Anda di halaman 1dari 12

PRESENTASI HASIL PENELITIAN HIBAH I-MHERE BATCH III

GENDER WAYANG STYLE KAYUMAS DENPASAR : ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL

Oleh : Ni Ketut Suryatini, SSKar., M.Sn Ni Putu Tisna Andayani, SS

Dilaksanakan Atas Biaya I-MHERE Sub Componen B.1 Batch III Institut Seni Indonesia Denpasar Tahun Anggaran 2009

PROGRAM STUDI SENI KARAWITAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2009

ARTIKEL

Abstrak
Semakin berkembangnya minat masyarakat terhadap instrument musik gender wayang ini, menjadi suatu tantangan bagi peneliti untuk lebih mendalami terutama dari aspek struktur unsur-unsur musikalnya. Beberapa kalangan pemerhati seni karawitan beranggapan bahwa instrumen Gender Wayang mememiliki tingkat kesulitan yang tinggi untuk mempelajarinya terutama bagi pemuda. Dengan mengetahui gambaran yang lebih jelas unsur-unsur musikal yang terdapat pada instrumen gender wayang, maka diharapkan instrumen ini akan lebih diperhatikan baik oleh seniman praktisi ataupun dari sudut ilmiah. Unsur musikal sering pula disebut asosiasi musikal (musical association) yaitu hal-hal yang berhubungan langsung dengan unsur-unsur musik itu sendiri misalnya nada, ritme, tempo, struktur, ornamentasi. Gender Wayang sebagai salah satu instrumen musik tentu dapat pula dikaji melalui unsur-unsur musiknya, khususnya dalam hal ini gender wayang style Kayumas. Kalau kita lihat lebih mendalam terdapat banyak keunikan yang kita jumpai pada unsur musikal gender wayang terutama pada motif kotekan (interlocing figuration). Hal-hal inilah yang ingin diungkap dalam penelitian ini. Metode yang digunakan untuk menelusuri keunikan pada unsur musikal gender wayang Kayumas yaitu melalui pemilihan sample-sample gending yang sering dimainkan oleh Bapak I Wayan Konolan dalam mengiringi pertunjukan wayang kulit ataupun pada saat upacara agama. Selain itu memakai pula sample gending gender wayang dari Sukawati sebagai alat pembanding. Secara keseluruhan target jangka panjang yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu menarik minat dari seniman musik baik lokal maupun mancanegara untuk lebih menekuni dan mencintai gender wayang, sehingga bisa mendudukkan Gender Wayang sebagai alat musik yang sejajar dengan alat musik seperti halnya piano, biola dan sebagainya. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi yang bermanfaat sebagai bahan informasi, disamping dapat menanamkan apresiasi budaya dikalangan masyarakat utamanya generasi muda sebagai generasi penerus demi kelangsungan budaya bangsa.

ANALISA UNSUR MUSIKAL


Pengertian Unsur Musikal Musikolog barat Ernst Kurt (Sejarah Musik, 1995) Mengatakan bahwa musik merupakan kekuatan alam yang berada di dalam manusia. Namun kekuatan alam tersebut tidak

mencerminkan alam luar, walaupun dayanya di dalam manusia dan di alam luar sama saja maka dari itu musik tidak merupakan semacam gambaran alam luar, yang ditonjolkan dengan bunyibunyian adalah keinginan-keinginan manusia sendiri.

Berbeda dengan musik barat, menurut lontar Prakempa sebuah lontar mitologi gamelan Bali yang diberikan empat aspek utama yaitu: tatwa (filsafat), susila (etika), lango (estetika) dan gegebug (teknik). Bahwa cikal bakal suara yang dijadikan dasar dari nada gamelan Bali adalah suara yang keluar dari Panca Maha Bhuta (alam). 1. Tatwa filsafat atau logika dalam gamelan Bali dimulai dengan terciptanya bunyi, suara, nada dan ritme dan dilanjutkan dengan hubungan antara gamelan dan konsep keseimbangan hidup orang Bali. 2. Etika atau susila menguraikan tentang bermacam-macam gamelan Bali berikut uraian tentang peranan dan aspek ritual yang dimiliki oleh setiap jenis barungan itu. 3. Estetika atau lango membahas mengenai laras (tangga nada) gamelan, tabuh (struktur komposisi lagu), laras dalam vokal dan patet. 4. Gegebug atau teknis permainan adalah berbagai jenis gegebug/pukulan dari berbagai jenis gamelan Bali dibahas pada bagian ini. Ada bunyi yang diambil dari udara atau angkasa, ada suara yang diambil dari air, ada suara yang diambil dari tanah dan sebagainya. Jadi bunyi gamelan itu sesungguhnya merupakan kontruksi dari bunyi alam (makrokosmos).

10 Nada Musik Gamelan Bali


Ada sepuluh nada yang menyusun musik gamelan Bali, yang menyebar ke seluruh penjuru mata angin dalam wujud bunyi dang, ndang, ding, nding, dong, ndong, deng, ndeng, dung, ndung.

Sebagaimana dinyatakan dalam lontar Prakempa.1 Ika rineka sinandyaken dasa swara lwirnya : Panca suara patut pelog, mwang Panca Suara patut slendro, Panca Gni ngaran Panca tirta paragening Smara, Panca Gni paragening Ratih. Marwannya Smararatih hana sapta swara ika carining pecampuhaning Dasa Swara luirnya : ding, dong, deng, ndeung, dung, dang, ndaing.2 Artinya : Itu dibentuk, digabungkan menjadi sepuluh suara yaitu Panca Swara patut pelog dan Panca Swara patut slendro, Panca Gni namanya. Panca Tirta perwujudan smara, Panca Gni perwujudan Ratih. Sebabnya ada Smara Ratih, ada tujuh suara yang merupakan inti sari dari percampuran sepuluh suara yaitu : ding, dong, deng, ndeung, dung, dang, ndaing.

UNSUR-UNSUR MUSIK
Untuk dapat menganalisa suatu sajian musik, perlulah kita ketahui terlebih dahulu unsur yang membentuk musik itu sendiri yaitu hal-hal yang berhubungan langsung dengan unsurunsur musik yaitu : 1. Nada 2. Ritme 3. Tempo 4. Struktur 5. Ornamentasi 1. Nada Masing-masing instrumen dalam barungan gamelan Bali memiliki nada, nada pada instrumen berbentuk bilah (segi empat panjang), berbentuk pencon (bulat), bersenar (tali) dan sebagainya. Setiap nada yang dipakai dalam seni musik mempunyai 4 sifat tertentu yaitu: a. Tinggi rendah Tinggi atau rendah suatu nada ditentukan oleh banyak sedikitnya getaran setiap delik. Makin banyak getarannya makin tinggi nadanya. b. Kuat lemahnya (keras, lebut, lirih)
1

Lontar Prakempa merupakan salah satu lontar gamelan Bali yang didalamnya memuat beberapa unsur pokok diantaranya filsafat, etika, estetika, teknik gegebug dan bunyi dari catur muni-muni. I Made Bandem. 1988, Prakemba Sebuah Lontar Gamelan Bali. Denpasar : Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, P. 32 - 33. 4

Keras atau lembut suatu nada ditentukan oleh besar/kecilnya amplitudo (buka getaran). Semakin besar amplitudonya semakin kuat/keras nadanya. c. Panjang Pendek Panjang atau pendeknya suatu nada ditentukan oleh waktu yang dipergunakan untuk nada itu bergetar. Makin lama bergetar, makin panjang nadanya. d. Timbre (warna nada) Dalam praktek warna nada ini ditentukan oleh : Bahan sumbernya. Nada i (ndang) dari logam berbeda timbrenya dengan nada i (ndang) dari suling bambu. Bentuk sumber Nada barangan dari instrumen gong kebyar berbeda timbrenya dengan nada barangan dari instrumen gong gede walaupun sama-sama jenis barangan, namun barangan gong kebyar digantung, sedangkan barangan gong gede dipacek (dipaku). Alat-alat tambahan. Panggul (alat pemukul) gender dibaluti dengan karet atau kain akan berbeda timbrenya dengan panggul (alat pemukul) tanpa dibaluti karet/kain. Cara memainkan. Kendang dimainkan dengan cara dipangku berbeda timbrenya dengan posisi kendang berdiri di atas lantai. Berdasarkan empat macam sifat nada tersebut di atas, membawa pengaruh terhadap rangkaian melodi gending gender wayang gaya Kayumas dengan gaya Sukawati sebagai pembanding karena dimasing-masing gaya mempunyai bentuk yang berbeda phisik dari instrumennya.

2. Ritme Ritme atau irama didalam musik adalah suatu sifat yang banyak berhubungan dengan tekanan dan waktu berlangsungnya masing-masing nada. Di dalam segala bentuk seni musik khususnya Gender Wayang, ritme adalah salah satu elemen dasar dalam penganalisaan unsur struktur musikal. Gending-gending gender wayang pada umumnya mempunyai kesamaan nama lagu di masing-masing daerah, tetapi berbeda dari segi irama dan interloking nadanya.

Di dalam segala bentuk kesenian, terutama musik khususnya Gender Wayang ritme dipakai salah satu elemen dasar dalam penganalisaan struktur musikal. Gending-gending Gender Wayang pada umumnya mempunyai kesamaan nama lagu dimasing-masing daerah, tetapi berbeda dari segi irama, dan interloking nada. Karena Gender Wayang pun

mempunyai patutan yaitu : Segara Wera ; patutan yang terbesar, Pudak Setegal ; patutan menengah, Sekar Komoning ; patutan terkecil.

3. Tempo

Tempo adalah waktu yang digunakan untuk proses perpindahan dari nada yang satu ke nada yang lain. Cepat lambatnya suatu lagu. Pada gamelan gender wayang kemungkinan variasi tempo akan lebih banyak karena penggunaan kedua tangan kanan dan kiri tidak memerlukan volume yang besar untuk bergerak memainkan nada-nada. Tempo pelan, tempo sedang dan tempo cepat. Agak sulit untuk mengukur tempo pada musik/karawitan Bali secara hitungan dibandingkan dengan jenis tempo yang ada pada musik modern. Hal ini disebabkan oleh permainan musik/karawitan Bali yang lebih menonjolkan pada rasa.

Seberapa rasa pelan, sedang dan cepat, misalnya teknik permainan Gender Wayang, penggunaan tangan kiri dan kanan memainkan melodi yang berbeda yaitu tangan kiri memainkan melodi sedangkan tangan kanan memainkan kotekan (interlocking figuration). Teknik permainan seperti ini biasanya memainkan jenis-jenis lagu bertempo cepat. Contoh lagu-lagunya jenis batel dan angkat-angkatan.

Teknik bermain lagu gender wayang dengan tempo pelan dengan pembagian tangan kiri dan kanan pada dasarnya memainkan melodi yang sama dan lagu-lagu jenis ini meliputi lagulagu tetangisan (sedih), alas-arum (lagu mengiringi pertemuan). Seperti Lagu Mesim (Sukawati)

4. Struktur Struktur gending atau lagu akan erat sekali hubungannya dengan susunan gending itu disaat menabuh/memainkan gamelan. Sesuai dengan penelitian yang saya peroleh disini adalah gending Gender Wayang biasanya mempunyai susunan yang berbeda-beda, adapun gendinggending Gender Wayang Kayumas yang mempunyai struktur yang sama adalah jenis gending-gending petegak/penabuh. Struktur dari gending-gending ini meliputi gineman, pengawak, pengiwa. Namun ada juga yang tidak memakai gineman. Struktur gending yang akan saya ulas disini adalah gending Sekar Gendot Kayumas Kaja, Sekar Gendot Sukawati sebagai pembanding.

5. Ornamentasi Ornamentasi yang dimaksud memberikan hiasan-hiasan (pepayasan) terhadap sebuah lagu sehingga karakter dan tempo lagu tersebut dapat memberikan hasil bagi pendengar maupun pelaku gending tersebut. Misalnya dengan menambah jenis kotekan/interlocking figuration, mengupayakan teknik-teknik pukulan, aksen, tempo, dan memposisikan bagian-bagian lagu, sehingga tersusun komposisi yang apik dan bagus.

Struktur Musikal Gender Wayang Kayumas Kaja


Colin Mc Phee, seorang komposer muda dari Canada mengunjungi Bali setelah beliau mendengar rekaman-rekaman gamelan Bali. Tahun 1936 beliau berhasil mengarang sebuah artikel dalam musik Bali yang berjudul The Balinese Wayang Kulit and Its Music yang artinya membahas tentang gender wayang secara terinci dan penemuannya masih berlaku sampai sekarang. Disamping meneliti musik Bali, Colin Mc Phee juga berhasil secara gemilang untuk menciptakan gender wayang two pianos, dan transkripsi ini akhirnya menyebar keseluruh dunia yang menyebabkan Gender Wayang dikenal oleh masyarakat luas. Hasil pengamatan para ahli musikolog internasional, nasional maupun daerah, berpendapat bahwa Gender Wayang mempunyai teknik permainan yang amat sulit. I Gusti Putu Made Geria (almarhum), seorang komposer karawitan Bali dan seorang pemain gender wayang yang terkemuka pada masanya, dan menemukan teknik permainan gender wayang dan harmoni yang ditimbulkannya. Teknik permainan dalam gender wayang itu disebutnya Kumbang Atarung (kumbang berkelahi). Teknik ini melukiskan berbagai kontrapunk yang terdapat didalamnya. Dimana masing-masing pukulan diberi nama sesuai dengan fungsinya: Eka Sruti Paduarsa Dana Muka Anerang Sasih Anerang Wisaya Gana Wedana Anglangkah Giri Candra Praba Asti Ataru : Pukulan tunggal : Pukulan berjarak dua : Pukulan berjarak tiga : Pukulan berjarak empat : Pukulan berjarak lima : Pukulan berjarak enam : Pukulan berjarak tujuh : Pukulan berjarak satu : Pukulan berjarak delapan.

FUNGSI GENDER WAYANG


Dalam struktur musikal Gender Wayang Kayumas peneliti akan melihat dari segi fungsinya di masyarakat : 1. Berfungsi menyajikan gending-gending petegak 2. Berfungsi sebagai pengiring wayang kulit Parwa Bali.

GENDING-GENDING GENDER WAYANG KAYUMAS


Gending-gending petegak gender wayang Kayumas dilihat dari struktur musikal yang dimaksud adalah struktur gending yang terdiri dari 3 bagian : a. Bagian awal b. Bagian tengah c. Bagian akhir

1. Gending petegak gender wayang Kayumas Kaja Gending pagender wayang Kayumas Kaja Bagian awal yang disebut intro. Intro adalah permainan melodi yang pendek untuk mengawali dengan menggunakan nada pada bagian akhir nyambung dengan gending yang bersangkutan. Dan gineman adalah rangkaian melodi yang dibuat lebih panjang dengan teknik permainan yang variatif yang menunjukkan kemampuan teknik yang begitu tinggi lewat gineman. Sehingga gending petegak yang dipakai sebagai gending pembuka dapat memakai dan dapat pula memanggil penonton untuk segera ke tempat pertunjukan. Tetapi tidak semua gending Gender Wayang Kayumas Kaja menggunakan intro dan gineman, kadang-kadang satu atau dua lebih jenis gineman yang dimilikinya dipakai untuk mengawali dari gending petegak tersebut. Jadi maksudnya setiap gending tidak mempunyai gineman yang mengkhusus untuk gending tersebut. Sebagai contoh Merak Ngelo, Silih Asih, Katak Ngongkek, Sekar Taman, Sekar Sungsang, Sekar Gendot, Buris Rawa, Cangak Merenyang dan lain-lain.

2. Struktur musikal gender wayang Kayumas sebagai pengiring wayang. Contoh gending-gending pengiring wayang adalah sebagai berikut: Gending Petangkilan Gending Pangkat Gending Pepepson

Gending Tetangisan Gending Aras-arasan Gending Pesiat Gending Penguwud Gending Ngastawa

Tata Penyajian Gending Gender Wayang Kayumas Kaja


Posisi instrumen gender sebagai penyajian musik instrumental, masing-masing letaknya berhadap-hadapan satu sama lain dan dalam satu pasang terdiri dari pengumbang dan pengisep (gender gede). Tempat penyajian biasanya disesuaikan serta erat kaitannya dengan pelaksanaan upacara ritual keagamaan khususnya Agama Hindu. Contoh tempat penyajian:

Sebagai pengiring dalam pertunjukan Gender Wayang maka gender wayang diletakkan di

belakang kelir atau di belakan dalang. Sebagai pengiring dalam upacara manusa Yadnya (potong gigi) biasanya ditempatkan pada bangunan dimana upacara itu berlangsung. Sebagai pengiring dalam upacara Pitra Yadnya maka gender ditempatkan di Bade di sisi/samping kanan atau kiri, dan sesampainya di kuburan pemain gender akan diturunkan dan langsung ditempatkan di sebelah tempat pemujaan Pedanda (Orang Suci yang mengantar upacara).

TEKNIK PERMAINAN GENDER WAYANG SUKAWATI SEBAGAI SUATU PERBANDINGAN Teknik gender wayang dimasing-masing daerah akan berbeda-beda begitu pula dengan analisa teknik permainan Gender wayang Sukawati sebagai suatu perbandingan terhadap Gender wayang Kayumas. Pada penelitian kali akan difokuskan pada: 1. Nada Perbedan laras, Laras gender wayang disebut slendro. Secara toritis laras slendro memiliki lima nada. Perbedaan laras gender wayang sukawati yang dilihat dari perbedaan frekuensi, interval dan getarannyamenunjukan pada kita adanya sisem

diversivikasi dalam pembuatan gender wayang dan sistem ini menjadi lebih rumit jika dikaitkan dengan aspek komposisi dan teknik permainan. 2. Ritme Ritme yang digunakan dalam teknik-teknik pukulan Gender Wayang Sukawati memiliki berbagai macam teknik pukulan, diantaranya;Noret,Ubit-ubitan,Omang, Cecandetan, Nyangsih & Gegedig polos. Dilihat dari jenis teknik pukulan diatas, gending-gending gender Sukawati dalam repertoarnya sangat berbeda. Ada unsur-unsur kerumitan yang memerlukan kemampuan teknik yang tinggi.

PERKEMBANGAN GENDER WAYANG KAYUMAS Perkembangan Variasi, Komposisi


Gender Wayang tetap eksis di masyarakat karena keterkaitannya dengan upacara Agama, dimana dewasa juga mendapat sentuhan variasi dari para seniman pendukungnya terutama seniman akademis dan generasi muda pencinta seni tradisi Bali. Salah seorang seniman dalam palegongan dan gender wayang Wayan Lotring sangat berjasa dalam transformasi Gender Wayang ke Gong kebyar hal ini karena dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Gender di desanya, Kayumas Kaja Denpasar dan Sukawati.

Perkembangan Fungsi dan Peranan


Dewasa ini Gender Wayang tidak hanya dikenal sebagai alat pengiring pertunjukan Wayang juga sebagai alat musik instrumental. Seperti contoh Mantram Tri Sandya gender wayang mampu memberikan suasana ritual dengan alunan lagu merak ngelo gaya kayumas yang ditayangkan setiap pagi, siang dan sore di radio maupun televisi. Gender Wayang juga sudah mulai diminati oleh anak-anak dari tingkat TK hingga SMA yang juga didukung penuh oleh peranan para orang tua dalam mengarahkan minat putra putrinya. Instansi pendidikan juga sangat menekankan pada kesadaran akan nilai-nilai tradisional pada anak didiknya terutama pada alat musik gamelan, kidung, kekawin, tari-tarian, dll.

10

DAFTAR PUSTAKA Andrew Toth, 1987, Makalah : Gender Wayang, Tradisi Lama dan Perkembangan Baru. Bandem, I Made, 1986, Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia. Bandem, DR. I Made, Ensiklopedi Gamelan Bali, Proyek Penggalian Pembinaan Pengembangan Seni Klasik Tradisional dan Kesenian Barat, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, Denpasar, 1983. Dibia, I Wayan, 1978/1979 Pengantar Karawitan Bali, Denpasar : ASTI. Dieter Mack, 1995, Sejarah Musik Jilid 3, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. Donder, I Ketut, 2005, Essensi Bunyi Gamelan dalam Prosesi Ritual Hindu, Paramita, Surabaya. Gie, The Liang, 1996, Filsafat Kundakan, Yogyakarya : Pusat Belajar Ilmu Bangun. Yayasan Pewayangan Daerah Bali, Aneka Pewayangan Bali, Denpasar : Percetakan Bali, 1978. Yasa, I Ketut, 2005, Laporan Penelitian, Gender Wayang, Kajian Aspek Musikologi dan Kultural Proyek Nasional Perlindungan Wayang Indonesia. Kust Jaap, Hindu Javanese, Musical Instrument, The Hague : Martinus Nijhoff, 1968. Mantra, Ida Bagoes, 2004, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Pustaka Pelajar Offiset. Mariam, Allan, Antloropology of Music Nort Western University, Press, 1964. Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali, Perkembangan Wayang Wong Sebagai Seni Pertunjukan, Denpasar, 1975. Proyek Pengembangan IKI Jakarta Sub/Bagian Proyek ASTI Denpasar, Hasil-hasil Seminar Kesenian Tari, Karawitan dan Pedalangan, Denpasar : 1980. Rai S, I Wayan, 2004, Pidato Orasi Ilmiah, Unsur Musikal dan Ekstra Musikal dalam Penciptaan Gending Iringan Tari Bali, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Rota, Drs. Ketut, Pewayangan Bali Sebuah Pengantar Denpasar : Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Denpasar, 1977/1978. Soedarsono, RM, 1996/1997, Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita, BP ISI Yogyakarta. Siswanto, 1983, Pengetahuan Karawitan Daerah Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suharto, Kamus Musik Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 1978. Team Penyusun Monografi Daerah Bali, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1976.

11

12

Anda mungkin juga menyukai