Naskah Publikasi
diajukan oleh
Sumiman Udu
20495/IV-4/1543/03
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2006
2
Naskah Publikasi
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Ilmu Sastra
Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora
Diajukan oleh
SUMIMAN UDU
Abstract
A research with title "Image of Women in Kaбanti: A socio-feminist analysis" has aimed to
know the image of women who represented in the texts of kaбanti. It consists of self-image of women
and their social image. Self-image of women covers their physical and psychical aspects, while social
image of women covers image of women in the family and in society. This analysis is continued to
unload the ideology that form the representation of women in texts of kaбanti. By this analysis, we
can show the potency of women that represented in the texts of kaбanti.
This research is conducted by perceived the performance of kaбanti as an introductory hymn
to lull a child. It provided also by interview. This interview is done with singers of kaбanti and some
elite figures that have a comprehensive knowledge about culture and custom of Wakatobi. The data in
this research transcribed and translated into Indonesian, and then it is analyzed by using feminist
literary criticism that focused on images of women to see the woman representation in texts of
kaбanti, including ideology that formed women existences.
Result of study indicates that self-image of women who represented in the texts of kaбanti is
still reside in tensional, desire to go forward and cultural limitation. There are psychical dynamic,
there is capable to determine hers own chance and there is not. While image of women in society and
in family that covers in the texts of kaбanti is represented as housewife, woman as a child, and woman
as host. The role representation of women in society can be seen from individual interaction to another
and individual interaction to society. Individual interaction can be seen from comments of singer
about her mother, figure of Wa Male, Wa Mondo, Wa Kalemo-Lemo and of Wa Kumoni-Koni. In this
comments, women were represented as free women and over a barrel. As a child, singer asked her
mother to go out from culture and followed conscience of her. Individual interaction to society can be
seen from comments of singer about the existence of culture and moral in society, for example
concerning marrying young, secret, gossip, falsehood, and deception. It is influenced by ideology that
formed those (women) representations. Those ideologies relate to economic activity, social cultural,
politics, education, and spiritual existence in Wakatobi societies. By this analysis, found some
potencies of woman that represented in texts of kaбanti, like open-minded women, dialogues women,
the worker women (business), and the desire of women to alter herself through education.
anak, juga merepresentasikan negeri impian yaitu negeri Seram. Teks I dimulai
dengan bait pembuka berikut. /E bue-bue wa paro ðia/, ‘ayun-ayun moga ia terlelap’,
/E kubanguko maka nuбangu/, ‘kubangunkan kamu baru terbangun’. Sedangkan teks
II dan III juga dimulai dengan bait, /E bue-bue бangka nusera/, ‘ayun-ayun perahu
Seram’, /E mbali бata nangkokombuno/, ‘tiangnya yang akan menjadi batang’.
Sehubungan dengan streotipe perempuan yang direpresentasikan dalam bait
ke-2 teks I tersebut di atas, pemahaman juga harus diarahkan pada cara pandang
masyarakat Wakatobi tentang ibu yang menyusui atau melahirkan. Pada saat ibu
melahirkan atau menyusui, ia dihargai dan dihormati yang ditandai dengan komba
oalu ‘bulan kedelapan’ (Munafi, 2001: 117).
Proses penciptaan citra fisik (tubuh) perempuan disaat mengandung,
melahirkan dan menyusui sebagai perempuan yang lemah merupakan suatu bentuk
kuatnya budaya patriaki yang membentuk representasi-representasi tersebut. Di sisi
yang lain, pandangan bahwa laki-laki yang tidak melayani istrinya di saat hamil dan
masa bersalin akan dihina oleh keluarga dan masyarakat. Rusaknya bentuk tubuh
seorang istri setelah melahirkan, berdampak buruk pada citra seorang suami.
Demikian juga saat hamil, kalau istrinya mengidam berarti suaminya dinyatakan
tidak tahu ilmu berkeluarga oleh keluarga perempuan dan masyarakat Wakatobi pada
umumnya1.
Dengan demikian, representasi tersebut, bukannya sebagai rintihan
ketakberdayaan, melainkan kesadaran perempuan atas fisiknya yang lemah.
Kehadiran laki-laki yang melayani dan membantu disadari masyarakat sebagai
bentuk penghargaan dan pengabdian, bukan kehinaan atau ketakberdayaan.
Masyarakat Wakatobi memiliki pemahaman bahwa perempuan yang bekerja di saat-
saat hamil, saat bersalin (semasih ada darah nifas) akan mempercepat ketuaan.
Konteks pemahaman budaya inilah yang melatari Wa Yai merepresentasikan citra
perempuan dalam bait kaбanti di atas.
Pada bait lain, penyanyi merepresentasikan citra fisik perempuan yang
memiliki kekuatan untuk dapat bekerja karena telah mempunyai kemampuan, tetapi
kemampuan tersebut masih terjebak dalam stereotipe-streotipe patriaki yang
menganggap perempuan sebagai makhluk yang harus berada di rumah (bdk.
Salomon, 1988; dalam Abdullah, 2001: 108). Telah terjadi proses sosialisasi yang
cukup lama sehingga perempuan harus tampil lemah di ruang domestik dan laki-laki
harus tampil lebih kuat (dunia publik) (Abdullah, 2001: 108-109). Sementara itu,
1
Wawancara dengan La Unga.
7
dalam kajian gender, konsep tersebut merupakan salah satu konstruksi yang bersifat
kultural, bukan biologis, (alami) Fakih (2003: 10).
Untuk itu, dalam rangka membebaskan perempuan dari ketakutan-ketakutan
atau perasaan bersalah terhadap budayanya perlu adanya kesadaran atas budaya yang
dianutnya. Perempuan harus memiliki pergaulan dan pengetahuan yang memadai,
sehingga perempuan dapat melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan dan
ketakberdayaan (Fakih, 2003: 165). Albom Mitch (2006: 81) mengatakan bahwa
satu-satunya obat untuk keluar dari kemiskinan adalah pendidikan.
Pada bait yang lain, si aku lirik (perempuan) memberi tahu ibunya untuk
menerima tindakannya dengan rasional. Hal tersebut dapat dilihat pada bait ke-15
teks I berikut.
E mai to-бawa moane-’e
Pe.mari 1pR-bawa jantan-Padv.
E na i-tondu buntu sabantara
Pe.art. 2pR-tenggelam hanya sebentar
pernyataan si aku lirik yang menyerahkan seluruh keputusan pada orang tuanya.
Kepasrahan tersebut bukan atas kesengajaan, sebagaimana yang dibicarakan oleh
Abdullah (2001: 27), melainkan keterpaksaan.
Di dalam bait yang lain, si aku lirik memiliki pikiran dan perasaan untuk
melupakan petunjuk atau keputusan yang diambil oleh orang tuanya.
citra perempuan sebagai ibu rumah tangga di dalam teks kaбanti, diekspresikan
dalam beberapa syair kaбanti berikut. /E bue-bue wamparo ðia/ ‘ayun-ayun moga ia
tertidur lelap’, /E kuбangune maka no-бangu/, ‘kubangunkan baru ia terbangun’ (T.I:
1). Teks I bait pertama tersebut merupakan ekspresi perempuan dalam menidurkan
anaknya. Sedangkan pada teks II dan III, ibu di samping bertugas untuk menidurkan
anaknya, ia juga memberikan impian pada anaknya. Hal tersebut terlihat dalam syair:
/E bue-bue бangka nu sera/ ‘ayun-ayu perahunya Seram’, /E mbali бata
nangkokombuno/ ‘tiangnya menjadi batang’.
Pada bait yang lain, perempuan juga berperan sebagai orang tua, merawat,
dan membesarkan anak-anaknya, seperti kutipan teks berikut: /E wa ina buntu nohoti
ði kaburi nangkombitia/ ‘ibu hanya memberi makan’, /E ði kaburi nangkombitia/
‘pada jodoh tempat memelihara (T.I: 4). Adapun dalam hal pengambilan keputusan
untuk mencari jodoh, campur tangan orang tua (ibu) harus dibatasi.
Harapan si aku lirik dalam syair kaбanti tersebut tentunya memiliki
kesejajaran dengan perempuan sebagai penyanyi, yaitu Wa Yai. Penyanyi menyadari
bahwa ia hanya berkewajiban untuk membesarkan anak-anaknya, tetapi ia juga harus
memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk berpikir guna mendapatkan
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan hidupnya di masa depan. Hal
tersebut dapat dilihat pada syair: /E wa ina anengkomoha’a/ ‘ibu, apa yang kamu
dapat perbuat’, /E ara kumala ntelarosu/ ‘kalau aku mengikuti kata hatiku’(T.I: 5).
Dalam teks II, citra perempuan direpresentasikan sebagai ibu rumah tangga
yang menidurkan anaknya sekaligus perempuan yang mau masuk hutan (bekerja).
Dengan demikian, sebagai ibu rumah tangga, perempuan Wakatobi memiliki fungsi
ganda, yaitu sebagai perawat anak dan sebagai pekerja. Pencitraan perempuan
tersebut dapat dilihat dalam teks II bait, 32 berikut.
32. E mbula-no ku-mempo’oli-mo
Pe.untung-3spos.1sR-kuat-past
E ku-rongo kene ngku-turumba
Pe. 1sR-rongo dan 1sR-menjunjung
keluarga dan masyarakat (Fine & Leopold, 1993: 210 dalam Abdullah, 2001: 40).
Banyak perempuan yang tidak berdaya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat
hanya karena streotipe yang selama ini dibangun, yakni perempuan hanyalah perawat
anak.
Ibu, dimanakah?
Jodohku
39. E te buri paka nte iguru
Pe.art.jodoh bukan art. diajarkan
E no-laha-laha ngkarama-no
Pe.3sR-cari-cari sendiri-3spos
Di samping itu, di dalam teks III citra perempuan sebagai seorang anak
direpresentasikan sebagai anak yang mewarisi kemiskinan orang tuanya.
4. E ku-бumanti-бanti ma’asi
Pe.1sIR-(akan)menyanyi-nyanyi kasihan
E no-moni’asi na ina-su
Pe.3sR-miskin art. ibu-1spos
E wa ku-mekarunga-runga-ngko-mo
Pe. PG 1sIR-memetik muda-2spos-past
Kasihan Wa Kalemo-lemo2
Aku sudah akan memetikmu di saat kamu masih muda
48. E wa ina na runga-runga-su
Pe. PG ibu art. muda-1spos
E te susa ku-ðumpali-ne-mo
Pe. art. susah 1sR-jumpai-3spos.-past
2
tumbuhan di pinggir pantai yang biasanya digunakan para nelayan untuk tempat berteduh
17
bahwa sebagai tuan rumah, perempuan harus tetap waspada pada tamu-tamunya.
Karena pendatang, sewaktu-waktu akan pergi dan tak akan pernah kembali.
Sebagai tuan rumah juga mengharapkan tentang kenang-kenangan dari
pendatang (tamu), dalam bait yang lain, penyanyi kaбanti merepresentasikan harapan
perempuan sebagai tuan rumah sebagai berikut. /E te laðaga ara nolangkemo/ ‘kalau
pendatang sudah berlayar (pulang)’/E takone nggala nte handu‘u/ ‘simpanlah walau
hanya handukmu’. Suatu pengharapan yang disampaikan pada pendatang (tamunya).
Dalam masyarakat Wakatobi, jika seorang laki-laki menyimpan baju atau apa
saja dari tubuhnya di rumah seorang perempuan maka dapat dimaknai bahwa laki-
laki tersebut telah melabuhkan cintanya pada perempuan itu. Oleh karena itulah pada
teks di atas, perempuan berharap bahwa kalau pendatang (laki-laki) itu sudah
berangkat, maka permintaannya adalah tinggalkan sesuatu walaupun hanya dalam
bentuk selembar baju. Pengharapan perempuan tersebut sekaligus harapan untuk
memilih pendatang (ðaga) sebagai pasangan hidupnya. Hal ini dapat dilihat pada
syair: /E kulumangke ðaga wa ina/ ‘ibu, saya akan berlayar seperti pendatang’, /E
kulumalo naбarangkasu/ ‘saya akan melewati tanah kelahiranku’ (T.I: 37-40).
Dengan demikian, kaбanti sebagai pengantar tidur juga mengajarkan tata nilai
bagi anak-anaknya. Perempuan bukan saja menidurkan anaknya tetapi lebih dari itu,
mereka mendidik anak dengan akhlak dan moral. Anak-anak dididik untuk menjadi
tuan rumah yang santun dan ramah sekaligus tetap waspada terhadap tamu.
7). Tanggapan tersebut merupakan representasi tanggapan si aku lirik sebagai pribadi
kepada budaya dan masyarakatnya yang mempunyai kebiasaan mengawinkan anak
gadisnya pada usia dini. Hal tersebut dapat dilihat dalam teks II bait ke-7 dan ke-8
berikut.
7 E kalawu-no na-ngkaðima-no
Pe. Kalawu 3spos. 3sIR-kadima-3spos.
E na kamba ði timpo morunga
Pe. art bunga dipetik muda
Kasihannya Wa Ndi’ole4
Seberapa besar beban yang ia mampu pikul
Sedangkan di dalam teks III, bait-bait yang merepresentasikan hubungan
antarpribadi antara lain adalah hubungan antara tokoh ibu dan si aku lirik yang
bersifat dialogis, yakni dialog antara ibu dan anak. Sebagai seorang anak, si aku lirik
meminta kepada ibunya agar barang yang mereka miliki diberikan saja pada orang
lain. Hal tersebut dapat dilihat pada syair: /E Wa ina akoðo te mia/ ‘ibu, untuk
orang dulu’ /E ikita la’a ntololaha/ ‘untuk kita nanti dicari’. Dengan demikian,
hubungan ibu dan anak itu terjadi dalam suasana yang harmonis. Dialog merupakan
sarana diskusi yang dapat membawa anggota keluarga pada penyelesaian masalah ke
arah yang demokratis.
4
perempuan yang tegar
20
teks I dikatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan sama dalam hal memilih
jodoh. Si aku lirik mengekspresikan hal ini dengan mengatakan bahwa memaksa
seseorang untuk mencintai orang yang tidak dicintainya sama dengan melarang
seseorang untuk tidak mencintai orang yang dicintainya. Hal ini dapat dilihat dalam
syair: /E wa ina buntu no-pokana/ ‘ibu hanya sama’ /E na poilu kene panganta/
‘antara suka dan tidak suka’.
Protes perempuan dalam teks kaбanti di atas merupakan citraan mengenai
peran sosial perempuan di dalam masyarakat. Penyanyi (perempuan) telah
menciptakan tanda-tanda (semiotik) yang dapat merepresentasikan perempuan yang
bebas dan setara dengan laki-laki. Dengan demikian, terdapat keinginan perempuan
Wakatobi untuk dihargai sebagai mahluk yang mandiri dan tidak terkekang oleh adat
dan budaya.
Pada teks II, si aku lirik menanggapi adanya tukang gosip yang dapat
membahayakan kehidupan bermasyarakat. Menghadapi tukang gosip tersebut, si aku
lirik meresponsnya melalui syair: /E kambea siða nte homali/ ‘ternyata betul sebuah
larangan’ /E na бawa-бawa mpotae’a/ ‘kalau (kita) menjadi tukang gosib’. Dengan
demikian, penyanyi telah mencitrakan perempuan sebagai perempuan yang memiliki
berperan sosial di dalam masyarakat. Peran sosial perempuan tersebut dapat
mengurangi ketegangan sosial yang disebabkan oleh para penggosib. Menanggapi
hal tersebut, penyanyi (perempuan) menganggapnya sebagai sesuatu yang berbahaya.
Di dalam teks II, si aku lirik memberikan tanggapan pada seorang perempuan
yang baik hati. Budi baik tidak akan dilupakan sampai kapan pun. Dengan demikian,
teks kaбanti di atas merepresentasikan suatu ajaran moral. Hal tersebut dapat dilihat
pada syair: /E ka’asi na wa Mele Laro/ ‘kasihannya Wa Mele Laro5’ /E ta-lumingane
toumpa-mo/ ‘bagaimana kita akan lupakannya’.
Pada aspek yang lain, si aku lirik merespon kehidupan masyarakat Mandati
yang sulit dipercaya. Tanggapan si aku lirik yang direpresentasikan dalam teks
kaбanti. Ungkapan tersebut terlihat pada syair: /E kambea te gau Mandati/ ‘padahal
bahasa Mandati’ /E na-ðiposale-nsale-nako/ ‘orang yang disaling ajak-mengajakan’.
Bait kaбanti di atas, merupakan tanggapan atas kebohongan yang dijadikan
sebagai suatu kebenaran bersama. Dalam masyarakat Wangi-Wangi dan Wakatobi
pada umumnya terdapat ingatan kolektif atas sikap masyarakat Mandati dalam
menjalani kehidupan. Jika orang Mandati melerai orang yang berkelahi, maka akan
berkata ‘Handa’e kaolo kai’ ‘cepat jangan’, ungkapan-ungkapan seperti ini sekaligus
menjadi ciri khas orang Mandati dalam menangani masalah. Masyarakat Wangi-
5
perempuan yang senang menyapa tamunya dengan hangat
22
Wangi mengenal istilah ‘angku-angku Mandati’ , ‘melarai ala orang Mandati’ untuk
tindakan yang tidak adil dalam penyelesaian masalah.
Kritik sosial yang sehubungan dengan kehidupan sosial masyarakatnya
adalah tanggapannya mengenai masyarakat yang pendendam. Si aku lirik berupaya
untuk menghilangkan rasa dendam tersebut dengan menghaluskan jiwa. Hal ini dapat
dilihat pada syair: /E Wa Laro ku-sonde’angko-ðo/, ‘Wa Laro ku-sonde’a6 kamu’,
/E бara ako nu-marasangka/ ‘jangan sampai kamu tersangkut-sangkut’ (T.II: 27).
Pada teks III, perempuan direpresentasikan sebagai perempuan yang memiliki
pandangan tentang moral. Si aku lirik lebih mementingkan akhlak daripada harta.
Hal itu dapat dilihat pada syair:
6
tempat pembersihan benang tradisional sebelum dijadikan kain. Biasanya lakukan dengan cara merendam
kapas yang sudah dipintal. Untuk mendapatkan kain yang halus, maka kain harus disonde. Bahan sonde adalah
ubi kayu yang dicincang kemudian direbus lalu diambil sebagai pelicin/penghalus benang yang bentang.
7
toбa: (1) tempat penyimpanan barang berharga buat keluarga; (2) tempat mendudukkan seluruh proses adat
dalam masyarakat Wakatobi; (3) tempat rokok untuk orang-orang tua.
8
Ema adalah orang yang suka menyapa orang lain.
23
1.5 Penutup
Kaбanti pengatar tidur sebagai salah satu media pencitraan perempuan yang
digunakan untuk mewariskan nilai-nilai budaya, adat istiadat, nasihat, pikiran,
perasaan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat kecamatan Wangi-Wangi kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara.
Sebagai sarana pencitraan, kaбanti merepresentasikan citra diri dan citra sosial
perempuan. Citra diri perempuan meliputi: citra fisik dan citra psikisnya, sedangkan
citra sosial perempuan meliputi citra perempuan dalam kelurga dan citra perempuan
dalam masyarakat. Di samping itu, kajian tentang citra perempuan dalam kaбanti
dapat membongkar ideologi yang membentuk representasi-representasi dalam teks-
teks kaбanti. Dengan demikian, potensi perempuan yang terdapat dalam teks-teks
kaбanti, yang sesuai dengan budaya masyarakat akan terungkap sehingga
keterlibatan perempuan dalam pembangunan dapat dimaksimalkan.
28
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta:
Tarawang Press.
Albom, Mitch. 2006. Selasa Bersama Morrie. Diterjemahkan oleh Alex Tri Kontjono
Widodo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan (YJP).
Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita
dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo
(editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Goodman, Lizbeth. 2001. Literature and Gender. New York: The Open University.
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Munafi, La Ode Abdul. 2001. Langke dalam Kehidupan Orang Buton di Sulawesi
Tenggara (Kajian Strukturalisme tentang Pranata Migrasi. Bandung :
Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ruthven, K.K. 1984. Feminist Literary Studies. Cambridge: Cambridge University
Press.
Schoorl, Pim. 2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan,
KITLV.
Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty.
Bandung: Nuansa.
Sasono, Edi 1987. “Masalah Kemiskinan dan Fatalisme”. Dalam Sri edi Swasono
(penyunting). Sekitar Kemiskinan dan Keadilan: dari Cendekiawan
Kita tentang Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Santoso, Widjajanti, M. 2001. “Keluarga Perempuan dan Anak dalam Kotak Kaca
yang Terlewatkan”. Dalam Muhamad Hisyam (editor) Indonesia
29
Menapak Abad Dua Satu dalam Kajian Sosial dan Budaya. Jakarta:
Peradaban.