Anda di halaman 1dari 108

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI



Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

ISSN 1829 6564


Volume 3, Nomor 1, Juni 2006
Halaman 1 - 104


Iklim Organisasi: Lingkungan Kerja Manusiawi (1-36)
Andr Hardjana (Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta)

Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen
dalam Kajian Komunikasi (37-48)
A. Eko Setyanto ()

Menertawakan Kejelataan Kita :
Transgresi Batas-Batas Marginalitas
dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri (49-62)
Budi Irawanto (Universtias Gadjah Mada, Yogyakarta)

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
dalam Program Kampanye Sosial (63-76)
Ike Devi Sulistyaningtyas (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi:
Perspektif Hongkong dan Indonesia (77-90)
Tjipta Lesmana (Universitas Pelita Harapan, Jakarta)

Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja (91-104)
Sumbo Tinarbuko (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)



1
Iklim Organisasi: Lingkungan Kerja Manusiawi


Andr Hardjana
1



Abstract: Organizational climate is a major concept of human
relations for understanding human behavior under different
environmental influences. The climate affects employees
productivity as well as job satisfaction. The right climate serves as
one of the most effective tools of the leader for motivating his
subordinates. This article is a critical review of the concept of
organizational climate and its theoretical models which were
developed by major scholars. More importantly, it shows the way
organizational climate leads to the emergence of organizational
communication climate, which in turn leads to the concept of
organizational culture.

Key words: organizational climate, human relations, job
satisfaction, productivity.


Di dalam bidang studi komunikasi keorganisasian (organizational
communication, iklim organisasi (organization climate) dan iklim komunikasi
(communication climate) adalah dua konsep penting yang harus dipahami dan
tidak boleh dikacaukan, meskipun keduanya saling berhubungan. Kedua kosep
ini merupakan strategi yang dibangun oleh manajemen sebagai upaya untuk
menciptakan organisasi yang efektif, khususnya dengan pemberdayaan
karyawan melalui kepuasan kerja. Iklim organisasi masuk ke dalam khazanah
komunikasi keorganisasian, khususnya komunikasi manajerial (managerial
communication), berkat jasa dari W. Charles Redding, direktur Industrial
Communication Research Center di Purdue University, Indiana, dan bapak
dari bidang studi komunikasi keorganisasian. Di dalam buku monumental
setebal 538 halaman yang berjudul Communication within the Organization:
An Interpretive Review of Theory and Research, Redding menyajikan tinjauan

1
Andre Harjana adalah Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Katolik Atma
J aya J akarta
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
2
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
kritis atas berbagai teori dan riset tentang komunikasi di kalangan organisasi-
organisasi industri dan bisnis dan sampai pada kesimpulan yang antara lain
berbunyi sebagai berikut (Redding, 1972: 111):
The climate of the organization is more crucial than are
communication skills or techniques (taken by themselves) in creating
an effective organization. (Iklim organisasi adalah jauh lebih
penting dari pada ketrampilan-ketrampilan ataupun teknik-teknik
komunikasi (bila dilihat secara terpisah) dalam penciptaan organisasi
yang efektif.

Kesimpulan tegas itu cukup mengejutkan bukan saja di kalangan ahli
sejamannya tetapi juga kita semua yang menjadi siswa di bidang komunikasi
keorganisasian. Setelah menyimak pernyataan Redding ini, kita pun tergerak
untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Apa yang dimaksud Redding dengan
iklim organisasi? Mengapa iklim organisasi dipertentangkan dengan faktor-
faktor teknis ketrampilan atau teknik komunikasi? Apa komponen-
komponen yang membentuk iklim organisasi?
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah upaya pemahaman tentang
konsep iklim organisasi, termasuk asal-usul sejarah, perkembangan,
kedudukannya sekarang dan implikasinya untuk riset.

PENGERTIAN DAN SEJARAH
Tinjauan kritis terhadap perkembangan teori dan riset tentang iklim
organisasi yang dilakukan oleh Redding dapat dilihat sebagai bagian dari
gelombang usaha pemahaman yang simpang siur di kalangan ahli organisasi
dan manajemen yang berlangsung sejak tahun 1966. (Hellriegel dan Slocum,
1974:289-312). Kesimpang-siuran pengertian tentang iklim organisasi
sebagaimana ditunjukkan oleh Lawrence R. J ames dan Allan P. J ones (1974:
1096-1112) adalah karena di satu pihak konsep itu dikacaukan dengan konsep
iklim psikologi (psychological climate) dan di lain pihak digunakan untuk
menggantikan komponen-komponen situasional organisasi (components of
situational variance in an organizational model), yang meliputi komponen
kontekstual, struktural, sistem nilai, dan lingkungan fisik. Singkat kata, iklim
organisasi dianggap sebagai istilah baru yang serba menyelimuti segala
faktor penting organisasi yang sebelumnya justru sudah dipisah-pisahkan di
dalam bidang studi organisasi. Istilah iklim organisasi digunakan sebagai
sebuah metafora. Istilah metafora dipinjam dari bidang studi kesusastraan
yang pada dasarnya berarti kiasan atau perbandingan, yakni penyampaian
sesuatu pengertian asing yang tidak dikenal melalui sesuatu ungkapan yang
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
3
sudah dikenal. Misalnya, kita melukiskan bagaimana kapal yang bergerak
lambat menerjang ombak melalui ungkapan kapal itu membajak samodera,
karena kita tahu bagaimana kecepatan petani membajak sawah. Dengan
menggunakan metafora, makna pesan menjadi lebih mudah ditangkap dan
mengesankan. Dengan menyatakan iklim organisasi, kita membandingkan
lingkungan organisasi dengan lingkungan fisik geografis yang sudah kita kenal
sebagai gabungan dari kekuatan udara, suhu, awan, hujan, dan panas matahari
yang mempengaruhi perilaku kehidupan dalam masyarakat, seperti jenis
makanan yang dikonsumsi, jenis pakaian yang digunakan, bentuk rumah yang
dibangun, alat transportasi yang digunakan, jenis tanaman dan binatang yang
dipelihara untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bagaimana hubungan
antaranggota masyarakat itu dibangun. Dengan menggunakan istilah iklim
organisasi kita dapat mengerti bahwa perilaku dan hubungan antarkaryawan
sebagai anggota organisasi dipengaruhi oleh gabungan sejumlah kekuatan
yang membentuk lingkungan kerja organisasi.
Studi tentang iklim organisasi dirintis oleh Kurt Lewin di tahun 1930-
an, ketika ia mencoba menghubungkan perilaku manusia dengan
lingkungannya. Dalam studi tersebut Lewin (1951:241) memperkenalkan
istilah atmosfir (atmosphere) yang terkait dengan medan psikologi
(psychological field) sebagaimana dapat dibaca dalam kutipan berikut ini:
Untuk memaparkan ciri-ciri medan psikologis, kita harus
memperhitungkan hal-hal khusus, seperti tujuan, stimuli, kebutuhan,
hubungan sosial maupun ciri-ciri yang bersifat lebih umum, seperti
atmosfir (misalnya, atmosfir yang ramah, tegang, atau permusuhan)
atau tingkat kebebasan yang ada. Ciri-ciri medan ini secara
keseluruhan sama pentingnya dalam ilmu psikologi, bila dibandingkan
misalnya dengan medan berat (field of gravity) di dalam ilmu fisika
klasik dalam penjelasan peristiwa-peristiwa. Atmosfir psikologis
adalah kenyataan-kenyataan empiris dan merupakan fakta-fakta yang
dapat diuraikan secara ilmiah. (Cetak miring ditambahkan untuk
memperjelas, AH).

Dampak dari atmosfir psikologis itu secara konkret dapat dilihat
dalam rumus yang disusunnya sebagai B = f (P, E). Perilaku seorang perawat
(B) di dalam rumah sakit merupakan fungsi atau dipengaruhi oleh kepribadian
atau ciri-ciri pribadi perawat tersebut (P) dan lingkungan rumah sakit atau
iklim (E). Singkatnya, ada hubungan yang kuat antara perilaku dan lingkungan
kerjaatmosfir psikologis, seperti keramahan, permusuhan, dan ketegangan.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah atmosfir yang diperkenalkan
oleh Lewin ini ditinggalkan dan diganti dengan istilah iklim organisasi
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
4
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
(organizational climate). Sayangnya istilah iklim organisasi yang sudah
mapan itu kemudian sering juga dikacaukan dengan istilah-istilah lain seperti,
iklim psikologis (psychological climate), kepribadian organisasi
(organizational personality), dan bahkan istilah umum situasi organisasi
(organizational situation) (J ames dan J ones, 1974). Istilah yang disebut
terakhir dapat dikatakan cenderung mengaburkan konsep iklim organisasi,
sedangkan istilah-istilah lain pada dasarnya hanya menonjolkan salah satu
dimensi dari iklim organisasi. Lebih dari itu, istilah budaya organisasi
(organizational culture) yang populer sejak kemunculannya di awal tahun
1980-an menambah keruwetan dalam upaya pemahaman kita tentang iklim
organisasi ini (Goldhaber, 1993).
Pada awal sejarahnya studi tentang iklim organisasi terfokus pada
bidang pendidikankondisi dalam proses belajar-mengajar di sekolah, yakni
dalam kaitannya dengan produktivitas siswa. Salah satu buku terkenal yang
memuat rangkaian studi tentang iklim organisasi di sekolah adalah The
Organizational Climate of Schools, karya Andrew W. Halpin dan D. B. Crofts
(1963) dari University of Chicago. Dari pengertian iklim organisasi sebagai
kondisi lingkungan kelas, yang berdampak pada produktivitas siswa, muncul
studi-studi tentang iklim organisasi dalam artian praktek lingkungan kerja
yang berdampak pada produktivitas karyawan. Aplikasi konsep iklim
organisasi sebagai lingkungan kerja yang berpengaruh pada produktivitas
karyawan menjadi populer berkat jasa George H. Litwin dan Robert A.
Stringer, J r. dari Harvard University. Kedua ahli ini melakukan serangkaian
studi eksperimen dengan kondisi kelas dan lingkungan kerja organisasi
bisnis yang hasilnya dilaporkan menjadi buku berjudul Motivation and
Organizational Climate (1968). Mereka melakukan eksperimen di kalangan
siswa-siswa sekolah menengah di dalam sebuah simulasi perusahaan dengan
iklim yang berbeda-beda, yakni struktur bisnis otoriter (autoritarian business
structure), bisnis demokratis (democratic friendly), dan bisnis kejar target
(achieving business). Dalam eksperimen itu peneliti bertugas sebagai
pimpinan perusahaan yang harus mempraktekkan gaya kepemimpinan
(leadership style) yang berbeda-beda. Lingkungan bisnis kejar target
menunjukkan bahwa karyawan mencapai kinerja tinggi, sedangkan bisnis
demokratik memberikan rasa kepuasan kerja yang lebih tinggi. Secara
keseluruhan, bila dilihat kaitannya dengan kepuasan kerja (job satisfaction)
yang meliputi unsur-unsur hubungan antar pribadi, kekompakan-kelompok,
dan keterlibatan kerja, maka iklim organisasi yang berorientasi pada
demokratis-afiliatif mempunyai hubungan paling kuat, diikuti iklim kejar
target-prestasi dan terakhir iklim kekuasaan-otoriter. Riset Litwin dan
Stringer kemudian dilanjutkan dalam tiga buah penelitian di kalangan
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
5
karyawan perusahaan. Hasil-hasil riset lapangan itu ternyata konsisten dengan
hasil yang diperoleh dari riset eksperimen di atas.
Hubungan positif antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja
ternyata mendapat peneguhan dari hasil studi sejumlah peneliti lain (Hellriegel
dan Slocum, 1974:296). Bahkan tidak kurang dari 90 buah studi menurut
perhitungan Hellriegel dan Slocum (1974) juga menunjukkan bahwa iklim
organisasi mempunyai hubungan yang positif dan konsisten dengan kinerja
organisasi. Meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam hubungan kausal,
umumnya disepakati bahwa iklim organisasi mempunyai hubungan yang
positif dengan kepuasan kerja ataupun kinerja organisasi. Namun
bagaimana konsep iklim organisasi itu harus ditafsirkan dan dijabarkan,
ternyata tidak terdapat kesepakatan di kalangan para ahli. Secara sederhana
dapat dinyatakan bahwa penafsiran dan penjabaran konsep iklim organisasi
dalam berbagai penelitian tersebut sangat tergantung pada orientasi para
peneliti itu sendiri. Namun perbedaan orientasi di kalangan para ahli itu dan
variasi penafsiran dan penjabaran konsep ini tetap menunjukkan bahwa iklim
organisasi sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari faham hubungan
manusiawi (human relations) yang kini secara lebih tegas termanifestasi
melalui perilaku organisasi (organizational behavior) (Davis, 1985). Faham
human relations mengajarkan bahwa pimpinan organisasi mempunyai
tanggung jawab atas penciptaan proses pengintegrasian para karyawan ke
dalam lingkungan kerja yang dapat memotivasi mereka untuk bekerja
bersama secara produktif, kooperatif, dan dapat memperoleh kepuasan
ekonomi, psikologis, dan sosial.
Demi pemahaman historis, di bawah ini akan disajikan tiga definisi
berbeda yang dianggap penting dalam perkembangan pengertian konsep iklim
organisasi dan dimensi-dimensi dalam penjabarannya menjadi semacam
model, yakni definisi Garlie A. Forehand (1964), Litwin-Stringer (1968), dan
J ohn P. Campbell (1970).

Model Forehand
Definisi Forehand menonjolkan dua aspek dasar yang khas dalam
pengertian iklim organisasi, yakni ciri khas organisasi yang tidak mudah
berubah dan pengaruh ciri khas tersebut pada perilaku segenap anggota
organisasi. Rumusan definisi Forehand (1964: 362) berbunyi sebagai berikut:
[Organizational climate is a ] set of characteristics that describe an
organization and that (a) distinguish the organization from other
organizations, (b) are relatively enduring over time, and (c) influence
the bebavior of people in the organization].
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
6
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
[Iklim organisasi adalah] seperangkat ciri-ciri yang menggambarkan
sebuah organisasi dan yang (a) membedakan organisasi tersebut dari
organisasi-organisasi lain, (b) bertahan hidup cukup lama, dan (c)
mempengaruhi perilaku orang-orang di dalam organisasi tersebut.

Dalam penjelasannya Forehand menegaskan bahwa dampak iklim
organisasi pada perilaku individu dapat dilihat pada stimuli yang dihadapi para
anggota organisasi secara individual, kekangan atau hambatan atas kebebasan
memilih perilaku di kalangan karyawan, dan proses pemberian sanksi dan
ganjaran. Untuk penjelasan yang lebih rinci dan lengkap dengan
penjabarannya kemudian, Forehand (1968: 65-82) menulis artikel berjudul
On the Integrations of Persons and Organizations yang dimuat dalam buku
yang disunting oleh Renato Tagiuri dan George H. Litwin (1968) berjudul
Organizational Climate: Explorations of a Concept. Dalam artikel itu
Forehand menegaskan bahwa iklim organisasi meliput lima ciri asasi
organisasijuga terkenal dengan sebutan dimensi, yaitu: (1) ukuran dan
struktur organisasi (size and structure); (2) pola kepemimpinan (leadership
patterns); (3) kompleksitas sistem (system complexity); (4) arah tujuan (goal
direction); dan (4) jaringan komunikasi (communication networks).
Ukuran dan struktur organisasi adalah sangat penting, karena sering
menimbulkan salah pengertian di kalangan masyarakat. Di satu pihak ukuran
organisasi sering dikaitkan dengan kualitas kemapanan organisasikhususnya
organisasi berukuran besar berarti kokoh dan stabil. Namun di lain pihak
ukuran besar (complex organizations) juga dianggap sebagai tidak manusiawi,
karena memperlakukan karyawan sebagai alat, sumber tenaga kerja, dan
nomorhubungan fungsional yang impersonal dan mekanistik. Secara
keseluruhan besaran ukuran organisasi memang mempunyai dampak
psikologis pada diri karyawan, namun lebih dari itu jenjang-jenjang organisasi
menunjukkan makna psikologis yang jauh lebih penting bagi karyawan.
Kedudukan karyawan sepanjang jenjang-jenjang hierarki organisasi
mempunyai dampak yang jauh lebih besar di kalangan karyawan dari pada
sekedar perbedaan ukuran organisasi, seperti perusahaan besar, menengah,
atau kecil. Namun pada umumnya struktur organisasi menjadi penting karena
terkait dengan ukuran organisasi. Semakin besar ukuran organisasi semakin
jauh jarak antara para eksekutif di posisi puncak dengan karyawan operasional
biasa di tingkat bawah. J arak tersebut dapat menimbulkan hambatan
psikologis yang menyebabkan karyawan yang berkedudukan jauh dari pusat
pembuatan keputusan itu merasa terasing dan tidak masuk hitungan. Selain itu,
jarak ini juga terkait dengan perasaan tidak manusiawi karena sulitnya
menjalin interaksi dan hubungan sosial.
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
7
Pola-pola kepemimpian meliput berbagai gaya kepemimpinan
(leadership styles) yang digunakan dalam perusahaan, rumah sakit, perguruan
tinggi, atau badan pemerintah. Praktek kepemimpinan, yakni perlakukan
pimpinan atas karyawan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan kekuatan
besar yang dapat menciptakan iklim yang menimbulkan dampak langsung
pada kepuasan dan produktivitas. Pimpinan yang dingin atau hangat,
sibuk kejar target atau penuh pengertian dan pertimbangan, kontrol keras
atau dukungan akan ditanggapi berbeda-beda oleh karyawanterkait dengan
tingkat produktivitas karyawan.
Kompleksitas sistem merupakan wujud dari jumlah dan jenis
hubungan antar bagian dari sistem. Kompleksitas sistem mengacu pada
jumlah dan jenis hubungan yang terjadi di antara bagian-bagiansubsistem-
subsistem yang biasanya disebut departemen atau divisi. Bila pembagian
organisasi menganut sistem departemen, misalnya, maka yang menjadi
pertanyaan pokok adalah bagaimana dependensi ataupun interdependensi di
kalangan departemen-departemen yang ada. Bila sebuah departemen
tergantung pada tiga departemen lainnya, maka intensitas interaksi
antardepartemen tersebut akan sangat tinggi. Adapun bentuk interaksi tersebut
akan ditentukan oleh jenis tujuan, teknologi, dan gaya kepemimpinan dalam
departemen-departemen tersebut.
Arah tujuan berbeda menurut jenis organisasi. Perbedaan tujuan dapat
digunakan sebagai dasar kriteria untuk membedakan organisasi menjadi
kategori bisnis, layanan publik, dan filantropi. Bahkan di dalam kategori
bisnis, yang sangat mementingkan laba, terdapat tujuan yang berbeda-beda
dan sering tidak sejalan. Misalnya, dalam mencapai tujuan pokok yakni laba,
perusahaan akan memberikan bobot yang berbeda-beda pada hubungan
dengan tujuan perlindungan alam, pencemaran lingkungan, kerjasama dengan
serikat kerja, hubungan komunitas atau CSR (corporate social responsibility)
dan pusat-pusat riset di kampus. Tujuan yang bervariasi itu akan
mempengaruhi perilaku karyawan karena pencapaian tujuan akan terkait
dengan pemberian sanksi dan ganjaran. Maka prioritas tujuan-tujuan itu harus
dibuat jelas di kalangan segenap pihak yang berkepentingan, karena kekaburan
dan ketidak pastian dapat membingungkan, bahkan menimbulkan konflik.
J aringan komunikasi merupakan dimensi iklim yang penting karena
menunjukkan betapa jaringan komunikasi itu silang menyilang antara
jenjang-jenjang hierarki dan kelompok-kelompok karyawan. Dengan melihat
jaringan komunikasi, kita dapat mengetahui jaringan antarstatus, pengaturan
anta jabatan dan kewenangan, dan hubungan-hubungan antarkelompok.
J aringan-jaringan komunikasi yang menunjukkan arus informasi ke segala
arahke atas, ke bawah, dan ke samping dan menyilangdapat memberikan
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
8
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
pemahaman tentang bagaimana jaringan-jaringan status, kewenangan,
keahlian dan tugas, dan kemitraan saling sentuh-menyentuh bahkan tumpang
suh (overlapping) (Harold Guetzkow, 1965). Singkatnya, kita dapat menarik
kensimpulan tentang filosofi manajemen yang dianut organisasi secara
keseluruhan. Misalnya, setiap Senin pagi manajer perusahaan listrik negara
memberikan informasi tentang apa yang harus dilakukan selama satu pekan.
Karyawan-karyawan bawahan melaporkan di dalam wawancara lisan dengan
konsultan bahwa ketentuan yang begitu rinci telah menghilangkan inisiatif
mereka. Ketika atasan absen karena sakit seluruh unit kerjanya berantakan
karena karyawannya pasif dan apatis. Ketika seorang manajer pensiun
penggantinya dicari dari luar, karena segenap karyawan bawahannya tidak
pernah diajak bicara tentang persoalan-persoalan yang dihadapi dalam divisi
tersebut alias komunikasi berjalan hanya satu arah.
Model Forehand ini oleh para pengritiknya dikategorikan sebagai
pendekatan multi atribut organisasi (multiple measurement organizational
attribute approach)(J ames dan J ones, 1974:1097). Model ini mengasumsikan
bahwa komponen-komponen dari variasi situasi dalam organisasi ini dapat
meliputi konteks organisasi, struktur, nilai-nilai dan norma-norma, proses, dan
lingkungan fisik maupun berbagai konteks subsistem, misalnya departemen,
ataupun konteks subkelompok, misalnya kelompok kerja. Komponen-
komponen keseluruhan organisasi, subsistem, dan subkelompok ini umumnya
dianggap sebagai variabel bebas, yang dalam interaksinya menghasilkan
variabel tak bebas yang terdiri dari ukuran-ukuran atau kriteria pada tingkatan
individu, kelompok, susbsistem, ataupun organisasi. Untuk melengkapi model
ini idealnya juga diperhitungkan ciri-ciri lingkungan sosial budaya dan
individu.
Secara konseptual kita dapat melihat bahwa operasionalisasidaftar
dimensiyang dikembangkan oleh Forehand di atas jauh lebih luas dari pada
cakupan rumusan definisi yang dibuatnya. Bila di dalam rumusan definisi
iklim organisasi di atas Forehand pada dasarnya hanya menempatkan iklim
organisasi sebagai deskripsi ciri-ciri organisasi umum, yang di dalam
literatur organisasi lebih terkenal dengan sebutan komponen-komponen
situasional atau structural organisasi, namun di dalam operasionalisasinya,
ternyata termasuk juga komponen proses, yang terdiri dari pola
kepemimpinan dan jaringan komunikasi. Konsepsi iklim organisasi yang
dikembangkan oleh Forehand ini dianggap kurang berbobot teori, karena tidak
menghasilkan temuan-temuan baru. N. Frederiksen (1968), misalnya,
melakukan sebuah eksperimen tentang para manajer menengah dengan
menggunakan variabel-variabel iklim organisasi yang terdiri dari kelekatan
pengawasan (closeness of supervision) dan peraturan dan tata tertib (rules
and regulations). Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja karyawan dapat
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
9
diramalkan di dalam iklim inovatif, namun lebih menonjol lagi di dalam
iklim yang konsisten. Kesimpulannya, organisasi menggunakan iklim
berbeda-beda sebagai solusi atas masalah-masalah yang berbeda-beda.
Eksperimen lain yang dilakukan oleh Litwin dan Stringer menggunakan tiga
lingkungan bisnis: lingkungan otoriter dengan struktur yang tajam; lingkungan
demokratik dengan interaksi bersahabat; dan lainnya lagi lingkungan bisnis
agresif mengejar prestasi. Subjek dalam eksperimen itu diberi peluang untuk
memilih gaya kepemipinan yang cocok untuk masing-masing lingkungan
bisnis tersebut. Temuannya jelas, iklim bisnis demokratik memberikan
kepuasan kerja kepada segenap karyawan. Selain itu, persepsi karyawan
tentang iklim organisasi dalam eksperimen itu ternyata sesuai dengan
kenyataan kondisi lingkungan kerja.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi dalam
pendekatan multi atribut organisasi layak dikritik sebagai kurang membuka
teorisasi baru, namun tidak berarti bahwa upaya konseptualisasi tentang iklim
organisasi mengalami jalan buntu. Konsep-konsep jaringan-jaringan
komunikasi dan pola-pola kepemimpinan yang terliput sebagai dimensi
iklim merupakan sumbangan yang penting untuk konseptualisasi iklim
organisasi selanjutnyabahkan mendorong pemahaman baru tentang peran
komunikasi yang dapat dimainkan oleh para pimpinan organisasi dalam
poembentukan iklim organisasi agar karyawan bekerja produktif.
Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa iklim organisasi perlu
diterima sebagai metafora yang membutuhkan interpretasi yang lebih
subjektif dari pada objektif. Dengan kata lain, iklim organisasi dianggap
bukan semata-mata deskripsi dari lingkungan obyektif, melainkan hasil
pemrosesan psikologis yang bersifat subyektif. Bagaimana upaya-upaya
konseptualisasi iklim organisasi yang bersifat subyektif psikologis ini akan
kita lihat di bagian berikut.

Model Litwin-Stringer
Upaya-upaya konseptualisasi subjektif psikologis tentang iklim
organisasi yang penting dapat ditemukan dalam dua buku yang masing-masing
disunting oleh Renato Tagiuri dan George H. Litwin berjudul Organizational
Climate: Exploration of a Concept (1968) dan oleh George H. Litwin dan
Robert A. Stringer J r. dengan judul Motivation and Organizational Climate
(1968). Definisi yang kemudian dianggap klasik dan paling banyak dikutip
adalah rumusan Renato Tagiuri (1968: 27), yang berbunyi sebagai berikut:
[Organizational climate is] a relatively enduring quality of the internal
environment of an organization that (a) is experienced by its members,
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
10
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
(b) influences their behavior, and (c) can be described in terms of the
values of a particular set of characteristics (or attributes) of the
organization.
Iklim orgnisasi adalah kualitas lingkungan internal organisasi yang
bertahan cukup lama dan yang (a) dialami oleh segenap anggota
organisasi, (b) mempengaruhi perilaku mereka, dan (c) yang dapat
digambarkan sebagai cerminan nilai-nilai dari seperangkat ciri-ciri
(atau atribut) khas organisasi tersebut.

Definisi Tagiuri tersebut dikemukakan dalam artikel berjudul The
Concept of Organizational Climate yang dimuat dalam buku Organizational
Climate yang ia sunting bersama Litwin tersebut di atas. Sebagai salah
seorang anggota dari kelompok human relations di Graduate School of
Business, Universitas Harvard, Tagiuri melihat iklim organisasi sebagai
seperangkat variabel persepsi (a set of perception variables) yang muncul
sebagai dampak utama dari organisasi. Dalam definisi di atas disebutkan
bahwa kualitas lingkungan internal organisasi tersebut dialami oleh para
anggota. Artinya, kualitas yang dimaksud adalah bukan deskripsi kondisi
obyektif melainkan merupakan hasil proses pengalaman subyektif para
karyawan. J adi kualitas yang dimaksud bukanlah kondisi obyektif yang
sama bagi semua karyawan, melainkan kondisi yang sudah diproses melalui
persepsi sepanjang pengalaman subyektif. Selanjutnya pengalaman subyektif
karyawan tersebut mempunyai pengaruh pada perilakubagaimana ia bekerja
dan bertindakdi dalam organisasi. Akhirnya, perilaku karyawansebagai
hasil dari persepsi tentang lingkungan kerjatersebut dapat disimpulkan
sebagai perwujudan nilai-nilai dari ciri khas organisasi. Singkatnya, definisi
Tagiuri di atas menonjolkan persepsi subyektif karyawan tentang dimensi-
dimensi dari pola perlakuan organisasi terhadap karyawan.
Konsepsi Tagiuri tentang iklim organisasi itu kemudian dijabarkan
secara operasional oleh George H. Litwin dan Robert Stringer, J r (1968: 45-
65). Dalam rumusan operasionalisasi tentang iklim organisasi tersebut, Litwin
dan Stringer memasukkan delapan dimensi yang telah mereka terapkan di
dalam rangkaian empat buah penelitian mereka, yang selengkapnya adalah
sebagai berikut: (1) Struktur (structure); (2) Tantangan dan tanggung jawab
(challenge and responsibility); (3) Kehangatan dan dukungaan (warmth and
support);(4) Ganjaran dan hukuman (reward and punishment); (5) Konflik
(conflict); (6) Standar kinerja dan harapan (performance standards and
expectations); (7) Identitas organisasi (organizational identity), dan (8) Risiko
dan pengambilan risiko (risk and risk-taking).
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
11
Struktur menunjukkan tingkat penjenjangan kewenangan sebagai
pelaksanaan dari pembagian pekerjaan. Khususnya, pembatasan dan
hambatan-hambatan, yang dibuat oleh atasan langsung atau pimpinan
organisasi, yang harus ditaati oleh karyawan di dalam pelaksanaan kerja
instruksi dan petunjuk merupakan alat kontrol atasan terhadap kerja
bawahandalam hubungan impersonal birokratis. Kepatuhan buta terhadap
struktur hirarki akan menghasilkan dunia manajerial yang takut resiko,
tertutup, jaga jarak dan hampa keterlibatan karyawan; keseragaman, tunggu
perintah, dan apatis; defensifsuka berdalih dan saling melempar tanggung
jawab dan persaingan tidak sehat antardepartemen dengan ketergantungan
pada kelompok yang sangat tinggi.
Tantangan dan tanggung jawab merupakan persepsi karyawan tentang
tuntutan kerja dan peluang untuk maju, yang mendorong pencapaian yang
lebih tinggi dengan tanggung jawab yang lebih besar. Faktor tantangan terkait
dengan perkembangan semangat untuk mengejar prestasi tinggi di kalangan
karyawan. Motivasi karyawan untuk berprestasi dapat tumbuh subur bila
organisasi, khususnya atasan langsung, memberikan peluang yang besar untuk
bertanggung jawab. Berbagai penelitian oleh Douglas McGregor (1960),
Rensis Likert (1961), Victor Vroom (1962), dan Frederick Herzberg (1966)
menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan tingkat kinerja secara positif
berhubungan dengan ekspresi diri, kontrol diri, partisipasi, kebebasan
individu dan tanggung jawab. Secara khusus, Likert menunjukkan bahwa
tanggung jawab individu sangat penting dan di dalam iklim kelompok yang
cocok, penambahan tanggung jawab dapat meningkatkan loyalitas pada
kelompok, menambah fleksibilitas kelompok, dan meningkatkan kinerja
kelompok. Singkatnya, peningkatan tanggung jawab terkait dengan kerukunan
kelompok, fleksibilitas kelompok, dan kinerja.
Kehangatan dan dukungan menonjolkan orientasi pada peneguhan
positif ketimbang pemberian hukuman di dalam pelaksanaan kerja.
Kehangatan dalam sikap dan dukungan dapat meredakan berbagai macam
kecemasan dan kerisauan tentang pekerjaan. Karyawan baru, yang merasa
mendapat banyak bantuan dari lingkungan kerjanya, cenderung punya
pengertian, rasa kebersamaan, dan lebih loyal pada organisasi. Karyawan-
karyawan yang mempunyai tugas memberi dukungan lembaga, seperti guru,
dokter, perawat, konselor, dan pelatih membutuhkan afiliasi yang tinggi dari
lingkungan. Singkatnya, mereka membutuhkan iklim kerja yang mendukung.
Teori Y yang dikembangkan oleh Douglas McGregor dalam bukunya
yang berjudul The Human Side of Enterprise (1960) yang dipertentangkan
dengan Teori X yang merupakan cerminan praktek tradisional, menunjukkan
bahwa orientasi pada karyawan dalam bentuk kehangatan adalah sangat
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
12
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
penting untuk pelaksanaan kerja organisasi yang demokratis-partisipatif.
Sejumlah penelitian secara konsisten menunjukkan dampak negatif jangka
panjang dari tindakan atasan yang tak tahu diri sehingga disarankan agar
manajemenkhususnya atasan langsungpeduli terhadap suasana kerja
karyawannya, seperti sikap dan perilaku bersahabat, penuh pengertian, saling
menghargai, dan saling mempercayai, dalam praktek penyeliaan, sehingga
partisipasi karyawan dapat meningkat.
Ganjaran dan hukuman, persetujuan dan penolakan merupakan ukuran
tentang persepsi situasi yang membutuhkan penegasan tentang aplikasi
penggunaan ganjaran atau sanksi. Paparan Litwin dan Stringer (1968: 54)
tentang dimensi ganjaran ini menyatakan bahwa iklim yang berorientasi pada
hadiah melebihi kekuatan ancaman akan hukuman sebagai upaya
membangkitkan niat untuk mencapai prestasi, dedikasi, dan kerukunan
kelompok maupun sebagai upaya mengurangi perasaan takut-gagal. Ganjaran
di sini diartikan sebagai persetujuan atasan terhadap perilaku atau tindakan
karyawan, sedangkan hukuman merupakan penolakan terhadap
penyimpangan. Intinya ganjaran menunjukkan tingkat kepatuhan dan
kerukunan para karyawan dalam organisasi, sedangkan hukuman
menunjukkan penyimpangan dan keretakan hubungan antarkaryawan di dalam
organisasi. Integrasi segenap karyawan dijunjung tinggi sebagai nilai yang
dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Konflik merupakan ukuran persepsi tentang perbedaan kepentingan
dan persaingan antarpribadi dan unit kerja. Organisasi selalu mencari solusi
dalam situasi konflik agar dampaknya dapat ditekan sekecil mungkin. Konflik-
konflik keras tidak hanya membuat suasana kerja menjadi ricuh tetapi juga
dapat menimbulkan stres dan frustrasi di dalam lingkungan kerja. Solusi-solusi
konflik sangat berpengaruh pada fungsi efektivitas dan integrasi organisasi.
J enis modus dalam penyelesaian konflik antarindividu atau unit kerja terkait
dengan efektivitas integrasi dan fungsi-fungsi organisasi. Konflik dan resolusi
konflik dapat menjadi petunjuk dari dinamika perkembangan organisasi.
Standar kinerja dan harapan mengukur persepsi tentang pentingnya
kinerja dan kejelasan pengharapan berkaitan dengan kinerja dalam organisasi.
Teori motif berprestasi (achievement motivation) dibangun seputar standar
kerja yang secara ideal unggul (excellence). Maka karyawan selalu diharapkan
mencapai kinerja yang sesuai dengan motif berprestasi yang dimiliki, yakni
keinginan untuk unggul. Dengan demikian standar-standar kerja yang
ditentukan oleh para karyawan sendiri merupakan cerminan dari motivasi
untuk berprestasi di kalangan karyawan yang bersangkutan. Singkatnya,
standar kinerja tinggi tidak ditentukan oleh kebijakan atasan melainkan
sebagai cermin dari dorongan untuk berprestasi mereka sendiri.
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
13
Identitas organisasi merupakan ukuran untuk loyalitas kelompok di
kalangan karyawan. Studi tentang loyalitas karyawan menunjukkan bahwa
loyalitas terkait dengan keteguhan identitas dan perbaikan kinerja karyawan.
Buku Saul W. Gellerman yang berjudul Motivation and Productivity (1963)
menunjukkan bahwa karyawan tingkat manajerial dapat meningkatkan
efektivitas kepemimpinannya melalui peningkatan loyalitas kelompok yang
terkait dengan peningkatan produktivitas. Para karyawan merasa bangga
dengan prestasi yang mereka capai melalui jerih payah sendiri. Angka
produktivitas yang tinggi merupakan feedback yang dapat memperbesar ego
dan kerjasama kelompok. Karyawan yang merasa bangga sebagai anggota
kelompok kerja dalam organisasi, akhirnya dapat mencapai kebanggaan
sebagai anggota organisasi. Semakin besar jumlah karyawan yang memiliki
kebanggaan sebagai anggota organisasi semakin tinggi kinerja organisasi
tersebut, yang akhirnya mengangkat reputasi organisasi di mata segenap
karyawan. Pimpinan yang efektif dapat memetik keuntungan dengan
meningkatnya produktivitas, karena karyawan bawahan dapat bekerja
produktif sendiri dan mereka sangat bangga atas prestasi tersebut.
Risiko dan pengambilan risiko mengacu pada filosofi manajemen
yang terkait dengan peluang dan resiko di dalam proses pembuatan keputusan.
Menurut penelitian Litwin karyawan yang memiliki kebutuhaan untuk
berprestasi yang tinggimotif prestasi tinggicenderung mempunyai
keberanian yang lebih besar untuk ambil resiko. Oleh karena itu, iklim
peluang ber-resiko dianggap sesuai untuk karyawan yang mempunyai motif
berprestasi. Sebaliknya, iklim yang konservatif akan membuat mereka
frustrasi dan melembekkan semangat kerja. Kesimpulannya, iklim organisasi
yang mendorong karyawan untuk berani ambil resiko dapat merangsang
kebutuhan untuk berprestasi di kalangan karyawan.
Dalam pandangan Litwin dan Stringer kesemua dimensi iklim di atas
bekerja dalam interaksitidak secara terpisah-pisah. Secara keseluruhan
saling keterkaitan faktor-faktor iklim organisasi terkait dengan motivasi yang
berkembang dalam organisasi, khususnya motivasi untuk membangun afiliasi
kelompok, mencapai prestasi, dan menjalankan kekuasaan dan kewenangan.
Kesimpulan yang dari riset Litwin dan Stringer yang disepakati oleh para ahli
selanjutnya adalah bahwa iklim memang mempunyai dampak pada kepuasan
dan motivasi, tegasnya kepuasan dan produktivitas kerja karyawan.




VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
14
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Untuk melihat persamaan dan perbedaan dari dimensi-dimensi yang
terliput di dalam kedua pendekatan di atas kita dapat dibuat tabel
perbandingan sederhana (Lihat Gambar 1).

Gambar 1. Perbandingan Dimensi-dimensi Kedua Model Pemikiran
Iklim Organisasi


Dari tabel perbandingan tersebut, kita dapat melihat bahwa dimensi-
dimensi pengambilan resiko, standar kinerja dan pengharapan dan
identitas yang merupakan dimensi lunak di dalam model pemikiran Litwin
dan Stringer tidak mendapat padanan secara tegas di dalam model pemikiran
Forehand. Mungkin konsep identitas yang dikembangkan oleh Litwin-
Stringer dapat dikaitkan dengan dimensi jaringan-jaringan komunikasi yang
merupakan salah satu dari dua dimensi lunak dalam model Forehanddimensi
lunak lainnya adalah pola-pola kepemimpinan. Singkat kata, sesuai dengan
namanya, pendekatan multi atribut organisasi model pemikiran Forehand
cenderung terbatas pada dimensi-dimensi keras, sedangkan model Litwin-
Stringer lebih menekankan faktor-faktor lunak. Model Litwin-Stringer
memang tidak memasukkan dimensi pola-pola kepemimpinan namun
sebagai gantinya menyebutkan tiga buah dimensi, yang dapat dianggap
sebagai rincian dari konsep pola-pola kepemimpinan yakni tantangan dan
tanggung jawab, kehangatan dan dukungan, dan ganjaran dan hukuman.
Dimensi-dimensi identitas, tantangan dan tanggung jawab, pengambilan
Arah-Lu[uan

1anLangan dan Langgung [awab
ola kepemlmplnan

engambllan reslko
komplekslLas slsLem
SLandar klner[a dan harapan
ukuran dan sLrukLur kehangaLan dan dukungan

konfllk
!arlngan komunlkasl

SLrukLur

ldenLlLas
Can[aran dan hukuman
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
15
resiko dalam pembuatan keputusan, dan standar kinerja dan harapan
semuanya terkait dengan ego dan pengembangan diri, yang menunjukkan
bahwa kebutuhan-kebutuhan di jenjang yang lebih rendahfisiologi dan
keamanandiasumsikan telah terpenuhi menurut persepsi para karyawan di
dalam penelitian Litwin dan Stringer.
Model Litwin-Stringer ini dalam kategori J ames dan J ones (1974)
disebut Pendekatan Perspepsi Atribut Organisasi yang merupakan
pendekatan paling besar tentang iklim organisasi.

Model Campbell
Konsepsi Litwin-Stringer ini kemudian ditinjau dan dikembangkan oleh
J ohn P. Campbell et al. (1970). Persepsi individu tentang organisasi dalam
pandangan Campbell et al. merupakan elemen-elemen iklim yang sangat
penting, karena persepsi itu selanjutnya mempengaruhi perilaku, sedangkan
iklim sendiri dipandang sebagai variabel situasional atau dampak utama
organisasi. Dalam pengembangan konsepsinya tentang iklim organisasi,
Campbell et al. beranggapan bahwa iklim sebagai deskripsi situasi organisasi
yang seharusnya meliputi unsur-unsur variasi antarkelompok. Selanjutnya
Campbell et al. (1970) menjelaskan bahwa situasi organisasi dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori umum: (1) ciri-ciri struktural
(structural properties); (2) ciri-ciri lingkungan (environmental characteristics);
(3) iklim organisasi (organizational climate); dan (3) ciri-ciri peran formal
(formal role characteristics). Maka ia membuat definisi iklim organisasi yang
berbunyi sebagai berikut:
a set of attributes specific to a particular organization that may be
induced from the way the organization deals with its members
and environment. For the individual member within an
organization, climate takes the form of a set of attitudes and
expectancies which describe the organization in terms of both
static (such as autonomy) and behavior-outcome and outcome-
outcome contingencies.
[Iklim organisasi adalah] seperangkat ciri-ciri khusus dari sebuah
organisasi yang dapat disebabkan oleh cara organisasi itu
memperlakukan anggota-anggotanya dan lingkungannya. Bagi
masing-masing anggota organisasi, iklim adalah berbentuk
seperangkat sikap dan pengharapan yang menggambarkan
organisasi dalam artian ciri-ciri statis (seperti tingkatan otonomi)
dan hasil-perilaku, dan kontingensi hasil-hasil.
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
16
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

Dalam definisi di atas, iklim organisasi dipahami sebagai persepsi-
persepsi pribadi perorangan dan bahwa persepsi-persepsi tersebut mengatur
perilaku karyawan, sedangkan iklim itu sendiri dipandang sebagai variabel-
variabel situasi atau dampak utama organisasi. Dari paparan tentang keempat
kategori tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi pada
dasarnya mempunyai empat dimensi sebagai berikut: (1) otonomi pribadi
(individual autonomy; (2) derajat tekanan struktur pada jabatan (the degree
of structure imposed upon the position); (3) orientasi tentang ganjaran
(reward orientation); dan (4) pengertian, kehangatan, dan dukungan
(consideration, warmth, and support).
Keempat dimensi ini dalam pandangan Campbell et al. merupakan
sintesis dari berbagai studi dan literatur sebelumnya. Dalam penjelasannya
masing-masing dimensi dikaitkan dengan faktor-faktor yang mendasarinya.
Dimensi otonomi pribadi dilandasi oleh tanggung jawab pribadi,
kebebasan relatif sebagai karyawan, orientasi pada peraturan, dan peluang-
peluang untuk melakukan tindakan inisiatif. Kemudian, derajat tekanan
struktur didasarkan atas faktor-faktor struktur, struktur manajerial, dan
kelekatan pengawasan atau supervisiderajat bagaiamana atasan menentukan
dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan pekerjaaan dan bagaimana cara
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sedangkan orientasi pada ganjaran
didasarkan atas faktor-faktor imbalan, kepuasan secara keseluruhan, orientasi
pada kemajuan prestasi, promosi, dan semangat mengejar laba atau tingkat
penjualanapakah karyawan merasa menerima ganjaran atas pekerjaan yang
diselesaikan dengan baik. Akhirnya, pengertian, kehangatan, dan dukungan
didasarkan atas dukungan manajerial, pembinaan dan pendidikan bawahan,
sikap hangat, dan kesiapan membantu.
Dalam penjelasannya, Campbell et al. menyatakan bahwa perbedaan
tingkatan situasi dan individu menunjukkan kekuatan pengaruh yang berbeda-
beda pula. Penjelasan ini didasarkan pada model linkage yang menyatakan
bahwa keterkaitan antara variabel indipenden organisasi yang obyektif (size)
dan variabel dependen (partisipasi dalam organisasi) ditengahi oleh dua
perangkat proses, yakni proses organisasi (organizational processes) yang
terkait size (jumlah komunikasi, spesialisasi tugas-tugas) dan proses
psikologi (psychological processess) antaranggota (perasaan tertarik,
kepuasan kinerja). Iklim organisasi dipandang sebagai sesuatu yang secara
situasional ditentukan oleh proses psikologivariabel-variabel iklim
organisasi dilihat atau sebagai faktor kausatif atau faktor penengah atas kinerja
dan sikap karyawan. Titik penengahan (moderation) terdapat atau di antara
ciri-ciri situasi obyektif atau proses dan perilaku, atau di antara ciri-ciri
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
17
individu dan perilaku. Iklim organisasi dipandang sebagai ukuran persepsi
yang menggambarkan organisasi dan berbeda dari varibel-variabel sikap,
evaluasi, dan kepuasan kebutuhan. Lebih dari itu, persepsi iklim organisasi
dianggap dapat mempengaruhi valensi yang melekat pada hasil kerja, faedah
untuk hasil-hasil kerja itu, dan berbagai strategi untuk mencapai tujuan
tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan Campbell dan Beaty (1971) di
kalangan buruh pabrik dapat ditarik tiga temuan penting. Pertama, di antara
subyek penelitian terdapat perbedaan yang lebih jelas dalam hal persepsi
tentang iklim kerja dari pada persepsi tentang iklim organisasi. Kedua,
perbedaan persepsi tentang iklim organisasi ternyata lebih dipengaruhi oleh
perbedaan unit kerja daripada individu. Akhirnya, perbedaan persepsi tentang
iklim organisasi ternyata menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja
kelompok, meskipun hubungan tersebut tidak termasuk kuat. Dalam penelitian
itu digunakan tujuh dimensi iklim organisasi: struktur tugas, hubungan
ganjaran/kinerja, sentralisasi keputusan, pengutamaan pencapaian kerja,
pengutamaan latihan dan pengembangan, keamanan vs risiko, dan keterbukaan
vs sikap defensif. Sebagaian besar dari dimensi-dimensi ini dapat dikatakan
terkait dengan gaya kepemimpinan dan kerjasama kelompok, yang oleh
para ahli komunikasi nantinya dipandang sebagai muatan konsep iklim
komunikasi.
Konsepsi Campbell tentang iklim organisasi sebagai ciri khas
organisasi ini selanjutnya diperjelas oleh Robert D. Pritchard dan B. W.
Karasick (1973: 126) dengan orientasi khusus pada manajerial. Definisi yang
berperspektif manajerial itu dikemukakan dalam laporan penelitian mereka
yang berjudul The Effect of Organizational Climate on Managerial J ob
Performance and Satisfaction (Pritchard dan Karasick, 1973: 126) dan
berbunyi sebagai berikut:
Organizational climate is a relatively enduring quality of an
organizations internal environment distinguishing it from other
organizations; (1) which results from the behavior and policies of
members of organizations, especially top management; (2) which is
perceived by members of the organizations; (3) which serves as a basis
for interpreting the situation; and (4) acts as a source of pressure for
directing activity.
Iklim organisasi adalah kualitas lingkungan internal organisasi yang
relatif bertahan lama yang membedakannya dari organisasi-organisasi
lain; (1) yang merupakan hasil dari perilaku dan kebijakan-kebijakan
anggota organisasi, terutama manajemen puncak; (2) yang
dipersepsikan oleh para anggota organisasi; (3) yang menjadi dasar
peafsiran situasi; dan (4) yang menjadi sumber tekanan-tekanan dalam
pengarahan kegiatan.
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
18
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

Perkembangan konsepsi iklim sebagaimana jelas dari definisi
Pritchard-Karasick di atas selain menunjukkan orientasi manajerial juga
mengacu pada perspektif psikologi. Mereka tidak menyebutkan bahwa iklim
mempunyai dampak pada perilaku secara langsung melainkan pada penafsiran
situasi dan membentuk sumber tekanan-tekanan psikologis dalam pengarahan
kegiatan karyawan oleh manajer. Dari serangkaian penelitian Pritchard dan
Karasick yang menggunakan pendekatan Campbell et al. (1970)empat
kategori situasi organisasi yang meliputi ciri-ciri struktural (structural
properties); ciri-ciri lingkungan (environmental characteristics); iklim
organisasi (organizational climate); dan ciri-ciri peran formal (formal role
characteristics) sebagaimana telah dijelaskan di atasdapat disimpulkan
bahwa persepsi tentang iklim organisasi dipengaruhi baik oleh organisasi
secara keseluruhan maupun oleh unit-unit kerja organisasi tersebut. Lagi pula
angka skor iklim menunjukkan hubungan dengan kepuasan individu dan
kinerja kelompok unit-unit kerja, namun ternyata angka skor iklim tersebut
tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kinerja individu.
Akhirnya, juga ditemukan bahwa beberapa dimensi iklim organisasi
menengahi hubungan yang ada di antara ciri-ciri individu karyawan dengan
kinerja dan kepuasan.
Dari tinjauan maupun studi-studi yang dikutip di atas, kiranya dapat
disimpulkan bahwa iklim organisasi perlu dipahami dan diukur dengan
persepsi. Namun kekuatan pengaruh tersebut perlu dilihat sesuai jenjang-
jenjang perbedaan dalam hal variabel-variabel struktur, seperti rentang
kendali, dan dimensi iklim organisasi seperti persepsi tentang otonomi yang
nampak cukup jelas. Variabel-variabel lain nampak agak kabur karena sukar
dibedakan dari variabel-variabel yang jelas-jelas termasuk dalam kategori
struktur, proses, sistem nilai, dan norma kebiasaan organisasi. Misalnya
otonomi individu dan derajat tekanan struktur pada kedudukan dapat
diukur dengan variabel struktur obyektif formalisasi, standardisasi, dan
spesialisasi atau dengan ukuran-ukuran kepemimpinan, pengendalian, dan
proses pembuatan keputusan. Dimensi pengertian, kehangatan, dan
dukungan pada dasarnya merupakan fungsi kepemimpinan dan proses
kelompok.

Kedudukan Dewasa Ini
Dari paparan di atas jelas bahwa iklim organisasi sangat populer sekitar
tahun 1970-an. Model Litwin dan Stringer dengan definisi dari Tagiuri
merupakan model yang paling terkenal dari semua konseptualisasi dan model
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
19
yang berkembang saat itu. Dalam perkembangannya model ini mendapat
sambutan, kritikan, dan pengembangan di kalangan para ahli psikologi.
Secara konseptualsebagaimana telah disinggung di atasiklim organisasi
berpangkal pada pengertian dan gerakan human relations. Maka para ahli
yang bergerak di bidang human relations dan organizational behavior, tetap
menaruh perhatian besar pada konsep ini. Kemudian berkat muatan substansi
yang terliput dalam konseptualisasinya, iklim organisasi juga mendapat
perhatian khusus dari kalangan ahli komunikasi, khususnya industrial and
organizational communication. Keith Davis, J ames M. Higgins, dan Richard
Hodgetts adalah tiga orang tokoh terkenal yang telah menyebarluaskan dan
menghidupkan konsep iklim organisasi sampai tahun 1990-an, meskipun
bidang studi human relations itu kini telah berkembang menjadi human
behavior yang secara teknis disebut organizational behavior. Konsep iklim
organisasi mendapat perhatian besar dari kalangan para ahli komunikasi berkat
rintisan W. Charles Redding, yang kemudian dilanjutkan oleh para siswanya,
terutama Gerald M. Goldhaber dan Marshall Scott Poole yang cenderung
menghubungkan konsep tersebut dengan budaya organisasi (organizational
culture), konsep besar lain yang populer sejak kemunculannya di tahun 1980-
an.
Keith Davis, yang tersohor dengan penelitian ECCO (Episodic
Communication Channels in Organizations) untuk analisis internal
communication dan grapevine, menulis buku berjudul Human Relations at
Work: The Dynamics of Organizational Behavior (1957). Dalam
perkembangannya judul buku yang sangat berpengaruh ini kemudian diubah
menjadi Human Behavior at Work: Organizational Behavior (1972), yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Perilaku
Organisasi. Di dalam buku aslinya, iklim organisasi tampil sebagai konsep
dasar yang membentuk model perilaku organisasi sebagai bab khusus. Pada
dasarnya Davis mengkonsepsikan iklim organisasi sebagai sistem perilaku.
Definisi Davis (1985: 120) tentang iklim organisasi cukup sederhana dan
berbunyi sebagai berikut:
Organizational climate is the human environment within which
organizations employees do their work. We cannot touch it, but
it is there. Like the air in a room, it surrounds and affects
everything that happens in an organization. In tern, climate is
affected by almost everything that occurs in an organization. It is
a systems concept. The words by which one refers to
employees (such as hands), the attitudes of top management,
company policies , and other matters all combine to establish the
organizational climate in each institution.
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
20
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Iklim organisasi adalah lingkungan manusiawi dalam kerangka
mana karyawan-karyawan organisasi melaksanakan pekerjaan.
Kita tidak dapat menyentuhnya, tetapi nyata adanya. Seperti
udara di sebuah ruangan, iklim organisasi mempengaruhi segala
sesuatu yang terjadi di dalam organisasi. Pada gilirannya, iklim
dipengaruhi oleh segala yang terjadi di dalam organiasi. Ini betul-
betul konsep kesisteman. ..Segala kata-kata yang ditujukan
kepada karyawan (misalnya anak buah), segala macam sikap
pimpinan puncak, kebijakan-kebijakan organisasi, dan hal-hal
lainnya semuanya ter-ramu membentuk iklim dalam setiap
lembaga.

Dalam elaborasinya, konsep Davis (1985: 124) menyebutkan iklim
sebagai kombinasi dari sepuluh unsur sebagai berikut: (1) Kualitas
kepemimpinan; (2) Tingkat kepercayaan; (3) Komunikasi ke atas dan ke
bawah; (4) Perasaan tentang pentingnya pekerjaan; (5)Tanggung jawab; (6)
Ganjaran yang adil; (7) Tekanan kerja yang wajar (tidak berlebihan); (8)
Peluang; (9) Pengendalian, struktur, dan birokrasi yang wajar; dan (10)
Partisipasi karyawan.
Kesepuluh elemen ini ditimba dari faktor-faktor yang dikemukakan
dalam model Litwin-Stringer tersebut di atas dan model Sistem Empat yang
dikembangkan oleh Rensis Likert (1961) dalam New Patterns of Management.
Daftar elemen itu jelas meliput kondisi fisik organisasitermasuk ukuran
organisasidan tidak terkait dengan persepsi individu. Hal ini dapat
dimengerti karena faham human relations pada dasarnya adalah hubungan-
hubungan antarmanusia yang terjadi di antara jajaran manajemen dengan
segenap karyawan untuk menumbuhkan kesadaran diri dan perasaan positif
tentang harga diri di dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Lebih khusus
lagi, Richard M. Hodgetts, salah seorang penulis buku terkenal berjudul
Human Relations at Work (2002: 5) menyatakan bahwa Human relations is
the process by which management and workers interact and attain their
objectives (Human relations adalah proses bagaimana jajaran manajemen dan
karyawan berinteraksi dan bekerja mencapai tujuan-tujuan mereka).
Dalam kerangka pengertian ini, iklim organisasi adalah kondisi
manusiawi yang terbentuk sebagai hasil pola hubungan timbal balik di antara
jajaran pimpinan dan karyawan. Kondisi manusiawi ini mempengaruhi sikap
dan perilaku karyawan, sedangkan aspek-aspek fisik organisasi tidak
termasuk ke dalam ruang lingkup iklim organisasi. Berdasarkan konsepsi ini,
Davis membedakan iklim organisasi menjadi empat kategori, yakni otokratik,
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
21
paternalistik, pendukung, sejawat (autocratic, custodial, supportive, collegial).
(Lihat Gambar 2).

Gambar 2. Iklim Organisasi sebagai Sistem Perilaku
Otokratik Paternalistik Pendukung Sejawat
Model
berbasis
Orientasi
manajerial
Orientasi
karyawan
Dampak
psikologis
pada
karyawan
Pemenuhan
kebutuhan
karyawan
Hasil kinerja
Kekuasaan

Otoritas:
J abatan
Patuh, taat

Dependensi
pada bos

Subsisten,
bertahan hidup
Batas
minimum
Sumber daya
ekonomi
Uang

Keamanan dan
fasilitas
Dependensi pada
organisasi

Keamanan,
pemeliharaan

Kerjasama Pasif
Kepemimpinan

Dukungan

Pelaksanaan
tugas
Partisipasi


Status dan
penghargaan

Tergugah
Semangat
Kemitraan, saling
membantu
Gugus kerja,
kelompok
Tanggung jawab

Komitmen, disiplin
diri

Aktualisasi diri


Antusiasme
(Sumber: Keith Davis, Human Behavior at Work. 8
th
ed. , New York: McGraw Hill, 1985: 129)
Catatan: Istilah paternalistik merupakan terjemahan dari custodial; mungkin dapat
diartikan sebagai pamong. Baik paternalistik maupun pamong menunjukkan
bahwa pimpinan yang nampak baik hati itu juga otoriter.

Kategorisasi iklim sebagai sistem perilaku ini mengingatkan kita pada
keempat sistem yang dikembangkan oleh Likert. Likert membedakan
efektivitas pola manajemen menjadi empat, yang dapat dipandang sebagai
sebuah garis kontinuum yang merentang dari ujung Sistem 1 (paling tidak
efektif) ke Sistem 4 (paling efektif) sebagai berikut: (1) otoriter penindas
(exploitative authoritative)penindas, kejam; (2) otoriter baik hati
(benevolent authoritative)paternalistik; (3) konsultatif (consultative)
konsultatif, minta masukan; dan (4)partitipasi kelompok (participative group).
Kecenderungan ke arah model Litwin-stringer juga ditunjukkan oleh
J ames M. Higgins, salah seorang pengajar human relations yang terkenal.
Dalam buku berjudul Human Relations: Concepts and Skills yang sudah
mengalami beberapa kali revisi, Higgins (1982: 204) melihat iklim organisasi
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
22
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
sebagai kombinasi antara pekerjaan organisasi dan lingkungan sosial,
sebagaimana jelas dari kutipan yang berbunyi di bawah ini.
Ikim organisasi adalah gabungan persepsi-persepsi para
karyawan, termasuk persepsi-persepsi karyawan jajaran
manajerial, tentang kenyamanan kerja organisasi dan lingkungan
sosial. (Organizational climate is the sum of employees
perceptions, including those of managerial employees, of the
desirability of the organizations work and social environment).

Faktor-faktor yang membentuk iklim organisasi menurut Higgins pada
dasarnya terdiri dari dua kelompok, yakni kategori variabel organisasi dan
variabel non organisasi. Kategori variabel organisasi meliputi pimpinan-
manajemen, tindakan individu kayawan, tindakan-tindakan kelompok kerja,
dan tindakan-tindakan organisasi. Sedangkan kategori non organisasi meliputi
faktor-faktor eksternal, khususnya keadaan ekonomi, seperti inflasi, dan
teknologi. Secara tegas Higgins menyatakan konsep iklim semakin populer di
kalangan bisnis, karena telah ditemukan bukti-bukti empiris yang cukup kuat
bahwa terdapat hubungan yang positif antara iklim dengan produktivitas dan
kepuasan kerja. Akibatnya, iklim organisasi harus ditinjau ulang dengan survei
secara teratur, agar pimpinan dapat mengambil tindakan yang cocok untuk
memperbaiki iklim.
Menurut Higgins pimpinan bertanggung jawab atas penyediaan iklim
yang sesuai (providing the right climate), karena apapun yang dilakukan
pimpinan pasti mempunyai dampak tertentu pada iklim. (Higgins, 1982: 206).
Pengaruh pimpinan menurut Higgins bersumber pada kepribadian dan gaya
kepemimpinan. Sesudah kepemimpinan, faktor lain yang mempengaruhi iklim
adalah individukepribadian karyawan, khususnya kebutuhan dan tindakan-
tindakan untuk memuaskan kebutuhan tersebut, terutama komunikasi antar
sesama karyawan dan komunikasi dengan atasan. Kekuatan ketiga yang
berpengaruh pada iklim adalah perkembangan kelompok. Pengaruh ini terjadi
melalui dua proses, yakni proses formaldalam bentuk kelompok kerjadan
proses informal, yakni kelompok persahabatan dan kepentingan. Kedua proses
ini membentuk pola perilaku sesuai dengan eskpektasi sebagai anggota
kelompok-kelompok persahabatan dan kepentingan tersebut. Pola perilaku
kelompok menunjukkan produktivitas tinggi bila terdapat motivasi untuk
bekerja sama, saling mempercayai, terbuka, dan mendukung. Organisasi secara
keseluruhan dapat mempengaruhi iklim melalui sistem-sistem manajemen yang
dikembangkan. Sistem manajemen pada dasarnya berarti bagaimana perlakuan
para menajer terhadap karyawan. Sistem manajemen meliputi sistem-sistem
komunikasi, sistem imbalan/kinerja, sistem tunjangan dan jaminan, kebijakan
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
23
dan prosedur kerja, kebijakan-kebijakan perusahaan, dan struktur organisasi.
Perlakuan organisasi terhadap karyawan ini membentuk persepsi karyawan
tentang kenyamanan kerja dan lingkungan sosialiklim organisasi. Akhirnya,
iklim juga mendapat pengaruh dari kekuatan luar organisasi, seperti inflasi dan
teknologi. Pemerintah dapat membatasi kenaikan gaji pegawai demi
pengendalian inflasi dan kemajuan teknologi dapat meningkatkan persaingan.
Dengan demikian, konsepsi Higgins tentang iklim organisasi dilandasi oleh
asumsi bahwa pimpinan organisasi menyadari dan memperhitungkan kekuatan
hubungan antara kondisi eksternal dan kondisi internal organisasi dalam
membentuk dan memelihara iklim.
Demi kepraktisan para penganut faham human relations mengikuti jejak
Davis dengan lebih memusatkan perhatian pada faktor-faktor kebijakan
organisasi dan cenderung mengabaikan faktor-faktor fisik. Mereka beranggapan
bahwa praktek manajemen dalam lingkungan kerja sehari-hari sangat
tergantung pada kebijakan. Berdasarkan pengertian ini, sekelompok peneliti
yang dipimpin oleh G. de Cock di Universitas Katolik Leuven, Belgia, berhasil
membuat Climate Index yang dikembangkan berdasarkan persilangan antara
dua dimensi kebijakan, yakni dimensi orientasi organisasi pada karyawan
organisasi (Model Ohio State) dan dimensi keterbukaanketertutupan (Model
Open System) terhadap lingkungan. Dari persilangan dua dimensi kebijakan ini
dapat ditemukan empat iklim organisasi yang berbeda, yakni iklim inovatif
(innovative), iklim arus informasi (information flow), iklim aturan buku alias
birokratis (respect for rules), dan iklim suportif (supportive climate). Untuk
jelasnya lihat Gambar 3.
W. Charles Redding adalah orang pertama dari kalangan ilmu
komunikasi, yang menanggapi iklim organisasi. Menurut Redding untuk
memahami efektivitas organisasi,iklim organisasi adalah jauh lebih penting
dari pada ketrampilan atau teknik komunikasi. Dalam buku monumental
berjudul Communication within the Organization: An Interpretive Review of
Theory and Research (1972), yang merupakan tinjauan kritis atas studi empiris
dan teori yang berkembang tentang komunikasi industri dan bisnis saat itu,
Redding menunjukkan bahwa pada dasarnya iklim organisasi mempunyai dua
dimensi, yakni dimensi organisasi dan dimensi interaksi. Dimensi organisasi
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan, bila diproses sebagai objek
persepsi dan dimaknai. Proses persepsi dengan pemaknaannya itu adalah
komunikasi intrapersonal (intrapersonal communication) yang
mempengaruhi sikap dan perilakukhususnya interaksi di kalangan karyawan,
termasuk jajaran manajemen. Oleh karena itu dari iklim organisasi, yang telah
dielaborasikan oleh Litwin dan Stringer, Redding mencetuskan konsep baru
yang ia sebut sebagai iklim komunikasi keorganisasian (organizational
communication climate)kemudian terkenal dengan sebutan yang lebih
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
24
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
singkat sebagai iklim komunikasi (communication climate). Konsep iklim
komunikasi menunjukkan bahwa persepsi-persepsi kognitif dan afektif
karyawan tentang organisasi secara keseluruhan mempengaruhi perilaku formal
di dalam organisasi. Pemahaman konseptual tentang iklim organisasi dan
iklim komunikasi dapat menjadi lebih jelas dengan menghubungkan kedua
konsep ini dengan budaya organisasi (organizational culture) sebuah konsep
baru yang diperkenalkan oleh Andrew M. Pettigrew (1979) dan mendapat
sambutan luas di bidang manajemen dan komunikasi sejak terbitnya buku
berjudul Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life karya
Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy (1982).

Gambar 3. Dimensi-dimensi Iklim berdasar Kebijakan Organisasi


Sumber: de Cock et al. (1984)

Gerald M. Goldhaber et al. (1979) memahami iklim organisasi sebagai
persepsi-persepsi anggota organisasi tentang (1) bagaimana mereka dapat
berbuat atau berperilaku, dan (2) bagaimana secara bertanggung jawab bersikap
dan bertindak terhadap orang-orang lain. Pengertian ini menunjukkan bahwa
para anggota organisasi beranggapan bahwa beberapa aspek tertentu dari
organisasi berpengaruh pada cara bagaimana mereka berperilaku dan
menjelaskan alasan mengapa orang-orang lain berbuat seperti yang mereka
alami. Dengan meninjau literatur sejaman yang ada, Goldhaber et al.
menyimpulkan bahwa konsep iklim organisasi pada dasarnya mengajarkan ada
enam organisasi yang mempunyai pengaruh sangat kuat pada pesepsi, dan pada
llekslbel Lhd
Llngkungan
konLrol Lhd
Llngkungan
lkllm ALuran
8uku
CrlenLasl pd
Manusla
lkllm SuporLlf
ALuran 8uku
lkllm lnovaLlf
lkllm Arus
lnformasl lnovaLlf
CrlenLasl pd
Manusla
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
25
gilirannya persepsi tersebut berpengaruh pada perilaku. Keenam aspek
organisasi tersebut adalah sebagai berikut:
(1) manusia adalah penting dan perlu diperhatikan dalam
organisasi;
(2) arus informasi menjamin kecukupan informasi bagi segenap
anggota;
(3) praktek interaksi mempengaruhi motivasi karyawan;
(4) praktek pembuatan keputusan terkait dengan tindakan dan
interaksi antar karyawan;
(5) teknologi dan kesediaan sumber daya terkait dengan sistem dan
prosedur kerja dan kinerja karyawan; dan
(6) karyawan mempunyai pengaruh dalam kehidupan organisasi.

iklim komunikasi dibahas dalam buku-buku pelajaran komunikasi
keorganisasian sebagai bagian dari Organizational Communication Climate
and Culture seperti yang dilakukan oleh Goldhaber dalam Organizational
Communication (6
th
ed., 1993) atau Organizational Communication Climate
di dalam buku Organizational Communication (3
rd
ed, 1994) karya R. Wayne
Pace dan Don F. Faules. Namun para penulis buku komunikasi keorganisasian
yang beraliran interpretif atau meaning centered tidak menyebut-nyebut
iklim organisasi, karena secara konseptual iklim organisasi dianggap sebagai
elemen dari budaya organisasi dan bukan sebuah konsep yang berdiri sendiri.
Eric M. Eisenberg dan Harold L. Goodall, J r. dalam buku Organizational
Communication: Balancing Creativity and Constraint (3
rd
ed., 2001) maupun
Pamela Shockley-Zalabak dalam Fundamentals of Organizational
Communication: Knowledge, Sensitivity, Skills, Values (6
th
ed.,2006) tidak
menyajikan pembahasan tentang iklim organisasi dalam kaitannya dengan iklim
komunikasi dan budaya organisasi. Hal ini dapat difahami karena asumsi
yang melandasi aliran interpretif adalah bahwa manusia pada hakekatnya
adalah aktifbukan responsif, apalagi reaktifmemaknai lingkungan dan
tindakan dilakukan sebagai wujud dari pemaknaan tersebut. Dengan kata lain,
manusia menciptakan lingkungannya sendiri meskipun dalam keterbatasan
termasuk menciptakan perilakunya sendiri sebagai interaksi dengan sesamanya
dalam menegosiasikan peran. Nilai-nilai budaya dapat dihayati bersama melalui
komunikasi dan komunikasi memelihara dan mengembangkan nilai budaya
dalam praktek kerja organisasi.

VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
26
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Sebagai pengantar pembahasannya tentang Organizational
Communication Climate and Culture Goldhaber (1993: 61) menyajikan contoh
perwujudan dari iklim organisasi yang ditemui oleh J ohn Sculley (1976), saat
pertama kali ia bergabung dengan perusahaan Apple Computer yang didirikan
oleh Steven J obs dan Stephen Wozniak. Menurut Goldhaber, Chuck Markulla
yang digantikan oleh J ohn Scully, telah berhasil membangun iklim yang
mencerminkan nilai-nilai perusahaan Apple, yang menonjolkan pentingnya
manusia dengan segala sikap, perasaan, relasi, dan ketrampilannya. Nilai-nilai
Apple tersebut terkenal dengan sebutan corporate culture (budaya
perusahaan) yang dirumuskan secara jelas dan disebarkan kepada segenap
karyawan sebagai pegangan kerja:
Empati pada pelanggan dan pengguna produk;
Kerja agresif/mengejar prestasi;
Sumbangan positif pada masyarakat;
Individu berkinerja tinggiproduktif sesuai potensi;
Semangat kerjasamateam spirit;
Kwalitas unggul;
Imbalan individu yang setimpal;
Manajemen yang sehat.
Meski menggaris bawahi pentingnya iklim sebagai cerminan nilai-nilai
corporate culture sebagaimana dilaksanakan di Apple, Goldhaber tidak
mengembangkan konsepsi yang khusus. Ia mengikuti pengertian iklim
organisasi Model Litwin-Stringer dengan catatan bahwa ia memeras kedelapan
dimensi yang diajukan oleh kedua ahli itu menjadi empat. Keempat dimensi
hasil perasan itu adalah sebagai berikut:
(1) Tanggung jawab (responsibility): derajat pendelegasian yang diterima
oleh karyawan;
(2) Standar kerja (standards): harapan tentang kwalitas kerja karyawan;
(3) Ganjaran (reward): pengakuan dan ganjaran untuk kerja yang baik
dan penolakan terhadap kinerja yang buruk;
(4) Ramah, semangat kelompok (friendly, team spirit): bahu-membahu,
saling mempercayai (trust).

Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa kekuatan iklim organisasi
terutama terletak pada aspek relasional dan interaksi dengan implikasi
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
27
komunikasi. yang terkait dengan pelaksanaan dan pemeliharaan nilai-nilai
dalam budaya organisasi(organizational culture). Oleh karena itu, Goldhaber
(1993: 69) secara tegas melakukan pembedaan pengertian budaya dan
iklim organisasi dengan sangat jelas sebagai berikut:
Bila iklim merupakan ukuran tentang terpenuhi atau tidaknya
harapan-harapan karyawan mengenai apa yang seharusnya di
dalam kerjanya pada organisasi, budaya organisasi adalah
menyangkut hakekat dari harapan-harapan tersebut. (Cetak tegak
ditambahkan demi kejelasan, AH). ... Iklim sering bersifat jangka
pendek dan dapat ditentukan oleh manajemen organisasi yang
sedang berlangsung, tetapi budaya bersifat jangka panjang,
mengakar dalam pada nilai-nilai, dan sering sangat sukar berubah.

Where climate is a measure of wether or not peoples expectations
of what should be like to work in an organization are being met,
organizational culture is concerned with the nature of those
expectations. Climate is often short term and may depend upon
current management of an organization, but culture is usually long
term, rooted in deeply held values, and often very hard to change.

R. Wayne Pace dan Don F. Faules, sebagaimana telah disinggung di atas
tidak secara khusus membahas konsep iklim organisasi. Buku mereka yang
berjudul Organizational Communication (3
rd
ed.,1994) yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Komunikasi Organisasi:
Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan (1998) menyajikan iklim organisasi
sebagai bagian dari Iklim Komunikasi Keorganisasian (Organizational
Communication Climate). Hal ini dapat dimengerti, karena mereka menganut
aliran interpretif sehingga selalu mencantumkan a subjective reminder pada
akhir bab-bab dalam buku mereka. Namun di dalam edisi sebelumnya, Pace
dan Faules (1989:120-131) masih membahas iklim organisasi yang dikaitkan
dengan iklim komunikasi dengan judul Climate, Satisfaction, and Information
Adequacy, yang memuat pembedaan tentang kedua konsep ini sebagai berikut:
iklim organisasi secara keseluruhan terdiri dari persepsi-persepsi
angota organisasi tentang keenam dimensi kehidupan organisasi,
yang meliputi arus informasi dan sejumlah kegiatan yang
melibatkan komunikasi. ...

VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
28
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
iklim komunikasi dalam organisasi merupakan gabungan evaluasi
dan reaksi karyawan terhadap kegiatan-kegiatan tertentu yang
terjadi dalam sebuah organisasi.

The overall climate of an organization consists of perceptions by
organization members of six dimentions of organizational life,
which includes information flow and some practices involving
communication;
The climate of communication in an organization is a composite of
evaluation and reactions to certain activities that take place in an
organization.

Dalam penjelasanannya Pace dan Faules menyatakan bahwa iklim
komunikasi melibatkan interaksi antara tiga bagian; yakni persepsi [termasuk
sikap, dan harapan atau kepuasan karyawan]; ciri-ciri khas organisasi
[kesediaan informasi, kondisi kerja, penyeliaan, imbalan, kemajuan, rekan
sekerja, dan kebijakan organisasi]; dan kerjasama [saling mempercayai dan
pengambilan risiko, dukungan dan tanggung jawab, keterbukaan dan
kecermatan arus info kebawah, perhatian, tulus, dan pengertian terhadap arus
info keatas, pengaruh bawahan dalam pembuatan keputusan, dan kepedulian
tentang kinerja tinggi dan tantangan kerja]. J adi iklim dimana komunikasi
terjadi merupakan hasil dari persepsi anggota organisasi tentang ciri-ciri khas
organisasi dalam artian bagaimana ciri-ciri khas ini menunjukkan kerjasama.
Pemikiran dari kalangan ahli komunikasi keorganisasian yang masih
perlu diperhatian adalah pendekatan strukturasi (structuration) yang
dicetuskan oleh Marshall Scott Poole dalam Communication and
Organizational Climates: Review, Critique, and a New Perspective yang
dimuat dalam Organizational Communication: Traditional Themes and New
Directions yang diedit oleh Robert D. McPhee dan Phillip K. Tomkins (1985).
Sebelumnya bersama dengan Robert D. McPhee, Poole juga menulis artkel
berjudul A Structurational Analysis of Organizational Climate yang dimuat
dalam buku berjudul Communication and Organizations: An Interpretive
Approach yang diedit oleh Linda L. Putnam dan Michael E. Pacanowsky
(1983). Pendekatan strukturasi terhadap konsep iklim organisasi
dimungkinkan dalam pendekatan interpretif yang menonjolkan consensus
coorientation dan dialoque dalam making sense untuk pembentukan
shared meaning. Dari pemikiran tersebut Poole berhasil menjelaskan posisi
iklim secara lebih spesifik dan tegas. (Lihat Gambar 4).
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
29
Dalam praktek karyawan baru yang masuk sebagai anggota organisasi
menemukan bahwa faktor-faktor struktural dan konstekstual organisasi sudah
terbentuk. Faktor-faktor ini mempengaruhi kegiatan yang terjadi sehari-hari
dalam organisasi. Namun pengaruh faktor-faktor tersebut tidak eksklusif,
karena praktek kerja organisasiinteraksi antar segenap karyawan, termasuk
manajemenjuga dipengaruhi oleh persepsi para karyawan atas faktor-faktor
struktural dan kontenstual organisasi tersebut.Akhirnya praktek kerja organisasi
berpengaruh pada kinerja atau hasil organisasi. Namun bila pendekatan
interpretif yang memang valid untuk organisasi yang bersangkutan maka
interaksisaling mempengaruhi juga terjadi di antara komponen-komponen
dalam model di atas. Oleh karena itu, hubungan-hubungan pengaruh tersebut di
dalam gambar tidak dinyatakan secara satu arah (unidirectional) tetapi timbal
balik (reciprocal). Kesimpulannya pendekatan interpretif ini memudahkan
pemahaman tentang konsep restrukturasi.

Gambar 4. Hubungan antara Iklim, Struktur, dan Praktek Kerja Organisasi.

Sumber: Marshall Scott Poole, 1985: 92



Memasuki tahun 1990-an, konsep iklim organisasi seolah-olah tertelan
ke dalam konsep budaya organisasi, yang dikaitkan dengan sistem nilai dan
praktek komunikasi. Sistem nilai muncul menjadi budaya melalui proses
komunikasi, dan budaya organisasi terpelihara melalui kegiatan-kegiatan
komunikasi. Pengertian sedemikian dapat ditemukan dalam artikel panjang
berjudul Communication and Organizational Culture karya George A. Barnett
yang termuat dalam buku Handbook of Organizational Communication yang
diedit oleh Gerald M. Goldhaber dan George A. Barnett (1995) dan buku teks
berjudul Communicating in Organizations: A Cultural Approach karya Gerald
lakLor-fakLor
SLrukLural dan
konLeksLual
rakLek-prakLek
ker[a organlsasl
lkllm
Pasll /uampak
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
30
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
L. Pepper (1995) dan Organizational Communication in an Age of
Globalization: Issues, Reflections, Practices karya George Cheney et al.
(2004). iklim organisasi yang mendapat perlakuan terpisah dari iklim
komunikasi atau budaya organisasi tinggal di bidang komunikasi manajerial
(managerial communication) yang condong ke pembahasan kompetensi dari
pada konsep dan teori.

DISKUSI PENUTUP DAN KESIMPULAN
Dari paparan di atas jelas kiranya bahwa konsep iklim organisasi
pertama-tama muncul sebagai hasil penelusuran tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perilakukhususnya perilaku produktifsemula di lingkungan
sekolah kemudian dikembangkan untuk lingkungan perusahaan dan bisnis.
Oleh karena itu, konsep ini penting terutama dalam bidang studi organisasi dan
manajemen. iklim organisasi secara singkat dapat dikatakan sebagai wujud dari
kebijakan organisasi dan manajemen terhadap karyawan tentang perilaku
yang dianggap layak untuk mencapai tujuan organisasi. Singkat kata, secara
sadar atau tidak cara-cara organisasi dan manajemen memperlakukan
karyawan mempunyai dampak pada perilaku karyawaningat, perilaku pada
hakekatnya adalah tindakan rasional yang dipelajari dan mempunyai alasan dan
tujuan. Artinya perilaku digerakkan oleh motif. Karyawan berperilaku
produktif atau kurang produktif tergantung pada cara-cara seberapa positif
organisasi dan manajemen memperlakukan karyawan tersebut. Dengan
demikian produktivitas karyawan tergantung pada bentuk motivasi yang
diterimanya dari organisasi dan manajemen. Oleh karena itu, dalam perspektif
manajemen iklim organisasi dapat dibentuk, dipelihara, diubah dan diperbaiki
sebagai cara memotivasi karyawan. Meskipun karyawan sebagai anggota
organisasi mempunyai kepribadian yang berbeda-beda namun secara umum
mereka berperilaku berdasarkan pola yang dibentuk oleh organisasi dan
manajemen, yang kemudian ditafsirkan dan dimaknai oleh para karyawan.
Perilaku produktif adalah sebagai hasil dari penafsiran dan pemaknaan pribadi
atas kebebasan dalam lingkunganterutama sebagai akibat dari perlakuan
organisasi dan manajemen yang ia alami.
Tentang iklim organisasi, para ahli psikologi telah memberikan
peringatan bahwa pada dasarnya konsep itu meliput dua unsur, yakni unsur
deskripsi situasi yang objektif (global attribute) dan unsur persepsi situasi
yang dapat disebut iklim psikologis (psychological climate) (J ames dan J ones,
1974). Maka iklim organisasi yang merupakan ciri khas keseluruhan
organisasi (global attribute) perlu dibedakan dari iklim psikologis.
Pengukuran iklim organisasi sebagai persepsi menunjukkan bahwa konsepsi
tersebut cenderung ke konsep iklim psikologis seperti jelas dalam model
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
31
Litwin-Stringer. Oleh karena itu, penjabaran dan pengukuran iklim organisasi
mestinya bersifat deskriptifbukan evaluatif atau emotif. Situasi yang
melibatkan dan terbentuk dari kegiatan bersama umumnya bersifat interaktif,
sehingga dalam pengukuran perlu dimasukkan pertukaran (exchange) dan
pengaruh (influence). Dengan demikian, pengertian tindak komunikasi
(communicative act) yang cenderung ke arah koorientasi (coorientation)
sebagaimana dijelaskan oleh Theodore M. Newcomb (1953) perlu masuk ke
dalam pertimbangan. Lagi pula, dalam konsep interaksi termuat implikasi
bahwa kegiatan saling mempengaruhi itu dapat menghasilkan konsensus atau
kesamaan pengertian (shared meaning), sehingga konsep iklim tidak hanya
merumakan akumulasi dari persepsi individu karyawan, tetapi lebih merupakan
gambaran tentang konsensus yang dimanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan
kelompok kerja. Oleh karena itu harapan bahwa iklim organisasi harus
berwatak deskriptifbukan evaluatifdapat juga dipenuhi. J adi dapat
disimpulkan bahwa iklim memang merupakan ciri khas dari organisasi atau
unit kerja dengan catatan bahwa sebagai hasil interaksi ciri khas itu juga
cenderung dinamisberubah dari waktu ke waktu.
Akhirnya, dari paparan di atas juga dapat disimpulkan bahwa iklim
organisasi diakui mempunyai pengaruh terhadap perilaku para karyawan
sebagai anggota organisasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Benjamin Schneider
(1975) iklim mempengaruhi para karyawan sehingga mereka dapat mengerti
tatanan yang berlaku dalam lingkungan kerja dan memberi petunjuk kepada
mereka dalam upaya penyesuaian diri ke dalam organisasi. Maka konsep
iklim organisasi dianggap mempunyai kedudukan sebagai jembatan yang
menghubungkan faktor-faktor organisasi-manajemen dan perilaku karyawan
dalam mewujudkan kinerja organisasihasil kegiatan pencapaian tujuan
organisasi. (Lihat Gambar 5).
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
32
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Gambar 5. Diagram Sistem dan Iklim dalam Efektivitas Organisasi

Sumber: Dibuat berdasarkan J ames L. Gibson et al., Organizations: Structure, Processes,


Behavior (1973: 328).

Gambar di atas ini menunjukkan bagaimana sistem organisasi
berinteraksi dengan berbagai faktor individu dan menghasilkan iklim
organisasi, yang pada gilirannya menghasilkan fenomena seperti macam-
macam kegiatan, interaksi, dan perasaan. Perilaku-perilaku itu menimbulkan
berbagai dampak, yang secara populer dikenal dengan sebutan produktivitas,
kepuasan karyawan, dan tingkat kemangkiran. Dalam gambar juga terlihat
garis umpan balik yang menunjukkan bahwa berbagai dampak (output)
tersebut kemudian menjadi masukan yang mempengaruhi kategori faktor kausal
(causal input), iklim, maupun perilaku. Dimensi-dimensi iklim yang
merupakan garis continuum dari ketergantunganpartisipatif (Higgins),
defensifsuportif (Gibb), Otokratikkolegial (Davis), birokratikinovatif
(Gibson).
Berkat sumbangan kaum interpretif perdebatan konseptual tentang
iklim yang ditarik dari tataran individu ke tataran organisasi dapat diredakan
karena munculnya asumsi bahwa karyawan berada dalam jaringan interaksi
lingkungan yang dinamis ke arah penentuan peran dan konsensus dalam
rangka peneguhan nilai bersama. Pendekatan ini juga memudahkan
pemahaman tentang adanya aneka iklim dalam sebuah organisasi, karena
Iaktor
|nterven|ng

D|mens|-d|mens|
|k||m organ|sas|

AkLlvlLas,
lnLeraksl,
SenLlmen/
perasaan
Iaktor
kausa|

MoLlf aLau kebuLuhan
karyawan
uesaln organlsasl,
ker[a kelompok,
roses komunlkasl dan
pembuaLan
kepuLusan,
Caya kepemlmplnan,
1eknologl,
SLraLegl pemberlan
moLlvasl,
Iaktor
Lfekt|v|tas

rodukt|v|tas

kepuasan

kemangk|ran

ke|uar]pergant|an


EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
33
intensitas komunikasi mengikuti sebuah pola yang berbeda-bedamenurut unit
ataupun fungsi. Konsensus tidak hanya dicapai demi keserasian komunikasi,
melainkan juga untuk mencapai kesamaan perilaku dan peneguhan nilai
bersamasistem nilai. Pendekatan ini juga memudahkan pemahaman tentang
terserapnya konsep iklim organisasi ke dalam konsep budaya organisasi yang
lebih besar dan menyeluruh. Pimpinan yang memainkan peran sangat besar
dalam penentuan dan pemeliharaan bentuk iklim, pada dasarnya adalah tokoh
yang mewujudkan sistem nilai menjadi pola perilaku di lingkungan kerja.
Interaksi sebagai tindak komunikasi (communicative act) yang meningkatkan
intensitas koorientasi adalah praktek sosialisasi nilai-nilai sehingga menjadi
nilai bersama dan mewujudkan pola perilaku yang saling mendukung. Secara
konseptual pendekatan ini mempermudah pemahaman konsep strukturasi dalam
praktek kehidupan organisasi yang menampilkan iklim sebagai medan
strukturasi karyawan, seperti yang dijelaskan oleh Poole. Lebih dari itu,
pendekatan ini memperbaiki model teoretis efektivitas kinerja dengan
memisahkan iklim dari faktor struktural dan kontekstual. Pemisahan ini
memenuhi harapan para peneliti sebelumnya, khususnya J ames dan J ones,
Campbell, dan Schneider yang menghendaki supaya iklim organisasi tidak
diperlakukan sama dengan iklim psikologis.
Bagi para ahli komunikasi konsep iklim organisasi layak diperhatikan
karena dua alasan, yang pertama karena memberikan pemahaman yang lebih
baik tentang relevansi iklim komunikasi dan pemahaman budaya organisasi
yang kini mendapat kedudukan makin mapan baik dalam komunikasi
keorganisasian maupun dalam organisasi dan manajemen. Baik iklim
komunikasi maupun budaya organisasi tidak dapat dipisahkan, karena iklim
komunikasi pada dasarnya adalah proses manusiawi perwujudan budayabaik
dalam sosialisasi nilai budaya maupun dalam pemeliharaan dan peneguhan nilai
budaya









VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
34
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
DAFTAR PUSTAKA

Chris, Mosmeyer, On the Essence of Law, www.catholic-
forum.com/churches/luxver/law1.htm.
Curtis, Michael (ed.). 1961. The Great Political Theories. New York: An Avon
Library Books.
Dennis H. Wrong. 1994. The Problem of Order. What Unites and Divides
Society. New York: The Free Press.
Dewan Pers. 2002. Etika, Berita Dewan Pers, No 16/September 2002.
Didi Nazmi Yunas. 1992. Konsepsi Negara Hukum. Padang: Penerbit Angkasa
Raya.
Everette E. Dennis dan J ohn C. Merrill. 1991. Media Debates. Issues in Mass
Communication. New York: Longman.
Fred P. Graham. 1972. Press Freedoms Under Pressure. New York: The
Twentieth Century Fund.
Fred S.Siebert, Theodore Peterson, Wilbur Schramm. 1956. Four Theories of
the Press. Urbana:University of Illinois.
Gerald Gross (editor). 1966. The Responsibility of the Press. New York: Simon
and Schuster.
Hans Kelsel. 1978. Pure Theory of Law. Los Angeles: University of California
Press.
H.L.A. Hart. 1986. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press.
Kenneth J anda, J effrey M. Berry, J erry Goldman. 1989. The Challenge of
Democracy Boston: Houghton Mifflin Company.
Kovach, Bill, Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York:
The Rivers Press.
Lesmana, Tjipta. Kebebasan dan Tanggungjawab Pers Harus Berimbang.
Sinar Harapan, 8-10-2003, hal 10
Wartawan Bukan Profesi Eksklusif. Kompas, 23-10-2003, hal 36.
Tidak Ada Paradoks Hukum Pers. Majalah Pilars, No 11, Tahun VII, 2004.
Lippmann, Walter. 1967. A Preface to Morals. New Yor: The Macmillan
Company.
EorJjono, lklim 0rqonisosi: linqkunqon Kerjo Honusiowi
35
Lord Lloyd Hampstead, M.D.A. Freeman. 1985. Introduction to Jurisprudence.
London: Stevens & Sons.
Mortimer J . Adler. 1981. Six Great Ideas. New York: MacMillan Publishing
Co, Inc.
Persatuan Wartawan Indonesia. 2001. PWI 55 Tahun. Menegakkan
Profesionalisme & Etika Pers di Era Multimedia. J akarta: Panitia Pusat
PWI 2001.
Putusan US Court of Appeals, Third Circuit, Coughlin v Westinghouse
Broadcasting and Cable,Inc. www.Coughlin v. Westinghouse.htm.
Robert Paul Wolff (editor). 1971. The Rule of Law. New York: Simon and
Schuster.
William A. Hachten. 1998. The Troubles of Journalism. New J ersey: Lawrence
Erlbaum Associates Publishers.




36
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI



37
Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen
dalam Kajian Komunikasi


A. Eko Setyanto


Abstract: This article remind us to use experiment method in
communication reserach. Experimental method has some characteristic
especially that researcher can control reserach variables. Author
explain design types in experimentasl methods and how to do
experiemental method. There are classical and factorial types in
experimental methods.

Key words: experimental method, research design, classical design,
factorial design


Topik tulisan ini sebenarnya hanya ingin mengingatkan kepada para
peneliti bidang komunikasi bahwa metode eksperimen yang mempunyai
sumbangan sangat besar terhadap perkembangan dan eksistensi ilmu
komunikasi sudah mulai dilupakan orang, bahkan tradisi penelitian bidang
komunikasi di Indonesia sangat sedikit yang mengenal, melakukan dan
memperkenalkannya. J ika kembali menengok sejerah perkembangan ilmu
komunikasi maka para tokoh dan pelopor ilmu komunikasi seperti Kurt Lewin,
Carl Hovland, Paul Lazarsfeld dan F.E.X Dance serta tokoh-tokoh lainnya
menggunakan metode eksperimen dalam kajian penelitiannya sehingga
memberikan andil yang sangat besar dalam perkembangan ilmu komunikasi.
Severin and Tankard (2001:42) menunjukkan bahwa Hovland and Weiss tahun
1951 melakukan penelitian dengan metode eksperimen untuk meneliti pengaruh
kredibilitas komunkator terhadap penerimaan dan pemahaman isi pesan.
Bahkan hingga sekarang dimana komunikasi sudah menjadi bagian dari
industri komunikasi yang sangat maju, metode eksperimen tidak pernah surut
sumbangannya dalam aktivitas keilmuan maupun aktivitas industri komunikasi
(khususnya industri periklanan).
Di Indonesia ada situasi yang kurang sinkron dalam hal ini, di satu sisi
banyak yang mengatakan bahwa tradisi penelitian komunikasi di Indonesia di
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
38
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
dominasi oleh riset-riset kuantitatif-positivistik (lihat tulisan-tulisan Jurnal ISKI
Vol III, 1999). Akan tetapi dari banyaknya riset-riset kuantitatif-positivistik
tersebut yang menggunakan metode eksperimen (salah satu metode paling
positivistik) sebagai metode penelitian komunikasi dapat dikatakan amat sangat
sedikit, sebagian besar penelitian menggunakan metode survey dalam
penelitian komunikasi. Aneh rasanya ketika peneliti/akademisi komunikasi di
Indonesia kemudian melupakan dan jarang menggunakan metode eksperimen
sebagai metode penelitian, apalagi dalam pengajaran-pengajaran jenjang Strata-
1 bahkan jenjang S-2.
Dalam pandangan penulis ada beberapa alasan kenapa peneliti
komunikasi di Indonesia (dosen, mahasiswa dan akademisi komunikasi lain)
jarang menggunakan metode eksperimen dalam penelitian.
Pertama, secara dangkal banyak menganggap bahwa metode eksperimen
adalah metode risetnya para akademisi eksakta (natural science). Kedua, akibat
dari pandangan tersebut muncul pemikiran bahwa melakukan penelitian sosial
(komunikasi) dengan metode eksperimen harus dan wajib menggunakan
kaidah-kaidah kuantitatif secara ketat, utamanya dalam analisis data. Hal ini
berarti menggunakan statistik sebagai alat analisis, dan ini yang banyak
dihindari para peneliti komunikasi dan peneliti sosial pada umumnya. Ketiga,
kurangnya landasan pemahaman analisis kuantitatif pada sebagaian besar
peneliti komunikasi (khususnya di jenjang S-1) menjadi alasan jarangnya
penelitian yang menggunakan metode eksperimen. Keempat, persoalan biaya
penelitian dan kerumitan yang terarah dalam penelitian eksperimen sering
dijadikan alasan keengganan melakukan penelitian dengan metode eksperimen.
Padahal seperti dikemukakan oleh Severin and Tankard (2001:43) bahwa
keuntungan utama dari metode eksperimen adalah adanya kendali ditangan
peneliti dan ketepatan logika yang terkandung di dalamnya.
Secara dikotomis perspektif metode penelitian sosial sering
dikelompokkan dalam Positivistik-behavioristik dan Fenomenologis-kritis.
Positivistik-behavioristik mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa
pengetahuan obyektif diperoleh melalui observasi dan pengukuran secara
sistimatis dan hati-hati terhadap apa yang dikerjakan masyarakat. Perspektif ini
mendasarkan diri pada trasformasi dan operasionalisasi konsep abstrak kedalam
perilaku yang dapat dikuantifikasi secara tepat. Sedangkan Fenomenologis-
kritis mendasarkan pada keyakinan bahwa perilaku orang dipengaruhi oleh
kepercayaan dan apa yang dipikirkannya, memfokuskan pada aspek internal,
makna-makna psikologis mengarahkan perilaku, fenomenologis memberikan
prioritas pada aspek subyektif kehidupan manusia (Frey, Boton, Freidman and
Kreps, 1991: 27)
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
39
Selanjudnya Frey dkk menyebutkan bahwa dalam riset komunikasi
mengelompokkan Behaviorisme mendasarkan pada definisi awal komunikasi
yang melihat komunikasi sebagai perilaku menyampaikan informasi dari
seseorang ke orang lain. Dalam hal ini Frey menyebut perspektif information-
based view yang bersifat kuantitatif, sedangkan kelompok riset fenomenologi,
dimana pemahaman komunikasi sebagai proses ketika individu memberi arti
atau makna terhadap stimulus dari luar maupun dari dalam, disebut perspektif
meaning-based view yang bersifat kualitatif. Dari konsep tersebut dapat
menjadi jelas bahwa dalam bidang komunikasi juga memiliki pengelompokan
dikotomis dalam metodologi komunikasi sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya.
Salah satu metode penelitian komunikasi yang memiliki perspektif kuantitaif
adalah metode eksperimen.

PENGERTIAN METODE EKSPERIMEN
Eksperimen menurut Kerlinger (1986: 315) adalah sebagai suatu
penelitian ilmiah dimana peneliti memanipulasi dan mengontrol satu atau lebih
variabel bebas dan melakukan pengamatan terhadap variabel-variabel terikat
untuk menemukan variasi yang muncul bersamaan dengan manipulasi terhadap
variabel bebas tersebut. Arboleda (1981: 27) mendefinisikan eksperimen
sebagai suatu penelitian yang dengan sengaja peneliti melakukan manipulasi
terhadap satu atau lebih variabel dengan suatu cara tertentu sehungga
berpengaruh pada satu atau lebih variabel lain yang di ukur. Lebih lanjut
dijelaskan, variabel yang dimanipulasi disebut variabel bebas dan variabel yang
yang akan dilihat pengaruhnya disebut variabel terikat. Sementra itu Isaac dan
Michael (1977: 24) menerangkan bahwa penelitian Eksperimen bertujuan untuk
meneliti kemungkinan sebab akibat dengan mengenakan satu atau lebih kondisi
perlakuan pada satu atau lebih kelompok eksperimen dan membandingkan
hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.
Pengertian yang hampir sama dengan itu diberikan oleh Rakhmat (1985: 44)
bahwa metode eksperimen bertujuan untuk meneliti hubungan sebab akibat
dengan memanipulasikan satu atau lebih variabel pada satu atau lebih
kelompok eksperimen dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol
yang tidak mengalami manipulasi. Sedangkan Robert Plutchik (1988: 213)
mengemukakan definisi eksperimen secara lebih singkat, adalah merupakan
cara mengatur kondisi suatu esperimen untuk mengidentifikasi variabel-
variabel dan menentukan sebab akibat suatu kejadian.

VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
40
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Dari berbagai definisi yang dikemukakan tersebut diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa Metode Eksperimen mengandung beberapa hal sebagai
berikut:
1. Suatu penelitian yang berusaha melihat hubungan sebab akibat dari satu
atau lebih variabel independen dengan satu atau lebih variabel kontrol.
2. Peneliti melakukan manipulasi terhadap satu atau lebih variabel
independen. Manipulasi berarti merubah secara sistematis sifat (nilai-
nilai) variabel bebas sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Mengelompokkan subyek penelitian (lazim disebut responden) ke dalam
kelompok eksperimen dan kelompok konrol. Dalam desain klasik,
kelompok eksperimen adalah kelompok subyek yang akan dikenai
perlakuan (treatment). Sedangkan yang dimaksud dengan perlakuan
(treatment) adalah mengenakan (exposed) variabel bebas yang sudah
dimanipulasi kepada kelompok eksperimen. Sedangkan kelompok kontrol
adalah kelompok subyek yang tidak dikenai perlakuan.
4. Membandingkan kelompok eksperimen yang dikenai perlakuan dengan
kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan.
5. Pengaruh hubungan sebab akibat antara variabel independen dengan
variabel dependen diperoleh dari selisih skor observasi masing-masing
kelompok tersebut.

KARAKTERISTIK METODE EKSPERIMEN
Terdapat beberapa karakteristik khusus dalam pelaksanaan metode
penelitian eksperimen yang membedakan dengan metode penelitian lainnya.
Seperti dijelaskan oleh Isaac dan Michael (1977: 24-25) sebagai berikut:
1. Menghendaki pengaturan variabel-variabel dan kondisi-kondisi eksperimen
baik dengan kontrol maupun dengan manipulasi langsung dan randomisasi.
2. Secara khas menggunakan kelompok kontrol sebagai garis batas untuk
dibandingkan dengan kelompok eksperimen.
3. Memusatkan perhatian pada pengontrolan varian:
a. Dengan memaksimalkan varian variabel yang berkaitan dengan
hipotesis penelitian. Cara untuk memaksimalkan varian variabel
eksperimen ini adalah dengan menyusun desain penelitian dan
membuat kondisi (kelompok) eksperimen menjadi sebeda mungkin
satu dengan yang lainnya.
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
41
b. Dengan meminimalkan varian kesalahan, termasuk kesalahan
pengukuran. Untuk mengatasi hal ini, perlu memberikan petunjuk
secara jelas dan tegas kepada subyek penelitian (responden) serta
menyingkirkan faktor-faktor situasi eksperimen yang tidak ada
kaitannya dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini menurut Kerlinger
(1986:312) bisa dilakukan pula dengan meningkatkan keandalan
(reliabilitas) alat ukur.
c. Dengan mengontrol variabel pengganggu (extranous variable) atau
variabel yang tidak diinginkan, yang mungkin mempengaruhi hasil
erksperimen, tetapi bukan menjadi tujuan penelitian. Dalam hal ini
Kerlinger (1986: 309) menjelaskan bahwa dalam hal meminimalkan
varian variabel pengganggu dapat ditempuh: Pertama, jika mungkin
mengiliminasi variabel tersebut (yang diduga mengganggu) sebagai
variabel penelitian, dengan memilih subyek penelitian sehomogen
mungkin. Kedua, dengan melakukan randomisasi atau pengacakan
sempurna. Memasukkan subyek secara acak kedalam kelompok dan
kondisi-kondisi, dan mengacak faktor-faktor lainnya dalam kelompok
eksperimen. Ketiga, memasukkan variabel-variabel pengganggu
tersebut ke dalam desain penelitian sebagai variabel bebas. Keempat,
melakukan matching (penjodohan) terhadap subyek penelitian.
4. Validitas Internal merupakan suatu syarat yang tidak dapat ditolak (sine
qua non) untuk rancangan ini, dan merupakan tujuan utama metode
eksperimen. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah manipulasi
eksperimen dalam studi ini benar-benar menimbulkan perbedaan ?
5. Validitas Eksternal yang menanyakan persoalan; seberapa jauh penemuan-
penemuan penelitian ini hasilnya dapat digenerlisasikan kepada subyek-
subyek atau kondisi-kondisi yang sama. (dalam hal validitas internal dan
eksternal akan dibahas tersendiri)
6. Dalam desain eksperimen klasik, semua variabel penting diusahakan agar
konstan kecuali variabel perlakuan yang secara sengaja dimanipulasikan
atau dibiarkan bervariasi. Kemajuan dalam metodologi, misalnya dalam
desain faktorial (Factorial Design) dan analisis varian telah memungkinkan
peneliti untuk memanipulasikan atau membiarkan bervariasinya lebih dari
satu variabel, dan sekaligus menggunakan lebih dari satu kelompok
eksperimen. Hal demikian ini memungkinkan untuk secara serempak
menentukan (1) pengaruh variabel bebas utama, (2) variasi yang berkaitan
dengan variabel-variabel yang digunakan untuk mengklasifikasikan, (3)
interaksi antar kombinasi variabel bebas dan/atau variabel yang digunakan
membuat klasifikasi tertentu.
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
42
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
7. Metode eksperimen adalah metode yang paling kuat, sebab metode ini
memungkinkan peneliti untuk mengontrol variabel-variabel yang relevan
(yang diinginkan dalam penelitian), namun cara ini juga sangat membatasi
(restrictive) dan terkesan dibuat-buat (artificial). Inilah yang merupakan
kelemahan utama dalam metode eksperimen, terutama jika digunakan
untuk meneliti manusia dalam situasi dunia nyata. Karena sering manusia
berbuat lain manakala dibatasi, dimanipulasi dan diobservasi secara
sistematis.


EKSPERIMEN LABORATORIUM DAN LAPANGAN
Menurut Kerlinger (1986:398) yang dimaksud dengan eksperimen
laborartorium adalah suatu penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua
atau hampir semua variabel bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan
variabel-variabel yang tidak relevan dengan masalah-masalah penelitian dibuat
seminimal mungkin. Hal ini dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian
itu dalam situasi fisik yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari-hari dan
dengan memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam situasi yang
dispesifikasikan, dioperasionalkan, dikendalikan dengan cermat dan teliti.
Sedangkan eksperimen lapangan menurutnya adalah kajian penelitian dalam
situasi nyata dengan memanipulasikan satu atau lebih variabel bebas oleh
peneliti dalam kondisi apabila situasi memungkinkan
Sementara itu Westley dalam Wimmer dan Dominick (1983:90)
menjelaskan bahwa Eksperimen Laboratorium, peneliti membawa subyek
penelitian kelaboratorium, sedanglan Eksperimen Lapangan peneliti
mendatangi subyek penelitian. Lebih lanjut dikatakan, kontrol fisik yang terjadi
terhadap subyek penelitian lebih kuat dalam eksperimen laboratorium
dibandingkan dengan eksperimen lapangan. Keduanya dapat dibedakan oleh
adanya prosedur-prosedur dan aturan-aturan untuk mengontrol kondisi subyek,
sehingga subyek dapat merasakan atau tidak merasakan adanya kontrol
tersebut. J ika peneliti melakukan kontrol yang ketat terhadap perilaku subyek
dan subyek ditempatkan pada situasi dimana mereka merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dari kehidupan sehari-hari, situasi ini lebih tepat
disebut sebagai eksperimen laboratorium (laboratory experiment). Sebaliknya
jika kehidupan sosial keseharian serta lingkungan mereka (subyek) sedikit
(minimal) mendapat campur tangan peneliti, situasi ini lebih tepat disebut
sebagai eksperimen lapangan (field experiment).
Pada kesempatan lain Kerlinger (1986:402) menegaskan bahwa
eksperimen laboratorium dilaksanakan dalam situasi yang terkontrol secara
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
43
ketat, sedangkan eksperimen lapangan berlangsung dalam situasi alami, wajar
dan terkadang longgar. Oleh karena itu nampak bahwa eksperimen lapangan
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan eksperimen laboratorium
terutama dalam hal :
1. Eksperimen lapangan memiliki keuntungan dalam hal validitas eksternal.
2. Eksperimen lapangan bersifat non reaktif, karena subyek merasa tidak
diteliti dan diukur perilakunya.
3. Eksperimen relatif murah dalam pelaksanaannya, karena tidak
membutuhkan perlengkapan dan peralatan khusus.
4. Eksperimen lapangan hasilnya lebih realistis dengan situasi yang ada.
5. Eksperimen lapangan mungkin bisa menjadi alternatif pilihan dalam
penelitian.


DESAIN PENELITIAN EKSPERIMEN
Desain penelitian atau rancangan penelitian adalah perencanaan struktur
dan strategi penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga akan
mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian dan dapat
mengontrol varian variabel (Kerlinger, 1986: 300)
Dengan demikian melalui desain penelitian akan diperoleh dua
keuntungan sekaligus. Pertama, mampu memberi jawaban (sementara) terhadap
pertanyaan-pertanyaan penelitian dan kedua, mampu mengontrol varian
variabel. Logikanya bahwa dengan desain penelitian berarti peneliti telah
membuat kerangka dasar suatu penelitian dengan menunjukkan adanya relasi-
relasi antar variabel. Desain penelitian secara tidak langsung memberi petunjuk
kepada peneliti bagaimana penelitian harus dialaksanakan, bagaimana observasi
harus dilakukan dan bagaimana analisis terhadap hasil observasi harus
dilaksanakan.
Dalam suatu penelitian eksperimen dikenal beberapa bentuk desai
eksperimen seperti dikemukakan oleh Stanley dan Campbell (1963: 8-40)
sebagai berikut :
1. Pre Experimental Design: terdiri dari The One-Shot Case Study; The One
Group Pretest-Posttest Design; Static Group Comparison.
2. True Experimental Design: terdiri dari Pretest-Posttest Control Group
Design; Solomon Four Group Design, Posttest Only Control Group
Design.
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
44
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
3. Quasi Experimental Design: terdiri dari Time Sries, Equivalent Time
Sample Design; The Equivalent Materials Design; The Nonequivalent
Control Group Design; Couterbalanced Design, The Separate Sample
Pretest-postest Design.

Desain eksperimen yang dikemukakan oleh Stanley dan Campbell
tersebut ada yang menyebut sebagai Desain Klasik. Ada satu desain lagi yang
lebih maju dan sekarang lebih banyak digunakan dalam penelitian yakni Desain
Faktorial (Factorial Design). Desain ini memungkinkan peneliti melakukan
penelitian dengan lebih dari satu variabel bebas dan melibatkan analisis secara
serempak terhadap beberapa variabel penelitian tersebut, masing-masing
variabel tersebut yang dimaksud dengan faktor (Wimmer dan Dominick,1983:
82). Sedangkan menurut Kerlinger Desain Faktorial adalah struktur penelitian
yang dua atau lebih variabel independen disusun bersama-sama untuk
mengkaji pengaruhnya secara sendiri-sendiri ataupun interaksinya terhadap
variabel dependen.
Agar lebih jelas memahami berbagai desain penelitian eksperimen,
berikut ini akan disajikan beberapa model desain yang dimaksud. (untuk
memahami lebih jauh keseluruhan model baca lihat Stanley dan Campbell
(1963) dan buku Kerlinger (1986).














Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
45
DESAIN EKSPERIMENTAL KLASIK

Berikut ini ditampilkan berbagai desain eksperimental klasik, yaitu:


Desain Faktorial


Desa|n re-
exper|menta|
1rue- Lxper|menta| uas| Lxper|menta|
1he One 5hot cose
5tudy
uesaln : x C

1he Pretest-Posttest contro/
6roup

uesaln : 8 C x C
8 C C

1he 1ime 5eries xperimento/

uesaln:C C C C x C C C C

1he One 6roup Pretest-
Posttest

uesaln : C x C

1he 5o/omon lour 6roup

uesaln : 8 C x C
8 C C
8 x C
8 C

Non quivo/ent contro/ 6roup

uesaln : C x C
-----------
C C

1he 5totic 1he 5totic
6roup comporison

uesaln : x C
------------
C

1he Posttest On/y contro/
6roup

uesaln : 8 x C
8 C

counterbo/onced

uesaln: 1lme l 1lme ll 1lme lll 1lme lv
A: x C x C x C x C
8: x C x C x C x C
C: x C x C x C x C
u: x C x C x C x C

1be 5epotote 5omple ltetest-losttest

uesaln: 8 C (x)
8 x C

1be Moltl 1lme 5etles

uesaln: C C C C x C C C C
---------------------------------------------
C C C C C C C C

keLerangan: x : erlakuan (LreaLmenL), C : Cbservasl, 8 : 8andomlsasl
uesaln lakLorlal: 2 x 2 uesaln lakLorlal: 2 x 3
!enls Cambar lrekuensl MenonLon
P 8W 1x 2x 3x
+ P + 8W + 1x + 2x + 3x 8agam
Suar
W W + P W + 8W
enylar
W W + 1x W+ 2x W + 3x
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
46
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

TAHAPAN EKSPERIMEN DALAM KOMUNIKASI
Dilihat dari desain yang ada maka banyak sekali ragam desain yang
dapat digunakan dalam penelitian eksperimen, penggunaannya sangat
tergantung pada jumlah variable penelitian dan tujuan penelitian yang
diinginkan (kegunaan hasil penelitian).
Seperti penelitian yang dilakukan Pelsmacker dkk tentang Media
Context and Advertising Effectiveness: The Role of Context Appreciation and
Context/Ad Similarity (Journal of Advertising; vol 31, 2002: 49-61). Disini
peneliti menguji dua variabel independen yakni ; jenis media dan konteks atau
unsur penyajian dalam iklan. Disini peneliti mengajukan desain factorial 2 x 3,
yakni: (1) Dua jenis media : Televisi dan Majalah, (2) Tiga jenis iklan yang
mengandung unsur : Humorous; Warm dan Rational.
Sedangkan Brad J .Bushman meneliti Effect of Televison violence on
memory for Commercial Messages (Journal Experimental of Psychology; vol
4, 1998: 291 -301). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain
eksperimen klasik yang disebut Postest Only Control Group, dimana peneliti
hanya meneliti satu variabel independen yakni pengaruh tayangan film bertema
kekerasan terhadap kemampuan mengingat merek produk dan pesan iklan.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan metode eksperimen dalam bidang
komunikasi dengan desain faktorial 2 x 2. Tahap pertama, peneliti
mengidentifikasi serta menentukan permasalahan penelitian, yang meliputi :
(a) memilih media eksperimen dan pesan apa yang ingin diteliti pengaruhnya,
(b) menentukan variabel penelitian, (c) merumuskan permasalahan.
Sebagai contoh sebuah penelitian dengan rumusan masalah: Apakah film
bingkai berwarna dengan narasi bahasa Indonesia lebih efektif dibandingkan
dengan film bingkai hitam putih dengan narasi bahasa jawa dalam
memberikan pemahaman tentang cara pencegahan penyakit AIDS pada siswa
SMU ?.
Peneliti menggunakan media eksperimen film bingkai. Variabel
penelitian meliputi: variabel independen, yakni jenis warna film bingkai (yang
terdiri film bingkai berwarna dan hitam putih) dan ragam bahasa yang
digunakan dalam film bingkai ( terdiri dari Bahasa J awa dan Bahasa Indonesia).
Pesan dalam film bingkai adalah cara pencegahan penyakit AIDS. Variabel
dependennya adalah tingkat pemahaman siswa tentang cara pencegahan
penyakit AIDS.
Dengan demikian jumlah film bingkai yang dibuat peneliti ada empat
ragam film bingkai. (film bingkai berwarna dengan pesan/narasi menggunakan
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
47
bahasa Indonesia; film bingkai hitam putih dengan pesan/narasi menggunakan
bahasa Indonesia; film bingkai berwarna dengan pesan/narasi menggunakan
bahasa J awa; film bingkai hitam putih dengan pesan/narasi bahasa J awa).
Selanjutnya peneliti dapat (1) Melakukan studi kepustakaan yang relevan
dengan permasalahan penelitian. (menyusun hipotesis penelitian dan kerangka
teori), (2) Mendefinisikan variabel penelitian (definisi konsepsional dan
definisi operasional); (3) Menyusun instrumen/alat ukur (kuesioner) secara
baik dengan melalui uji coba; (4) Uji validitas dan reliabilitas, untuk
mengidentifikasi variabel-variabel pengganggu; (5) Menentukan desain
penelitian, dalam hal ini desain faktorial 2 X 2; (6) Menyusun media
eksperimen termasuk merancang pesan berdasarkan variabel-variabel
penelitian. Dalam contoh, berarti membuat film bingkai dengan empat jenis
sesuai kombinasi yang terjadi dalam desain.
Setelah menyiapkan rencana penelitian, langkah berikutnya adalah
melaksanakan penelitian, dimulai dengan: (1) Menyiapkan media film bingkai
yang akan diteliti, instrumen, tempat, menentukan waktu treatment dan lainnya;
(2) Mengelompokkan subyek secara random, menjadi empat kelompok
eksperimen secara terpisah, (3) Melakukan pretest dengan instrumen
pengukuran yang telah disiapkan kepada empat kelompok; (4) Memberikan
perlakuan (treatment), yakni menayangkan film bingkai kepada tiap kelompok
secara terpisah namun serentak dalam waktu yang bersamaan; (5) Setelah
perlakuan selesai masing-masing kelompok diuji ulang (posttest) dengan
instrumen yang sama ketika pretest dilakukan; (6) Melakukan koding data
hasil pretest maupun hasil posttest; (7) Analisis data dengan alat analisis yang
tepat. Desain faktorial biasanya menggunakan analisis varian, (8) Interpretasi
dan pembahasan, kemudian menyimpulkan hasil penelitian; dan (8) Menuliskan
laporan penelitian.



DAFTAR PUSTAKA

Anderson J .A.. 1987. Communications Research, Issues and Methods. New
York: Mac Graw Hill Book Company.
Arboleda, Cora R. 1981. Communications Research.Manila: CFA
Cammbell, Donald T.,and J ulian C. Stanley. 1963. Experimental and Quasi
Experimental Disigns for Research. Chicago: Ran McNally Publishing
Company.
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
48
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Frey, Lawrence R., Carl H.Botan, Paul G.Friedman and Gary L. Kreps.1991.
Investigating Communication. New J ersey: Prentice Hall.
Isaac, Stephen, and Willim B.Michael. 1977. Handbook in Research and
Evaluations. San Diego, California: Ediths Publisher.
J alaluddin Rakhmat. 1990. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Kerlinger, Fred. 1973. Foundations of Behavioral Research (2
nd
Edition) Holt,
Rinehart and Winston.
Plutcik, Robert. 1988. Dasar-Dasar Penelitian Eksperimen. Surabaya: Usaha
Nasional.
Severin, Werner J . and J ames W. Tankard J r. 2001. Communication Theories:
Origins, Methods and Uses in the Media. London: Addison Wesley
Longman.
Sumadi Surya Brata. 1986. Metode Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Jurnal
J ournal Experimental of Psychology, Vol 4, 1998
J ournal of Advertising, Vol 31, 2002



49
Menertawakan Kejelataan Kita
2
:
Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam
Sinetron Komedi Bajaj Bajuri


Budi Irawanto
3



Abstract: Political transition in Indonesia since 1998 has created
uncertain situation for most Indonesian people. Moreover, the hard
economic condition has multiplied the number of people living below the
poverty line. In these circumstances, the light entertainments such as
situation comedy, which blends the portrait of ordinary people and their
quaint life style, occupied the prime time of television programming in
Indonesia. This paper discusses the popularity of the situation comedy
Bajaj Bajuri (bajaj literally means two-passenger pedicab motor with
scooter machine) in contemporary Indonesia. This series is about the
daily life of Bajuris (bajajs driver) family and their lower class
neighbours in the edge of metropolitan Jakarta (the capital city of
Indonesia). Therefore, this paper focuses on the representation of the
marginalised people and how television constructed the boundary of
marginality. This paper argues that situation comedy is not only
reinforcing stereotype of the lower class group but also transgressing the
stereotypical image of the lower class by parodying and abusing popular
discourse.

Key words: transgression, parody, marginalization, comedy film


2
Tulisan ini semula adalah makalah disampaikan dalam Seminar Fisipol Update dalam rangka
Dies Natalis ke-50 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Ruang
Seminar Fisipol UGM, 13 September 2005. Untuk keperluan pemuatan dalam jurnal ini telah
dilakukan penambahan seperlunya.
3
Budi Irawanto adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada
Yogyakarta

VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
50
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Ketidakpastian ekonomi dan politik yang mengiringi proses reformasi
tidak membuat sinetron komedi kehilangan pamornya. Beratnya beban hidup
yang mesti ditanggung telah menjadikan banyak orang menghabiskan waktunya
di depan pesawat televisi sebagai cara melepaskan kepenatan hidup serta
kejenuhan dibombardir oleh berita-berita politik atau kriminalitas. Di sinilah
sinetron komedi menemukan tempatnya yang dengan cerdik meramu hiburan
ringan dengan potret dunia sehari-hari kaum jelata. Salah satu sinetron komedi
yang popular dan menempati jam tayang utama itu adalah Bajaj Bajuri yang
disiarkan oleh stasiun televisi TransTV sejak 2002 hingga sekarang. Kisah
dalam Bajaj Bajuri berkisar pada kehidupan sehari-hari keluarga Bajuri, yang
terdiri dari Bajuri, Oneng, Emak (mertua Bajuri), serta tetangga dekatnya yang
tinggal di wilayah pemukiman padat kelas bawah di J akarta.
Popularitas sinetron komedi Bajaj Bajuri bahkan telah menggerakkan
majalah berita prestisius Tempo memilih trio penulis skenario Bajaj Bajuri,
Hardi, Aris Nugraha, dan Chairul Rijal, sebagai Tokoh 2004 Pilihan Tempo
(Tempo Edisi Khusus, 27 Desember 2004). Forum Film Bandung (FFB), yang
diprakarsai para pengamat, akademisi dan pecinta film di Bandung, mengganjar
Bajaj Bajuri sebagai Sinetron Komedi Terpuji 2004. Di samping itu,
pemeran pembantu dalam Bajaj Bajuri artis senior Nani Wijaya meraih
penghargaan Artis Pendukung Sinetron Terpuji. (Kompas, 17 Apil 2005).
Tak kurang sutradara film Indonesia terkemuka Garin Nugroho menyebut
sinetron komedi Bajaj Bajuri sebagai sastra rakyat hari ini (Tempo, 24 April
2005). Yakni, sastra yang tak semata terungkap dalam tradisi lisan, melainkan
dalam tradisi bertutur yang dilantunkan secara audiovisual di ruang-ruang
keluarga.
Tulisan ringkas ini pada dasarnya merupakan bagian dari studi saya
tentang problem marginalitas yang dimediasi oleh media audiovisual.
4
Selama
ini problem marginaltas (dalam bentuknya yang popular isu kemiskinan)
lebih banyak didekati lewat perspektif sosiologis dan antropologis. Dalam
perspektif sosiologis, juga politis, marginalitas lebih banyak dilihat sebagai

4
Studi pertama saya tentang problem marginalitas merupakan projek penulisan tesis S-2
(Masters) dalam bidang kajian media (media studies) di Curtin University of Technology
bertajuk Negotiating Localised Identity in Betawi Television Serials (2004). Dalam studi
tersebut saya mengeksplorasi bagaimana sinetron Betawi, terutama yang diproduksi komedian
Betawi Mandra Naih, yang secara cerdik mengapropriasi ikon-ikon budaya popular global untuk
mengungkapkan marginalitas etnis Betawi. Saat ini saya juga tengah melakukan studi tentang
marginalitas anak-anak jalanan di Yogyakarta melalui analisa tekstual terhadap film dokumenter
yang mereka produksi sendiri. Dalam studi ini saya hendak melihat bagaimana anak-anak jalanan
menegosiasikan identias mereka serta mengkaji dinamika ruang pinggiran (marginalised space)
di perkotaan.
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
51
akibat dari ketimpangan struktural yang lahir dari kebijakan pembangunan yang
lebih menomorsatukan pertumbuhan ketimbang pemerataan. Sementara itu,
dalam perspektif antroplogis yang menjadi perhatian utamanya lebih pada
tumbuhnya kultur, atau persisnya subkultur, dari kondisi marginalitas
ketimbang mencari sebab-musabab mengapa marginalitas itu lahir. Dalam
studi ini saya hendak mengeksplorasi representasi kaum pinggiran dan
bagaimana sinetron komedi menciptakan batas-batas marginalitas. Data dalam
studi ini dihimpun dari rekaman program Bajaj Bajuri, skenario (TV script),
surat elektronis penonton di website TransTV dan berbagai pemberitaan media
massa tentang Bajaj Bajuri. Karena itu, studi ini bersandar sepenuhnya pada
analisa tekstual.
Argumen yang hendak dibangun oleh tulisan ini adalah Bajaj Bajuri
tidak hanya memperkuat batas-batas marginalitas, tapi pada saat yang sama
mentransgresi batas-batas itu dengan memparodikan dan membalik wacana
yang popular tentang kaum pinggiran. Untuk mengelaborasi argumen di atas,
tulisan ini akan dipilah ke dalam beberapa bagian. Bagian pertama
mendeskripsikan pertumbuhan industri sinetron di Indonesia yang menjadi
konteks lahirnya sinetron komedi. Bagian kedua menukik ke dalam imaji dan
imajinasi yang lazimnya dibangun oleh sinetron Indonesia. Bagian ketiga
secara khusus mendikusikan marginalitas dikonstruksikan dan representasi
kaum pinggiran dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri. Bagian keempat
mendiskusikan proses transgresi batas-batas marginalitas melalui parody dalam
Bajaj Bajuri.

SNAPSHOT PERTUMBUHAN SINETRON INDONESIA
J auh sebelum sinetron menjadi primadona acara di televisi swasta saat
ini, cikal bakal sinetron lahir dari Televisi Republik Indonesia (TVRI) sejak
siaran rutin pertamanya pada 24 Agustus 1962. Istilah sinetron (akronim dari
sinema dan elektronik) konon berasal dari penulis Arswendo Atmowiloto
dan pengajar film Institut Kesenian J akarta (IKJ ) Soemardjono untuk menyebut
film yang diproduksi secara elekronis di atas pita magnetik. Kini sinetron
digunakan secara generik untuk menyebut program film televisi yang terdiri
dari beragam genre (drama, legenda, misteri, remaja dan sebagainya) dan
beragam format (seri, serial, sinetron lepas, telesinema).
Menurut dokumentasi TVRI, sinetron pertama (saat itu masih disebut
dengan TV play) yang diproduksi pada 31 Desember 1962 berjudul Sebuah
Jendela ditulis oleh Alex Leo Zulkarnain (Radio Televisi dan Film dalam Era
50 Tahun Indonesia Merdeka, 1995, hal.320). Gerhana merupakan sinetron
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
52
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
yang pertama kali syuting di luar studio, disertai dengan kilas balik film,
diproduksi pada 7 April 1963. Tidak ada catatan mengenai cerita kedua
sinetron itu. Akan tetapi, jika kita simak tujuan TVRI, menurut pasal 4
Keputusan Presiden No.215 tahun 1963, adalah menjadikan alat hubungan
masyarakat (mass-communication media) dalam melaksanakan pembangunan
mental/spiritual dan fisik bangsa dan negara Indonesia serta pembentukan
manusia sosialis Indonesia pada khususnya, maka sulit membayangkan
sinetron-sinetron itu tak membawa pesan pemerintahapalagi mereka lahir dari
rahim televisi pemerintah.
Dalam masa Orde Baru sinetron produksi TVRI senantiasa membawa
pesan pembangunan atau mengangkat apa yang dikonstruksikan sebagai
kebudayaan nasional. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Penerangan
Budiarjo pada ulang tahun TVRI ke-10, TVRI bekerja dengan landasan
falsafah setiap informasi yang berasal dari pemerintah harus merangsang
potensi yang dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap program
nasional serta kegiatan lain yang memotivasi masyarakat melalui pendidikan
dan persuasi (Direktorat Televisi, 1972, hal.17). Sinetron Keluarga Rahmat
dan Rumah Masa Depan, misalnya, ikut menyebarluaskan pesan program
Keluarga Berencana (KB) dan transmigrasi.
Industri sinetron mengalami pertumbuhan yang pesat awal tahun 1990-
an sebagai respon atas maraknya stasiun televisi swasta serta mati surinya
industri perfilman di Indonesia. Pada pertengahan 1992 hanya ada 12 film
yang mampu diproduksi dibandingkan 118 film pada tahun sebelumnya. Untuk
memenuhi kebutuhan pasokan program lokal pada stasiun televisi swasta,
hampir sebagian besar perusahaan film mengubah dirinya menjadi rumah
produksi (production house). PT.Parkit Film, misalnya, yang dimiliki Raam
Punjabi kini berubah menjadi PT. Tripar Multivision Plus dan menjadi salah
satu rumah produksi yang paling mendominasi. Perubahan perusahaan film
menjadi rumah produksi, tak pelak, dikuti ramai-ramai pindahnya para pekerja
film ke rumah produksi. Realistis saja, perfilman Indonesia sedang suram.
Sinetron merupakan alternatif yang terbaik, kata Ratno Timur, ketua
Persatuan Artis Fim Indonesia (PARFI) (Tempo, 20 J uni 1992). Dalam nada
yang sama, penulis skenario terkemuka Asrul Sani mengatakan, Pesaing film
Indonesia sekarang bukan hanya film impor, tapi juga sinetron. Sinetron telah
menjadi primadona hiburan di rumah-rumah (Tempo, 20 J uni 1992).
Sinetron lantas menjadi episentrum persaingan program bukan hanya
antar stasiun televisi swasta, tapi juga antara TVRI dan stasiun televisi swasta.
Pada 1992, misalnya, TVRI menargetkan bakal menayangkan tak kurang 322
sinetron, padahal anggaran TVRI hanya 3,2 miliar per tahun. Ini karena bagi
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
53
pengelola TVRI, sinetron merupakan kekuatan dan keahlian TVRI
(mengingat TVRI-lah yang pertama kali melahirkan sinetron) dalam
menghadapi gempuran program asing ber-rating tinggi yang ditayangkan oleh
sejumlah stasiun televisi swasta (Kitley, 2000:104). Untuk memberi tempat
yang luas bagi penayangan sinetron, TVRI secara rutin membesut program
yang bertajuk Sepekan Sinetron dengan variasi tematik, seperti Sepekan
Sinetron Remaja, Sepekan Sinetron Anak-Anak dan sebagainya.
Sementara itu, salah satu stasiun televisi swasta, Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI), menurut manajer program Sam Haesy, menayangkan tujuh sinetron
setiap minggunya atau 468 sinetron setahunnya (Tempo, 20 J uni 1992).
J ika ditilik dari sisi rating dan muatannya, sesungguhnya industri
sinetron di Indonesia amat rentan terhadap krisis ekonomi dan perubahan
politik. Misalnya, terjadi penurunan produksi yang cukup tajam (40 persen)
pada akhir 1998 akibat krisis moneter yang bergulir sejak 1997 yang diikuti
oleh merosotnya belanja iklan. Atas dasar alasan ekonomis, stasiun televisi
swasta lebih memilih menyiarkan program yang murah seperti variety shows,
talk shows atau menyiarkan ulang (rerun) program lama ketimbang membeli
program sinetron yang saat itu harganya Rp 93-125 juta per episodenya.
Sementara itu waktu siaran yang meningkat dari 2.781 jam pada 1996 menjadi
3.719 jam pada 1998, turun menjadi 2.939 jam (61 jam per minggu) pada
1998. Begitu pula yang terjadi ada PT. Mulivision Plus mengalami penurunan
produksi dari 15 judul per tahun pada 1996, 22 judul per tahun pada 1997,
menjadi hanya 12 judul per tahun pada 1998.
Kedatipun pemulihan ekonomi makro akibat krisis moneter berjalan
lambat, perkembangan industri hiburan (sinetron) agaknya justru sebaliknya.
Sebagaimana diungkapkan oleh manajer poduksi Genta Buana Pitaloka, Sindu
Darma, Pada masa krisis ini pun orang [ternyata] tetap butuh hiburan. Maka
sampai saat ini pun kami tetap berproduksi, karena memang ada permintaan.
Dan, itu berlangsung sampai sekarang. (Kompas, 4 Agustus 2002). Dalam
seminggu pada 2002 tak kurang 70 jam siaran diisi oleh tayangan sinetron
pada jam tayang utama (pukul 19.00-21.00). Menurut survai AC Nielsen pada
pertengahan Februari 2002, 10 program televisi yang memiliki rating di atas
12 didominasi oleh sinetron (Kontan, 11 Maret 2002). Dari seluruh tayangan
sinetron itu rumah produksi PT. Multivision Plus mengisi 16 jam siaran atau
sekitar 15 judul dalam seminggu yang ditayangkan oleh empat stasiun televisi
swasta setiap hari, kecuali hari Sabtu. Sementara rumah produksi lain, PT
Prima Entertainment, mengisi 14 jam siaran dalam seminggu (Kompas, 4
Agustus, 2002).

VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
54
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
MIMPI DAN IMAJI DALAM SINETRON INDONESIA
Sejak sebermula televisi di Indonesia sejatinya memang medium yang
menyebarkan mimpi. Inilah yang juga dilakukan oleh TVRI pada era 1970-an
ketika Indonesia mabuk oleh program pembangunan. Menurut, antropolog
Patrick Guiness (1994), Imaji (image) tentang Indonesia modern yang
dipromosikan lewat televisi dan media penyiaran pemerintah serta diperkuat
oleh para pejabat pemerintah adalah gaya hidup kelas menengah kota dan
terdidik. (Guiness, 1994:285). Mimpi yang lain adalah televisi mampu
menihilkan (atau mengintegrasikan) perbedaan masyarakat Indonesia
sebagaimana misi penting peluncuran satelit Palapa dan secara jelas terukir
dalam semboyan TVRI menjalin persatuan dan kesatuan.
Bagaimanapun, peran televisi atau media penyiaran dalam membentuk
rasa kebangsaan sesungguhnya bukanlah gejala khas Indonesia (lihat, misalnya
Servaes, 1998; Morley, 2000). Ini agaknya sekadar menggarisbawahi diktum
klasik Benedict Anderson (1991) : bangsa adalah komunitas yang
terbayang (imagined community) yang antara lain dibentuk lewat media
massa. Televisi barangkali yang memvisualkan apa yang terbayang itu.
Tidak aneh, jika pada masa kejayaan rejim Orde Baru, pemerintah
menyediakan sejumlah pesawat televisi di desa-desa Timor Timur (kini
Republik Timor Leste) agar masyarakat bisa menangkap siaran televisi nasional
dan cepat terintegrasi ke dalam bangsa Indonesia (Guiness, 1994:284).
Dengan kata lain, televisi pada era Orde Baru, terutama televisi pemerintah
(TVRI), terlibat dalam menciptakan dan membentuk mimpi sebagai keluarga
besar bangsa. Studi kasus yang dilakukan oleh Philip Kitley (2000) terhadap
sinetron Keluarga Rahmat mengindikasikan betapa mimpi tentang komunitas
Indonesia yang ideal dikonstruksi. Menurut sutradaranya Fritz G. Schadt,
Keluarga Rahmat hendak menunjukkan warna khas Indonesia yang berbeda
dengan kebanyakan serial televisi Amerika yang menekankan nilai
individualisme (Kitley, 2000:147). Dalam sinetron komunitas ideal
diimajinasikan ke dalam empat wacana utama : pentingnya nilai kekeluargaan,
kerukunan, hidup sederhana dan wawasan nusantara.
Ketika posisi TVRI kian menyurut, televisi swasta berlomba-lomba
menciptakan mimpi tentang penonton sebagai konsumen yang berdaulat
(Kitley, 2000). Dilihat dari sisi citra yang disebarluaskan oleh televisi swasta,
terutama program sinetron, sesungguhnya tidak terlampau berbeda. Maka,
benarlah apa yang dinyatakan oleh David T. Hill dan Krishna Sen (2000)
bahwa kemunculan televisi swasta bukan pertanda terjadinya pergeseran
paradigma dalam sistem komunikasi di Indonesia. Ini karena tidak hanya
pemilik stasiun televisi swasta itu berasal dari lingkungan dekat Soeharto, tapi
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
55
juga dasar pendirian stasiun televisi itu dimotivasi oleh kepentingan kekuasaan
dalam meregulasi masuknya layanan dan program televisi asing yang kian
popular pada pertengahan 1980-an (Kitley, 2000:331).
Ketika jumlah stasiun televisi swasta (komersial) di Indonesia terus
bertambah, memang imaji yang dibangun tetap saja kehidupan kelas
menengah, urban dan modern yang tinggal di J akarta atau kota besar di
Indonesia. Imaji ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan umumnya film
Indonesia. Ini tentu saja bukan hal yang kebetulan mengingat bahwa para
produser sinetron, juga para pekerja kreatifnya, sebelumnya bergelut di dunia
perfilman Indonesia. Karena itu, gerutuan bahwa sinetron hanya menjual
mimpi hanyalah pengulangan gerutuan yang pernah dialamatkan pada film
Indonesia.
Meski demikian, tak semua sinetron Indonesia menciptakan imaji
gemerlap kelas menengah perkotaan. Kehidupan etnis Betawi yang sederhana
berhadapan dengan modernitas J akarta juga menjadi imaji yang ditawarkan
oleh sinetron Indonesia bahkan sukses secara komersial. Bersinarnya sinetron
Betawi tidak bisa dilepaskan dari kian popularnya program lokal dibandingkan
dengan program impor. Berdasarkan analisisnya terhadap sumber program dari
Top 100 Program antara 1995-1997, Tuen-Yu Lan (1999) menyatakan, Trend
penting dalam televisi Indonesia adalah kian meningkatnya popularitas program
lokal dan merosotnya popularitas program asing. Misalnya, ketika pada awal
pendiriannya stasiun televisi RCTI sangat bergantung pada pasokan program
terutama dari Amerika meski pemerintah menetapkan 70 persen program lokal
dan 30 persen program asing (impor). Situasi ini pada tahun 2001 telah
mengalamai pembalikan di mana program lokal menguasai 63,06 persen
sisanya 36,94 persen terbagi ke dalam Barat (20,19 %), Cina (3,9 %), India
(4,70%), J epang (3,56%), Amerika Latin (3,08%), Arab (0,68%) Asia lainnya
(0,79%).
Sukses komersial Si Doel Anak Sekolahan yang disutradarai Rano Karno
sesungguhnya membuka kemungkinan bagi program lokal (sinetron)
mengokupasi jam-jam utama televisi. Sukses Si Doel telah menjungkirbalikkan
anggapan bahwa kisah tentang kehidupan mewah kelas menengah J akarta
menjadi resep sinetron yang berhasil. Bahkan dalam Festival Sineron Indonesia
(FSI) 1998 acara tahunan yang menggantikan Festival Film Indonesia yang
mati suri sejak 1993 tiga drama Betawi (Mat Angin, Fatima, Angkot Haji
Imron II) dinominasikan dalam pelbagai kategori.
Sinetron Betawi terus melejit sebagai program televisi yang sukses
terutama sejak Mandragade dan Tarzan Betawi yang masuk dalam Top 10
program sinetron 2001. Sementara itu, Top 10 program per 11-17 Mei 2003
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
56
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
dari AC Nielsen menempatkan posisi tiga sinetron Betawi (Kecil-Kecil Jadi
Manten, Jadi Pocong 2 dan Julia Anak Gedongan) dibandingkan dengan
program televisi lainnya. Bahkan, sepanjang tahun 2003, media cetak
mengisyaratkan popularitas sinetron Betawi atau yang mengangkat dunia
masyarakat bawah sebagaimana tampak dari beragam judul, seperti Warna
Kultur Lokal Dominasi Sinetron 2003 (Media Indonesia, 19 J anuari 2003),
Betawi Kagak Ada Matinye (Tempo, 26 J anuari 2003), Sinetron Bertema
Orang Pinggiran: Kalangan Bawah Menggusur Sinetron Mewah, Citra, 20
Mei 2003), J ualan Kultur Betawi Televisi Panen Iklan (Media Indonesia, 1
J uni 203). Sebagian besar sinetron Betawi yang diacu oleh judul-judul itu
mempunyai bentuk dan gaya yang relatif serupa. Oleh karena itu, dalam
konteks popularitas sinetron yang mengusung tema Betawi dan orang-orang
pinggiran berikut gaya hidupnya ini, sinetron komedi Bajaj Bajuri musti
ditempatkan.

MENCIPTAKAN BATAS MARGINALITAS DALAM BAJAJ
BAJURI
Sejak ditayangkan pertama kali pada 2002, episode Bajaj Bajuri terus
diperpanjang hingga sekarang. Pada 2005 sinetron komedi ini bahkan
ditayangkan 6 hari berturut-turut selama satu minggu. Bahkan, kini Bajaj
Bajuri muncul dalam dua versi yang berbeda yakni Bajaj Bajuri Baru dan Bajaj
Bajuri Edisi Salon Oneng. Meski beberapa episode yang ditayangkan hanyalah
rerun (penayangan-ulang) program sebelumnya, popularitas Bajaj Bajuri
agaknya belum sepenuhnya surut di mata penonton. Menurut sineas Garin
Nugroho, sukses Bajaj Bajuri tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya
menempatkan nilai kelokalan dalam memburu rating (Tempo, 24 April 2005).
Nilai kelokalan dalam Bajaj Bajuri itu tampak dalam berbagai aspek, seperti
wajah, setting tempat, situasi yang muncul, nama hingga bahasa. Meski warna
lokal sangat kental dalam Bajaj Bajuri, semua itu tetap dibahasakan dalam
grammar televisi global. Yang membedakan Bajaj Bajuri dengan sinetron
komedi Betawi lainnya, adalah sepenuhnya bertumpu pada naskah ketimbang
improvisasi para pemainnya.
Kisah dalam Bajaj Bajuri berkutat di sekitar Bajuri (sebagai penarik
bajaj), istrinya Oneng (yang memiliki usahan salon kampung) dan Emak (ibu
Oneng). Masing-masing tokoh utama ini memiliki karakter yang beragam,
khas dan unik. Bajuri yang tinggal di rumah mertua selalu sial dan sangat takut
pada Emak (mertuanya), Oneng yang sedikit bego-bego pintar namun tulus, dan
Emak yang mata duitan, sok tahu serta cenderung seenaknya. Karakter utama
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
57
ini masih ditambah lagi dengan para tetangga Bajuri yang memiliki karakter
berwarna seperti Ucup (penarik ojek yang memimpikan punya pacar yang
cantik), Said (keturunan Arab yang pandai berbisnis), Mpok Hindun (istri supir
truk yang genit), Pak Yanto (supir truk yang mata keranjang), Mpok Minah
(janda beranak satu yang selalu takut salah dan menyakiti hati orang lain) ,
Mpok Leha (pemilik warung yang punya banyak piutang pada pelanggannya),
Mila (mahasiswi pondokan yang hobi bersolek dan bergosip), Sahili (anak
Mpok Minah yang tengah tumbuh menjadi anak baru gede), Pak RT (yang
korup dan sering memanipulasi warganya) dan belakangan muncul karakter ibu
Bajuri Nyak Ipah (yang senang ikut campur urusan rumah tangga anaknya).
Daya tarik dan kekuatan cerita dalam Bajaj Bajuri, harus diakui, ada
dalam kemampuannya melahirkan karakter yang unik tersebut. Ini juga diakui
sendiri oleh penggagas dan penulis skenario Bajaj Bajuri Aris Nugroho, Saya
memang memerinci setiap karakter secara detail. Setiap karakter saya uraikan
hingga lima halaman supaya setiap pemeran tahu betul siapa si Oneng dan siapa
si Ucup tanpa kesulitan berarti. Setiap tokoh sudah baku sehinga siapa pun
sutradaranya tidak akan mengubah sedikit pun karakter tokoh-tokoh Bajaj
Bajuri (Suara Merdeka, 8 Desember 2004). Dalam kenyataannya, sutradara
Bajaj Bajuri kadangkala berbeda dari satu episode ke episode, namun penonton
tetap berhadapan dengan karakter yang sama dan tak berubah. Inilah yang
membedakan Bajaj Bajuri dengan sinetron komedi Betawi lainnya: kisah an
kelucuannya sepenuhnya bertumpu pada naskah ketimbang improvisasi para
pemainnya. Sebagaimana dikatakan Aris Nugraha, J adi pemain harus patuh
pada scenario dan dilarang berimprovisasi. Inilah yang saya sebut 90 %
pekerjaan selesai di atas meja. Sebab sebuah cerita seharusnya dibangun dari
naskah, bukan imajinasi yang liar. Di sini, yang saya butuhkan adalah aktor
(Suara Merdeka, 8 Desember 2004). Tipologi karakter, atau bisa juga disebut
karakter yang stereotipikal, memang formula program televisi yang mengambil
format seri atau serial. Di sinilah acapkali tercipta relasi yang bersifat
emosional antara penonton dengan karakter-karakter dalam seri atau serial di
televisi.
Penanda dari marginalitas dalam Bajaj Bajuri tampak dari setting di
mana seluruh cerita itu berlangsung. Rumah yang didiami tokoh-tokoh dalam
Bajaj Bajuri tampak saling berimpit dindingnya satu dengan yang lain. Salon
kampung sebagai usaha (bisnis) Oneng, misalnya, berada di ruang tamu yang
dipakai sebagai ruang tunggu pelanggan sekaligus untuk menerima tamu.
Kesempitan ruang yang didiami keluarga Bajuri, yang merupakan
representasi kalangan pinggiran itu, tercermin dalam setting adegan yang
terbatas: ruang tamu dan kamar tidur. Penanda ruang marginalitas lainnya
adalah warung makan dan pangkalan ojek. Warung makan merupakan usaha
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
58
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
sektor informal yang menunjukkan keuletan kalangan bawah mensiasati
sempitnya bidang usaha. Warung makan juga menjadi tempat bertemunya
(meeting point) kalangan masyarakat bawah memperbincangkan Sementara
itu, pangkalan ojek kini menjadi tempat pertemuan warga kampung di
samping pos ronda. Pekerjaan menarik ojek sendiri adalah bidang usaha yang
dipilih oleh kebanyakan orang Betawi yang menjadi korban penggusuran dan
terus tersisih oleh warga pendatang.
Dalam Bajaj Bajuri amat gampang kita menemukan ragam pekerjaan
yang digeluti oleh kaum pinggiran. Ragam pekerjaan itu antara lain : sopir
bajaj (Bajuri), penarik ojek (Ucup), sopir truk (Pak Yanto), tukang sayur
(Bejo), pembantu rumah tangga (Parti) dan seterusnya. Penghasilan dari sektor
informal semacam itu tentu saja tak mencukupi kebutuhan sehingga utang
menjadi pilihan untuk bertahan hidup. Tokoh Emak (mertua Bajuri) adalah
seorang pengutang yang piawai sampai akhirnya dijauhi oleh tukang sayur.
Mpok Leha yang membuka usaha warung makan harus merelakan diutang
oelh para pelanggannya. Tak jarang karena kekurangan uang mereka terjebak
oleh lintah darat. Dalam salah satu episode yang berjudul Bajuri Fried
Chicken dikisahkan ketika Bajuri dililit utang lintah darat yang keturunan
Arab, ia mencoba ikut lomba makan bakmi di restoran Mie Betawi Sedap
meski ia kalah.
Kendatipun kadangkala pecah konflik-konflik kecil di antara keluarga
Bajuri dan tetangga, solidaritas di antara mereka tak pernah pupus. Dalam
beberapa episode acara peringatan kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus
sering menjadi saat menunjukkan solidaritas warga yang menyelenggarakan
secara gotong-royong. Menariknya, muncul sindiran terhadap ulah Pak RT
yang mengkorup dana yang dihimpun dari masyarakat. Begitu pula dalam
salah satu episode, Pak RT menipu masyarakat yang menarik iuran warga untuk
kepentingan pribadi. Ini jelas hal yang biasa kita temui dalam keseharian kita
di mana korupsi telah merambah sampai di tingkat bawah. Solidaritas yang
tulus kalangan bawah dengan gampang dikhianati oleh birokrat yang korup.

MELAMPAUI MARGINALITAS
Tak bisa dimungkiri salah satu kunci sukses Bajaj Bajuri adalah pilihan
kehidupan kaum pinggiran (jelata) sebagai sumber kelucuan yang dibangun.
Sebagaimana dinyatakan oleh Aris Nugraha, Mungkin Bajuri diterima karena
kita semua dapat menertawakan kejelataan di sekitar kita sendiri (Tempo, 2
J anuari 2005). Dalam nada yang serupa Garin Nugroho menyatakan sukses
Bajaj Bajuri karena peristiwa yang lahir adalah kejeliaan menangkap
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
59
kehidupan sehari-hari yang mampu menjadi olok-olok bagi pemirsa televisi itu
sendiri (Tempo, 24 April 2005). Dunia sehari-hari kaum pinggiran yang
tinggal di J akarta agaknya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang penulis
cerita Bajaj Bajuri yang tinggal di pnngiran J akarta. Aris Nugraha, misalnya,
tinggal di perkampungan pada di Halim, J akarta Timur. Sementara itu, Chairul
Rijal, asal Beawi asli, berdiam di kawasan Buncit, J akarta Selatan.
Olok-olok atau kemampuan menertawakan adalah sebetuk cara
melampaui batas-batas identitas yang acapkali keras membatu. Inilah yang
disebut dengan istilah transgresi yakni tindakan melampau batas-batas juga
otoritas yang telah ditetapkan sebelumnya serta oposisi terhadap batas yang
telah dikonstruksikan. Karena itulah, untuk mengenali nilai-nilai simbolik yang
berlaku dalam masyarakat, transgresi bisa dijadikan petunjuk yang berharga
(Braendlin & Braendlin, 1996, hal. 1) Dalam Bajaj Bajuri proses transgresi
terjadi tepat di jantung narasi yang menjadikan dunia kaum bawah sebagai
bahan olok-olok. Dengan menjadikan hal-hal yang tengah berlangsung dalam
masyarakat sebagai bahan olok-olok sebagaimana tercermin dalam judul
beberapa episode, seperti: Demam PS (Play Station) dan Bajuri Fried
Chicken. Dalam episode tersebut, usaha fried chicken yang dilakukan
Bajuri secara kakilima menuai penggusuran dan bukan lagi menu yang biasa
disantap kelas menengah perkotaan. Tempat bermain playstation juga menjadi
para orang tua (dewasa) menghabiskan wktu dan berbohong dengan istrinya.
Hampir semua hal yang selama ini dianggap wajar dan biasa menjadi
sumber olok-olok. Dalam salah satu episode perkawinan antara Ucup (Yusup
bin Sanusi) dan Parti menjadi taruhan antara Said dan Tatang. Perkawinan tak
lagi menjadi sesuatu yang sakral tapi dipenuhi oleh banyak tipu muslihat.
Begitu pula, muslihat Parti yang mengaku telah hamil agar bisa dikawinkan
dengan Ucup.
Imaji tentang batas marginalitas dalam Bajaj Bajuri kian sulit
dipertahankan ketika salah satu pemainnya Mat Solar (pemeran Bajuri) ikut
dalam kampanye yang mendukung kenaikan bahan bakar minyak (BBM),
sementara pemain lainnya Rieke Diah Pitaloa (pemeran Oneng) melakukan
kampanye anti-kenaikan BBM. Dalam salah sebuah mailing list keikutsertaan
Bajuri dalam kampanye mendukung kenaikan BBM disebut sebagai
pembodohan ala Bajuri karena memanfaatkan popularitas sinetron itu dan
watak populisnya untuk mengelabui masyarakat bawah.



VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
60
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
PENUTUP
Di tengah arus besar sinetron Indonesia yang mengusung imaji tenang
kelas menengah perkotaan yang serba gemerlap, menyeruak sinetron yang
memotret ehidupan kaum pinggiran dan gaya hidupnya. Ini membalik anggapan
selama ini bahwa sinetron entang kaum pinggiran akan menarik penonton dan
memperoleh rating yang bagus. Kehadiran Si Doel Anak Sekolahan merupakan
pembuka jalan bagi sinetron kaum pinggiran hingga kemunculan sinetron
komedi Bajaj Bajuri yang ditayangkan sejak 2002 hingga sekarang.
Berbeda dengan umumnya film Indonesia atau sinetron arus utama,
marginalitas (kejelataan) dalam Bajaj Bajuri tidaklah menjadi sumber
dramatisasi untuk menguras air mata penonton atau membangkitkan rasa iba.
Kejelataan dalam Bajaj Bajuri adalah siasat melakukan parodi terhadap
marginalitas dan sekaligus melakukan sindiran terhadap wacana yang
dominan. Dalam Bajaj Bajuri kita menemukan Pak RT yang korup, suami (Pak
Yanto) yang selalu berselingkuh dengan dalih pergi bekerja, sosok ibu (Emak)
yang materilistis dan culas. Hampir tidak ada karakter dengan sisi yang
sempurna dan ideal. Di samping itu, hal-hal yang tengah berlangsung dalam
masyarakat seperti play station, fried chicken, pertandingan sepak bola
dijadikan bahan olok-olok sekaligus menyindir perilaku masyarakat secara
umum.




DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict . (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism. London: Verso.
Braendlin, Bonnie & Braendlin, Hans . (1996). Authority ad Transgression in
Literature and Film. Gaenesville: Universiy Press of Florida.
Guiness, Patrick. (1994). Local Culture. Dalam Hall Hill (Ed.). Indonesias
New Order. Singapore: ISEAS.
Kitley, Philip. (2000). Television, Nation and Culture in Indonesia. Southeast
Asia Series No.104. Athens: Ohio Center for International Studies.
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
61
Lau, Tuen-Yuan. 1999. Deregulation and Commercialisation of the Broadcast
Media: Their Implicates for Public Service Broadcasters the case of
Indonesia. In AMIC Compilation. Public service broadcasting in Asia:
Surviving in the new information age. Singapore: AMIC. Hal. 72-86.
Morley, David. (2000). Home Territories: Media, Mobility and Identity.
London: Routledge.
Sen, Krishna & Hill, David T. (2000). Media, Culture and Politics in
Indonesia. South Melbourne: Oxford University Press.
Servaes, J an. (1998). Media and Cultural Identity. Dalam Anura
Goonasekara & P.S.N. Lee (Eds.). TV Without Borders; Asia Speaks Out.
Singapore: AMIC.

Surat Kabar, Majalah
Kompas, 4 Agustus 2002
Kompas, 17 Apil 2005
Kontan, 11 Maret 2002
Tempo, 20 J uni 1992
Tempo, 24 April 2005
Tempo Edisi Khusus, 27 Desember 2004


62
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI



63
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam
Program Kampanye Sosial


Ike Devi Sulistyaningtyas


Abstract:Corporate social responsibility as a paradigm establish and
became an importantc roles of business entities. Corporate social
responsibility activities is placed and mixing between organizations
goal and social conditions. Attitude of social responsibility have
purposes to build the organizations reputation. Some ways is used to
reach attitude of social responsibility, one of them was doing from the
social campaigns. Campaign programs agenda is used to empower
public as well as organizational member itself.

Key Words: Corporate social responsibility, organizational reputation,
social campaign, public


Topik mengenai corporate social responsibility (CSR) sedang banyak
dibicarakan sebagai bagian dalam perjalanan kehidupan sebuah organisasi.
Tulisan ini akan diawali dengan memaparkan berbagai macam faktor yang
menjadi penyebab mengapa tanggung jawab sosial menjadi begitu penting
dalam lingkup organisasi, diantaranya adalah: (1) Adanya arus globalisasi, yang
memberikan gambaran tentang hilangnya garis pembatas diantara berbagai
wilayah di dunia sehingga menhadirkan universalitas. Dengan demikian
menjadi sangat mungkin perusahaan multinasional dapat berkembang dimana
saja sebagai mata rantai globalisasi.; (2) Konsumen dan investor sebagai publik
primer organisasi profit membutuhkan gambaran mengenai tanggung jawab
organisasi terhadap isu sosial dan lingkungannya; (3) Sebagai bagian dalam
etika berorganisasi, maka dibutuhkan tanggung jawab organisasi untuk dapat
mengelola organisasi dengan baik (lebih layak dikenal dengan good corporate
governance); (4) Masyarakat pada beberapa negara menganggap bahwa
organisasi sudah memenuhi standard etika berorganisasi, ketika organisasi
tersebut peduli pada lingkungan dan masalah social; (5) Tanggung jawab sosial
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
64
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
setidaknya dapat mereduksi krisis yang berpotensi terjadi pada organisasi; (6)
Tanggung jawab sosial dianggap dapat meningkatkan reputasi organisasi
Beberapa faktor tersebut, memunculkan kesadaran pentingnya
memikirkan persoalan sosial dan kemasyarakatan. Upaya ini bukan saja upaya
menunjukkan kepedulian sebuah organiasasi pada persoalan sosial dan
lingkungan , namun juga dapat menjadi pendukung terwujudnya pembangunan
yang berkesinambungan dengan menyeimbangan aspek ekonomi dan
pembangunan sosial yang didukung dengan perlindungan lingkungan hidup

TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN AGENDA GLOBAL
ORGANISASI
Wacana tentang keberadaan sebuah organisasi pada masa kini (dalam
tulisan ini khususnya bagi organisasi profit) dirasakan menjadi kian kompleks.
Kondisi ini pula yang memacu organisasi untuk bertindak dan berperilaku
untuk kepentingan yang lebih luas, dengan melihat segala sesuatunya sebagai
satu kesatuan yang holistik, sehingga setiap peristiwa yang dialami oleh sebuah
organisasi tidak hanya disebabkan oleh sekelumit atau sebahagian hal saja,
namun tiap bagian tersebut akan saling berpengaruh dan mempengaruhi.
Berangkat dari kompleksitas tersebut, maka pertaruhan nama baik sebuah
organisasi atau lebih dikenal dengan istilah reputasi, tidak hanya pada sisi
kekuatan finansial dan manajerial saja. Dalam perkembangannya, perhatian
khalayak sudah mulai menyentuh pada aspek sumbangan dan laporan
organisasi terhadap perilaku tanggung jawab sosialnya (corporate social
responsibility).
Dalam agenda global organisasi, aktivitas tanggung jawab sosial dapat
diartikan secara luas, yaitu sebagai tata kelola (good governance) yang baik
dengan melaksanakan operasi organisasi yang jujur, transparan dan adil.
Tanggung jawab sosial yang diberikan oleh organisasi tidak lagi berpijak pada
paradigma tanggung jawab kepada investor saja, melainkan kepada publik yang
lebih luas lagi.
Sebagai sebuah konsep pengertian tanggung jawab sosial, dapat
dimaknai sebagai komitmen organisasi untuk berperilaku etik dan memberikan
kontribusi bagi pembangunan ekonomi, kualitas hidup yang dihadapi di
lingkungan pekerjaan, keluarga, sebagaimana yang ada pada komunitas dan
masyarakat sosial yang lebih besar. Untuk memahami skema besar
perkembangan perhatian organisasi terhadap perilaku tanggung jawab sosial,
maka dapat dilihat pada bagan dibawah ini :
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
65

Gambar 1 : Bagan Piraminda Tanggungjawab Sosial

Penjelasan dari bagan di atas adalah sebagai berikut: (1) Tanggung
jawab sosial filantropy merupakan upaya sebuah organisasi untuk dapat
menjadi bagian warga organisasi yang baik (good corporate citizen), sehingga
organisasi memiliki kontribusi untuk memperbaiki kualitas hidup dilingkungan
komunitasnya. Ide filantropi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa
segala permasalahan yang terjadi baik dari segi sosial, lingkungan dan
kemasyarakatan bukan hanya menjadi tanggung jawab negara. Ketika sebuah
organisme hidup dalam sebuah kehidupan, maka perlu juga untuk memikirkan
permasalahan disekelilingnya; (2) Tanggung jawab etik menunjukkan perilaku
yang benar dan adil sesuai dengan norma yang harus diemban oleh sebuah
organisasi yang peduli terhadap lingkungannya. Etika menjadi pedoman yang
normatif terhadap sebuah kebebasan yang dimiliki oleh organiasme tertentu; (3)
Tanggung jawab legal meniscayakan bahwa hukum merupakan kodifikasi
terhadap baik atau buruknya aturan main sebuah organisasi. Dengan adanya
pelegalan maka menjadi jelas imbalan (reward) ataupun ganjarannya
(punishment); (4) Tanggung jawab ekonomi menempatkan sebuah organisasi
bisnis pada rel pencari keuntungan, untuk kemudian keuntungan itu
diberdayakan bagi kepentingan masyarakat melalui berbagai bantuan
pendanaan.

DISAIN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY
Tidak ada satu ukuran yang sahih untuk menyatakan aktivitas tanggung
jawab sosial yang benar. Sebab realitas yang terjadi adalah bahwa setiap
1anggung [awab fllanLropy
1anggung [awab eLlk
1anggung [awab legal
1anggung [awab ekonoml
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
66
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
organisasi memiliki karakteristik dan keunikan yang khas dimana didalamnya
tentu tertuang aspek tanggung jawab sosial menurut pemahamannya sendiri.
CSR dalam sebuah aktivitas menjadi sebuah rangkaian yang sistematik
yang diturunkan dari visi dan misi organiasasi, sensitivitas budaya organiasasi,
lingkungan dan perasionalisasi organiasasi. Dimana kesemuanya itu dalam
kerangka menciptakan harmonisasi antara aspek manajerial dan publik yang
terlibat dengan organisasi tersebut. Aspek yang mendasari terwujudnya
aktivitas CSR adalah inti dari organisasi yaitu pembuat kebijakan, strategi,
proses manajemen dan aktivitas yang komprehensif.
Kerangka dari implementasi CSR idealnya diejawantahkan dalam
sebuah perencanaan yang strategis dan dipahami oleh berbagai pihak di
organisasi (familiar), kemudian dipetakan dalam berbagai program, pada
akhirnya dilaksanakan dengan strategi komunikasi yang tepat agar sesuai
dengan tujuan program CSR tersebut. Pada sisi yang lain, diharapkan agar tidak
pernah melewatkan tahap monitoring dan evaluasi. Sebab pada tahap inilah
organisasi dapat melihat sejauh mana efektivitas program CSR.
Disain yang ideal bagi terwujudnya program CSR pada organisasi profit
adalah integrasi antara organisasi dengan pihak pengambil kebijakan pada
masalah ekonomi, sosial dan lingkungan, sebab ketiga hal ini yang biasanya
saling terkait dalam sebuah wacana tata kelola organisasi. Sedangkan dalam
organisasi sendiri dari jajaran top manajemen hingga petugas ofisial di garda
depan menjadi satu kesatuan mata rantai yang tidak terpisahkan. Sebuah
organisasi dapat memaksimalkan keuntungan baik bagi organisasi itu sendiri
ataupun bagi publiknya, dengan berbagai kegiatan yang memungkinkan untuk
dilaksanankan.
Investor, karyawan, pemerintah, komunitas dan berbagai publik lain yang
menjadi bagian penting organisasi membutuhkan keterbukaan dan transparansi
dari organisasi. Disamping itu perlu juga diperhatikan standarisasi tata kelola
organiasi yang harus berasaskan pada etika dan norma yang berlaku tidak
hanya dalam organiasasi tersebut, namun juga yang berlaku di lingkungan.
Dalam kaitanya dengan kegiatan organisasi, maka berbagai aspek yang telah
disebutkan setidaknya dapat diimplementasikan dalam program CSR.
Kepekaan terhadap program CSR ini harus dimiliki oleh pembuat kebijakan
dalam organisasi untuk menunjukkan kepedulian terhadap masalah sosial
sehingga efek dari kegiatan tersebut menjadi performa organisasi dan membuat
interaksi organisasi dengan publiknya menjadi lebih luwes.

Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
67
KAMPANYE SOSIAL: SEBUAH UPAYA PENGEJAWANTAHAN
AKTIVITAS CSR
Pada saat organisasi menyadari bahwa dinamika organisasi akan terus
mengalami perubahan dari masa kemasa dan generasi ke generasi, pada saat
itulah pemahaman tentang keberlanjutan organisasi (life long corporation)
menjadi sarat makna. Sebuah organisasi ketika disentuh dalam perspektif
sosial, dapat mengkombinasikan pandangan tradisional dan manajemen serta
teknologi paling modern sekalipun. Apapun pandangan yang disertakan dalam
evolusi organisasi, kesemuanya mengarah pada tujuan yang sama yaitu
keberhasilan organisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanggung jawab
sosial juga merupakan bagian dari dinamika perubahan lingkungan.
Para pekerja yang berkecimpung untuk menangani tanggung jawab sosial
pada sebuah organiasasi juga ditantang untuk selalu peka terhadap isu-isu sosial
dan beradaptasi dengan lingkungan namun tanpa mengorbankan prinsip
organisasi. Implikasinya adalah bahwa pekerjaan organisasi tidak hanya pada
menyeleksi inisiatif yang berhubungan dengan isu-isu sosial saja, namun juga
mengembangkan dan mengimplementasikan rencana program dan
mengevaluasi pelaksanaannya.
Berkaitan dengan isu sosial tersebut, jika kita mau sedikit berpaling pada
kondisi sosial yang mengitari kita saat ini, maka betapa tampak berbagai isu,
seperti isu teroris yang mengemuka diseluruh dunia, belum lagi bencana alam
terjadi disetiap negara dan wabah flu burung yang diindikasikan dapat menular
antar manusia. Menjadi tidak mustahil ketika berada dibawah situasi yang terus
menerus berubah, tidak ada pilihan lain kecuali menciptakan strategi adaptif
yang mampu membuat organisasi tetap relevan dan kompetitif. Bahkan bisa
jadi kondisi perubahan sosial dan pergeseran paradigma justru menjadi
penggerak perubahan itu sendiri.
Pada organisasi bisnis, pergeseran dari era ekonomi industri menuju era
informasi merubah orientasi persaingan pada percepatan dalam meluncurkan
inovasi-inovasinya yang berpangkal dari peredaran informasi. Semakin cepat
bergerak maka semakin banyak pula organisasi yang bergerak di sektor bisnis
menangkap peluang masa depan. Agar berhasil, organisasi bisnis belajar
melalui kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda-beda.
Namun dibalik itu semua, masyarakat yang berada pada masa kini terdiri dari
berbagai pengaruh yang kuat, dan kelompok yang berbeda-beda ini dimotivasi
oleh kepentingan pribadi.

VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
68
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Sementara itu kelompok masyarakat di Indonesia merupakan kelompok
masyarakat yang pluralistik. Dalam masyarakat tersebut terdapat banyak pusat
kekuasaan dengan tingkat kebebasan tertentu, dan organisasi memiliki suatu
tanggung jawab untuk mencapai hubungan kemasyarakatan yang dapat
diterima.
Dalam organisasi bisnis hubungan antara produsen dan konsumen lebih
luas dari hanya sekedar hubungan bisnis. Hubungan bisnis berkembang dan
berubah menjadi hubungan kepercayaan. Kepercayaan adalah puncak yang
ingin dicapai dalam hubungan antara produsen dan konsumen.
Dalam rangka merespon perubahan dan menciptakan hubungan
kepercayaan, maka upaya yang kini dilaksanakan oleh organisasi (khususnya
organisasi bisnis) adalah merancang dan mengembangkan serangkaian program
yang mengarah pada bentuk tanggung jawab sosial. Program ini menjadi
parameter kepedulian organisasi dengan mengembangkan sayap sosial kepada
publik. Kepedulian dan pengembangan sayap ini bukan dalam kerangka
membagi-bagi harta sehingga dapat menyenangkan banyak pihak, tetapi lebih
pada bagaimana memberdayakan masyarakat, agar bersama-sama dengan
organisasi dapat peduli terhadap ranah sosial.
Praktek tanggung jawab sosial organisasi yang terintegrasi dengan
manajemen organisasi dan publiknya, tidak cukup hanya dengan melakukan
kegiatan filantropis, melainkan melangkah lebih maju dengan penyadaran dan
pengembangan publik untuk terus bersentuhan dan terlibat dalam isu-isu sosial.
Praktek semacam ini bisa berlangsung baik dalam sebuah organisasi, melalui
aktivitas kampanye sosial.
Kampanye itu sendiri diartikan sebagai keinginan seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku orang
lain dengan daya tarik yang komunikatif, dengan tujuan menciptakan
perubahan atau perbaikan dalam masyarakat. Esensi komunikasi dalam sebuah
program kampanye, dapat dijabarkan dalam berbagai alasan untuk diperhatikan
(Argenti,1998:31), antara lain: (1) kita hidup dalam era komunikasi, dimana
informasi berjalan begitu cepat dengan adanya teknologi; (2) masyarakat
(publik) menjadi begitu skeptik dan berpendidikan; (3) informasi pada masa
kini dapat dikemas menjadi lebih baik dan indah, dan (4) permasalahan pada
organisasi telah demikian kompleksnya, sehingga dengan komunikasi
organisasi diharapkan tiap-tiap masalah mendapatkan satu pengertian (mutual
understanding).
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
69
PROGRAM KAMPANYE SOSIAL DAN PUBLIK ORGANISASI
Praktek penyelenggaraan program kampanye sosial merupakan
rangkaian dari program strategik sebuah organiasasi. Sedangkan kegiatan
tanggung jawab sosial adalah bagian integral dari manajemen strategik.
Program kampanye sosial diarahkan untuk membentuk dan mengajak perilaku
sosial masyarakat, namun untuk merubah seseorang atau masyarakat kearah
perilaku sosial ternyata tidaklah mudah. Konstruksi sosial yang sudah
sampai pada tahap budaya, bahkan diyakini sebagai sebagai sebuah kebenaran,
bisa merupakan kekuatan atau hambatan dalam proses kampanye. Mempelajari
dengan seksama seperti melakukan penjajakan pada kelompok yang akan dituju
merupakan prasyarat utama.
Memahami kelompok atau dalam hal ini adalah publik menjadi tidak
terelakkan. Agar dapat memahami publik secara spesifik, Grunig
memperkenalkan program segmentasi dalam konsep segmentasi nest,
sebagaimana bagan dibawah ini.

Gambar 2 : Konsep Segmentasi Nested
(Sumber: Grunig, 1992 :133)

MasyarakaL masal
kaLegorl soslal dan kependudukan
Ceodemografls
slkografls, gaya hldup, budaya, hubungan-hubungan soslal
komunlLas
ubllk
erllaku dan efek perorangan
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
70
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Dalam gambar 2, Grunig menekankan bahwa nest yang berada disekitar
pusat jala sebagai segmen mikro dan yang berada di lapisan luar nest adalah
segmen makro. Semakin menjauh dari pusat nest, maka semakin bersifat umum
dan kurang berpengaruh. Bagi Grunig segmentasi yang terbaik dilakukan pad
lapisan kedua sebelah dalam yaitu publik. Robinson (dalam Goldhaber,
1990:89) mendefinisikan publik sebagai sekelompok orang yang memiliki
kepentingan yang sama. Sementara pesan publik adalah yang ditujukan untuk
mencapai banyak orang atau yang berpotensi mencapai banyak orang.
Organisasi dijelaskan sebagai sebuah sistem terbuka yang membutuhkan
energi sebagai input, mengubahnya menjadi output dan menyalurkannya
kembali kepada lingkungannya. Model sistem terbuka menuntut adanya
interaksi antara organisasi dan lingkungannya. Tushman dan Scanlan menyebut
orang-orang yang membawa informasi kedalam sebuah organisasi dan
menyebarkannya sebagai individu-individu yang melebarkan batas. Mereka
menyatakan bahwa pelebaran batas terjadi dalam sebuah proses dua langkah
oleh individu-individu yang mampu untuk mengumpulkan informasi dari area
eksternal dan menyebarkan informasi tersebut kepada rekan-rekannya.
Individu-individu utama ini dipandang sebagai individu yang paling kompeten
dalam unitnya, dan mereka memiliki karakteristik spesial untuk memfasilitasi
komunikasi dengan area eksternal tertentu.
Kehidupan sebuah organisasi selalu dipengaruhi oleh lingkungan, dengan
demikian organisasi tersebut sudah semestinya dapat beradaptasi atau
menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Berangkat dari kenyataan tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa organisasi merupakan suatu sub dari sistem yang
besar, namun dapat juga diterjemahkan bahwa organisasi merupakan sistem
yang memiliki sub sistem didalamnya. Dengan menempatkan organisasi
sebagai sebuah sub sistem, maka menjadi perlu untuk melihat lingkungan
internal dan eksternal dari suatu organisasi yang menjadi faktor utama dan
mempengaruhi efektifitas organisasi, dengan demikian organisasi punya
konsekuensi terhadap lingkungan atau publik, sebaliknya lingkungan dan
publik yang punya konsekuensi terhadap suatu organisasi, seperti yang
diungkapkan oleh Grunig, J .E & Hunt, T. (1992: 59).
Grunig dan Hunt membagi publik ke dalam tipe-tipe publik: (1) Latent
Public, yaitu kelompok orang yang menghadapi suatu masalah yang diciptakan
oleh konsekuensi organisasi, tetapi mereka tidak mengetahui adanya masalah
tersebut; (2) Aware public, yaitu sekelompok orang yang menghadapi masalah
yang sama dan mereka menyadari adanya masalah tersebut; (3) Active public,
kelompok orang atau anggota komunitas yang mengorganisir diri untuk
mendiskusikan dan melakukan sesuatu dengan masalah tersebut.
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
71
Efek dari publik aktif akan lebih terasa dari pada publik yang pasif,
karena mereka dapat menunjukkan perilakunya secara langsung terhadap
konsekuensi atas tindakan organisasi. Mereka mungkin dapat memboikot
produk, mendukung aturan pemerintah dan menentang tarif yang diberikan.
Publik aktif lainnya dapat pula mendukung misi organisasi dengan membeli
produk, mendukung kebijakan pemerintah, memberi uang atau mengadopsi
perilaku yang disarankan oleh organisasi. Mereka juga bergabung dengan
kelompok aktivis untuk menekan organisasi atau memutuskan permasalahan.
Publik yang aktif dapat dikelompokkan dalam tiga kategori berikut: (1)
Publik semua masalah (all issue public) sangat aktif terhadap semua masalah
yang mempengaruhi organisasi. Misalnya, publik mungkin akan menentang
prinsip-prinsip organisasi dan mencoba untuk mengganggu kegiatan organisasi
tersebut; (2) Publik masalah tunggal (single-issue public) sangat aktif terhadap
satu masalah atau sekelompok kecil masalah, Sebenarnya secara umum
mungkin mereka mendukung organisasi, tetapi tidak setuju dengan salah satu
aktivitas organisasi tersebut; (3) Publik pada isu tunggal (hot issue public)
adalah mereka yang telibat dalam suatu masalah yang memiliki dukungan
publik luas dan biasanya mendapatkan liputan khusus dari media, dan (4)
Publik yang apatis, yaitu publik yang tidak peduli dengan segala masalah dan
tentunya sama sekali tidak dapaat digolongkan sebagai publik. Namun beberapa
penyusun teori berargumentasi bahwa publik ini adalah kelompok yang harus
diperhatikan oleh praktisi public relationssetiap orang berpotensi untuk
menjadi tertarik terhadap suatu masalah.
Tanggapan terhadap suatu permasalahan sangat tergantung pada kondisi
yang mengelilingi individu-individu yang terlibat. Grunig memberikan
beberapa penjelasan mengenai kapan dan bagaimana manusia berkomunikasi
serta kapan komunikasi efektif untuk dilaksanakan. Terdapat 3 faktor utama
yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) Mengenali masalah, pada dasarnya,
manusia tidak akan berpikir tentang suatu situasi kecuali jika mereka percaya
bahwa mereka perlu melakukan sesuatu terhadap situasi tersebut, atau ketika
mereka menghadapi suatu masalah; (2) Mengenal adanya hambatan, terdapat
suatu hal yang menghambat kemampuan mereka untuk melakukan tindakan
yang mereka inginkan; (3) Tingkat Keterlibatan, seberapa jauh seseorang
merasa terlibat dalam suatu situasi.
Berdasarkan 3 faktor tersebut, publik dapat didefinisikan dari dua sudut
pandang, yaitu: (1) Dengan mempertimbangkan secara cermat siapa yang akan
terpengaruh dengan kebijakan dan kegiatan organisasi; (2) Dengan memantau
lingkungan, publik yang menunjukkan minat tertentu terhadap suatu
permasalahan dapat diidentifikasikan.
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
72
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Pembagian publik kedalam berbagai tipe menimbulkan perspektif
komunikasi yang sangat kuat dan membantu penyusunan prioritas atas tindakan
komunikator.

PEMBENTUKAN PERSEPSI PUBLIK TERHADAP PROGRAM
KAMPANYE SOSIAL DAN KEBERADAAN ORGANISASI
Terkait dengan aspirasi publik, sebuah organisasi harus lebih dulu
mengubah pandangan lama yang mengganggap publik butuh organisasi,
menjadi pandangan baru bahwa organisasi membutuhkan publik. Dengan
pijakan pandangan baru tersebut maka faktor aspirasi publik menjadi penting
dalam wacana ini, bahkan mampu memelihara citra positif dan reputasi yang
baik di mata publik. Aspirasi ini dapat dibedakan menjadi dua hal yaitu
aspirasi yang dibutuhkan (need) dan yang diharapkan (want).
Berbagai program yang didisain oleh organisasi termasuk program
kampanye sosial, menjadi aset untuk membentuk reputasi. Kegiatan ini seperti
disebutkan pada bagian sebelumnya, bertujuan untuk merubah perilaku
masyarakat dan berakar dari isu-isu sosial yang ada di masyarakat. Penajaman
perhatian pada keberhasilan program kampanye sosial dapat ditinjau dari
berbagai hal, antara lain: (1) Input , lebih melihat pada bagaimana produk
kampanye tersbut didistribusikan; (2) Output, bagaimana produk tersebut
dipergunakan; (3) Outcome , melibatkan pengukuran efek akhir dari
komunikasi. Pengukurannya adalah kognitif (perubahan pada tingkat pemikiran
atau kesadaran), afektif (perubahan dalam sikap dan opini), dan konatif
(perubahan dalam perilaku).
Ketika organisasi berupaya untuk mengetahui persepsi publik, maka
terdapat beberapa faktor yang turut menentukan adanya persepsi, yaitu: Latar
belakang budaya, Pengalaman masa lalu, Nilai-nilai yang dianut, dan Berita-
berita yang berkembang.
Ramuan dari keempat hal diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi
publik terhadap program kampanye sosial yang akhirnya berimplikasi pada
organisasi pembuat produk kampanye tersebut, tidak didasarkan pada pesan
program kampanye itu saja, namun lebih kepada proses yang melibatkan segala
unsur yang dimiliki oleh objek tersebut.
Untuk mengetahui bagaimana persepsi publik terhadap program
kampanye sosial dari suatu organisasi, dibutuhkan beberapa perspektif riset
(VasQuez, 2000 :141), yaitu: (1) Perspektif massa. Publik sebagai keseluruhan
entitas dari seluruh masyarakat yang memiliki kewajiban sipil sampai
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
73
partisipasi pada seluruh masalah sipil. Publik dalam perspektif ini bertanggung
jawab untuk mengidentifikasi perhatiannya pada masalah sipil, mencari
informasi dan debat yang merupakan artikulasi penilaian terhadap kerja
pemerintah. Riset yang dapat dilakukan dalam perspektif massa misalnya riset
pada saat pemilu, untuk mengetahui apa yang ada dibenak publik mengenai
pemilu; (2) Persektif situasional. Berangkat dari perspektif psikologi sosial
melihat publik sebagai bentuk perilaku kerumunan yang spontan seperti
demonstrasi, yang berada pada wilayah sosiologi dan memiliki perhatian
terhadap hubungan manusia dan perubahan sosial. J enis penelitiannya sering
digunakan pada ranah periklanan dan public relations untuk mengidentifikasi
dan segmentasi perilaku konsumen; (3) Perspektif Pembentukan Agenda.
Berangkat dari kegagalan teori demokrasi tradisional, yang melihat publik dari
pendekatan isu dan partisipasi publik. Dimana dari isu tersebut akan dihasilkan
agenda tertentu.
Persepsi publik terhadap suatu organisasi dimasa depan juga amat
bergantung bagaimana informasi yang diperoleh mengenai organisasi, ataupun
bagaimana publik menyampaikan apa yang dirasa mengenai organisasi. Dengan
demikian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana naluri organisasi ini dalam
memperhatikan penilaian publiknya yang berpengaruh terhadap reputasi
organisasi. Intinya adalah bagaimana relasi yang telah dibangun oleh organisasi
terhadap publiknya.

AKTIVITAS CSR DAN PEMBENTUKAN REPUTASI
ORGANISASI
Bentuk-bentuk tanggungjawab sosial yang ideal tentunya bukan hanya
muncul semata-mata untuk mencari nama baik sehingga bisa membangun
reputasi, namun justru sudah muncul sejak sebuah organisasi berdiri. Sehingga
turut pula tertuang dalam visi, misi dan tujuan organisasi. Sehingga seperti
sudah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa pada akhirnya aktivitas
tanggung jawab sosial adalah bagian integral dari manajemen stratejik.
Dengan turut ambil bagian dalam isu sosial, maka organisasi
menunjukkan cerminan dari realitas organisasi yang peduli terhadap fenomena
sosial. Sebuah organisasi dalam menjalankan aktivitas tanggungjawab sosial,
sudah pasti akan melibatkan publiknya. Dengan demikian harmonisasi dari
sebuah hubungan yang dibina oleh organisasi memperoleh wujud nyata yang
akan memberikan manfaat bukan hanya bagi nama baik organiasi namun juga
kepada masyarakat secara luas.
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
74
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Keberhasilan organisasi dalam menjalankan tanggung jawab sosial akan
memberikan efek domino bagi organisasi lain, artinya ada pengaruh yang
positif yang akan dipetik oleh organisasi lain untuk melakukan hal yang sama.
Komitmen untuk melakukan tanggung jawab sosial bukan semata-mata untuk
investasi sebuah organisasi, namun sudah merasuk pada nafas kehidupan dan
keberlanjutan organisasi. Untuk itu setidaknya terwujud setiap keputusan
penting dan operasi organisasi, sehingga menjadi bagian dari setiap jenjang
dalam organisasi. Pada akhirnya wacana tanggung jawab sosial akan menjadi
pemikat bagi semua pihak untuk mewujudkanya secara konkrit dalam tindak
nyata.




DAFTAR PUSTAKA

Argenti, Paul A. (1998). Corporate Communication. Boston : Irwin McGraw
Hill Co.
Goldhaber, Gerald M. (1990) Organizational Commmunication 5
th
ed. Dubuge,
IA : Wm C Brown Publisher
Gregory, Anne. (2002) Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public
Relations. J akarta : Erlangga
Grunig, J .E. and Hunt, T. (1992) Exelence Public Relations & Communication
Management. Hillsdale, NJ : Lawrence Erlbaum Associate Inc.
VasQuez, Gabriel M. (2000). Research Perspective on the Public. Chapter
10 dalam Heat, Robert L. (2000). Handbook of Public Relations,
Thousand Oak. California : Sage Publications Inc.
Leitch, Shirley; David Neilson. (2000) Bringing Public Into Public Relations,
New Theoritical Frameworks for Practice. Chapter 9 dalam Heat,
Robert L. (2000). Handbook of Public Relations, Thousand Oak.
California : Sage Publications Inc.


Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
75
Tesis
Sulistyaningtyas, Ike. D (2005). Reputasi Organisasi Yang Dibentuk Oleh
Media Cetak. J akarta : Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu
Komunikasi FISIP Universitas Indonesia



76
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI


77
Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi
dalam Profesi: Perspektif Hongkong dan Indonesia


Tjipta Lesmana
5



Abstract: Hong Kong is widely acknowledged as one of the busiest
financial and economic center in the world. Hundreds of world-class
companies establish their representative offices in this former British
colony. For the effectiveness of their operations, the companies, using
newspaper advertisement, actively recruits intelligent and smart
employees. Current research was designed to investigate how
companies appreciate interpersonal communication skills when
hiring new employees announced in the advertisements. Content of
weekend edition of South China Morning Post, called Classified
Post (about 100 pages), was scrutinized. To gain a little insight of
the same phenomenon in Indonesia some editions of Klasika
section of daily Kompas was analyzed. It was found that awareness of
interpersonal communication skill, in general, was fairly high in the
case of Hong Kong (38.2%), but only 9.83% for Indonesia. The top
two professions in Hong Kong requiring this skill was public
relations official (38.1%) and sale persons (32%). In the case of
Indonesia, it was secretary and finance officials.

Key words: interpersonal communication skill, ranking,


Baik J ulia Wood (2004) maupun Brent D. Ruben (1992) sama-sama
mengemukakan bahwa kita mempelajari ilmu komunikasi karena ada 3 (tiga)
values yang bisa dipetik sekaligus. Ketiga nilai atau manfaat itu adalah (a)
academic value, (b) professional value, dan (c) personal value.

5
Tjipta Lesmana adalah staf pengajar program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP-Universitas Pelita
Harapan, J akarta
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
78
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Academic value mengandung arti bahwa ilmu komunikasi dipakai oleh
banyak ilmu lainkhususnya ilmu-ilmu sosial dalam pengembangannya. Lagi
pula diakui bahwa komunikasi sebagai suatu disiplin ilmu sebenarnya termasuk
yang tertua. Aristotle (384-322 SM) sudah mengajarkan retorika di sekolah
yang didirikannya, Lyceum, pada tahun 335 SM. Retorika kemudian diakui
sebagai cikal-bakal ilmu komunikasi. Tullius Cicero, salah satu pembantu dekat
J ulius Ceasar (10044 SM) juga sudah menerapkan prinsip-prinsip propaganda
untuk menetralisir lawan-lawan Kaisar (Grant, 1975). Komunikasi, menurut
Ruben (1992), functioning as the glue in the development of every social
science discipline. Dengan mempelajari ilmu komunikasi, masih menurut
Ruben, kita memperoleh kesempatan to study a single discipline that combines
the liberal arts and professional tradition.
Kemahiran atau keterampilan berkomunikasi akan sangat menunjang
pelaksanaaan profesi seseorang. Apakah Anda seorang dokter, insinyur,
eksekutif bank, manajer operasi dari sebuah manufaktur, apalagi seorang dosen,
jurnalis atau pelaksana hubungan masyarakat, kemahiran berkomunikasi,
khususnya komunikasi antar-pribadi (interpersonal communication) tampaknya
berguna sekali. Itulah yang dimaksud dengan professional value ilmu
komunikasi. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa seorang dokter yang
mau diajak berkomunikasi atau selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan
pasien tentang penyakit yang dideritanya, kerapkali, mempunyai pasien yang
lebih banyak daripada dokter yang enggan berkomunikasi, apalagi dokter yang
tidak senang jika pasien terlalu banyak bertanya (Moffic, 1997).
Semakin ketat persaingan dalam dunia bisnis, professional value dari
ilmu komunikasi tampaknya, semakin tinggi pula. Human approach dalam
berbisnis atau menjalin relasi bisnis dirasakan lebih efektif daripada
technological atau mechanical approach. Mungkin karena fakta inilah jurusan
ilmu komunikasi selalu mempunyai peminat yang besar dari calon mahasiswa.
Di Indonesia pun semakin banyak universitas yang menawarkan program
komunikasi, entah sebagai satu fakultas atau satu jurusan. Bukan itu saja,
jumlah universitas yang membuka program S2 ilmu komunikasi pun akhir-akhir
ini memperlihatkan kecenderungan meningkat. Tidak sedikit eksekutif yang
pendidikan strata satunya bukan Ilmu Komunikasi kemudian melanjutkan
studinya di bidang komunikasi untuk strata dua (Magister).
Pertanyaan yang menarik untuk dikaji adalah: Apakah semua profesi
menuntut kemahiran berkomunikasi? Apakah antara satu dan lain profesi
terdapat gradasi perbedaan kemahiran berkomunikasi?
Tulisan ini merujuk pada penelitian yang mengambil obyek penelitian
koran yang diterbitkan di Hongkong dan di Indonesia. Hongkong adalah salah
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....

79
satu eks koloni Inggris. Sejak pertengahan 1997 wilayah ini dikembalikan
kepada pemerintah RRC, namun Hongkong tetap diizinkan melaksanakan
sistem pemerintahan yang sudah berlangsung selama satu abad. Sebagai eks
koloni Inggris, selama puluhan tahun Hongkong menjadi salah satu pusat
perdagangan dunia, khususnya di Asia. Hampir semua perusahaan raksasa kelas
dunia mempunyai perwakilan di sana. Hongkong juga menjadi kantor pusat
ratusan perusahaan multi-nasional yang beraktivitas di kawasan Asia.
Hongkong menjadi salah satu kawasan terpadat di dunia dengan tingkat
kegiatan bisnis yang sangat tinggi. Sebagian besar perusahaan raksasa kelas
dunia mempunyai kantor perwakilan di eks koloni Inggris ini. Aktivitas bisnis
yang demikian tinggi dengan sendirinya membutuhkan human resources yang
banyak dan berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari iklan lowongan kerja yang
setiap hari membanjiri koran-koran terbitan Hongkong, khususnya South China
Morning Post (SCMP), harian dengan tiras terbesar di Hongkong. Bahkan
setiap akhir pekan SCMP menerbitkan edisi khusus berisikan iklan semata
setebal kurang-lebih 100 halaman yang diberikan nama Classified Post. Edisi
khusus itu, 90% berisi iklan lowongan kerja. Tampaknya, sebagian besar lini
bisnis yang ada di Hongkong beramai-ramai mencari calon pegawai yang
dibutuhkannya melalui koran tersebut.
Menarik untuk diamati bahwa dari ratusan lowongan kerja yang
ditawarkan SCMP edisi khusus, tidak sedikit yang mensyaratkan kemahiran
berkomunikasi antarpribadi bagi calon yang berminat. Istilah yang dipakai di
dalam iklan memang beragam, seperti Good interpersonal skills, Good
interpersonal and communication skills, Excellent communication and
interpersonal skills, Strong communicator, Motivational and interpersonal
skills, atau Good negotiation and presentation skills.
Melalui penelitian ini, peneliti bermaksud melihat kaitan antara tuntutan
kemahiran berkomunikasi, khususnya komunikasi antarpribadi, dengan profesi.
Profesi yang dimaksud adalah profesi yang diiklankan oleh perusahaan-
perusahaan di SCMP; sedang kemahiran berkomunikasi diketahui berdasarkan
persyaratan yang dicantumkan secara eksplisit di dalam iklan. Tulisan ini juga
dilengkapi deskripsi dari penelitian serupa pada harian Kompas, khususnya
iklan-iklan yang dimuat dalam lembaran Klasika (terjemahan dari istilah
classified) yang sebagian isinya memuat lowongan kerja.
Tulisan ini akan menjelaskan tentang (1) bagaimana peringkat profesi di
Hongkong yang mensyaratkan kemahiran berkomunikasi antarpribadi? (2)
bagaimana pula peringkat profesi di Indonesia yang mensyaratkan kemahiran
berkomunikasi antarpribadi? Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
(1) Untuk memperkuat indikasi bahwa komunikasi antarpribadi semakin lama
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
80
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
semakin penting perannya, khususnya dalam pelaksanaan profesi seseorang; (2)
Studi banding antara Hongkong dan Indonesia diharapkan dapat memotivasi
mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UPH untuk lebih tekun dalam studi;
setidaknya mereka menyadari bahwa di negara yang sudah maju, tuntutasn
penguasaan ilmu komunikasi semakin besar. Bukan tidak mustahil, tuntutan
tersebut juga mulai menjadi kecenderungan di Indonesia, dan (3) secara
akademis, untuk lebih memahami teori naratif Walter Fisher.

a. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi (KAP) merupakan salah satu konteks atau
tataran komunikasi. Menurut West (2004:28-31), ada 6 tataran komunikasi,
yaitu komunikasi intrapribadi, antarpribadi, komunikasi kelompok, organisasi,
komunikasi publik, dan komunikasi massa.
Para ahli komunikasi, tampaknya, tidak mempunyai pandangan yang
seragam tentang apa itu komunikasi antarpribadi. Maka, lahir pula macam-
macam definisi. Namun, aneka ragam pandangan itu dapat diperas menjadi 2
(dua) kelompok, yakni antara mereka yang menganut contextual view dan
mereka yang melihat komunikasi antarpribadi dari sudut developmental view.
Menurut pandangan kontekstual (West & Turner, 2000:26):
Interpersonal communication differs from other forms of
communication in that there are few participants involved, the
interactants are in close physical proximity to each other, there
are many sensory channels used, and feedback is immediate. It
doesnt take into account the relationship between the
interactants.

Salah satu definisi KAP menurut pandangan ini adalah: Interpersonal
communication refers to face-to-face communication between people (West &
Turner, 200:26). Yang lebih unik lagi adalah definisi yang berikut:
Interpersonal communication refers to communication with another person.
This kind of communication is subdivided into dyadic communication, public
communication, and small-group communication. Dengan demikian,
komunikasi dua orang (dyadic communication), komunikasi kelompok kecil dan
komunikasi public, semua, dikategorikan KAP.
Onong Uchyana Effendi, mungkin, seorang ahli komunikasi penganut
pandangan kontekstual. Sebab menurut Effendi (1993:57), komunikasi pribadi
terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu (a) komunikasi intrapribadi, dan (b) komunikasi
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....

81
antarpribadi. Selanjutnya, Effendi (1993:57) mengutip definisi Devito bahwa,
Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung antara dua orang yang memang
sudah berdua-duan seperti suami-isteri yang sedang bercakap-cakap atau antara
dua orang dalam satu pertemuan, misalnya antara penyaji makalah dengan salah
seorang peserta suatu seminar.
DeVito seperti dikutip oleh Onong (1993:57) dengan tegas
mengemukakan bahwa Interpersonal communication is the process of sending
and receiving messages between two persons, or among a small group of
persons with some effect and some immediate feedback. Namun, pendapat
Devito di kemudian hari mengalami perubahan secara signifikan.
Dapat dirangkumkan bahwa hakikat KAP, menurut pandangan
kontekstual, adalah (a) jumlah pesertanya sedikit, (b) ada keterdekatan fisik
antara para pelaku komunikasi, (c) menggunakan panca indera sebagai
medianya dan (d) umpan balik bersifat langsung. KAP tidak
mempermasalahkan sifat relasi dari para interaktan: apakah kedua orang itu
sudah mempunyai hubungan yang dekat atau tidak.
Berbeda dengan pandangan kontekstual, pandangan pengembangan
(developmental) melihat KAP sebagai komunikasi antar-individu yang sudah
mengenal satu sama lain untuk jangka waktu tertentu. Mereka memandang satu
sama lain sebagai individu yang unik, not as people who are simply acting out
social situations.
Di atas sudah dikemukakan bahwa pandangan Devito tentang KAP
kemudian berubah. Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1995, Devito
menulis Interpersonal communication is communication that takes place
between two persons who have an established relationship; the people are in
some way connected (1995:7). Dari definisi ini, bisa dikatakan bahwa Devito
sesungguhnya kini menganut pandangan pengembangan. Komunikasi yang
terjadi antara dua orang yang sebelumnya telah memiliki hubungan yang mapan
(established). Dengan demikian, jika dua orang itu baru kenal, atau komunikasi
antara dua orang yang hanya berlangsung sesekali (occasional), tidak dapat
dikategorikan sebagai komunikasi antarpribadi. Sementara itu, Stewart dan
Logan (1998:56) memberikan penjelasan tentang KAP sebagai berikut:
We use the term interpersonal to label the kind of communication that
happens when the people involved talk and listen in ways that maximize the
presence of the personal. When communicators give and receive or talk and
listen in ways that emphasize their uniqueness, unmeasurability,
responsiveness, reflectiveness, and addressability, then the communication
between them is interpersonal.
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
82
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

Ciri khusus dari KAP, menurut Stewart dan Logan adalah bahwa yang
berbicara dalam komunikasi tsb. merupakan pribadi-pribadi interaktan. Hal itu
berarti mereka sudah harus saling kenal, bahkan kenal secara dekat. KAP
merupakan proses untuk lebih mendekatkan pribadi-pribadi itu.
Sedikit berbeda, tapi masih dalam kubu developmental view, adalah
pendapat Gerald Miller yang mengemukakan bahwa apakah komunikasi dapat
dikatakan interpersonal atau non-interpersonal, sangat tergantung pada sifat data
yang dipakai untuk memprediksi hasil komunikasi. J ika prediksi hasil
komunikasi terutama didasarkan atas data sosiologis atau kultural, maka
komunikasi dikatakan non-interpersonal. Namun, jika data psikologis yang
diandalkan untuk memprediksi hasil komunikasi, komunikasi itu baru dikatakan
interpersonal (Miller: 1975:20-23). Analisis hasil komunikasi dengan data
psikologis menunjukkan bahwa komunikator maupun komunikan sama-sama
dipandang sebagai insan yang unik dan sudah memiliki hubungan pribadi dalam
tingkat tertentu.
Sedang fungsi utama KAP ialah to serve personal growth and the
development of self-concept (Giffin & Patton, 1971). Melalui proses KAP yang
terus-menerus, diharapkan pertumbuhan diri dan pengembangan konsep diri
seseorang dapat dicapai. Agar fungsi tadi bisa direalisir, KAP menuntut
beberapa kompetensi, yaitu motivasi, pengetahuan dan keterampilan (Littlejohn,
1992). Littlejohn membedakan knowledge dengan skill. Pengetahuan
merupakan sense of how to accomplish an objective; sedang ketrampilan
(skill) adalah kemampuan seseorang untuk merealisir sasaran yang sudah
direncanakan itu.

b. Paradigma Naratif Walter Fisher
Menurut Fisher seperti dikutip oleh West (2004:345-359), manusia pada
hakikatnya adalah storyteller. Dunia tempat kita hidup tidak lebih forum
terjadinya rangkaian cerita (set of stories). Tiap-tiap orang harus pandai-pandai
memilih dan memanfaatkan cerita-cerita yang ada di sekitarnya, kemudian
berupaya menyempurnakannya atau menciptakan yang baru sesuai kebutuhan
hidupnya.
Perspektif naratif, sebetulnya, mempunyai banyak persamaan dengan
teori retorika Aristotle yang terkenal dengan tema ethos, pathos dan logos
dalam berkomunikasi. Sama dengan Aristotle, Fisher juga menekankan
kemampuan individu untuk memikat komunikan dalam berkomunikasi, tidak
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....

83
terkecuali dalam komunikasi antarpribadi. Elemen pathos kemampuan
komunikator membangkitkan emosi komunikan sesungguhnya juga menjadi
satu kunci keberhasilan komunikasi antarpribadi.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode analisis isi
(content analysis), menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang diteliti
iklan-iklan yang dimuat dalam harian South China Morning Post (SCMP)
terbitan Hongkong. Lebih konkret lagi, SCMP edisi khusus yang disebut
Classified Post -- hari Sabtu, 4 J uni 2005 yang 90% berisikan iklan. Setiap
Sabtu, koran ini memang menerbitkan Classified Post berisi sekitar 100
halaman, terbagi atas 5 bagian (sections). Hal ini peneliti ketahui dari
pembicaraan dengan penjaga kios di terminal penyeberangan Ferry di Harbor
View, Hongkong. Yang diteliti hanya satu edisi, yaitu edisi 4 J uni 2005. Ketika
itu, peneliti melakukan kunjungan 3 (tiga) hari di Hongkong dalam perjalanan
pulang dari Republik Korea untuk memberikan ceramah di 3 (tiga) universitas
negeri tersebut.
Dengan demikian, unit analisis penelitian adalah teks, yakni isi iklan
secara keseluruhan. Sebanyak 745 iklan lowongan kerja (berisi 814 pekerjaan
yang dicari) yang dipublikasikan dalam Classified Post SCMP edisi 4 J uni
2005 diteliti satu per satu. Yang diteliti adalah iklan reguler, sedang iklan baris
tidak. Proses koleksi data dan analisis data sebagai berikut: (1) Mencatat semua
lowongan kerja (profesi) yang diiklankan; (2) Kategorisasi profesi (akuntan, staf
keuangan, pemasaran, pembelian, pendidikan/guru, public relations officer,
human resources manager/staff dan lain-lain) berdasarkan frekuensi munculnya
iklan yang mencari calon yang memiliki profesi itu; (3) Dilihat ada tidaknya
syarat kemahiran komunikasi antarpribadi untuk profesi tersebut; (4) Komputasi
berapa yang mensyaratkan kemahiran komunikasi antarpribadi dan berapa yang
tidak untuk tiap-tiap profesi; (5) Dibuat peringkat profesi yang terkait dengan
kemahiran berkomunikasi antarpribadi, dilihat dari total iklan yang
mensyaratkan kemahiran itu pada profesi yang bersangkutan.
Berdasarkan frekuensi pemunculan iklan, maka kategorisasi pekerjaan
dilakukan sebagai berikut: keuangan, pemasaran, penjualan, akuntansi, HRD,
produksi, PR (termasuk costumer relation), pendidikan (termasuk dosen/guru),
teknik (engineering), IT/komputer, administrasi, supervisi/pengawas,
media/pers, sekretariat (sekretaris direksi), business development, dan lain-lain.
Sebagai pembanding, penelitian juga dilakukan pada harian Kompas,
khusus lembaran Klasika-nya. Seperti diketahui, sejak ulang tahunnya yang
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
84
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
ke-40 pada 28 J uni 2006, Kompas mengubah wajah dan formatnya. Salah satu
bentuk perubahan formatnya terletak pada penerbitan Klasika, bagian
(section) yang khusus berisikan iklan-iklan. Di dalamnya juga dimuat rubrik
Karier, yakni iklan-iklan tentang lowongan kerja. Memang tidak semua iklan
lowongan kerja dimuat dalam Karier. Sebagian iklan itu juga tersebar di
halaman-halaman lain. Namun, agar matching dengan sumber data dari South
China Morning Post, yaitu Classified Post, maka penulis hanya mengambil
bagian Klasika harian Kompas. Yang diteliti sebanyak 7 edisi Klasika
terbitan tanggal 24 hingga 30 September 2005. Penentuan ke-7 edisi tersebut
semata-mata dengan pertimbangan pragmatis.
Prosedur yang sama juga ditempuh untuk koleksi data dan analisis data
yang bersumber dari Klasika harian Kompas. Iklan lowongan kerja di 7
(tujuh) edisi Klasika yang diteliti berjumlah 221. Kategorisasi profesi yang
dibuat agak berbeda, disesuaikan dengan kenyataan (artinya, yang terdapat pada
iklan-iklan).
Konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1)
Komunikasi antarpribadi: Mengikuti definisi Devito (1995:7), yaitu komunikasi
yang terjadi antara 2 (dua) orang yang telah menjalin relasi, sehingga mereka
pada tingkat tertentu sudah connected satu sama lain; (2) Profesi: pekerjaan
yang (a) membutuhkan pendidikan/latihan khusus, (b) terikat oleh kode etik
yang dibuat oleh (c) masyarakat/asosiasi yang terdiri atas sesame anggota yang
menjalankan pekerjaan itu, dan (d) terkait dengan kepentingan umum; (3)
Kemahiran komunikasi antarpribadi: Kompetensi dalam hal (a) communication
skills, (b) interpersonal, (c) negosiasi, dan (d) presentasi.

HASIL PENELITIAN
Tabel 1 memperlihatkan distibusi lowongan pekerjaan yang diiklankan
dalam lembaran Classified Post SMCP edisi 4 J uni 2005.






Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....

85
Tabel 1. Distribusi pekerjaan yang diiklankan dan syarat kemahiran KAP
pada Classified Post harian South China Morning Post, 4 Juni 2005
(N = 814)

o.
eker[aan Ium|ah
|k|an
Syarat kema
h|ran kA
kA 1|dak
d|per-
|ukan kA
Non-
kA
.
1eknlk

132 13 9,8 119 91,2
.
AkunLansl 92 34 36,9 38 63,1
.
8uslness
developmenL
83 31 36,4 34 63,6
.
emasaran 81 26 32,0 33 68,0
.
en[ualan 78 29 37,2 49 62,8
.
keuangan 73 30 41,1 43 38,9
.
P8u 48 32 66,6 16 33,4
.
l.1. 32 7 22,4 23 77,6
.
AdmlnlsLrasl 27 11 40,1 16 39,9
0.
endldlkan 24 7 29,2 17 70,8
1.
8 21 8 38,1 13 61,9
2.
roduksl 17 11 64,7 6 23,3
3.
Medla/pers 10 4 40,0 6 60,0
4.
Supervlsl 10 2 20,0 8 80,0
3.
SekreLarls 8 3 62,3 3 37,3
6.
uan laln-laln 76 26 34,2 30 63,8
1 o t a | 814 276 38,2 S38 61,8
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
86
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

Dari tabel ini diketahui bahwa: Pertama, iklan mencari pekerja bagian
teknik (engineering) -- baik mekanik, elektro dan sebagainya paling banyak,
hingga berjumlah 132. Hampir semua sektor usaha, apakah itu property,
manufaktur, perbankan, sekolah, garment, bahkan asuransi, semua
membutuhkan orang-orang teknik.
Kedua, di bawah teknik kita menemukan bagian akuntansi. Bagian ini
pun rupanya diperlukan oleh semua sektor bisnis; disusul oleh business
development, pemasaran, penjualan, keuangan dan seterusnya. Ada sejumlah
profesi yang tidak dicantumkan dalam tabel di atas, dengan pertimbangan
karena lowongan yang diiklankan sedikit jumlahnya, misalnya sopir, bagian
keamanan, atau administrator pabrik. Semua itu dimasukkan dalam kategori
dan lain-lain.
Ketiga, Secara total, syarat kemahiran KAP yang dicantumkan dalam
iklan lowongan kerja kiranya cukup besar, yaitu 38,2%. Prosentase untuk
masing-masing profesi sangat variatif.
Keempat, prosentase tertinggi bagi persyaratan kemahiran KAP adalah
pekerjaan di bagian HRD, yakni 66,6%, disusul oleh bagian produksi (64,7%),
sekretaris (62,5%), keuangan (41,1%), media/pers (40%) dan penjualan
(37,2%). Terendah adalah mereka yang bekerja sebagai pengawas (supervisor).
Bagaimana dengan Indonesia? Tabel 2 memberikan ilustrasi itu.

Tabel 2.Distribusi pekerjaan yang diiklankan dan syarat KAP pada
lembaran Klasika harian Kompas, 24 s/d 30 September 2005 (N = 266)

No. eker[aan Ium|ah
|k|an
Syarat ke-
mah|ran
kA
kA 1|dak
d|per-
Lukan kA
Non-
kA
1. emasaran 40 3 7,3 37 92,3
2. keuangan 3 2 40,0 3 60,0
3. AkunLansl 20 3 13,0 17 83,0
4. roduksl 4 0 0,0 4 100,0
3. SekreLarls 3 2 40,0 3 60,0
6. konsLruksl 9 0 0,0 9 100,0
7. l1 3 1 20,0 4 80,0
8. AdmlnlsLrasl 11 2 18,2 9 81,8
9. embellan 3 0 0,0 3 100,0
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....

87
10. 1eknlk 23 1 4,3 22 93,7
11. 8 3 0 0,0 3 100,0
12. P8u 19 2 10,3 17 89,3
13. Medla/pers 3 0 0,0 3 100,0
14. Curu/dosen 6 0 0,0 6 100,0
13. PoLel 3 0 0,0 3 100,0
16. uan laln-laln 103 3 4,8 100 93,2
266 21 9,8 243 91,2

Ternyata, perusahaan kita umumnya masih tidak mensyaratkan
kemahiran KAP bagi stafnya di hampir semua lini profesi. Secara keseluruhan,
tidak sampai 10% dari 266 pekerjaan yang diteliti (dalam iklan Kompas) yang
mensyaratkan kemahiran KAP. Sekretaris dan bagian keuangan menduduki
peringkat tertinggi. Namun, karena N sangat kecil, masing-masing hanya 5,
prosentase ini kiranya belum bisa menggambarkan sesuatu yang sifnifikan.

PEMBAHASAN
Kegiatan bisnis, umumnya, untuk meraih keuntungan materi. Upaya
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, tampaknya, sudah
menjadi prinsip dagang di mana-mana. Profit diperoleh dari selisih harga jual
produk (apakah barang atau jasa) dengan total biaya produksi dan biaya
investasi. Beberapa profesi memainkan peran yang besar dalam hal ini, yakni
bagian P.R., penjualan, pemasaran. Mereka inilah yang sehari-hari bertugas
membujuk dan memikat calon pembeli. J ika KAP dilihat dari sudut-pandang
developmental, para petugas di bidang P.R., penjualan dan pemasaran penting
memahami, bahkan menguasai KAP. Maka, logis kalau perusahaan
mensyaratkan kemahiran KAP ketika mencari orang-orang untuk menduduki
posisi-posisi itu.
Tapi, data dalam Tabel 1 menunjukkan hanya 38,1% perusahaan yang
mensyaratkan kemahiran KAP untuk posisi PR, 37,2% untuk bagian penjualan
dan 32% untuk pemasaran. Sebaliknya, untuk profesi yang kegiatannya lebih ke
dalam artinya berinteraksi dengan sesama pekerja di perusahaan -- seperti
bagian produksi, keuangan dan akuntan, angkanya lebih tinggi, masing-masing
sebesar 64,7%, 41,1% dan 36,9%. Mengapa orang-orang yang terlibat dalam
produksi membutuhkan KAP, ini mungkin suatu pertanyaan yang menarik
untuk diteliti. Hasil penelitian ini cukup mengejutkan, mengingat staf PR,
pemasaran atau penjualan perlu menampilkan kemahirannya dalam
berkomunikasi atau bernegosiasi atau presentasi; paling tidak, perlu kemahiran
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
88
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
storytelling seperti dikatakan oleh Fisher. Tapi, kenapa bagian produksi,
keuangan dan akuntasi dituntut kemahiran KAP yang tinggi? Bisa saja hal itu
karena mereka sehari-hari memang sangat intensif terlibat dalam interaksi
dengan berbagai bagian yang menopang proses produksi. Mengapa pula bagian
keuangan dan akuntansi? Di Indonesia kerap kita amati bahwa orang-orang
yang bekerja di bagian keuangan, apalagi akuntasi, lebih banyak diam dalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini didukung pula oleh data dalam Tabel 2. Hanya
3 dari 20 iklan mencari akuntan yang mensyaratkan kemahiran KAP. Namun, di
bagian keuangan, angkanya cukup baik, yaitu 2 dari 5 perusahaan yang mencari
tenaga keuangan meminta syarat KAP.
Yang juga layak diteliti lebih dalam ialah rendahnya di Hongkong
prosentase KAP yang diperoleh di bidang pendidikan (29.2%) Seorang guru
yang baik bukan hanya bertugas mengajarkan murid-muridnya, tapi yang lebih
penting adalah mendidik mereka. Untuk itu, kemahiran KAP mestinya penting.
Untuk jabatan sekretaris, angka 64,7% tampaknya tidak terlampau
mengejutkan. Seorang sekretaris sehari-hari memang sangat intensif
berkomunikasi dengan atasannya, sedemikian rupa sehingga ia dituntut untuk
cepat menangkap meaning setiap ucapan dan tindakan atasannya, maka, mereka
butuh KAP. Kesamaan pandang, rupanya, juga ada pada perusahaan di
Indonesia. Dua dari 5 iklan mencari sekretaris meminta persyaratan kemampuan
KAP. Begitu juga orang-orang yang duduk di bagan HRD (66,6%). Ke dalam
mereka terus-menerus membina dan meningkatkan moril karyawan; ke luar
mereka pun menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya untuk
merekrut tenaga baru yang kapabel serta melakukan pelatihan eksternal bagi
karyawannya.
Tapi, untuk Indonesia, hanya 2 dari 19 iklan mencari tenaga HRD yang
meminta kemampuan KAP. Mungkinkah pengusaha atau pimpinan perusahaan
di Indonesia kurang memahami KAP, atau apresiasi mereka terhadap KAP
masih rendah ? Di Indonesia, syarat yang umum dicantumkan ketika perusahaan
mencari tenaga kerja adalah syarat berpengalaman dan kemahiran berbahasa
Inggris. Di Hongkong, syarat mampu berbicara dalam potung hwa (bahasa
sehari-hari) atau bahasa konghu juga banyak dicantumkan dalam iklan
lowongan kerja. Namun, untuk jabatan-jabatan serius seperti direktur atau
manajer keuangan, akuntasi, HRD, fund manager dan sebagainya, syarat
excellent interpersonal skill atau interpesonal and communication skill
kerap diminta.
Untuk Indonesia, persyaratan kecakapan KAP untuk suatu profesi
umumnya diminta oleh perusahaan asing atau kantor perwakilan perusahan
asing di J akarta.
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....

89
Penelitian ini diakui jauh dari lengkap, apalagi sempurna. Penyebabnya,
karena cukup banyak keterbatasan yang dihadapi peneliti. Data yang hanya
bersumber dari satu edisi koran SCMP seolah-olah mengasumsikan bahwa
bagian isi Classified edisi-edisi akhir pekan SCMP yang lain kurang-lebih
sama. Toh, jumlah iklan yang diteliti, yaitu mencapai 745, kiranya juga
menguras waktu dan tenaga. Itu kira-kira identik dengan survai yang dilakukan
atas 745 sampel yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling.
Tambahan penelitian atas suplemen Klasika harian Kompas diharapkan
dapat memperkecil kelemahan penelitian; setidak-tidaknya pembaca disajikan
gambaran komparatif antara kasus Hongkong dan Indonesia, jika apa yang
dimuat dalam Classified SCMP dan Klasika harian Kompas masing-masing
dapat diasumsikan mewakili kedua negara.
Kekurangan lain dari penelitian ini, peneliti hanya sampai pada sasaran
membuat peringkat profesi yang memerlukan kemahiran KAP. Aspek why
dari hasil penelitian sama sekali tidak disentuh.

KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 (lima) peringkat terbesar dari
profesi yang dituntut kemahiran KAP untuk Hongkong adalah: (1) HRD
(66,6%); (2) Produksi (54,7%); (3.) Sekretaris (62,5%); (4) Keuangan (41,1%)
dan (5) Media/pers (40%).
Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian pada lembaran Klasika
harian Kompas 24 sampai 30 September, 5 (lima) peringkat terbesar itu adalah:
(1) Keuangan (40%); (2) Sekretaris (40%); (3). IT (20%); (4). Administrasi
(18,2%), dan (5). Akuntan (15%)
Namun, secara keseluruhan, angka yang diperoleh untuk kasus Indonesia
sangat rendah. Di hampir semua jenis pekerjaan umumnya tidak dituntut
persyaratan kemahiran KAP. Apa sebabnya, hal ini mungkin menarik untuk
diteliti lebih lanjut. J uga, jika kita cermati pengertian KAP dari developmental
view, hasil penelitian pada kasus Hongkong juga menarik untuk diteliti, yakni
untuk mencari jawaban atas pertanyaan Mengapa demikian?




VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
90
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
DAFTAR PUSKATA

Borchers, Tim. Definition of Interpersonal Communication.
www.abacon.com
Devito, J oseph A. The Interpersonal Communication Book. 7
th
edition. New
York: Harper Collins College Publishers, 1995.
Effendi, Onong Uchyana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1993.
Giffin, Kim, Bobby R. Patton. Fundamentals of Interpersonal
Communications. New York: Harper & Row, 1971.
Grant, Michael. The Twelve Ceasars. New York: Barnes and Noble, 1975.
Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. Belmont, CA:
Wadsworth Publishing Company, 1992.
Miller, Gerald R. & Mark Steinberg. A New Analysis of Interpersonal
Communication. Chicago: Science Research Associates, Inc., 1975
Moffic, H. Steven. The Ethical Way. Challenges and Solutions for Managed
Behavioral Healthcare. San Francisco: J ossey-Bass Publishers, 1997.
Ruben, Brent D. Communication and Human Behavior. New J ersey: Prentice
Hall, 1992.
Stewart, J ohn, Carole Logan. Communicating Interpersonally. 5
th
edition.
Boston: McGraw Hill, 1998.
West, Richard, Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory.Mountain
View, CA: Mayfield Publishing Company, 2000.
Introducing Communication Theory. 2
nd
ed. Boston: McGraw Hill, Inc., 2004.

91
Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja


Sumbo Tinarbuko
6
)


Abstract: In the name of fun and being made without any burden the
product of Dagadu Djokdja freely rockets in the air, and yet keep staying
on the earth. The uniqueness as well as the strength of this product is,
firstly, that it gives aesthetic to the daily subject, simple, even trivial, and
sometimes, forgotten already. For that reason the design section counts
on the graphic design aspect as its deadly weapon in order to convey and
to reveal the approved themes. Secondly, it emphasizes the aspect of
specific graphic design by joining the localism, humor, and the sense on
fun into the pop art world in order to create attractiveness as the selling
point of the product. Thirdly, it chooses the manufacture image instead of
craft, both by material and by any other graphic design element.
Fourthly, the distinctiveness as well the characteristic of all T-shirt
designs of Dagadu Djokdja are the use of poster approach (poster style).

Key Words: poster style, localism, plesetan, graphic design.


Apa yang akan Anda katakan ketika melihat goresan garis elips dengan
lingkaran bulat di tengahnya, kemudian bagian atas dari obyek tersebut dihias
enam goresan garis ekspresif yang menengadah ke atas, sedangkan bagian
bawah ditutup dengan garis lengkung sejajar torehan garis elips?Bagi Anda
masyarakat Yogyakarta, warga di luar pagar nagari Ngayogyakarta
Hadiningrat, atau setidaknya pernah bertandang ke kota pelajar dengan serta
merta akan mengatakan, Dagadu Djokdja. J awaban seperti itu memang
benar-benar betul dan betul-betul benar. Mengapa? Karena gambar lingkaran

6
Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain LSKdeskomvis, Dosen Program Studi Desain
Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
92
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
elips yang membentuk ikon mata semacam itu dikenal khalayak luas sebagai
logo sekaligus merek dagang perusahaan kaos oblong milik PT. Aseli Dagadu
Djokdja
Menurut risalah Dagadu Djokdja: Perjalanan Empat Tahun disebutkan
bahwa nama Dagadu Djokdja digunakan sebagai merek dagang sekaligus
nama produsennya. Dagadu dalam bahasa walikan (slank) anak muda
Yogyakarta berarti matamu. Filosofi idealnya, dalam wacana rancang grafis,
ikon mata adalah idiom yang berkait erat dengan citra kreativitas. Dagadu
Djokdja yang dipresentasikan melalui logo berbentuk dasar mata diharapkan
dapat mewakili pandangan kelompok yang selalu berusaha menempatkan
kreativitas sebagai aspek utama dalam setiap kegiatannya. (Dagadu Djokdja,
l997: 1-2)

DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA PERDAGANGAN KAOS
OBLONG
Membicarakan perihal Dagadu Djokdja, berarti kita harus
memperbincangkan sebuah fenomena. Mengapa? Karena Dagadu Djokdja
adalah fenomena dagang kaos oblong dengan pendekatan budaya yang berhasil
mengangkat ikon-ikon visual yang ada di seantero kota Yogyakarta sebagai
label bisnisnya. Dengan semangat bermain-main, iseng-iseng menghasilkan,
dan dikerjakan tanpa beban, maka keberadaan produk Dagadu Djokdja melejit
lepas, bebas mengawang namun tetap terkontrol dan membumi.
Keunikan sekaligus kekuatan dari produk ini, pertama, ia selalu memberi
bingkai estetika pada hal-hal yang bersifat keseharian, selalu menekankan
kesederhanaan, bahkan remeh temeh (sangat biasa, fenomena keseharian) yang
terkadang sudah dilupakan orang. Untuk tetap mengedepankan hal tersebut
maka departemen desain mengambil kendali dengan mengandalkan aspek
desain grafis sebagai senjata pamungkas guna mengangkat dan mengungkap
tema yang telah disepakati bersama.
Kedua, karena desain grafis maupun desain produk merupakan aspek
yang sangat diutamakan, maka pengadaan desain secara konsisten dan
berkesinambungan amatlah penting. Uniknya, penciptaan desain untuk produk-
produk Dagadu tidak dipandang sebagai ekspresi individual melainkan justru
diupayakan muncul dan berkembang sebagai hasil karya kolektif berdasarkan
semangat kerja kolektif pula. Kolektivitas ini menyangkut pemunculan gagasan
hingga pengembangan rancangan awal atau preliminary design. Sementara
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
93
pengembangan rancangan lebih lanjut hingga penyelesaian akhir merupakan
tugas para desainer.
Ketiga, secara teknis visual senantiasa menekankan aspek desain grafis
yang spesifik dengan menggabungkan unsur lokal, kedaerahan, humor, plesetan
yang diramu semangat eksperimen dalam konteks seni dan budaya populer.
Strategi semacam itu dilakukan agar tercipta unsur attractiveness sebagai titik
jual produk.
Keempat, dengan kesadaran tinggi memilih citra fabrikan ketimbang
craft, baik melalui material yang selama ini digunakan atau lewat unsur-unsur
desain grafis lainnya.
Kelima, karakteristik desain yang sekaligus menjadi ciri khas semua
karya Dagadu Djokdja adalah menggunakan pendekatan poster alias bergaya
moster Memilih tipografi dari keluarga sans serif (tidak berkaki) dan biasanya
menggunakan jenis huruf Futura. Karakter huruf Bold. Banyak mengunakan
warna populer yang disusun dengan teknik blok, kontras namun manis. Ilustrasi
menggunakan pendekatan idiom estetik dekoratif. Setiap obyek visual dari
elemen desain grafis selalu didampingi dengan garis kontur bahkan sangat
tergantung pada outline. Posisi desain kebanyakan disusun secara vertikal
dengan komposisi simetris.

DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA PARODI BERGAYA
POSTER
J ika diamati secara komprehensif, maka desain kaos oblong Dagadu
Djokdja dapat dipilah dalam dua kelompok besar. Kategori pertama, desain
dengan dominasi huruf dan tipografi sebagai kekuatan teks. Dalam hal ini
susunan teks bisa dibaca sebagai sebuah ilustrasi. Kategori kedua, desain yang
mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap
kaos oblong anggitan Dagadu Djokdja.
Kedua kelompok desain tersebut selalu mengedepankan unsur humor,
parodi, plesetan sebagai unique selling preposition dari produk kaos oblong
Dagadu Djokdja. Sementara itu, parodi menurut The Oxford English Dictionary
seperti dikutip Yasraf A. Piliang (l999:154), didefinisikan sebagai sebuah
komposisi dalam prosa atau puisi yang di dalamnya kecenderungan-
kecenderungan pemikiran dan ungkapan karakteristik dalam diri seorang
pengarang atau kelompok pengarang diimitasi sedemikian rupa untuk
membuatnya absurd, khususnya dengan melibatkan subyek-subyek lucu dan
janggal, imitasi dari sebuah karya yang dibuat modelnya kurang lebih
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
94
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
mendekati aslinya, akan tetapi disimpangkan arahnya, sehingga menghasilkan
efek-efek kelucuan.
Terkait dengan itu Linda Hutcheon dalam tulisannya berjuluk A Theory
of Parody, seperti disitir Yasraf A. Piliang (l999: 155), mengungkapkan parodi
sebagai sebuah relasi formal atau struktur antara dua teks. Dijelaskannya,
sebuah teks baru diciptakan sebagai hasil dari sebuah sindiran, plesetan atau
unsur lelucon dari bentuk, format atau struktur dari teks rujukan. Artinya,
sebuah teks atau karya parodi biasanya lebih menekankan aspek penyimpangan
atau plesetan dari teks atau karya rujukan yang biasanya bersifat serius.
Dengan demikian, parodi adalah salah satu bentuk representasi. Uniknya,
representasi tersebut selalu ditandai dengan sifat pelencengan, penyimpangan,
dan plesetan makna, atau jamak disebut dengan representasi palsu.
Sedangkan sifat dan metode yang digunakan untuk menghasilkan
pelencengan makna dan lelucon tersebut, menurut konsep Mikhail Bakhtin
(l981:52) dalam risalahnya berjudul The Dialogic Imagination, sangat kaya dan
beragam. Ditegaskan Bakhtin bahwa parodi adalah suatu bentuk dialogisme
tekstual. Artinya, dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi antara yang satu
dengan lainnya dalam bentuk dialog. Dalam perspektif Hutcheon (l985:6),
dialog bisa berwujud kritik serius, polemik, sindiran, lelucon atau hanya
sekadar permainan dari bentuk yang sudah ada. Selain menggunakan
pendekatan humor, parodi, dan plesetan, sebagai verbalisasi ungkapan teks,
kaos oblong Dagadu Djokdja secara visual dirancang, dikemas, dan dihadirkan
dengan tampilan desain poster atau lebih merakyat dengan sebutan gaya
moster.
Hornby (l974:799) mengartikan poster sebagai plakat atau tempelan
pengumuman yang dipasang di tempat umum. Bisa juga dikatakan sebagai
sebuah pemberitahuan untuk khalayak ramai yang berbentuk gambar.
Sedangkan unsur yang ditekankan dalam pengertian poster di sini adalah pesan
atau pemberitahuan. Karena poster mengemban tugas untuk menyampaikan
pesan verbal maupun visual, maka keberadaannya harus dikemas sedemikian
rupa agar menarik dan mampu membangkitkan rasa tertarik pribadi, sehingga
dapat menimbulkan stimulus dan reaksi untuk memberikan keputusan. Untuk
itu, pesan verbal maupun visual yang ditampilkan dalam desain poster harus
dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan benar. Hal ini menjadi penting
agar pesan-pesan tersebut mudah dimengerti oleh pembaca tanpa ada kesalahan
interpretasi makna dari pesan tersebut. Pendeknya, poster adalah salah satu
media komunikasi visual berbentuk dua dimensi. Kehadirannya bertujuan
menyampaikan suatu keinginan, mengumumkan sesuatu agar diketahui
masyarakat dan mengingatkan mereka tentang hal-hal yang dianggap penting.
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
95
Sebagai media komunikasi visual, maka keberadaan poster menjadi
media yang sangat efektif. Artinya, poster bisa membawa masyarakat untuk
berkomunikasi dengan cara timbal balik, selanjutnya mengadakan suatu
tindakan atas pengaruh komunikasi tersebut. Hal itu terjadi karena ditunjang
oleh unsur-unsur poster yang menjadi faktor terpenting dalam mencapai
keberhasilan dari poster tersebut sebagai media komunikasi visual.
Dalam perencanaan sebuah poster yang baik, peran desainer sangatlah
penting dan menentukan dalam merencanakan penempatan kombinasi warna
dan komposisi bidang. Selain itu, desainer harus memperhatikan masalah titik
pusat, garis perspektif, penempatan horison, dan white space atau ruang
kosong. J adi, secara umum poster merupakan salah satu media publikasi
mengandung tujuan: (1) Memberitahukan suatu keinginan, seperti: ingin
menjual, ingin membeli, dan ingin mendapatkan sesuatu baik barang ataupun
jasa; (2) Mengumumkan sesuatu hal yng dianggap penting agar diketahui oleh
masyarakat luas; (3) Mengingatkan masyarakat tentang hal-hal yang penting
bagi masyarakat itu sendiri; (4) Memberikan informasi yang positif kepada
seluruh lapisan masyarakat dalam waktu yang relatif singkat dan tepat pada
sasarannya.
Dalam perkembangannya, keberadaan poster bermetamorfosa menjadi
sebuah bentuk komunikasi visual yang dirancang sangat simpel. Sederhana
dalam konteks desain komunikasi visual menurut Mawardi dan Nizar berarti
tidak ruwet, jelas atau mungkin yang disederhanakan dalam garis-garis, bentuk-
bentuk dan warna-warna yang sedikit mungkin. Agar unsur tersebut dapat
menggambarkan suatu arti kepada yang melihat dalam sekilas pandang, unsur-
unsur tersebut jangan sampai hilang dalam suatu liku-liku penggambaran yang
tidak mengena dan tidak perlu, sehingga terciptanya saling hubungan yang satu
dengan yang lainnya (Mawardi dan Nizar, l972:3).
Hal itu terjadi karena apresiasi masyarakat semakin meningkat dan poster
sendiri mengemban fungsi sebagai medium komunikasi yang dilengkapi unsur
ilustrasi, teks, dan warna mencolok sebagai visualisasi dan daya tarik dari
pesan yang akan disosialisasikan. Dengan meminjam idiom parodi, humor dan
plesetan yang dikemas lewat pendekatan desain poster bergaya idiom estetik
dekoratif ini, karya kaos oblong Dagadu Djokdja mampu menempati posisi
orbit yang cukup terhormat di antara pesaing sejenis yang bermain pada pasar
yang sama.


VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
96
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA DESAIN DENGAN
DOMINASI TIPOGRAFI
Melirik rancangan oblong Dagadu Djokdja pada kategori pertama, yakni
desain dengan dominasi huruf dan tipografi sebagai kekuatan teks, terlihat di
antaranya pada tema Malio-Boro Malio-Boros. Desain kaos oblongyang
layout dan kemasan visualnya menggunakan pendekatan posterini ditata
dalam posisi vertikal.
Kata Malioboro dan Malioboros dipenggal menjadi dua bagian. Masing-
masing berbunyi Malio-Boro (secara visual menggunakan warna coklat,
memakai huruf kapital, masing-masing huruf diberi bayangan hitam dan outline
kuning) dan Malio-Boros (huruf kapital, warna biru tua, bayangan hitam dan
kontur kuning). Di sela-sela kata Malio-Boro dan Malio-Boros terselip teks
berangkat naik andong, belanja pernak-pernik, jajan lesehan, mBORONG
OBLONG!!, pulang kecopetan. Masing-masing teks tersebut dimasukkan
dalam sebuah lingkaran berbentuk elips warna biru muda dengan bayangan
hitam dan garis kuning sebagai outlinenya. Warna teks, putih. background
desain secara keseluruhan berwarna putih dengan clossing ASELI BIKINAN
DAGADU DJ OKDJ A yang dihiasi titik-titik kuning membentuk garis vertikal,
berujung pada anak panah untuk menunjukkan nama produsen kaos oblong
tersebut.
Pada karya desain dengan tema Malio-Boro Malio-Boros terlihat jelas
upaya bermain-main dengan keisengan kreatif sambil mencoba memberikan
aksentuasi dan penambahan huruf s pada kata Malioboro yang bermuara
perbedaan makna sangat signifikan. Konotasi kata Malioboro plus huruf s
menjadi bermakna negatif dan kenegatifan Malioboro ini sengaja dieksploitasi
dan dijual oleh PT. Aseli Dagadu Djokdja demi menangguk rupia
Dalam pandangan ide pihak Dagadu Djokdja, tema Malio-Boro Malio-
Boros dimaksudkan bahwa belanja di kawasan Malioboro itu marai
(menyebabkan) boros. Lewat pendekatan poster, para desainer Dagadu
mencoba menyampaikan uneg-uneg kolektifnya untuk menyampaikan suatu
keinginan sekaligus mengingatkan kepada kita betapa borosnya belanja di kaki
lima sepanjang kawasan Malioboro. Pedagang lesehan yang menjual
dagangannya tanpa memasang harga tarif secara wajar, ditambah pula dengan
perilaku penjaja cinderamata yang menawarkan harga sangat tinggi. Belum lagi
copet yang siap menggerayangi dompet kita.
Teks di antara kata Malio-Boro Malio-Boros mengacu pada konsep
parodi dari Bakhtin, bertujuan untuk mengekspresikan perasaan tidak puas,
kurang nyaman dengan kondisi sosial budaya di sekitar Malioboro. Dalam
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
97
konteks ini, desain kaos oblong Dagadu Djokdja mencoba membentuk
semacam oposisi binner atau memunculkan kekontrasan di antara berbagai
teks yang ada. Hal itu terlihat dari keberadaan teks Malio-Boro dibenturkan
dengan kataMalio-Boros. Makna yang ingin dimunculkan adalah makna
dengan semangat menyindir sekaligus membuat lelucon tentang fenomena
Malioboro yang semakin sumpek, kotor, macet, bikin pusing dan bising. Di
balik semuanya itu, yang pasti kawasan Malioboro adalah aset dan sampai
sekarang masih menjadi primadona para wisatawan yang berkunjung ke
Yogyakarta. Bahkan sampai muncul mitos, serasa belum sampai Yogyakarta
kalau belum menginjakkan kaki dan menghirup udara Malioboro. Dengan
demikian, meski pun Malioboro dibenci dan dicaci maki, tetapi keberadaannya
tetap dirindukan.
Karya lain dengan tema As You Wish! As Yo Wis! TerSeRah!. Desain
yang disusun vertikal, berlatar warna kuning gading, dan dibungkus dengan
komposisi simetris ini juga menggunakan pendekatan desain poster. Pada kata
s You Wish! dikemas dalam ramuan warna kuning. Background teks
berbentuk elips yang dirancang seperti balon dialog dari sebuah adegan komik
dan dibalut goresan ekspresif warna coklat. Hal yang sama dilakukan pada kata
As Yo Wis!, namun warna balon berbeda, yakni warna hijau muda ngadun
ngora. Sedangkan kata Ter-SeRah! berwarna coklat. Clossing bagian bawah
tertulis aseli bikinan Dagadu Djokdja dalam kemasan huruf kapital.
Menyimak desain ini, ternyata sarat dengan plesetan makna akibat dari
kesamaan pelafalan bunyi dari sebuah teks. Hal itu terjadi karena faktor
kecenderungan dari sebuah idiom parodi. Dalam konteks ini, bahasa yang
pertama, As You Wish! mengontrol bahasa kedua, As Yo Wis!.
Menurut Yasraf A Piliang, mengutip pendapat Bakhtin, adalah sifat dari
setiap parodi untuk menukartempatkan nilai-nilai gaya yang menjadi sasaran
parodi, menyorot elemen-elemen tertentu, sementara membiarkan elemen-
elemen lain di dalam bayang-bayang. Parodi selalu di-pleset-kan ke berbagai
arah dan plesetan itu didiktekan oleh sifat bahasa parodi, sistem logatnya dan
strukturnya pun jauh berbeda.
Dalam konteks ini, kata As You Wish! karena sistem logat dan bunyi
pelafalannya ditukartempatkan pada kata As Yo Wis! mempunyai makna
konotasi: ketimbang terus repot berdebat mending tidak terlibat atau melibatkan
diri sama sekali. Prinsip semacam itu menjadi sikap hidup orang Yogyakarta
dalam bermasyarakat dengan tetap mengutamakan asas keharmonisan.
Mengamati desain kategori pertama yang mengutamakan huruf dan
tipografi sebagai kekuatan utama verbalisasi teks mengingatkan kita pada
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
98
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
desain bergaya populer. Desain bergaya populer itu ditandai dengan warna
populer yang cenderung bersandar pada kecerahan atau sifat cerah dari pada
kelembutan atau hal-hal yang bersifat lembut. Bentuk desainnya dirancang
secara sederhana dengan warna menyala dan datar serta dipisahkan oleh outline
warna hitam tebal.
Kesan populer biasanya berkonotasi dengan citra anak muda dan
berkesan hiburan alias santai riang gembira. Kombinasi warna populer berciri
kurang ajar, slengekan, nakal, dan humor tercermin pada warna merah, oranye,
kuning, hijau, biru, dan ungu yang dipisahkan, ditegaskan, dan dikunci garis
kontur warna hitam.
Tipografi gaya populer umumnya lebar dan gemuk, umumnya berjenis
Futura dan Gothic yang ditebalkan (bold) dengan warna kuat beroutline hitam,
keberadaannya akan tampak terpisah dari latar berwarna kuat.

DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA KODE BAHASA
ESTETIK POST-MODERNISME
Kategori kedua, bisa kita saksikan berbagai karya desain yang lebih
mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap
rancangan kaos oblong Dagadu Djokdja.
Gambar pertama (lihat gambar 1) dengan tema DJ OK DJ A, DJ OK
SADJ A more tea, please menggambarkan ikon sebuah cangkir dengan
gantungan kemasan teh celup dalam keadaan panas mengepul. Di bawahnya
tertera teks DJ OK DJ A (warna coklat bata dengan kontur garis hitam tebal
dan dikontur lagi dalam bauran warna abu-abu), pada huruf o dalam kata
DJ OK DJ A dihias dengan pendekatan dramatisasi huruf bergambar ikon poci
tempat menyedu teh, diberi label Tjap J AHE dan diisi warna hitam. Bagian
bawah dari kata DJ OK DJ A dituliskan kata DJ OK SADJ A dan bagian
paling bawah digoreskan kata more tea, please warna hijau.
Desain oblong ini dikemas dengan gaya poster. Visualisasi desain
oblong ini sangat sederhana. Ilustrasi desain ini menggunakan idiom estetik
dekoratif. Tanda visualnya, hanya menampilkan ikon cangkir, poci, gantungan
teh celup dan lingkaran asap yang digambarkan dengan gaya dekoratif.
Kekuatan desain ini terletak dari pemanfaatan ruang lebar (white space) sisa
dari ilustrasi dan tipografi yang secara global berbentuk segitiga sama sisi.
Tipografi diambil dari keluarga huruf sans serif yang ditebalkan (bold). Ciri
huruf ini, garis tubuhnya sama-sama tebal, tidak berkaki dan memiliki karakter
lugas, kokoh, dan kuat.
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
99
Secara visual, desain kaos oblong ini meminjam berbagai kode. Menurut
Umberto Eco dalam bukunya berjudul Theory of Semiotics, kode adalah
seperangkat aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret
dalam sistem komunikasi (Eco, l976:2). Dengan demikian, kode merupakan
cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk
memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Dalam konteks ini, kode yang digunakan antara lain kode narasi (proairetik)
yang oleh Roland Barthes dalam bukunya S/Z dikatakan sebagai sebuah kode
yang mengandung cerita atau narasi ( Barthes, l974:17-26).
Desain dengan tema DJ OK DJ A ini membeberkan cerita perihal
seduhan teh kental dalam sebuah poci, yang dioplos dalam aroma teh
nasgithel (panas, legi tur kenthel) yang disruput hangat kicot-kicot memberikan
nuansa kehangatan, kedamaian, dan kenikmatan sambil ditingkahi obrolan
santai dalam komunitas wedangan warung angkring atau warung koboi.

Gambar 1. Desain Djok Dja. more tea, please


Selain kode narasi, visualisasi kaos oblong bertemakan DJ OK DJ A
juga menggunakan kode kultural atau kode kebudayaan, khususnya aspek
sejarah dan mitos. Kode kebudayaan yang dimaksudkan oleh Roland Barthes di
sini adalah pada pemaknaan kata Djokdja yang berarti sebutan singkat dari
sebuah kota yang bernama Yogyakarta. Kota pelajar milik Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, raja dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini
mempunyai peran sejarah yang amat penting terkait dengan keberadaan negara
Republik Indonesia melawan penjajah.
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
100
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
Sementara itu DJ OK DJ A di mata desainer Dagadu Djokdja
mempunyai makna konotasi yang sangat sederhana. Dalam imajinasi mereka,
kata DJ OK DJ A meminjam konsep kirata basa atau mengacu pada ilmu
gothak-gathuk mathuk - maka kata DJ OK DJ A diartikan dengan di-jok saja
(DJ OK=di-jok, DJ A=saja) atau dalam frame bahasa Indonesia dimaknakan
sebagai ditambah lagi. Tambah lagi wedang teh nasgithel-nya, wedang teh
panas legi (gula batu) tur kenthel.
Fenomena wedangan teh nasgithel lengkap dengan gula batu dan
kepulan rokok kretek ini sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan kaum pria
yang suka nongkrong, begadang, ngobrol, melepas lelah dalam suasana santai
di warung angkring atau warung koboi sambil menunggu lingsir wengi.
Secara umum desain kaos oblong Dagadu Djokdja dengan tema DJ OK
DJ A ini menarik perhatian secara visual. Terjemahan kata-kata di dalam
susunan teks membuat orang mengulum senyum. Sayangnya, dalam konteks
wedang teh nasgithel, desainer Dagadu Djokdja kurang jeli dalam
memvisualkan seduhan (com-coman) teh kenthel, yang digambarkan justru
com-coman teh celup. Atau kekeliruan itu sengaja dihadirkan dengan
pertimbangan mengejar aspek artistik agar terlihat bahwa cangkir itu berisi teh
hangat kicot-kicot.


Gambar 2. Desain RID: Rest in DJOKDJA
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
101

Gambar kedua bisa kita lihat pada karya lucu dengan tema RID: Rest in
DJ OKDJ A. Ilustrasi dari desain oblong ini menggunakan idiom estetik
dekoratif. Tanda visualnya berupa ikon laki-laki berkumis yang sudah purna
tugas alias pensiunan, menggenakan busana kejawen lengkap dengan blangkon,
jarik dan surjan, duduk terkantuk-kantuk di kursi goyang sambil menikmati
hidup. Saking nikmatnya bergoyang-goyang di kursi goyang, sampai-sampai
sandal selopnya njepat meloncat dari ujung kaki sang ikon laki-laki tersebut.
Tampilan desain RID: Rest in DJ OKDJ A ini menggunakan kode
seperti yang diungkapkan Roland Barthes dalam bukunya S/Z di antaranya
kode hermeneutik, kode simbolik, kode narasi atau proairetik dan kode
kultural. Pada kode hermeneutik ini mengandung makna provokatif. Hal ini
terlihat pada argumentasi konsep desain yang menyebutkan, kembali ke Djodja
siapa takut? Sekian tahun menjadi mahasiswa di Djokdja, mencari pekerjaan di
belantara ibukota, saat Lebaran mudik ke Yogya. Menjelang usia senja, lagi-
lagi ke Djokdja bermukimnya. Mengapa begitu? Tingkat harapan hidup di
Djokdja lebih lama dari kota lain menjadi daya tarik utama bagi para pensiunan
untuk menetap di Yogya.
Kode simbolik terlihat pada ikon kursi goyang yang mempunyai konotasi
santai, sembari mengedepankan kenikmatan badani dan jiwani. Sedangkan
kode narasi atau proairetik berisi cerita sebuah obsesi sementara orang yang
pernah mencicipi nikmatnya hidup di kota Yogyakarta. Bahwa kembali ke
Yogyakarta dan menikmati hari tua di kota budaya ini selalu menjadi buah
impian dan cita-cita mereka yang pernah singgah di kalbu kota Yogyakarta.
Dalam kode narasi dan kode kultural disinggung pula informasi gaya
masa lampau dengan mengedepankan makna nostalgia dan aspek sejarah kota
Yogyakarta. Sedangkan teks RID: Rest in DJ OKDJ A adalah sebuah ekspresi
bentuk parodi dan plesetan makna dari kata RIP: Rest in Peace, beristirahatlah
dalam damai. Di mata tim kreatif Dagadu Djokdja, kata damai itu identik dan
selaras dengan keberadaan kota Yogyakarta yang berhati nyaman Sebuah kota
yang tenang, damai, inspiratif, inovatif, dan kreatif.
Menilik karya desain kaos oblong Dagadu Djokdja yang dikategorikan
dalam kelompok kedua, yakni lebih mengedepankan unsur tipografi dan
ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap, lebih banyak mengacu pada pendekatan
desain modern. Bentuk desain modern ini senantiasa mengedepankan unsur
kesederhanaan dengan white space yang luas, sehingga memberikan kesan
keseimbangan yang terkontrol. Penekanannya pada bentuk horisontal, vertikal,
dan diagonal. Pola modern bercirikan keteraturan, sederhana, dan kerapian
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
102
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
geometri. Desain ini menunjukkan perpaduan yang seimbang antara elemen
latar belakang dan latar depan, dengan warna, bentuk ilustrasi dan tipografi.
Ilustrasi yang diposisikan sebagai aspek penjelas ungkapan pesan dari
desain kaos oblong Dagadu Djokdja ini menggunakan bentuk idiom estetik
dekoratif. Idiom estetik yang dimaksudkan di sini adalah suatu cara tertentu
dalam mengkomposisikan elemen-elemen bentuk (ilustrasi, tipografi, layout
dan bidang) dengan menghasilkan bentuk-bentuk tertentu. Sedangkan idiom
estetik dalam konteks ini adalah gaya pengungkapan ilustrasi sebagai
visualisasi tanda visual. Dengan demikian, idiom estetik dekoratif adalah
sebuah istilah yang ditujukan pada perwujudan karya seni rupa dan desain yang
menonjolkan segi hiasannya.
Pada ilustrasi yang bercorak dekoratif, seperti terlihat pada karya kaos
oblong Dagadu Djokdja bertema DJ OK DJ A dan RID: Rest in DJ OKDJ A,
bentuk obyek yang digambarkan sering dideformasikan dalam bentuk-bentuk
yang bersifat hias, disesuaikan dengan segi fungsinya sehingga akan dapat
dijumpai beberapa tingkatan deformasi bentuk, mulai dari mendekati realistis
dengan kesan-kesan plastisitas dan volume, sampai bentuk yang jauh dari sifat
realis, yakni bentuk yang mempunyai kesan datar. Agaknya, desainer Dagadu
Djokdja memilih pilihan terakhir, yakni mengangkat idiom estetik dekoratif
yang jauh dari sifat realis dengan merekayasa bentuk ikon sehingga mempunyai
kesan yang datar-datar saja.
Dengan memilih idiom estetik dekoratif dalam visualisasi berbagai
ilustrasi desain, maka posisi karya desain tersebut menjadi sangat aman dan
tenteram. Hal semacam itu disadari sepenuhnya oleh tim kreatif Dagadu
Djokdja, karena sejak awal melempar karya desain di pasar oblong bebas, niat
luhurnya menggunakan semangat parodi, semangat nyindir dan semangat
ngenyek. Pemilihan idiom estetik dekoratif menjadi sangat semanak manakala
Dagadu melontarkan guyonan pari keno. Artinya, berupaya melakukan sindiran
tetapi tidak melukai perasaan sang sasaran tembak. Dan apalah jadinya jika tim
kreatif memilih idiom estetik realis. Bisa dipastikan akan bermunculan berbagai
somasi atau tuntutan akibat side effect dari karya desain tersebut.

PENUTUP
Mengamati sekian banyak desain kaos oblong Dagadu Djokdja yang
dalam perkembangan terakhir juga diaplikasikan pada media kartu pos,
kalender, gantungan kunci, gelas mug, ternyata sarat dengan tanda-tanda visual.
Tanda yang dimaksud di sini adalah unsur dasar dalam semiotika dan
komunikasi, yaitu segala sesuatu yang mengandung makna, yang mempunyai
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
103
dua unsur penanda (bentuk) dan petanda (makna). Pierce membedakan jenis
tanda menjadi tiga kategori, yakni: ikon, indeks, dan simbol.
Pada desain kaos oblong Dagadu Djokdja ini ketiga jenis tanda tersebut
digunakan secara maksimal. Tetapi jenis tanda tertentu dalam hal ini ikon dan
simbol hampir secara keseluruhan dimanfaatkan, karena ikon adalah tanda
yang menyerupai obyek (benda) yang diwakilinya atau suatu tanda yang
menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang
dimaksudkan. Hal itu terlihat pada ikon cangkir, gantungan teh celup, asap
mengepul yang divisualkan pada desain bertema DJ OK DJ A. Hal yang sama
terlihat pula pada ikon laki-laki tua, duduk dikursi goyang, mengenakan busana
kejawen lengkap dengan surjan, blangkon, jarik, dan sandal selop.
Penggambaran ikon tersebut bisa kita saksikan pada desain kaos oblong dengan
tema RID: Rest in DJ OKDJ A
Semua ikon yang dimanfaatkan oleh desainer dan tim kreatif Dagadu
Djokdja ini mengandung idiom estetik dekoratif sebagai gaya ilustrasinya dan
idiom estetik naratif sebagai gaya ungkap pesan verbal. Kerabat kerja PT. Aseli
Dagadu Djokdja ternyata juga cukup konsisten dalam melakukan eksperimen
kreatif dengan mengolah tanda dan simbol melalui medium desain grafis.
Lewat tangan jahil desainer dan tim kreatif kaos oblong Dagadu Djokdja
berhasil memunculkan trend penggunaan huruf sans serif yang ditebalkan
(bold). Mereka sukses mengemas desain poster yang diejawantahkan dalam
sebidang kaos oblong dengan meminjam idiom estetik dekoratif sebagai gaya
ungkap bentuk ilustrasinya. Garis outline tebal menjadi ciri utama desain ini
yang diposisikan untuk membungkus obyek ilustrasi maupun tipografi.
Lewat wacana parodi pada setiap teks verbal maupun visual yang
digelembungkan oleh tim kreatif Dagadu Djokdja, diyakini mampu menambah
perbendaharaan dan memperkaya kosa kata plesetan di tengah carut-marut
perkembangan bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar dalam
konteks bahasa gaul. Hal ini terjadi karena kelenturan relasi pertandaan dan
berbagai kode yang dipinjam oleh pemikir-pemikir Dagadu dalam
menggambarkan seni post-modernisme sebagai suatu karya terbuka yang
membuka pintu lebar-lebar bagi kombinasi dialog dan permainan tanda, kode,
dan idiom-idiom yang tidak terbatas namun mampu menembus batas.
Selain itu, karya desain kaos oblong Dagadu Djokdja berikut pernak-
pernik aplikasinya berhasil memberikan sentuhan dan aksentuasi baru bagi
pengembangan disiplin ilmu desain komunikasi visual atau desain grafis.
Artinya, desain Dagadu Djokdja sudah memasuki sebuah wacana yang siap
untuk dikaji, diperdebatkan, dibongkar, diuji dan kemudian didokumentasikan
sebagai sebuah teori. Sebab sebuah karya desain komunikasi visual dan kajian
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
104
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI
teori desain grafis sulit berkembang jika tidak ditemukan karya-karya
eksperimen yang dibidani oleh praktisi-praktisi yang kreatif, inovatif, dan agak
gila dalam konteks menggali hal-hal baru dari yang paling baru.



DAFTAR PUSTAKA

Bakhtin, Mikhail. l981. The Dialogic Imagination. Massachussets: Harvard
University Press.
Dagadu Djokdja: Perjalanan Empat Tahun Pertama. l997. Yogyakarta: PT
Aseli Dagadu Djokdja.
Eco, Umberto. l976. Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University
Press. Barthes, Roland. l974. S/Z. New York: Hill & Wang.
Hornby, A.E. (ed). l974. Oxford Advanced Learner Dictionary. London:
Oxford University Press.
Hutcheon, Linda. l985. A Theory of Parody, The Teaching of Twentieth
Century Art Form. Methuen.
Piliang, Yasraf Amir. l999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.
Nizar, M dan Mawardi. l972. Saduran Basic Design. Yogyakarta: STSRI
ASRI.



PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH

1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel
konseptual) di bidang ilmu komunikasi.
2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi
ganda dilengkapi dengan abstrak Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci
dalam Bahasa Inggris juga.
3. Penulisan kutipan dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang
tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung.
Contoh
Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12)
Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25)
4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama Belakang, Nama
Depan. Tahun Penerbitan. J udul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit.
Contoh
Dominik, J osep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in
Digital Age. New York, McGraw Hill.
5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki
dalam halaman pertama naskah.
6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microsoft Word dengan
format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12.
7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) J udul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3)
Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5)
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan
pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8)
Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat
pustaka yang dirujuk dalam artikel).
8. Artikel konseptual memuat: (1) J udul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak
(dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan
(tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar
Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel).
9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan
kepada:

J urnal Ilmu Komunikasi
d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma J aya Yogyakarta
J l. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 487711 ext 3124, Fax. (0274) 487748
Email: jik@mail.uajy.ac.id

10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukansecara tertulis. Penulis yang
artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak
lima eksemplar. Artikel yang dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas
permintaan penulis.

Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

Anda mungkin juga menyukai