Anda di halaman 1dari 10

Suatu

Rekonseptualisasi Perencanaan Pembangunan : Pemikiran


*)

Mahatmi Saronto dan R. Wrihatnolo I. Pengantar

Pembangunan adalah sebuah kegiatan yang kolosal, memakan waktu yang panjang, melibatkan seluruh warganegara dan dunia intrernasional, dan menyerap hampir seluruh sumber daya negara-bangsa. Karena itu, sudah seharusnya jika pembangunan dimenejemeni. Kata manajemen menyiratkan adanya proses yang berkesinambungan. Secara generik proses ini dimulai dari perencanaan, disusul pelaksanaan, dan diakhiri dengan pengendalian. Perencanaan adalah kegiatan dari pembangunan yang paling prioritas, karena perencanaan menentukan arah, prioritas, dan strategi pembangunan. Perencanaan yang baik dapat diidentikkan dengan sebuah perjalanan yang sudah melewati separo jalan, karena sisanya tinggal melaksanakan dan mengendalikan. Sepanjang pelaksanaan konsisten, pengendalian efektif, serta faktor-faktor pengganggu tidak banyak muncul atau jika pun muncul tidak memberikan pengaruh yang mampu membiaskan pelaksanaan pembangunan, maka pembangunan dapat dikatakan tinggal menunggu waktu untuk sampai ke tujuan. Perencanaan pembangunan menjadi kunci karena sesungguhnya ini adalah pekerjaan yang maha rumit. Seperti diketahui, istilah pembangunan adalah istilah khas dari proses rekayasa sosial (dalam arti luas, termasuk ekonomi, politik, kebudayaan, dsb) yang dilaksanakan oleh negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang identik dengan negara miskin. Di negara seperti ini pekerjaan utama pembangunan adalah menanggulangi kemiskinan. Namun, seperti dicatat oleh Kunarjo (2000, 2-3), mengikuti Ragnar Nurske, kemiskinan di negara berkembang ibarat lingkaran setan, karena berbagai penjelasan kemiskinan tidak banyak menjelaskan kenapa mereka menjadi miskin. Dikatakan Kunarjo bahwa dalam lingkaran setan kemiskinan, pokok pangkal kemiskinan aadalah pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah bukan hanya mempengaruhi tingkat tabungan yang rendah, tetapi juga mempengaruhi tingkat pendidikan, kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumber daya yang ada juga menjadi rendah. Semuanya ini akan mempengaruhi pendapatan masyarakat yang rendah pula (Kunarjo, 2000, 3). Dalam skema, lingkaran setan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (bagan 1):

*)

Mahatmi Saronto, ST, MSIE dan R. Wrihatnolo, S.Sos; keduanya adalah Staf Perencana pada Direktorat Industri, Perdagangan, dan Pariwisata Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas- red.

Halaman 1 dari 10

Bagan 1
Produktivitas rendah

Perkembangan teknologi rendah

Kesehatan menurun

Permintaan rendah Buta huruf tinggi

Pendapatan riil rendah

Investasi rendah Tabungan rendah

Banyak sumber daya alam yang tidak dieksploitasi

Sumber : Kunarjo, 2000, 4, dengan beberapa penambahan.

Berbagai teori pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, muncul untuk menjawab masalah ini yang kesemuanya fokus kepada upaya mendorong investasi, misalnya teori dari Henry C. Brutton yang menganjurkan pemerintah di negara berkembang untuk meningkatkan tabungan melalui dorongan moral, rangsangan langsung, kesempatan invetasi, dan mengenalkan lembaga keuangan. Lepas dari berbagai gagasan tentang memutuskan lingkaran setan tersebut, satu hal yang pokok adalah bahwa perencanaan pembangunan lah yang pada akhirnya mengambil alih tugas tersebut, yaitu tugas untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang tersedia untuk memutuskan lingkaran setan kemiskinan. Di sinilah pembangunan menjadi sebuah praktek, bergulir dari sebuah konsep, teori, serta paradigma. Tatkala menjadi praktek, maka keharusan dari pembangunan adalah dimenejemeni. Unsur pertama adalah perencanaan pembangunan yang serta-merta menuntut penguasaan konsep kemiskinan serta problema yang mendasarinya, memiliki kerangka pemikiran teoritis, serta memahami dukungan dan kendala yang muncul dalam kondisi-kondisi obyektif masyarakat yang dibangun.

Halaman 2 dari 10

II.

Model Perencanaan Pembangunan

Perencaaan secara umum terdiri dari perencanaan jangka panjang (10-25 tahun), menengah (5 tahun) dan pendek (1 tahun). Namun inti dari perencanaan adalah sama, yaitu model yang dipergunakan untuk melakukan perencanaan pembangunan itu sendiri. Kunarjo menyebutkan paling tidak ada tiga (3) model perencanaan pembangunan, yaitu model agregat, model hubungan efek kelipatan ( multiplier effect) dan ICOR, dan model perencanaan sektoral (Kunarjo, 2000, 44-68). Model perencanaan agregat bertumpu pada teorema ekonomi makro di mana konsep intinya adalah pendapatan domestik bruto (PDB) dam konsepkonsep yang melengkapinya. Konsep ini mengagreasikan perekonomian menjadi rumus bahwa produk domestik bruto merupakan agregasi (penjumlahan) dari konsumsi (C) , pengeluaran pemerintah (G), investasi pemerintah (Ig), investasi masyarakat (Ip), ekspor (X), dikurangi impor (M). Model ini adalah model yang paling banyak dipergunakan oleh para perancang pembangunan hingga hari ini. Salah satu alasannya adalah karena model ini menghasilkan data yang kuantitatif sehingga lebih mudah difahami dan lebih menarik untuk dijadikan sebagai model. Namun bukan berarti model seperti tersebut di atas, karena sudah sangat banyak kritik yang berkenaan dengannya, secara khusus yang mengritik basis pemikiran bahwa agregasi tersebut pada akhirnya jarang sekali untuk mampu mencerminkan kondisi ketercapaian pembangunan yang sebenarnya. Misalnya besarnya PDB ataupun pendapatan per kapita tidaklah otomatis mencerminkan tertanggulanginya kemiskinan yang ada. Pada banyak negara berkembang, justru besarnya PDB dan pendapatan per kapita menyembunyikan fakta bahwa pembangunan lebih banyak menghasilkan ketimpangan antara sebagian kecil kelompok masyarakat yang sejahtera karena memperoleh prioritas untuk mengejar angka PDB dan pendapatan per kapita, dan di sisi lain, sebagian besar masyarakat hidup dengan standar kualitas yang sangat jauh dibandingkan kelompok pertama tadi. Model kedua adalah model hubungan efek kelipatan dan ICOR. Teori hubungan kelipatan pertama kali diperkenalkan oleh John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest and Money yang mengembangkan konsep ini dari R.F. Kahn. Dikatakan oleh Keynes bahwa:
The onception of multiplier was first introduced into economy theory by R.F. Kahn in his article on The Relation of Home Investment to Undemployment (Economic Journal, June 1931). His argument in this article depended on the fundamental notion that, if the propensitiy to consume in varioujs hypothetical circumstances is (together with certain other conditions) taken as given and we conceive the monetary or other public authority to take steps to stimulate or to retard investment, the change in the amount of employment will be a function of the net change in the amount of investment; and it aimed at laying down general principles by which to estimate the actual quantitative relationship between an increment of net investment and the increment of aggregate employment which will be associated with it. Before coming to the multiplier, however, it will be convenient to introduce the conception of the marginal propensity to consume (Keyness, 1957, 113-114).

Konsep multiplier pada prinsipnya menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat investasi (I) dengan permintaan pendapatan (Y). Atau, dengan
Halaman 3 dari 10

bahasa sederhananya, apabila terdapat tambahan investasi, maka akan bertambah pula tingkat permintaan pendapatan dengan kelipatan sebesar kebalikan dari marginal propensity to save (mps), atau angka koefisien yang menunjukkan berapa kenaikan tingkat tabungan jika permintaan pendapatan meningkat dengan jumlah tertentu, dengan nilai angka pecahan kurang dari 1. Model ini diperkaya dengan model Incremental Capital Output Ration (ICOR) dari Sir Harrod yang menyebutkan bahwa investasi harus diartikan sebagai pertambahan kapasitas produksi. ICOR sendiri didefinisikan sebagai rasio investasi yang diperlukan untuk memperoleh pertambahan pendapatan pada periode tertentu. Seperti dicatat oleh Kunarjo, bahwa model ini diciptakan Sir Harrod sebagai alat untuk menguji stabilitas jangka pendek dan masalah pertumbuhan ekonomi di negara yang sudah cukup maju (Kunarjo, 2000, 54). Model tersebut di atas juga tidak kalah menarik sehingga banyak dipergunakan untuk memperkaya model pertama. Kelemahan model ini sangat sederhana. Pertama, ia mengandaikan bahwa pembangunan ibarat sebuah proses produksi, di mana setiap masukan inpur baru akan meningkatkan output. Bahkan di dalam produksi sendiri setiap masukan input belum tentu menaikkan output, terlebih dalam pembanguan di mana lebih banyak lagi faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan dari sisi pemberi input. Kedua, model ini mengandaikan proses pembangunan dari sebuah negara dengan sistem tertutup, artinya input yang dimasukkan selalu memberikan output di mana input tersebut masuk. Pada prakteknya, investasi ditingkatkan di suatu negara, yang justru mendapat keuntungan adalah industri di negara lain yang menjadi pensuplai input riil dari proses tersebut. Misalnya, investasi untuk industri komputer ditingkatkan untuk mengejar pertumbuhan di sektor manufaktur ini. Namun, karena keterbatasan kompetensi lokal dan karena sistem industri dan pasar komputer dunia, maka pada akhirnya yang diuntungkan adalah negara-negara yang menjadi pemasok bahan baku komputer tersebut. Model ketiga adalah perencanaan sektoral. Model ini sebenarnya tidak jauh beda dengan model kedua, hanya lebih didetilkan per sektor. Sektor sendiri adalah kumpulan dari kegiatan-kegiatan atau program-program yang mempunyai persamaan ciri-ciri serta tujuannya (Kunarjo, 2000, 55). Perencanaan sektoral ini yang antara lain membuka wacana tentang efek ke depan ( forward effect) dan efek ke belakang (backward effect) dari kebijakan pembangunan sektoral. Forward effect adalah suatu kegiatan ekonomi yang outputnya dapat dimanfaatkan sebagai input kegiatan ekonomi lainnya. Backward effect adalah sebuah kegiatan ekonomi yang inputnya menyerap output dari kegiatan ekonomi lain. Model ini sangat menarik dan sangat mempengaruhi sebagaimana dapat dilihat dari permisalan di bawah ini (bagan 2):
Bagan 2

Halaman 4 dari 10

Jadi industri tekstil mempunyai efek ke belakang dan ke depan yang masing-masing terus berkembang. Setiap penambahan investasi pada industri tekstil akan menyebabkan peningkatan secara otonom di setiap industri di kelompok efek ke belakang maupun di kelompok efek ke depan. Dengan demikian, perencanaan pembangunan dapat fokus kepada industri-industri yang mempunyai backward effect dan forward effect yang paling besar. Model terakhir ini sangat menarik dan sulit disangkal kebenarannya sehingga cukup sahih untuk dipergunakan sebagai model perencanaan pembangunan. Namun, model ini mengesampingkan dua hal pokok yang sama dengan yang dimiliki oleh model efek pengganda dan model ICOR, yakni terlalu menyederhanakan pembangunan sebagai sebuah proses produksi yang otonom, dan di dalam dirinya sendiri mengandaikan sebuah perekonomian yang tertutup. Dalam contoh di atas, peningkatan investasi di tekstil bisa jadi mendorong backward dan forward effect yang besar, akan tetapi pertanyaannya adalah apakah backward dan forward tadi untuk pembangunan di dalam negeri atau untuk negara lain? Untuk kasus tekstil misalnya, di mana hampir 80 90% bahan baku berasal dari impor, mulai kapas, mesin, hingga tinta, sehingga industri tekstil selalu dijuluki industri yang footlose sebagaimana juga garmen dan elektronika karena keberadaannya di negara berkembang sejauh ada tenaga kerja murah di kawasan tersebut. III. Perencanaan Pembangunan di Indonesia

Perencanaan pembangunan di Indonesia secara sungguh-sungguh dimulai sejak era Orde Baru, karena pada masa sebelumnya teknik perencanaan belum berkembang dengan baik. Perencanaan pembangunan yang ada dipimpin oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang menjadi think tank dari konsep perencanaan pembangunan nasional Indonesia. Bappenas di dalam prakteknya mempergunakan berbagai model untuk membuat rancangannya menjadi lebih sempurna daripada hanya menggunakan satu model tunggal. Dalam perkembangannya, untuk memahami perencanaan pembangunan di Indonesia lebih fokus dapat dilakukan pada perencanaan jangka pendek, atau secara spesifik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi (Kunarjo, 2000, 138). Fungsi alokasi dimaksudkan untuk penyediaan dana yang dibutuhkan oleh masyarakat akan sarana dan prasarana yang tidak mungkin disediakan oleh swasta atau saling melengkapi antara Pemerintah dan swasta. Fungsi distribusi adalah anggaran yang menyangkut kebijaksanaan pemerintah dalam masalah pemerataan pendapatan antar warga negara agar kesenjangan dalam penerimaan pendapatan dapat dikurangi. Fungsi stavilisasi adalah anggaran yang menyangkut masalah terpeliharanya tingkat kesempatan kerja yang tinggi, kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai (Musgrave & Musgrave, 1989, 5-18). Di Indonesia era Orde Baru sistem anggaran yang dipakai adalah sistem anggaran berimbang di mana diusahakan agar penerimaan dan pengeluaran seimbang. Pada prakteknya keseimbangan tersebut sebenarnya bersifat simbolik, karena pada dasarnya yang terjadi adalah anggaran defisit di mana defisit ini ditutup melalui pinjaman luar negeri. Kebijakan ini tidak dirubah dalam pemerintahan reformasi Presiden Wahid. Sementara itu, pola penyajian di masa
Halaman 5 dari 10

sebelum ini adalah pola T, atau yang identik dengan neraca, sementara pola terbaru mempergunakan pola I atau menjadikan sisi penerimaan (yang sebelumnya ada di sisi kiri) dan sisi pengeluaran (yang biasanya di sisi kanan) berada dalam satu lajur yang sama. Persamaannya, kedua anggaran tersebut isinya relatif sama. Di sisi penerimaan adalah penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak (termasuk pendapatan dari minyak dan gas bumi), serta pinjaman dari luar negeri (termasuk hibah). Di sisi pengeluaran dibagi secara klasikal menjadi dua kelompok: anggaran rutin dan anggaran pembangunan, ditambah pembayaran/cicilian utang. Pada dasarnya prinsip penyusunan anggaran ini sudah baik dan memiliki pola baku yang standar. Namun, bukan berarti pola ini tertutup untuk penyempurnaan, karena di dalamnya terdapat satu bias dalam pemahaman pembangunan. Bahwa ada perbedaan antara rutin dan pembangunan, padahal keduanya dapat disamakan, bahkan dapat dikatakan berhimpitan. Misalnya belanja barang akan mendorong investasi di industri yang menyuplai kebutuhan belanja barang tersebut. Kedua, anggaran tersebut memadai untuk kondisi keuangan pemerintahan yang kuat, dukungan pemberi pinjaman luar negeri yang baik, dan pemerintahan yang terpusat. Saat ini Indonesia berada dalam kondisi yang mempertanyakan seluruh asumsi dasar yang menjadi pondasi dari penyusunan anggaran tersebut. Kondisi obyektif ini mendorong kita untuk mencoba merumuskan kembali model perencanaan pembangunan dalam bentuk anggaran yang lebih memadai. IV. Alternatif

Indonesia dewasa ini memiliki empat kondisi obyektif. Pertama, pemerintah tidak punya uang. Kedua, pendapatan dalam negeri, khususnya melalui pajak, sulit untuk ditingkatkan karena masyarakat dan dunia usaha masih dililit kondisi krisis yang tidak kunjung selesai. Ketiga, para pemberi pinjaman dari luar negeri, khususnya IMF, mulai khawatir dengan kredibilitas Indonesia, khususnya dikaitkan dengan kemampuan membayar kembali pinjaman pemerintah yang mencapai USD 80 miliar (atau plus utang swasta yang sebagian besar ditalangi pemerintah melalui BPPN sekitar USD 70 miliar), sementara itu dikabarkan sejumlah negara masuk menjadi nominasi utama untuk memperoleh bantuan, mengalahkan Indonesia. Keempat, penyelenggaraan pemerintahan sudah didesentralisasikan, sehingga baik pendapatan pemerintah dari daerah yang sebelumnya besar dan kini beralih ke daerah, juga karena tugas mengatasi masalah pembangunan, khususnya kemiskinan, diserahkan kepada daerah dengan kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan secara efektif per Januari 2001. Kondisi ini memungkinkan bagi pemerintah untuk merekonsepsualisasikan model perencanaan pembangunan dan model anggaran yang lebih tepat dan sesuai dengan kondisi yang ada. Model perencanaan pembangunan yang lebih baik sebenarnya sudah banyak dikemukakan dalam berbagai wacana, namun belum mengkristal, yakni model pembangunan pemberdayaan, di mana dengan demikian tugas pemerintah tidak lagi menggerakkan namun menstimulasikan pembangunan. Kondisi keterbatasan kemampuan pemerintah dan kemajuan yang dialami oleh masyarakat umum lah yang mendorong dimajukannya konsep pemberdayaan tersebut.

Halaman 6 dari 10

Dalam konteks ini, maka anggaran pemerintah perlu mengalami penyesuaian dari sebuah anggaran yang bersifat public (sector) driven menjadi private (sector) driven. Karenanya susunan anggaran ditawakan sebagai berikut: (1) (2) Bahwa konsepnya bisa berbentuk T atau I sepanjang terdapat dua hal pokok: pos penerimaan dan pos pengeluaran. Ia bisa berbentuk anggaran berimbang atau anggaran defisit sepanjang memiliki kelayakan secara anggaran dalam konteks kesinambungan pengelolaan pembangunan jangka panjang. Pos penerimaan terdiri dari tiga hal pokok: pendapatan dari pajak, pendapatan dari bukan pajak (yakni HANYA laba BUMN dan hasil privatisasi BUMN yang menjadi hak pemerintah dan deviden BUMN yang menjadi hak pemerintah, karena Pertamina harus dijadikan BUMN yang sebagaimana BUMN lain dikelola oleh Undang-Undang No 1/1995 tentang perseroan), dan pinjaman luar negeri (termasuk hibah). Pos pengeluaran terdiri dari empat item pokok: pertama, pos pengeluaran sektoral yang dikeluarkan untuk kegiatan sektor-sektor pembangunan. Pembagian sektor dapat diplih melalui: (a) Pemilahan sektoral yang pernah dibuat pada era Orde Baru, yakni 20 sektor pembangunan, yaitu Industri, Pertanian dan Kehutanan, Pengairan, Tenaga Kerja, Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan dan Koperasi, Transportasi, Pertambangan & Energi, Pariwisata dan Telekomunikasi, Pembangunan Nasional dan Transmigrasi, Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan thd. Tuhan YME, Pemuda & Olah Raga, Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, Perumahan dan Permukiman, Agama, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hukum, Aparatur Negara, Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa, Keamanan dan Ketertiban, atau (b) Mengelompokkan lagi menjadi lima sektor strategis, yaitu pengembangan Sumber Daya Manusia (Daya Saing), pengembangan Ekonomi (Daya Hidup), pengembangan Kelembagaan (Daya Tahan), pengembangan Prasarana dan Sarana Pendukung (Daya Dukung), dan sektor pengembangan Pengawasan dan Evaluasi Pembangunan (Daya Kendali), atau bisa juga: (c) Dibagi secara sektoral yang dikelola oleh lembaga pemerintah departemen, dan lembaga pemerintah non departemen di tingkat nasional. Pos ini berisi anggaran kerja untuk lingkup nasional, sehingga lebih kecil daripada sebelumnya, sebab anggaran untuk daerah tidak lagi berada pada pos pusat, melainkan pos anggaran di daerah. Kedua, pos pengeluaran regional, yang berisi pos pengeluaran untuk propinsi dan pos pengeluaran untuk kabupaten dan kota. Ketiga, pos pengeluaran khusus yang berisi dua kegiatan, yaitu penanggulangan kemiskinan (harus dikembalikan atau dianggap sebagai pinjaman yang harus dikembalikan) dan bantuan khusus (yang dianggap sebagai karitas, misalnya berkenaan dengan masalah sosial, bencana alam, para veteran, dsb). Keempat, pos pengeluaran pembayaran pinjaman. Kelima, pos pengeluran belanja rutin.

(3)

(4)

(5)

Halaman 7 dari 10

Model sederhana dari anggaran yang baru adalah sebagai berikut:


Penerimaan
1 . Penerimaan Pajak 1.

Pengeluaran
Pengeluaran Sektoral

a. Pajak-pajak langsung b. Pajak-pajak tidak langsung


2 . Penerimaan bukan pajak

a. Sumber daya manusia b. Ekonomi c. Kelembagaan d. Sarana dan Prasarana e. Pengawasan dan pengendalian
2. Pengeluaran Regional

a. Hak
3 .

pemerintah atas laba dan hasil privatisasi BUMN

b. Deviden BUMN
Pinjaman Luar Negeri

a. Hibah b. Lunak c. Setengah komersial d. Komersial


4 . Sisa anggaran tahun sebelumnya

a. Provinsi b. Kabupaten dan Kota


3. Pengeluaran Khusus

a. Penanggulangan kemiskinan b. Bantuan khusus


4. 5. Pembayaran pinjaman Belanja rutin

Justifikasi dari ketiga pemikiran ini adalah karena, pertama, tugas pemerintah harus semakin dikurangi karena paradigma yang hari ini dikedepankan bukan lagi apa yang seharusnya dilakukan pemerintah melainkan apa yang dapat dilakukan pemerintah (Dwidjowijoto, 2000) sehingga banyak pembedaan rutin dan pembangunan diabaikan dan digabungkan menjadi pos rutin, ditambah penghilangan pos subsidi karena subsidi akan dialihkan melalui mekanisme lain, yakni penanggulangan kemiskinan yang dikedepankan bukan murahnya harga tapi keberdayaan masyarakat dalam menjangkau harga. Kedua, anggaran adalah untuk pemerintah pusat yang tidak lagi terlalu banyak mengurusi masalah-masalah daerah, karena masalah-masalah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Dengan demikian, APBN lebih fokus kepada hal-hal yang mempunyai ruang lingkup nasional. V. Penutup

Gagasan ini tidaklah samasekali baru, karena banyak negara maju mempergunakan gagasan seperti ini, khususnya dalam hal anggaran (APBN). Untuk Indonesia, konsep baru ini akan membuka peluang sekaligus masalah baru. Peluangnya adalah bahwa bisa jadi kita mendapatkan sistem perencanaan pembangunan, khususnya dalam arti anggaran, yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, sehingga lebih masuk akal untuk dioperasionalisasikan. Masalahnya adalah kesiapan dari birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Akhirnya, gagasan ini diharapkan menjadi salah satu wacana dalam perencanaan pembangunan Indonesia di masa mendatang dengan satu catatan

Halaman 8 dari 10

pokok: bahwa setiap konsep, teori, praktek, dan manajemen dari pembangunan harus siap untuk ditantang oleh perubahan-perubahan terbaru, dan dalam tingkat tertentu harus berani untuk berubah agar pembangunan itu sendiri tetap berlanjut dan sinambung secara alami dan kokoh.

Halaman 9 dari 10

Daftar Pustaka Dwidjowijoto, Riant Nugroho, 2000, Organisasi Publik Masa Depan: Redefinisi Peran Pemerintah, Jakarta, PerPod. Due, John F. dan Ann F. Friedlaender, 1984, Keuangan Negara: Perekonomian Sektor Publik, edisi terjemahan, Jakarta, Erlangga. Keynes, John Maynard, 1957, The General Theory of Employment Interest and Money, London, MacMillan & Co. Kunarjo, 2000,Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan , Jakarta, UI Press (edisi revisi, belum diterbitkan) Musgrave, Richard A. & Peggy B. Musgrave, 1989, Public Finance in Theory And Practice, Singapore, McGraw-Hill, 5 edition. Samuelson, Paul A., 1973, Economics, Tokyo, McGraw-Hill. Sukirno, Sadono, 2000, Makroekonomi Modern, Jakarta, Rajawali. Suparmoko, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, 1991, Yogjakarta, BPFE, edisi keempat. Syamsi, Ibnu, 1988, Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Negara , Jakarta, Bina Aksara, 1988, edisi kedua.

Halaman 10 dari 10

Anda mungkin juga menyukai