Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi1. SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri. 2 Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.2,3 Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien telah didiagnosa sebagai SLE. 3 Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu antara14,6/100.00050,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per tahun. Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan adanya SLE sebesar 40/100.000. 4 Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap penyakit ini. 3 Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit putih di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20 tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu 4,4/100.000 pada wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia, 19,86/100.000 pada kulit hitam dan 13/100.000 pada Amerika latin. 5 Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang berbeda di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus, tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990 insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk di Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000 perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986 mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan. 1

1.2 Masalah Referat ini membahas mengenai etiologi, gejala klinis, diagnosis, uji laboratorium dan penatalaksanaan sistemik lupus eritematosus. 1.3 Tujuan Penulisan Mengenai etiologi, gejala klinis, diagnosis, uji laboratorium dan penatalaksanaan sistemik lupus eritematosus. 1.4 Metode Penulisan Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjuan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. 2.2 Etiologi Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan 3 Autoimun : Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. 3 Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE.
3

Dengan

antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya

deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan. 1 Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung darah. 3 Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan autoimun lainnya.6 2.2.1 Genetik Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita SLE. berbeda)
4 1

Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang sedangkan non-identik 2-9%.1 Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. 4 Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gengen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. 1 Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal. 3

2.2.2 Faktor Eksternal Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan. 3 Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3 Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun. 3 Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. 7 Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium. 4 Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal. 3 Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. 1 2.3 Gejala Klinik Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-

kadang disertai menggigil. 1 Banyak wanita SLE menderita flare pada fase postovulasi dari siklus menstruasi, dan mengalami resolusi ketika telah terjadi haid. 4 2.3.1 Muskuloskeletal Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan biasanya mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. pergelangan tangan, siku dan lutut. 4 2.3.2 Gejala mukokutan Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk kupukupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%). Pada bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. 1 Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. 1 Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari. 3 Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1 2.3.3 Ginjal Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas terjadinya
1

Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan metakarpofalangeal,

kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).2 2.3.4 Sistem saraf Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit kepala.8 Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan dan konsentrasi ringan. 3 Kardiovaskuler Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). menimbulkan nyeri dan arithmia.8 2.3.5 Paru Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. 8 Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi, virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage.4 Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut. 8 Saluran pencernaan Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. 3 Radang traktus intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut, muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. 4 Retensi cairan dan pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3
3

Keadaan tersebut dapat

2.3.6 Mata Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tiba-tiba. 3 Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina. 1 2.4 DIAGNOSIS Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism Association) : 7,10

Eritema fasial (butterfly rash)2.4 Diagnosis Lesi diskoid Fotosensitivitas Oral ulcers Arthritis Serositis (pleuritis or perikarditis) Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts) Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis) Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau limfopenia pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia) Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu) Abnormal ANA titer

2.5 Uji Laboratorium9 ANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet. Suatu pemeriksaan banding untuk mengetahui tipe ANA

spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe tipe gangguan lain. Antibodi terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologik lain dapat juga menyebabkan ANA positif, tetapi antibodi anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE. Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah non spesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai samapai sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa lekosit pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan Ig G, dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit goglongan rematik yang juga diperantarai oleh imunitas. Urine diperiksa untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan memantau perkembangan penyakit ini. 2.6 PENATALAKSANAAN10,11 Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan dengan demikian dapat memperpanjang remisi dan survival rate.1 Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya. Penatalaksanan utama adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat memberikan istirahat pada jiwa dan raga, perlindungan dari sinar matahari (bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi pencegahan infeksi, menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat penyakit.1 Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup baik oleh dialisis dan transplantasi ginjal. 1

2.6.1 Penatalaksanaan Non-Farmakologi Penyuluhan dan intervensi psikososial sangan penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Karena infeksi sering terjadi pada SLE, maka penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya. Butir-butir Edukasi Terhadap Pasien SLE 1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebanya 2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut. 3. Masalah yang terkait dengan fisik, kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi. 4. Pengenalan masalah aspek psikologis, bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri. 5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. 6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adalah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya. 2.6.2 Penatalaksanaan Farmokologi 1. Arthritis, atralgia dan mialgia Untuk gejala yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi non steroid. Bila tidak berespon dapat dipertimbangkan dengan pemberian obat antimalaria misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik harus distop. Jika tidak

10

memberikan efek yang bagus dapat diganti dengan pemberian kortisteroid dosis rendah dengan dosis tidak lebih dari 15 mg (metotreksat dosis rendah 7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita SLE 2. Fatique dan keluhan sistemik Fatique merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikian juga penurunan berat badan dan demam dapat dipertimbangkan dengan pemberian glukokortikoid sistemik jika terapi non farmakologi untuk mengatasi fatiq dan keluhan sistemik tidak bereaksi dengan baik. 3. Serositis Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita SLE dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasai dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau gukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya. 4. Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus dimulai jika timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserisitis, miokarditis, pneumoditis lupus, glomerulonefritis, uremia hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi). Pada manifestasi minor SLE, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi major dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/KgBB/hari. Pemberian bolus metilprednison intravena 1 gram atau 15 mg/KgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 11,5 mg/KgBB/hari. Bilai tidak glukokortikoid dosis tinggi tidak memberikan efek baik maka perlu dipertimbangkan untuk mempertimbangkan pemberian imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Bolus sikolofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian

11

cairan 2-3 L/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pad aterapai SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada: a. Penderita SLE yang membutuhan steroid dosis tinggi b. Penderita SLE yang tdikontraindikasikan terhadap dosis tinggi c. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang. d. Glomerulonefritis difus awal e. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid. f. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnyaa. g. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat. Pada penderita penurunan fungsi ginjal sampai 50% dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila jumlah lekosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya 25%. Kegagalan menekan jumlah lekosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat, sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari, diberikan selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada penderita defisiensi IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita SLE. 2.7 Prognosis Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organorgan yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi.

12

DAFTAR PUSTAKA 1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala. Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h: 150-9. 2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik. 3th edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-8,468-9,650. 3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March. Available from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic Accessed: 2004 September 17. 4. Lamont DW. Sistemic Lupus Erythematosus. 2001 December 4. Available from: URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic564. Accessed: 2004 September 17. 5. Lehman TJA. Sistemic Lupus Erythematosus. 2004 August 15. Available: URL: http://goldscout.com/page2.html. Accesed: 2004 September 17. 6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD, editors. In: Williams obstetrics: medical and surgical complications in pregnancy. 21st edition. New York, Chicago: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2001. p:1389-1394. 7. National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases. Sistemic Lupus Erythematosus. 1999 May 7. Available: URL: http://healthlink.mcw.edu/article/926062834.html. Accesed: 2004 September 17. 8. Nirula A. Sistemic Lupus Erythematosus. 2002 November 11. Available: URL: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm. September 17. 9. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 6. Jakarta : EGC.2006 10. Sudoyo Arus.w,dkk. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Internal Publishing.2010 11. Tjay Tan Hoan, Rahardja Kirana. Obat-Obat Penting. Edisi ke-VII.Jakarta:PT Elex Gramedia.2010. Accesed: 2004 lupus63.html.

13

14

Anda mungkin juga menyukai