Anda di halaman 1dari 9

Tuberkulosis dalam Otorinolaringologi: Presentasi Klinis dan Tantangan Diagnostik

Rajiv C.Michael1 and Joy S.Michael2

ABSTRAK
Tuberkulosis adalah penyakit yang mempengaruhi seluruh jaringan tubuh, meskipun beberapa lebih sering daripada yang lain. Tuberkulosis paru adalah jenis yang paling umum dari tuberkulosis sekitar 80% dari kasus tuberkulosis. Tuberkulosis otorinolaringeal adalah salah satu bentuk yang jarang dari tuberkulosis ekstrapulmonal tetapi masih merupakan klinis yang signifikan dan tantangan diagnostik. Selama tiga tahun, hanya 5 dari 121 pasien yang diduga mengidap tuberkulosis otorinolaringeal (tanpa adenitis servikal) yang terbukti memiliki kultur Mycobacterium tuberculosis (+). Secara histologis, 7 pasien terbukti menderita tuberkulosis. Hanya satu pasien yang memiliki sputum tuberkulosis paru yang positif secara bersamaan. Untuk mendiagnosa tuberkulosis otorinolaringeal, kita perlu melihat dari berbagai macam aspek klinis dan laboratorium.

PENDAHULUAN
Meskipun infeksi Mycobacterium tuberculosis dapat terjadi pada semua jaringan tubuh, infeksi tuberkulosis paru adalah jenis yang paling umum, sekitar 80% dari semua kasus tuberkulosis (TB) [1]. Manifestasi yang paling umum dari tuberkulosis ekstrapulmonal adalah limfadenitis [2]. Tuberkulosis otorinolaringeal masih jarang terjadi tetapi bukan merupakan masalah klinis yang langka. Manifestasi yang paling sering ditemukan pada TB otorinolaringeal adalah tuberkulosis laring tanpa limfadenitis servikal [3]. Laporan sebelumnya menyatakan bahwa sekitar 25%-30% pasien dengan TB otorinolaringeal juga memiliki TB paru [4]. Namun, sejak tahun 1990, ditemukan laporan kasus pasien dengan TB otorinolaringeal tanpa infeksi
1

tuberkulosis paru. Tuberkulosis pada selule mastoid dan telinga tengah adalah manifestasi berikutnya yang paling umum. Tanda dan gejala tuberkulosis regio ini dapat menyerupai keganasan, dan karenanya, diagnosis dini sangat penting. Kebanyakan dokter tidak menganggap TB sebagai diagnosis banding dari berbagai gejala otorinolaringeal, sehingga menyebabkan kesalahan diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat. Selain itu, AIDS, dan penyakit atau terapi imunosupresif juga meningkatkan kejadian tuberkulosis [2]. Diagnosis TB terutama didasarkan pada swab mikobakterial dan kultur yang positif atau histopatologi yang menunjukkan adanya granuloma kronis/kaseosa. Sejak ditemukan angka yang berarti dari diagnosa banding untuk presentasi klinis tuberkulosis otorinolaringeal, kami melaporkan pengalaman klinis dan laboratorium kami dengan presentasi klinis, diagnosis, dan pengobatan tuberkulosis otorinolaringeal.

MATERI DAN METODE


Penelitian ini merupakan analisis retrospektif dari sampel yang didapat dari regio otorinolaringeal, oleh Laboratorium Mikobakteriologi Departemen Mikrobiologi sejak tahun 2007 sampai 2009, dari Departemen Otorinolaringologi di Christian Medical College, Vellore, yang merupakan rumah sakit pendidikan perawatan tersier besar di Tamil Nadu, India Selatan. Laboratorium Mikobakteriologi diakreditasi melalui kultur dan tes sensitifitas terhadap obat (DST) oleh Revisi Program Kontrol Tuberkulosis Nasional (RNTCP) Pemerintah India dan Divisi Tuberkulosis Sentral (CTD), New Delhi. Pasien dengan tanda dan gejala sugestif tuberkulosis otorinolaringeal menjalani pemeriksaan klinis menyeluruh di klinik rawat jalan Departemen Otorinolaringologi Christian Medical College and Hospital. Pasien-pasien ini menjalani prosedur biopsi untuk diagnosis histopatologi dan atau diagnosis mikrobiologi. Pemeriksaan hitung sel darah putih lengkap, hitung jenis sel darah putih serta LED dilakukan untuk menilai kondisi umum pasien. Pasien dengan adenitis servikal tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
2

1.
1.1

Presentasi klinis. Diagnosis tuberkulosis didasarkan pada gambaran klinis berikut. Tuberkulosis Laring. Gejala yang muncul biasanya suara serak, odinofagia, dan disfagia bersamaan dengan penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan. Laringoskopi indirek/ pemeriksaan laringoskopi fibroptik umumnya didapatkan eritema difus dan perubahan granulomatosa atau polipoid dari pita suara. Gambaran klinis klasik tuberkulosis laring jarang terlihat dalam praktek klinis yang modern, dan biopsi sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan keganasan. Pada pasien yang diduga menderita TB dilakukan mikrolaringoskopi dan biopsi di bawah anestesi umum. Spesimen dikirim untuk pemeriksaan histopatologi, kultur mikobakteri, dan uji sensitifitas.

1.2

Tuberkulosis pada Telinga Tengah. Gejala yang muncul biasanya berupa otore yang persisten walaupun telah diberikan beberapa antibiotik, otalgia, gangguan pendengaran, dan dalam kasus yang berat dapat berupa facial palsy. Pada pemeriksaan fisik ditemukan banyak polipoid atau jaringan granulasi avaskular yang pucat. Para pasien dengan liang telinga tengah pucat dan mastoid yang bergranulasi dilakukan eksplorasi mastoid atau mastoidektomi kortikal, dan spesimen ini dikirim untuk pemeriksaan histopatologi, kultur mikobakteri dan uji sensitifitas.

1.3

Tuberkulosis pada Nasal dan Paranasal. Gejala yang umumnya tampak adalah hidung tersumbat dan rinore bercampur darah. Selain itu ditemukan pula gejala epistaksis dan sakit kepala. Pada pasien dengan lesi granular di hidung dan nasofaring dilakukan pemeriksaan endoskopi nasal rigid dan biopsi lesi. Spesimen kemudian dikirim untuk pemeriksaan histopatologi, kultur mikobakteri dan uji sensitifitas.

2.

Diagnosis laboratorium. Sampel jaringan dikirim ke laboratorium histopatologi dan

laboratorium mikrobiologi untuk diteliti swab mikobakteri, kultur, dan tes sensitifitas terhadap obat. Jika disertai TB paru, dibutuhkan 3 sampel dahak SPS untuk swab mikobakteri dan kultur. Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan pewarnaan jaringan menggunakan hematoksilin eosin. Patognomonik tuberkulosis adalah eksudat inflamasi granulomatosa kronis, dengan atau tanpa kaseasi.

Tabel 1: Ringkasan dari spesimen yang diterima di Bagian Mikobakteriologi lebih dari 3 tahun dengan kecurigaan TB regio otorinolaringeal. Nasofaring 1 Laring/pita suara 1 Telinga tengah/antrum mastoid 3

Kultur dan histopatologi terbukti TB Histopatologi terbukti TB Inflamasi nonspesifik pada histologi Infeksi jamur Keganasan Total

2 18 9 6 36

4 13 3 12 33

1 45 1 1 51

Sampel jaringan dikirim ke bagian mikobakteriologi dengan homogenizer steril. Mikroskopi dilakukan dengan metode fluoresensi Auramine "O" dan dinilai sesuai WHO / RNTCP [5]. Sampel kemudian diolah dan didekontaminasi dengan metode Petroff yang dimodifikasi dan diinokulasi ke media Lowenstein-Jensen (LJ) [6]. Tes sensitifitas terhadap obat dilakukan pada isolasi M. tuberculosis dengan metode proporsi 1% pada LJ terhadap Isoniazid, Rifampisin, Streptomisin, dan Etambutol [6].

HASIL
Sebanyak 121 sampel diterima dari Departemen Otorinolaringologi ke Departemen Mikrobiologi untuk kultur mikobakteri dan uji sensitifitas selama 3 tahun dari 2007 sampai 2009. Spesimen jaringan ini juga dikirim ke Departemen Patologi untuk pemeriksaan histopatologi.

Seperti terlihat pada Tabel 1, kami menerima sampel pasien suspek TB dari tiga regio, yaitu nasofaring (18/36), laring (13/33), dan telinga tengah / kavitas mastoid (46/51). Di antara 121 pasien, lima pasien memiliki histopatologi dan kultur yang terbukti TB masing-masing satu dari nasofaring dan laring dan tiga dari telinga tengah. Tujuh pasien hanya memiliki histopatologi peradangan granulomatosa kronis yang sangat sugestif tuberkulosis. Di antara pasien yang tersisa, 77 pasien memiliki histologi inflamasi non-spesifik dan kultur negatif untuk TB. Rincian dari lima pasien dengan kultur M. tuberculosis positif dan histologi sugestif tuberkulosis ditampilkan pada Tabel 2. Pasien adalah orang dewasa dengan usia berkisar 22-68 tahun dan dominan laki-laki (4:1). Tingkat sedimentasi eritrosit (LED) merupakan indikator tidak langsung dari peradangan dan digunakan sebagai penanda untuk tuberkulosis. Pasienpasien ini memiliki LED mulai dari 15 mm / jam sampai 45 mm / jam. Tak satu pun dari lima pasien menderita TB paru.

Tabel 2: Rincian lima pasien dengan spesimen otorinolaringeal kultur Mycobacterium tuberculosis positif.
No Umur Jenis kelamin Spesimen HIV LED (mm) Swab BTA Spesimen jaringan dari tempat yang terkena Kultur mikobakteri Histopato logi Disesuaik an dengan swab 5

sputum 1 22 L Antrum mastoid Antrum mastoid Antrum mastoid M. Negatif 45 Negatif tuberculosis sedikit M. tuberculosis banyak M. tuberculosis sedikit M. Negatif 18 Negatif tuberculosis sedikit M. Negatif 21 Negatif tuberculosis sedikit Inflamasi granulo matosa Inflamasi granulo matosa Inflamasi granulo matosa Inflamasi granulo matosa Inflamasi granulo matosa Negatif Negatif Negatif Negatif BTA Negatif

25

Negatif

15

BTA 3+

31

Negatif

25

Negatif

68

Laring

24

Naso faring

Tabel 3 memberikan rincian dari pasien dengan gambar histopatologi sangat sugestif tuberkulosis, tetapi swab mikobakteri dan kultur jaringan negatif. Di sini, hanya satu pasien dengan TB laring yang memiliki sputum kebetulan BTA positif TB paru. LED berkisar antara 5 mm sampai 50 mm.

Tabel 3: Rincian tujuh pasien dengan histopatologi positif dan kultur mikobakteri negatif spesimen otorinolaringeal.
No. Umur Jenis kelamin HIV ESR (mm ) Swab BTA 1 38 L Negatif 5 Supraglotis Negatif Spesimen Spesimen jaringan dari tempat yang terkena Kultur mikobakteri Tidak ada pertumbuhan Inflamasi granulomatosa 6 Histopatologi Disesuaikan dengan swab sputum BTA BTA 1+

16

Negatif

10

Palatum

Negatif

Tidak ada pertumbuhan

sugestif TB Inflamasi granulomatosa sugestif TB Inflamasi granulomatosa sugestif TB Granuloma nekrotik sugestif TB Inflamasi granulomatosa sugestif TB Granuloma nekrotik sugestif TB Inflamasi granulomatosa kaseasi sugestif TB

Negatif

21

Negatif

15

Antrum mastoid

Negatif

Tidak ada pertumbuhan

Negatif

55

Negatif

50

Nasofaring

Negatif

Tidak ada pertumbuhan

Negatif

22

Negatif

15

Supraglotis Negatif

Tidak ada pertumbuhan

Negatif

54

Negatif

15

Laring

Negatif

Tidak ada pertumbuhan

Negatif

62

Negatif

Laring

Negatif

Tidak ada pertumbuhan

Negatif

DISKUSI
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi granulomatosa yang paling umum yang melibatkan regio otorinolaringeal. Dengan munculnya kemoterapi anti tuberkulosis, insidennya telah menurun secara signifikan, tetapi terdapat kekambuhan tuberkulosis ekstra pulmonal (TBEP) yang termasuk tuberkulosis otorinolaringeal primer karena human immunodeficiency virus (HIV). Selama 3 tahun, 12 dari 121 pasien yang menderita tuberkulosis, hanya 5 yang terbukti dengan kultur dan histopatologi, sisanya 7 yang histopatologinya sangat sugestif tuberkulosis. Hanya 1 pasien yang juga menderita tuberkulosis paru. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis kasus tuberkulosis ekstra pulmonal dengan pembuktian laboratorium. Selain itu,
7

diagnosis klinis tuberkulosis regio otorinolaringeal juga dipersulit oleh gejala yang serupa dengan banyak infeksi lain dan kondisi patologis non infeksi lainnya. Tuberkulosis laring harus dibedakan dari infeksi kronis lain seperti sifilis, lepra, infeksi jamur, dan kondisi non infeksi seperti neoplasma, granulomatosis Wegener, dan sarkoidosis. Hal ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan histopatologi karena masing-masing kondisi ini memiliki gambaran karakteristik pada histologi. Beberapa bentuk tuberkulosis otorinolaringeal terutama tuberkulosis laring dan tuberkulosis telinga tengah secara kebetulan berhubungan dengan tuberkulosis paru [7]. Namun, hasil penelitian kami menyerupai laporan terbaru yang ada, di mana hanya satu dari pasien penelitian kami yang terbukti secara histopatologi sebagai tuberkulosis laring yang berdampingan dengan tuberkulosis paru. Mayoritas pasien kami menderita tuberkulosis otorinolaringeal primer. Orang yang terinfeksi HIV memiliki peningkatan risiko yang nyata terjadinya tuberkulosis primer atau reaktivasi tuberkulosis terutama tuberkulosis ekstrapulmonal [8]. Penelitian telah menunjukkan peningkatan risiko TB otorinolaringeal pada pasien dengan HIV [9], tetapi dalam penelitian kami, tidak ada pasien yang terbukti dengan kultur atau histopatologi sebagai penderita TB otorinolaringeal yang memiliki infeksi HIV. Nilai LED > 10mm telah dikaitkan dengan TB. Pasien kami yang terbukti dengan kultur dan histopatologi sebagai tuberkulosis otorinolaringeal memiliki LED rata-rata 20 cu mm / jam. Tingkat sedimentasi eritrosit (LED) merupakan penanda inflamasi nonspesifik yang umum digunakan selama pemeriksaan diagnostik awal pasien dengan TB [10]. Di Laboratorium Mikrobiologi, mikroskop smear digunakan untuk mendeteksi Basil Tahan Asam (BTA) dan kultur digunakan untuk diagnosis. Karena sampel ini termasuk pausibasiler, maka sering terjadi swab BTA yang negatif. Meskipun organisme membutuhkan 6 minggu atau waktu yang lebih lama untuk tumbuh pada media kultur padat (misalnya, agar telur Lowenstein-Jensen atau agar-Brook 7H10 atau 7H11), pertumbuhan umumnya terjadi dalam waktu 7-21 hari dengan media kultur cairan. Kultur juga diperlukan untuk melakukan tes sensitifitas terhadap obat. Di sisi lain, teknik molekuler, seperti reaksi rantai polymerase,
8

mendeteksi DNA atau RNA dari sampel dengan hasil yang jauh lebih cepat dari kultur dan sering dapat diperoleh dalam waktu 24-48 jam [11]. Dalam penelitian kami, dari 12 pasien yang terbukti dengan kultur M. tuberculosis atau yang secara histopatologi sugestif TB masing-masing dirujuk langsung ke klinik DOTS (Directly observed treatment short course) dan diperlakukan sesuai dengan Program Tuberkulosis Nasional Revisi (RNTCP) Pedoman kategori I pengobatan dengan 4 obat [12] fase intensif selama 2 bulan dengan Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol diikuti dengan 4 bulan fase lanjutan dengan Isoniazid dan Rifampicin. Tuberkulosis - MDR (Tuberculosis Multiple Drug Resistant) merupakan masalah yang meningkat pada pasien dengan TB paru di negara kita. Sejauh ini, semua pasien dalam penelitian kami yang telah terinfeksi, sensitif terhadap obat M. tuberculosis. Kemoterapi antituberkulosis tetap menjadi landasan pengobatan untuk tuberkulosis ekstrapulmonal, disertai peran operasi terutama untuk menetapkan diagnosis dini dan memulai pengobatan dini. Kesimpulannya, meskipun manifestasi tuberkulosis otorinolaringeal jarang terjadi dibandingkan sebelumnya, indeks kecurigaan yang tinggi sangat diperlukan mengingat kesamaan dalam presentasi klinis khususnya keganasan pada kepala dan leher, penyakit non infektif kronis dan kondisi patologis infektif lainnya. Selain itu, lesi ekstraskrofula ekstrapulmonal dari substrat otorinolaringeal biasanya berupa pausibasiler. Tuberkulosis otorinolaringeal primer bisa didapat tanpa bersamaan dengan tuberkulosis paru. Kultur mikobakterial positif bersamaan dengan gambaran histopatologi yang khas tetap menjadi landasan bagi diagnosis. Oleh karena itu kami merekomendasikan bahwa semua spesimen dari kasus dugaan tuberkulosis otorinolaringeal harus memiliki biopsi yang representatif untuk pemeriksaan histopatologi serta kultur mikobakteri dan sensitivitas. Studi yang diperlukan untuk melihat metode laboratorium yang baru dan lebih cepat dibandingkan sebelumnya dan diagnosis yang lebih akurat dari tuberkulosis ekstrapulmonal.

Anda mungkin juga menyukai