Anda di halaman 1dari 9

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN (Resume Buku Prof.

Siti Sundari-UNAIR)
1. 1. HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK DAN SEHAT DAN HAK UNTUK BERPERANSERTA DALAM RANGKA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 1.1. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat perlu adanya bingkai yuridis dalam rangka perlindungan hukum bagi masyarakat di bidang lingkungan hidup. Konsep tersebut tidak termuat dalam UUD 45, namun hak itu diperkenalkan dalam UUPLH. Hak ini sebenarnya juga telah ada di beberapa negara, misalnya Amerika : The Right to decent enviroment, Belanda: het recht op een goed en schoon milleu, Jepang : a Right to sunshine dan environmental right, Filipina : the right to healthy environment. Bahwa berdasarkan konferensi Stockholm, hak ini diformulasikan sebagai hak asasi. Mengenai hak ini sebagaimana dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1) UULH-UUPLH masih perlu dijabarkan lebih lanjut tentang masalah tatalaksana dan perlindungan hukum yang dijaminnya. Dalam konteks Indonesia, hak tersebut tidak lah dituangkan dalam konstitusi melainkan dituangkan dalam peraturan Per UU an setingkat lebih rendah yaitu UU. Memang benar bahwa hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah hak perseorangan namun tidak merupakan hak asasi pada tingkat UUD, tapi hak biasa pada tingkat UU. Di dalam UUPLH hak atas lingkungan yang baik dan sehat diformulasikan sebagai hak klasik sekaligus sebagai hak asasi sosial. Dari sudut bentuk dan isinya, bersifat sebagai hak asasi klasik, yang menghendaki penguasa menghindarkan diri dari campur tangan terhadap kebebasan individu untuk menikmati lingkungan hidupnya. Sedangkan dari segi bekerjanya termasuk hak asasi sosial, dalam hal ini diimbangi dengan kewajiban pemerintah untuk menerapkan kebijakan dan melakukan tindakan untuk mendorong upaya pelestarian lingkungan hidup. Sebagaimana tertuang dalam pasal 8 dan pasal 9 UULH-pasal 8 dan pasal 9 UUPLH. 1.2. Hak Untuk Berperanserta Dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup Hak peran serta masyarakat ini khususnya pada tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian izin khususnya tentang izin lingkungan. Keberadaan hak ini berdampingan dengan adanya kewajiban masing-masing individu untuk menjaga lingkungannya sebagaimana terdapat dalam pasal 6 ayat (1) UULH. Di Belanda, hak ini berperan penting dalam pengambilan keputusan dan tidak dengan mengajukan keberatan setelah keputusan diambil. Peran serta yang dimaksud tidak terbatas hanya pada peran serta individu belaka melainkan juga peran serta kelompok atau organisasi dalam masyarakat. Peran serta masyarakat nampak misalnya dalam prosedur administratif pengelolaan lingkungan seperti perizinan, AMDAL dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia terjadi perbedaan pendapat. Stu sisi menghendaki agar belum dibuka peluang secara bebas peran serta masyarakat ini mengingat bangsa Indonesia masih belum cukup dewasa untuk menerima itu. Namun di sisi yang lain, dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan adanya asas keterbukaan

sehingga terjadi kontrol dari masyarakat melalui peran sertanya. Meskipun demikian, patut ada keseimbangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat sebagaimana termaktub dalam pasal 5 dan pasal 6 UULH-UUPLH. Selain itu juga ada mekanisme penyelesaian sengketa terhadap perizinan melalui PTUN. 1. 2. PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Pasal 20 UULH-Pasal 34 UUPLH memberikan indikasi adanya mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian ganti rugi dari pencemar kepada korban pencemaran lingkungan. Manakala terjadi pencemaran tentu terdapat penyebab dan akibat yang ditimbulkan, sehingga terjadi hubungan kausalitas.Berdasarkan pasal 20 UULH-Pasal 30 ayat (1) UUPLH, terdapat dua mekanisme penyelesaian sengketa, yaitu:

Gugatan ganti rugi berdasarkan pasal 20 ayat (1) UULH-Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW. Musyawarah Tri pihak sebagai mekanisme penyelesaian di luar pengadilan. Namun sampai saat ini belum juga ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang prosedur penyelesaian ini.

Di samping dua mekanisme tersebut di atas, dikenal juga di negara-negara maju yaitu apa yang dinamakan mekanisme mediasi lingkungan sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). 2.1. Berperkara (Gugat) Di Pengadilan Gugat di pengadilan ini adalah berkaitan dengan gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) UULH-Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW. Namun dalam hal ini khususnya mengenai kasus sengketa lingkungan hidup, kebanyakan korbannya adalah tidak sebanding secara finansial dengan pelaku pencemarannya. Sehingga acap kali korban terkalahkan dalam gugat ganti kerugian. Di samping itu perlu ada mekanisme pembuktian yang sangat rumit khususnya bila mendakwakan pasal 1365 BW, yaitu harus bisa membuktikan adanya unsur kesalahan dan adanya unsur hubungan kausal. Sedangkan konsep dalam hukum perdata maka penggugat lah yang diberikan beban pembuktian. Sementara dalam kasus lingkungan pencemar, tentu secara ilmiah memiliki kemampuan yang lebih jika dibandingkan dengan penggugat yang berstatus sebagai korban. Maka dengan demikian secara materiil sungguh tidak lah layak jika penggugat kasus lingkungan diberikan beban pembuktian sebagaimana konsep yang ada dalam pasal 1865 BW/163 HIR atau pasal 283 R.Bg. Dalam UUPLH, mekanisme berperkara melalui pengadilan ini diatur dalam pasal 34-39. 2.2. Musyawarah Melalui Tim Tripihak (Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan) Walaupun musyawarah ini juga merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa, namun belum tentu bisa menghasilkan produk putusan yang final. Sebagaimana tertuang dalam pasal 20 ayat (2) UULH yang menyatakan bahwa jikalau tidak terjadi kesepakatan, maka diselesaikan melalui jalur pengadilan. Justru dari pengertian ini kadang banyak jumbuh mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang seakan-akan harus melalui mekanisme musyawarah dulu sebelum

dalam proses gugatan di pengadilan. Padahal maksud pembuat UU bukanlah demikian. Terbukti dalam praktek di PN Medan (putusan tanggal 11 Juli 1989 No. 154/Pdt.G/1989/PN.MDN) dan PN Surabaya (putusan tanggal 28 Juli 1993 No. 373/Pdt.G/1993/PN.SBY) pernah menolak gugatan ganti rugi atas perkara lingkungan karena belum melalui proses musyawarah terlebih dahulu. Di samping itu, mekanisme tripihak ini pun terdapat kelamahan, misalnya unsur dalam tri pihak tersebut adalah pemerintah, pencemar dan korban. Jika pihak pencemar adalah BUMN yang notabene adalah bagian pemerintah maka terdapat ketidak seimbangan yaitu 2:1. dan banyak lagi kelemahan yang lain. 2.3. Extrajudicial Settlement Of Disputes (ADR) Konsepsi ini diperkenalkan di negara-negara maju misalnya Amerika, Canada, Jepang dan lain sebagainya. Mekanisme penyelesaiannya meliputi:

Mediation, yaitu prosedur paling sederhana yang dilakukan atas adanya inisiatif dari para pihak melaluimekanisme perdamaian. Concilliation, yang terkesan lebih formal jika dibanding dengan mediasi. Proses ini diambil bilamana proses mediasi mengalami kegagalan. Arbitration, hal ini jarang dilakukan karena para pihak terikatr pada putusan arbitrator. Quasi-arbitral determinations, yaitu mekanisme yang diambil berhubungan dengan mengenai responsibility yang membawa akibat hukum sebagai kontrak.

Dalam UUPLH, hanya dikeanal mekanisme negosiasi, mediasi dan arbitrasi, sehingga sangat perlu dilakukan upaya penyesuaian dengan keadaan saat ini. Termasuk sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 31 UUPLH, secara terminologis penyebutan ADR adalah Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan bukan penyelesaian sengketa lingkungan alternatif. Sehingga terkesan lebih sempit. Karena alternatif menunjuk extrayudisiil. 2.4. Peaceful Settlement Of Dispute Untuk menyelesaikan sengketa lingkungan antar negara dilakukanlah mekanisme penyelesaian yang disebut peaceful means yaitu sarana damai. Meskipun demikian sangat terbuka kemungkinan para pihak untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa yang diinginkannya. Tersedia pula sarana arbitrasi internasional antara lain ICJ dan PCA di Den Haag Belanda. peaceful means terdiri dari binding or non binding means of peaceful settlement. Sedangkan arbitration dan judicial settlement adalah termasuk mekanisme binding means. 1. 3. TANGGUNG GUGAT PENCEMAR 3.1. Berbagai Konsep Tanggung gugat Keperdataan Konsep tanggung gugat keperdataan erat kaitannya dengan sistem hukum yang dianut, yang terdiri dari :

Civil Law System (Eropa Kontinental)

Berlaku konsep BW di Indonesia. Dalam hal tanggung gugat ini terdapat 3 golongan tanggung gugat yang meliputi: 1. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan, yang berarti bahwa Penggugat wajib membuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh tergugat. Sebagai dasarnya adalah pasal 1365 BW. 2. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan dengan beban Pembuktian Terbalik. Dalam hal ini untuk menghindari gugatan yang diajukan oleh penggugat maka tergugat wajib membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Konsep ini tertuang dalam pasal 1367 ayat (2) jo ayat (5) BW dan pasal 1368 BW. 1. Tanggung Gugat Berdasarkan Resiko. Titik beratnya adalah pada mana resiko yang terbesar. Konsep ini ada pada pasal 1367 ayat (3) dan pasal 1369 BW.

Common Law System (Anglo-Amerika)

Terdapat pula beberapa konsepsi diantaranya: 1. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan, yang menjadi ciri utama. 2. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan dengan beban Pembuktian Terbalik. 3. Tanggung Gugat yang membebankan penggugat dari beban pembuktian. 4. Tanggung gugat yang timbul pada saat terjadi kesalahan tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. 5. Pertanggung jawaban penuh (akibat adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain) 3.2. Perubahan dalam Konsep Tanggung Gugat Keperdataan Dalam konsep ini maka kedudukan UULH dan UUPLH adalah sebagai Umbrella provision, maka dapat dikatakan bahwa: 1. Strict Liability untuk pencemaran kategori abnormally dangerous. (pasal 21 UULH-pasal 35 UUPLH). 2. Strict Liability tidak perlu untuk hal-hal yang diatur dalam pasal 11-14 UULH. 3. Strict Liability perlu UU khusus, meskipun terdapat ketentuan pasal 1365 BW. 4. Strict Liability harus memperhatikan batas ganti rugi dan kemungkinan kewajiban asuransi.

5. Strict Liability masih memerlukan penelitian yang lebih cermat sebelum dituangkan dalam peraturan Per UU an. 6. Konsep pembuktian terbalik dalam perkara lingkungan hidup perlu di atur dalam Per UU an. 3.3. Tanggung Gugat Menurut UULH-UUPLH Ketentuan pasal 21 UULH-pasal 35 UUPLH merupakan landasan atau dasar pemberlakuan Strict liability. Disamping itu, pengaturan dalam pasal 20 UULH-pasal 34 UUPLH memberikan dasar upaya pengajuan gugatan ganti kerugian. Walaupun dalam pelaksanaannya juga terbentur persoalan-persoalan sebagaimana terurai di muka. Pasal 35 UUPLH memberikan asas tanggung gugat mutlak terbatas pada sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang:

Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan Menggunakan bahan berbahaya dan beracun Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

1. 4. GANTI KERUGIAN DAN BIAYA PEMULIHAN LINGKUNGAN 4.1. Ganti Kerugian Dalam Pasal 20 UULH dikenal dua macam ganti kerugian yaitu ganti kerugian untuk korban dan ganti kerugian dalam hal pemulihan lingkungan. Dalam penjelasan pasal 20 ayat (2) UULH, besar ganti kerugian tersebut ditentukan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim yang ditunjuk oleh pemerintah untuk itu. Adapun mengenai penelitiannya adalah meliputi bidang ekologi, medik, sosial budaya dll. 4.2. Biaya Pemulihan Lingkungan Pembayaran biaya pemulihan lingkungan akibat tindakan pencemar juga mewajibkan pencemaruntuk membayarnya. Gugatan biaya pemulihan lingkungan belum diatur secara khusus oleh UULH, namun hal itu bisa dilakukan melalui jaksa dalam fungsi sebagai pengacara negara sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (2) UU No. 5 tahun 1991. Dalam praktek belum pernah terjadi. Namun biaya pemulihan lingkungan pernah diterapkan melalui mekanisme Tripihak. Pada dasarnya, dari sudut pandang hukum administrasi, biaya pemulihan lingkungan merupakan konsekuensi dari adanya sanksi administratif berupa paksaan pemerintahan (bestuurdwang) namun ketentuan ini sebagaimana diatur dalam pasal 25 UUPLH masih sangat lemah. 1. 5. GUGATAN KELOMPOK (CLASS ACTION) Gugatan kelompok merupakan gugatan yang dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok tertentu. Hal ini sebagai reaksi dari adanya persoalan lingkungan antara pencemar dan kelompok

tertentu. Hal ini sangat penting dilakukan terhadap kerugian yang diderita oleh beberapa masyarakat yang awam dalam ilmu. Tentang Gugatan kelompok ini telah dapat diterima di Indonesia. Demikian juga ketentuan pasal 37 UUPLH yang mengandung pengertian gugatan perwakilan. Sebenarnya yang dimaksudkan disini adalah gugatan kelompok (class action) 1. 6. WEWENANG MENGGUGAT [IUS STANDI, STANDING TO SUE ATAU LEGAL STANDING. DE ONTVANKELIJKHEID VAN ORGANISATIES (MILIEUVERENIGINGEN)] Ketentuan pasal 1 angka 24 UUPLH memberikan peluang eksistensi bagi kelompok masyarakat disamping individu untuk mengajukan gugatan di bidang lingkungan. Sementara doktrin perdata tradisional menyatakan bahwa tiada gugatan tanpa adanya kepentingan. LSM diakui dan diberikan kewenangan untuk mengajukan gugatan berdasarkan pasal 19 UULH-pasal 38 UUPLH. Dan ketentuan-ketentuan pasal 17 ayat (2) pasal 18 ayat (2) dan pasal 22 ayat (1) PP. AMDAL. Dalam perkara lingkungan tidak secara luas LSM diberikan kewenangan untuk mengajukan gugatan. Hanya LSM Lingkungan yang secara nyata terus menerus dan membuktikan bergerak serta peduli terhadap kelestarian alam dan daya dukung lingkungan yang memiliki kewenangan berperkara. Gugatan yang diajukan oleh LSM juga terbatas untuk memohon hakim menghentikan tindakan yang melawan hukum, tidak diperkenankan untuk meminta ganti kerugian sebatas tidak ada kuasa dari individu/orang sebagai korbannya. Ketentuan mengenai legal standing OLH tertuang dalam pasal 38 UUPLH. 1. 7. JAKSA SEBAGAI KUASA PEMERINTAH Pengaturan jaksa sebagai kuasa pemerintah (negara) adalah pasal 27 ayat (2) UU No. 5 tahun 1991. disamping perkaran pidana, jaksa juga sebagai kuasa pemerintah berdasarkan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Stb. Th. 1992 No. 522 jo. Pasal 123 ayat (2) HIR. Jaksa sebagai pengacara negara mengandung pengertian:

Mewakili tergugat Menjadi wakil Penggugat Melakukan tugas acara perdata lainnya dalam rangka pengajuan permintaan kepada pengadilan untuk eksekusi dan sebagainya.

Ketentuan tentang kuasa pemerintah ini perlu dikonkritkan dalam peraturan untuk menjamin kepastian hukum. 1. 8. PERKARA PIDANA LINGKUNGAN Ketentuan tentang pidana diatur dalam pasal 22 UULH-pasal 41-48 UUPLH yang berkaitan pula dengan pasal 8 UULH-pasal 8 dan 10 UUPLH. Keberadaan sanksi dalam hukum pidana adalahsebagai ultimum remidium. Namun pengertian ini dalam hukum lingkungan telah bergeser yaitu sanksi sebagai primum remidium yakni instrumen penegakan hukum yang utama, seperti

hal nya di Belanda. Pada umumnya, pada peraturan per UU an yang sifatnya administratif mengandung sanksi pidana untuk menegakkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. 8.1. Perumusan Delik Lingkungan Meskipun dalam UULH-UUPLH terdapat ketentuan pidana, namun belum berarti bahwa setiap perbuatan tersebut termasuk delik lingkungan banyak diajukan di pengadilan.Untuk dapat merumuskan suatu tindakan termasuk kedalam jenis delik lingkungan ataupun tidak terlebih dahulu harus dipahami apa yang dimaksud dengan perusakan lingkungan yang tertuang dalam pasal 1 angka 8 UULH- pasal 1 angka 14 UUPLH. Secara substantif, delik lingkungan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Perbuatan yang menimbulkan perubahan secara langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan yang berakibat berkurang atau tidak berfungsinya hayati untuk menopang pembangunan berkelanjutan; Perbuatan memasukkan zat atau benda tertentu sehingg mencemari lingkungan (pencemaran) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum lingkungan;

Rumusan tentang delik lingkungan diatur dalam pasal 22 UULH-pasal 41-44 UUPLH yang mana unsur-unsurnya terdiri dari:

Barangsiapa Dengan sengaja atau karena kelalaiannya Perbuatan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau Perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup Diatur dalam UU ini Diatur dalam UU lain

Pengertian barangsiapa mengandung makna orang per orang atau badan hukum. Mengenai rumusan tindakannya dalam UULH dibedakan menjadi dua yaitu kesengajaan ataukah kelalaian yang kemudian dikualisir lagi ke dalam kejahatan ataukah pelanggaran. Rumusan pasal 41 dan 42 UUPLH adalah termasuk delik materiil, sedangkan rumusan pasal 43 dan 44 adalah delik formil. Delik lingkungan di bidang perindustrian termasuk delik formil. Baik materiil maupun formil sangat menentukan pada penyajian alat-alat bukti yang diperlukan. 8.2. Alat-alat bukti dan Hubungan Kausal Penyajian alat bukti pada delik lingkungan khususnya yang terkualisir sebagai delik materiil adalah sangat dibutuhkan dalam rangka menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal atas

perbuatan pencemar dengan korban akibat pencemaran lingkungan tersebut. Pembuktian adanya hubungan kausal dalam kasus lingkungan sangat sulit dibuktikan, oleh karena itu disamping adanya asas praduga tak bersalah dikenal pula asas praduga hubungan kausal (presumption of causa ) Salah satu negara yang telah menerapkan itu adalah Jepang. Pendekatan yang diapakai lebih kearah pendekatan administratif dibanding dengan pendekatan paksaan. 8.3. Dapatkah Badan Hukum Dipidana? Konsep subyek hukum mengalami perkembangan bukan hanya perorangan melainkan badan hukum. Terhadap tindak pidana khususnya delik lingkungan yang dilakukan oleh badan hukum pun terdapat mekanisme untuk mempertanggung jawabkannya. Pasal 22 UULH tidak mengatur secara gamblang tentang tindak pidana yang dilakukan oleh orporasi sehingga sangat lemah penegakan hukumnya. Oleh karena bahwa tentang pertanggung jawaban korporasi haruslah dirumuskan secara tegas di dalam ketentuan UU. Dan UUPLH melalui pasal 45-46 telah menyempurnakan hal itu. 8.4. Dapatkah Penguasa Dipidana? Peran penguasa dalam pengelolaan lingkungan sangatlah menojol misalnya untuk menetapkan kebijakan, BML, AMDAL, Perizinan dll. Penguasa memiliki peranan dalam mengambil tindakan pemerintah. Ketentuan dalam peraturan tentang lingkungan membuka penerapan sanksi perdata. Adapun terhadap penguasa sebagai pelaku tindakan pemerintah bisa dikenai sanksi administratif bilamana telah melanggar ketentuan UU dan AUPB dalam mengeluarkan sebuah KTUN. Oleh karenanya mekanisme berperkaranya adalah di PTUN. Adapu di samping itu pula, secara pribadi pejabat pemerintah bisa lah dikenai sanksi pidana bila terbukti melakukan delik lingkungan.Berdasarkan pasal 8, 9 dan 10 UULH-pasal 8-10 UUPLH penguasa tidak dipidana selama melaksanakan tugas dan wewenangnya bila terjadi perusakan dan atau pencemaran lingkungan. 8.5. Ketentuan tentang Ancaman Pidana dalam Peraturan Per Undang- Undangan Lingkungan Menurut ketentuan pasal 23 UULH-pasal 50 UUPLH diberlakukan pula ketentuan peraturan yang beraneka ragam dewasa ini. Ada yang lebih berat sanksinya namun juga ada yang lebih ringan. Misalnya ketentuan pasal 202 KUHP ketentuan pidana bagi yang mencemari lingkungan sumur lebih berat daripada ancaman pidana pada pasal 22 UULH maupun pasal 41-44UUPLH. Sebaliknya terdapat ancaman lebih rendah pula apa yang diatur dalam pasal 15 UUPA. Ketentuan Sanksi dalam pasal 41-44 UUPLH menghendaki adanya sanksi kumulatif yaitu menggunakan kata dan. Terhadap peraturan per UU an yang ada maka rentan terjadi konflik norma. Baik secara vertikal maupun Horizontal. Untuk mengatasi hal ini maka diterapkanlah asas preferensi hukum.

Ketentuan pasal 22 UULH hanyalah berupa pidana pokok, tidak sampai pidana tambahan sebagaimana pasal 10 KUHP. Namun juga terdapat pula ketentuan peraturan lingkungan yang menerapkan sanksi pokok sekaligus tambahan, misalnya UU TPE. Terlepas dari itu yang terpenting adalah optimalisasi peranan jaksa sebagai penyidik. Tentang pidana tambahan dalam UUPLH diatur dalam pasal 48. Di samping itu diatur pula keadaan memaksa sebagaimana diatur dalam pasal 49 UUPLH. Sanksi Pidana dalam penegakan hukum lingkungan peranannya juga sangatlah penting disamping adanya ketentuan sanksi administrasi.

Anda mungkin juga menyukai