pada spasme. Pada suatu studi sepertiga pasien dengan simptomatik spasme menjadi bebas kejang, mencakup yang refrakter terhadap terapi yang lain. 1,3 Pada suatu Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan awal dari vigabatrin memberikan hasil jangka panjang dan kontrol terhadap serangan yang memuaskan, dengan 41% bebas serangan, 21% memiliki perkembangan normal, dan tidak terdapat efek samping yang serius. Jadi, vigabatrin efektif untuk spasme infantil, dan menjadi terapi pilihan pada negara dimana tidak tersedia ACTH.(A Visudtibhan, R Mutharai, S Chiemchanya, P Visudhiphan 2002) 8 American Academy of Neurology and Child Neurology Society (2004) menyimpulkan bahwa :3 1. ACTH mungkin efektif untuk terapi spasme infantile jangka pendek dan perbaikan gambaran hypsaritmia pada EEG.(Level B) 2. Kurang bukti untuk merekomendasikan dosis optimum dan durasi pengobatan dengan ACTH untuk terapi spasme infantile.( Level U) 3. Tidak ada bukti yang cukup untuk menunjukkan kortikosteroid oral efektif dalam pengobatan spasme infantile. (Level U) 4. Vigabatrin mungkin efektif untuk pengobatan spasme infantile jangka pendek. (Level C, kelas III dan IV)

Anisa (06310014)

Halaman 24

EPILEPSI

5. Vigabatrin juga mungkin efektif bagi pengobatan jangka pendek spasme infantile pada mayoritas anak-anak dengan tuberous sclerosis. (Level C,kelas III dan IV) 6. Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan asam valproat dalam pengobatan spasme infantile. (Level U, kelas II dan IV) 7. Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan lamotrigin dalam pengobatan spasme infantile. (Level U, kelas II dan IV) 8. Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan piridoksin dalam pengobatan spasme infantile. (Level U, kelas II dan IV) 9. Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan benzodiazepin dalam pengobatan spasme infantile. (Level U, kelas II dan IV) Prognosis Umumnya prognosis jangka panjang jelek, dan langsung berhubungan dengan etiologi. Bayi dengan sindroma west idiopatik, mempunyai prognosa yang lebih baik, dibandingkan bayi dengan sindroma west simptomatik. Hanya 14% infant dengan sindroma west simptomatik mempunyai perkembangan kognitiv yang normal atau borderline, berbanding 28-50% infan dengan sindroma west idiopatik. Retardasi mental berat dijumpai pada 70% pasien, sering dengan masalah psikiatri seperti autis atau hiperaktivitas. Jarang spasme infantile dapat menetap hingga dewasa. Lima puluh hingga tujuh puluh persen pasien berkembang menjadi seizure tipe lain. Delapan belas hingga lima puluh persen pasien berkembang menjadi Lennox Gastaut Sindrom.5

Anisa (06310014)

Halaman 25

EPILEPSI

SINDROM LENNOX-GASTAUT (SLG) Pendahuluan Bangkitan kejang merupakan suatu masalah neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, dan sekitar 20% merupakan kasus epilepsi. Dalam 5 tahun pertama kehidupan, kasus baru epilepsi biasanya bermanifestasi sebagai bangkitan kejang umum dan sindrom Lennox-Gastaut (SLG) merupakan salah satu di antaranya.1 Oleh karena sukar mengatasi sindrom tersebut, SLG dikelompokkan sebagai salah satu bentuk intractable epilepsy. Batasan Sindrom Lennox-Gastaut (SLG) Liga Anti Epilepsi Internasional (LAEI) memperluas merupakan sindrom definisi SLG dengan menambah tipe bangkitan kejang lain berupa mioklonik. Dengan demikian SLG klinis yang bermanifestasi pada anak usia 1-8 tahun, utamanya usia prasekolah. Tipe bangkitan kejang yang terbanyak adalah tonikaksial, atonik dan absans. Tipe bangkitan kejang lain adalah mioklonik, tonikklonik umum atau parsial. Frekuensi bangkitan kejang maupun status epileptikus berlangsung sering . Latar belakang EEG menunjukkan pola abnormal berupa paku ombak lambat (POL) < 3 Hz dan abnormalitas yang ada kadang multifokal. Saat tidur akan muncul letupan atau ritme yang cepat 10 Hz. Umumnya pada SLG dijumpai retardasi mental. Etiologi Faktor Genetik Disfungsi imunologis dicurigai berkaitan erat dengan timbulnya SLG. Smeraldi et al, mendapatkan peningkatan frekuensi antigen HLA-7 pada 22 penderita SLG berbeda secara bermakna dibanding kontrol, demikian pula orang tua mereka
Anisa (06310014) Halaman 26

EPILEPSI

terhadap kontrol. Oleh karena peningkatan antigen tersebut pada penderita SLG hanya ditemukan pada proporsi 45% dan patogenesisnya belum dapat dijelaskan, maka pengaruh faktor genetik masih menjadi perdebatan.

Cacat Otak Struktural Gastaut dan Gastaut13 dengan computerized transverse axial tomography (CTAT) melaporkan 20% kasus, yaitu 81 dari 401 penderita epilepsi yang lolos dari pencarian faktor penyebab dengan deteksi konvensional ternyata mempunyai lesi organik. Secara keseluruhan mereka mampu menemukan 55% lesi organik penyebab epilepsi. Pada penelitian itu dari 42 kasus SLG, 25 (60%) di antaranya memiliki lesi organik seperti atrofi otak difus dan lesi fokal termasuk tumor. Dengan memadukan pemakaian EEG dan magnetic reso- nance immaging (MRI), Velasco et al,15 memperoleh bahwa dari 7 pengidap SLG terdapat 4 (57%) diantaranya bersifat simtomatik dan 3 lainnya idiopatik. Pada keempat penderita simtomatik terdeteksi 2 kasus infark serebri, 1 displasi kortikal, dan 1 sisanya sklerosis tuberosum. Gangguan Metabolisme Otak Chugani et al,16 dengan 2-deoxy-(18F)-D glukosa positron emission (FDG-PET) berhasil mengungkap pola metabolik berdasarkan tingkat pemakaian glukosa oleh otak pada 15 pengidap SLG seperti berikut ini: 1. Hipometabolisme fokal unilateral pada 2 (13%) anak. 2. Hipometabolisme difus unilateral pada 3 (20%) anak. 3. Hipometabolisme difus bilateral pada 8 (53%) anak. 4. Normal. Patofisiologi Belum terdapat model hewan atau model patofisiologi untuk SLG. Keterkaitan otak bagian depan dan usia timbulnya penyakit dipengaruhi maturasi bagian itu. Beberapa nilai karakteristik berikut perlu untuk dipertimbangkan :

Anisa (06310014)

Halaman 27

EPILEPSI

1. Keberadaan SLG terkait erat dengan lobus frontalis otak dengan aktivitas POL dominan di lobus tersebut. 2. Dijumpai adanya sinkronisasi kedua lobus frontalis namun bukan akibat sinkronisasi bilateral secara sekunder dari satu fokus tunggal. 3. Terdapat sejumlah kasus SLG sebagai kesinambungan sindrom West. 4. Pada sindrom West yang mengalami perbaikan umumnya tidak ditemukan lesi otak, dan bila ada minimal di bagian posterior. Gambaran Klinis dan EEG Bangkitan Kejang Tonik Bangkitan tonik terdiri atas ekstensi lambat keseluruhan anggota badan dan deviasi mata ke atas disertai perlambatan pernapasan. Keterlibatan fungsi motorik bervariasi dengan beberapa bangkitan kejang yang terbatas pada mata atau perubahan pernapasan. Bangkitan kejang yang ringan ini umumnya terjadi di saat tidur dan berlangsung tanpa sempat diketahui kecuali bila dimonitor dengan video disertai rekaman EEG. Gambaran vegetatif terdiri atas pernapasan ireguler, henti napas, muka merah, takikardi, atau pelebaran pupil. Lama bangkitan kejang berbeda-beda dari beberapa detik hingga 20 detik bahkan lebih. Bangkitan Absans Atipik Bangkitan kejang ini terdiri atas gangguan kesadaran fluktuatif yang waktu awal dan berakhirnya sulit ditentukan. Tonus aksial yang sering terganggu menyebabkan penderita terjatuh. Kekejangan kelopak mata, bangkitan kejang tonik ringan, gambaran otonomik atau otomatismus dapat pula terlihat. Keseluruhan manifestasi klinis bisa bervariasi dari absans yang khas hingga gejala yang sangat ringan. Pada anak dengan gangguan intelektual sering ditemukan kesulitan menghitung bangkitan kejang yang sifatnya ringan tersebut baru disebut, bahkan dengan video sekalipun. Tatalaksana Obat Anti epilepsi (OAE)
Anisa (06310014) Halaman 28

EPILEPSI

SLG bukanlah kelainan yang bersifat homogen, maka pendekatannya bersifat individual. Efek OAE pada tiap tipe bangkitan kejang tidaklah menentu untuk satu gangguan dengan beberapa tipe bangkitan kejang. Carbamazepine (CBZ) tetapi sebaliknya mungkin dapat mengurangi bangkitan kejang tonik

meningkatkan aktivitas paku ombak dan bangkitan kejang absans. Phenytoin (PHT) intravena sangat bermanfaat secara praktis untuk pengobatan SE. Ethosuximide (ESM) mampu mengurangi bangkitan kejang absans tetapi pada sisi lain bisa memprovokasi munculnya bangkitan kejang. Valproic Acid (VPA) memiliki aktivitas sedang terhadap absans atipik dan bangkitan kejang tonik. Benzodiazepin (BZDs) memiliki spektrum aktivitas yang luas, tetapi dengan mudah kehilangan keampuhannya. Kadang terjadi kasus SE yang dipicu oleh pemberian BZDs secara intravena. Toleransi terhadap OAE mendorong penambahan dosis yang pada gilirannya malah meningkatkan terjadinya efek samping. Steroid mungkin bermanfaat pada periode terjadi perburukan SLG atau saat SE. Sayangnya pengobatan dengan cara itu memerlukan waktu 1-6 minggu untuk memperoleh pengaruh yang diharapkan. Akibat efek samping tidak dapat diberikan lebih dari beberapa bulan. kumulatifnya terhadap tekanan darah, berat badan, serta pertumbuhan, maka pemberian steroid

Anisa (06310014)

Halaman 29

EPILEPSI

DAFTAR PUSTAKA 1. Carl W Bazil. Living Well with Epilepsy and Other Seizure Disorders. Edition illustratred :Harpercollins publishing. 2004 2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007 3. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008 4. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC 5. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127. 6. Dhanu, Rusli. Management of Infantile Spasme (West Syndrome). Perdosi. Palembang. 2008 7. Ropper AH, Brown Rh. Epilepsy and Other Seizure Disorders.In: Adam s and Victor Principle of Neurology. 4th ed. New York: McGraw-Hill;1989. 8. Glauser AT, Morita DA. Infantil spasm (West Syndrome). Available from : www.emedicine.com . 2006. 9. Pedoman Tatlaksana Epilepsi Pokdi Epilepsi Perdossi. Jakarta. 2003

Anisa (06310014)

Halaman 30

Anda mungkin juga menyukai