Anda di halaman 1dari 8

Asbb al-Nuzl adalah suatu istilah yang sangat mapan di dalam kajian Islam, karena ia merupakan topik yang

selalu dibicarakan oleh para ulama. Asbb, jamak dari sabab, artinya sebab, dan nuzl artinya turun, dalam hal ini yang dimaksud ialah turunnya firman Allah s.w.t. Dan turunnya firman itu bisa dalam bentuk satu ayat, bisa juga dalam satu surat, terutama jika surat itu pendek seperti surat-surat pada bagian terakhir mushhaf kita yaitu Juz 'Amma, yang umumnya turun sekaligus. Hal yang sangat menarik dan penting kita perhatikan di balik dari konsep Asbb al-Nuzl adalah suatu pengakuan bahwa setiap wahyu itu memiliki konteks. Artinya, wahyu tidak turun entah dari mana, akan tetapi selalu dikaitkan dengan situasi konkret menyangkut pengalaman Nabi Muhammad s.a.w. dan umat yang beliau pimpin. Oleh karena itu kalau kita perhatikan ada beberapa firman Allah s.w.t. yang sangat ad-hoc atau sangat spesifik. Tentu saja hal ini kemudian menimbulkan problem, yaitu di mana letak klaim bahwa sebuah firman itu universal. Sedangkan dalam bahasa filsafat, universal berarti bahwa sesuatu itu tidak tergantung pada ruang dan waktu. Memang ada keyakinan bahwa ajaran Islam itu universal namun turunnya kepada Nabi bersifat kontekstual. Problemnya adalah bagaimana kita melakukan generalisasi terhadap suatu firman sehingga bisa mengatasi situasi konkretnya dan menjadi suatu pengertian yang umum. Di sinilah peran 'ibrah atau "penyeberangan". Maksudnya, ada suatu ungkapan tertentu yang baik dari segi bahasa maupun konteksnya spesifik, akan tetapi sebetulnya di balik ungkapan spesifik itu bisa ditarik pengertian umum, yaitu melalui proses 'ibrah tadi. Melalui proses itulah ditarik suatu "general understanding" dan "general norm". Dan itu kadang-kadang tidak mudah. Tetapi sebaliknya kita juga harus mengakui kenyataan bahwa setiap firman itu punya konteks. Karena itu sudah ada ide-sejak dari zaman Imam Syafi'ibahwa suatu firman yang tergantung pada suatu konteks berarti bahwa kita harus melaksanakannya dalam konteks lain dan dalam bentuknya yang lain. Yang jelas-jelas punya konteks ialah masalah hukum. Diakui secara terang-terangan oleh para ahli hukum Islam dan ahli fiqh bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Biasanya kalau dikatakan seperti itu, yang segera tertangkap oleh kita ialah: kalau begitu hukum bisa diubah-ubah menurut ruang waktu dan tempat. Sebetulnya idenya bukan begitu. Tetapi ada suatu nilai umum (nilai general) yang akan bertahan terus dan itu berlaku untuk setiap waktu dan tempat. Akan tetapi aplikasi konkritnya akan menyangkut proses-proses dan struktur-struktur yang khusus yang tidak sama dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu waktu ke waktu yang lain. Untuk bisa mengetahui konteks sebuah firman itu para ulama kemudian meneliti Asbb alNuzl yang menghasilkan kitab-kitab mengenai sebab-sebab turunnya ayat al-Qur'n. Ada contoh firman Allah yaitu: "Milik Allah timur dan barat: ke mana pun kamu berpaling, di situlah kehadiran Allah. Allah Mahaluas, Mahatahu" (Q., s. al-Baqarah/2:115). Apa sebab turunnya firman ini, ada beberapa versi. Karena Asbb al-Nuzl itu tidak tercantum dalam alQur'n sendiri, maka berita atau pengetahuan tentang Asbb al-Nuzl itu sama dengan hadts, yaitu menurut penuturan orang-orang yang kebetulan menyaksikan. Tetapi karena sama

dengan hadts, maka terjadi banyak versi. Misalnya versi-versi mengenai ayat di atas tadi. Ada yang mengatakan bahwa ayat itu turun karena suatu saat Nabi kedatangan beberapa orang yang baru saja menyelesaikan perjalanan akan tetapi perjalanan itu ditempuhnya di waktu yang gelap (mungkin gelap di situ maksudnya tidak hanya malam, bisa juga tidak ada matahari atau mendung), sehingga ketika mereka akan sembahyang mereka tidak tahu persis ke mana harus menghadap. Maka mereka datang kepada Nabi, dan kemudian turun firman tadi yang seolah-olah Allah menegaskan bahwa menghadap ke mana saja itu sama, sebab Tuhan itu ada di mana-mana. Itu satu versi. Versi yang lain ialah: Ketika Najasi (Negus, Raja Abesinia, Ethiopia) meninggal, Nabi meminta kepada sahabat-sahabat beliau untuk sembahyang jenazah baginya. Lalu ada yang protes di kalangan para Sa-habat, "Wahai Nabi, meskipun Najasi itu berjasa besar bagi kita, tetapi dia orang Kristen, dan orang Kristen itu ka-lau sembahyang kiblatnya tidak sama dengan kita." Kemudian turun ayat tadi, "ke mana pun kamu berpaling, di situlah kehadiran Allah. Allah Mahaluas, Mahatahu" (Q., s. al-Baqarah/2:115). Kalau versi ini benar, maka ada dua hal yang sangat penting. Pertama, ternyata sembahyang jenazah untuk orang yang beragama lain yang berjasa itu boleh menurut versi pertama (meskipun dalam istilah fiqh ini disebut "syard", artinya pendapat yang agak eksentrik). Yang kedua, ada indikasi bahwa sebetulnya orang menempuh agama apa pun asalkan tulus itu boleh, yang tentu saja lebih eksentrik. Tetapi yang jelas versi ini ada. Kemudian ada versinya Abdullah ibn Umar yang paling ringan, yaitu bahwa ayat ini turun sebagai pembenaran terhadap orang-orang Islam yang suka beribadat di semua tempat, termasuk di atas kendaraan (yang pada waktu itu adalah unta). Karena berada di atas kendaraan maka mereka tidak bisa menghadap kiblat secara tepat, maka konklusinya adalah sembahyang sunnat itu bisa dilakukan menghadap ke mana saja. Itu fiqh. Tetapi kalau sembahyang wajib sedapat mungkin menghadap Ka'bah. Itu pun kalau bisa. Kalau tidak, menghadap ke mana saja tidak apa-apa. Oleh karena itu ada seorang ahli fiqh mengatakan bahwa kalau pesawat haji menuju Makkah atau sebaliknya pulang dari Makkah dan waktu sembahyang pilotnya diminta supaya mengarahkan "hidung" pesawat ke Ka'bah, itu terlalu berlebihan. Apalagi dalam al-Qur'n sebetulnya yang dituntut ialah arah ke al-Masjid alHaram, jadi tidak perlu persis. Maka banyak ulama, termasuk Ibn Taymiyah, tidak setuju dengan menggunakan Ilmu Bumi matematis untuk menunjukkan kiblat atau Ka'bah (seperti yang menjadi obsesi Muhammadiyah). Karena setepat-tepatnya menghitung secara matematis akan tetapi menyeleweng sekian seperseratus derajat itu sudah tidak tepat ke arah Makkah. Karena itu Ibn Taymiyah mengatakan, "Orang yang ada dalam al-Masjid al-Haram, kiblatnya ialah Ka'bah; yang di luar al-Masjid al-Haram, kiblatnya ialah Masjid itu; yang di luar Makkah kiblatnya ialah Makkah itu; yang di luar Hijaz, kiblatnya ialah Hijaz." Jadi secara kasar saja, karena yang disebut di dalam al-Qur'n itu ialah "syatr-a 'l-Masjid-i 'l-Harm (ke arah Masjidil Haram)" (Q., s. al-Baqarah/2:149, 150).

Ketika Profesor Turgay dari McGill Institute of Islamic Studies, datang ke Indonesia dan menjadi tamu sebuah keluarga Muslim di sini, istrinya melihat orang sembahyang dengan sajadah yang di situ terdapat petunjuk Ka'bahnya, dia merasa heran. "Ternyata orang di sini menghitung Ka'bah dengan kompas, rupanya mereka mau persis, yah." Di Turki, sebagaimana yang dia lihat, memang tidak ada pikiran seperti itu. Kalau mau shalat mereka menghadap saja ke Selatan mengarah ke Saudi Arabia. Artinya bahwa secara persis menghadap kiblat itu sebetulnya tidak dianjurkan, yang diharapkan ialah agar kita menghadap ke Masjid al-Haram. Dan itu terutama untuk sembahyang wajib, sedangkan untuk sembahyang sunnat, menurut versi Abdullah ibn Umar, tidak perlu. Itulah contoh dari ide dasar dari apa yang disebut Asbb al-Nuzl. Maka kalau ada firman yang sangat spesifik, seperti menjawab atau menyelesaikan persoalan kiblat, dan kemudian bagaimana kita menariknya ke atas, bahwa kebaikan itu tidak tergantung pada formalitasformalitas, itulah nilai universalnya, dan itu yang dinamakan generalisasi. Banyak contoh yang lain lagi. Kalau ada nama orang yang masuk di dalam al-Qur'n, maka itu bisa kita hitung, misalnya Nabi Muhammad, beliau bahkan menjadi nama surat yaitu surat Muhammad; lalu Abu Lahab, Zayd, dan lain-lain. Nama mereka menjadi abadi sepanjang masa gara-gara suatu persoalan, lagi-lagi kalau dilihat dari kasusnya itu sangat spesifik, meskipun dari segi nilainya universal. Ada firman Allah s.w.t. mengenai perceraian Zayd dengan Zaynab. Zayd ialah anak angkat Nabi sehingga namanya juga Zayd ibn Muhammad, tapi sebetulnya bukan putra beliau sendiri, melainkan putra seorang sahabat yaitu Haritsah. Dia itu bekas budak lalu dibebaskan dan diangkat sebagai anak oleh Nabi. Dan dia ini orang hitam. Tetapi agama Islam tidak mengenal rasialisme, sehingga Nabi pun mengangkatnya sebagai anak. Karena Nabi sangat sayang kepada anaknya itu, maka dengan sendirinya pada waktu dia sudah dewasa dikawinkan, yaitu dengan Zaynab, seorang putri yang cantik dari seorang bangsawan Quraysy. Sebetulnya sejak dari semula Zayd merasa minder. Karena itu dia tidak sepenuh hati menerima pernikahannya dengan Zaynab. Nabi pun mewanti-wanti agar dia mempertahankan Zaynab, tetapi toh akhirnya cerai juga. Di sini ternyata al-Qur'n ikut campur atas perceraian Zayd dari Zaynab ini, yaitu bahwa kemudian Allah s.w.t. melalui firmannya mengumumkan bahwa Zaynab bekas istri Zayd, putra angkat Nabi itu, dinikahkan dengan Nabi. " arti " (Q., s. al-Ahzb/33:37). Bayangkan itu! Penduduk Madinah gaduh demi mendengar berita tersebut. Dan firman itu turun antara lain untuk meredakan kega-duhan tersebut. Dari segi Asbb al-Nuzl-nya firman itu sangat spesifik, yaitu soal Zaynab dan Zayd, akan tetapi pesan yang diberikannya universal, yaitu pembatalan praktik anak angkat dengan konsekuensi hukum anak biologis. Jadi ada konteks yang khusus, tetapi ada pesan yang universal. Dulu para orientalis selalu memandang peristiwa itu sebagai skandal. Menurut mereka, Nabi menyalahgunakan al-Qur'n untuk bisa menikah dengan bekas menantunya. Tetapi sekarang,

termasuk Montgomary Watt, misalnya, mengatakan dengan cara yang sangat simpatik bahwa untuk membuat pesannya efektif, al-Qur'n selalu mengaitkannya dengan konteks yang konkret, sehingga sekaligus bisa terlaksana, dan karena terlaksana, maka pesan itu menjadi permanen atau tercetak pada satu bidang. Sebab ide mengenai pengangkatan anak itu sangat umum di kalangan orang Arab, dan mengancam kekacauan hubungan biologis, karena kalau seorang anak diangkat tanpa diberitahu siapa bapak dan ibunya, ada resiko kawin dengan saudaranya sendiri. Mengangkat atau mengadopsi anak itu sangat dianjurkan dalam agama Islam, akan tetapi tidak boleh menganggap anak itu seperti anak biologis. Jadi harus diberi tahu siapa ayah dan ibu biologisnya yang sebenarnya supaya dia tahu siapa saudara biologisnya. Apalagi ada pendapat bahwa kawin dengan saudara biologis itu tidak baik untuk kesehatan, ada resiko cacat, badannya lemah, dan sebagainya. Artinya, kalau kita mengangkat anak tanpa memberi tahu siapa bapak dan ibu biologis yang sebenarnya, ia bisa kawin dengan saudaranya sendiri. Selain ulama yang memang mendukung konsep Asbb al-Nuzl, ada juga ulama yang beranggapan bahwa Asbb al-Nuzl tidak menjadi pertimbangan yang sangat penting karena ia hanyalah memberi konteks turunnya suatu pesan yang universal dan dikaitkan dengan suatu peristiwa yang khusus. Oleh karena itu dalam analisa terakhir Asbb al-Nuzl menjadi tidak begitu penting, meskipun untuk bisa memahami lebih tepat sebagaimana diusahakan oleh para ulama, kita harus tahu Asbb al-Nuzl itu, seperti contoh soal Zayd dan Zaynab tadi. Masalah kawinnya Zayd dengan Zaynab dan kemudian cerai itu soal yang sudah lewat, tetapi pesannya yang harus diperhatikan yaitu bahwa praktek mengangkat anak itu tidak boleh diteruskan. Kira-kira begitu. Memang ada ulama yang sama sekali tidak mengakui peranan Asbb al-Nuzl. Tetapi tampaknya ulama yang tidak mengakui ini akan mengalami problem bagaimana menafsirkan sebuah firman Allah s.w.t. menurut sebabnya. Karena menurut kenyataannya firman itu mempunyai konteks yang kadang-kadang tidak perlu lagi menunggu berita seperti hadts akan tetapi sudah termuat di dalam bunyi firman itu sendiri seperti bunyi ayat "'abasa watawall" (Q., s. 'Abasa/80:1), yang jelas-jelas menunjuk konteks ketika Nabi menerima seorang buta dan miskin dan kemudian beliau mengabaikannya. Misalnya lagi bunyi firman "tabbat yad ab lahab-in watabb-a" (Q., s. al-Lahab/111:1), yaitu dalam konteks peristiwa Nabi dengan pamannya Abu Lahab. Dan lain-lain. Oleh karena itu mempelajari Asbb alNuzl terutama dalam konteks kesadaran historis, kalau ditarik pada tingkat yang lebih luas yaitu memahami konteks kultural dari pesan al-Qur'n, jelas sangat penting.

Artikel Kedua TUJUAN HUKUM ADALAH KESEJAHTERAAN UMUM Kita mengetahui adanya Asbb al-Nuzl sebuah firman dalam al-Qur'an, paling gampang dari pembukaan ungkapan kalimatnya. Kalau ungkapan kalimatnya mengandung unsur dialog, maka pasti itu ada unsur sebab tertentu. Misalnya firman dalam surat al-Anfl,

"yas'alnaka 'an-i 'l-anfl (Mereka bertanya kepadamu tentang [pembagian] rampasan perang)" (Q., s. al-Anfl/8:1). Firman itu diturunkan setelah ada pertanyaan kepada Nabi, "Wahai Nabi, sekarang kita sudah punya harta rampasan perang, akan kita apakan harta ini?" Kemudian surat al-Tahrm yang merupakan teguran kepada Nabi sebab Nabi mengharamkan sesuatu yang halal (baca: madu), hanya karena ingin menjaga perasaan istrinya saja. Lalu ditegur oleh Tuhan; "Hai Nabi mengapa kau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah?" (Q., s. al-Tahrm/66:1). Maka nama surat itu menjadi al-Tahrm, yang artinya pengharaman. Hal-hal seperti itu akan melahirkan sesuatu yang dalam bahasa fiqh disebut demikian: "Penarikan kesimpulan itu berdasarkan keumuman dari pernyataan, tidak berdasarkan kekhususan dari sebabnya." Misalnya konteksnya ialah Zayd dan Zaynab, akan tetapi pernyataannya umum yaitu, "Supaya tidak ada halangan bagi kaum beriman untuk kawin dengan bekas istri anak-anak angkatnya." Ini yang dinamakan 'umm-u 'l-khud (pernyataan yang bersifat umum), yang dalam kaitan dengan firman Allah itu, sebetulnya dikaitkan dengan peristiwa Zayd dan Zaynab, disebut khushsh-u 'l-sabab (sebab-sebab khusus). Penarikan kesimpulan yang harus mengindahkan 'umm-u 'l-khud itu kadang-kadang mudah, tetapi kadang-kadang juga sulit yaitu kalau kita dituntut untuk membuat generalisasi yang betul-betul umum. Misalnya, kita biasa menulis formulir dalam kolom agama dengan Islam. Itu adalah suatu agama dari agama dan di situ ada asosiasi sosiologis. Tetapi Islam yang dalam perkataan 'Islam' itu sendiri bisa mencakup semua agama para Nabi (dinamakan generalisasi yang kalau bisa mencapai tingkat yang cukup tinggi maka dia bisa berlaku untuk semuanya meskipun secara lafalnya tidak ada). Misalnya al-Qur'n mengatakan bahwa Nabi Isa itu Muslim, dan bahwa al-Hawryn (sahabat-sahabat Nabi Isa) itu Muslim, karena alQur'n mengatakan, "Setelah Isa menyadari akan kekafiran mereka ia berkata: 'Siapakah yang akan menjadi pembelaku di jalan Allah?' Para murid (al-Hawryn) berkata: 'Kamilah pembela-pembela Allah: kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami orangorang yang tunduk (Muslim)'." (Q., s. lu 'Imrn/3:52). Sebetulnya kalau ini kita terjemahkan, "Kami ini orang-orang Muslim," itu menjadi spesifik karena asosiasinya seperti kita (Muslim). Tetapi kalau kita terjemahkan menurut makna generiknya (makna etimologinya), "Dan saksikanlah olehmu wahai Isa bahwa kami ini adalah orang-orang yang pasrah kepada Allah." Atau "dan saksikanlah bahwa kami orangorang yang tunduk." Maka kata "Islam" atau orangnya "Muslim," di sini merupakan makna generik (umum). Jadi kalau semua agama disebut agama Islam, sebetulnya tidak lain adalah agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan, walaupun tidak bernama agama Islam. Kemudian masalah hukum. Kita angkat contoh mengenai tindakan 'Umar yang banyak sekali melakukan sesuatu yang sepintas lalu seperti tidak cocok dengan al-Qur'n. Akan tetapi banyak ulama mengatakan bahwa 'Umar berbuat itu karena ia sanggup menangkap pesan umum dari hukum-hukum itu, dan kemudian melaksanakan menurut konteks ruang dan waktunya. Ada yang keras tetapi ada juga yang lebih ringan. Misalnya, ketika terjadi paceklik lalu ada pencurian, kemudian pencurinya dibawa kepada 'Umar untuk dihukum (pada waktu

itu hukumnya potong tangan), tetapi 'Umar menolak menghukum potong tangan. Alasannya karena musim paceklik. Mungkin orang terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Malah 'Umar pernah mengancam, "Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar!" Banyak contoh seperti itu. Karena itu ada istilah dalam Islam yaitu "al-Mashlahah al-'mmah" atau kepentingan umum. Kepentingan umum ini menjadi suatu ide yang cukup dominan di dalam agama Islam, karena semua hukum Allah itu mempunyai alasan atau yang disebut 'illat (rasio-legis) serta filsafatnya tentang apa sebabnya hukum itu ditetapkan. 'Illat atau rasio-legis itu kalau dipahami kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa setiap hukum itu mempunyai tujuan untuk kesejahteraan umum. Ini yang harus ditangkap lebih dulu. Dan 'Umar pandai sekali menangkap itu. Karena kebaikan umumnya begini, maka belum tentu hukum harfiahnya seperti itu. Juga, karena Asbb al-Nuzl tadi. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa 'Umar ibn Khaththb pernah mendapat surat dari seseorang yang bernama Khusaifah, yang memberi tahu bahwa dia telah kawin dengan seorang perempuan Yahudi. Yang menarik adalah bahwa Khusaifah itu sahabat Nabi yang pasti tahu bahwa sebetulnya al-Qur'n membolehkan kawin dengan Ahl al-Kitb perempuan Kristen ataupun Yahudi, yang nanti diperluas menjadi juga meliputi perempuan Zoroaster. Dia tahu tetapi masih minta pendapat Umar. Itu berarti bahwa selalu ada kemungkinan pemimpin masyarakat waktu itu (atau sebut saja penguasa), punya pendapat lain sesuai dengan konteksnya. Dan ternyata memang demikian. 'Umar tidak setuju. Dalam balasan suratnya 'Umar mengatakan, "Surat ini jangan kamu lepaskan sebelum kamu melepaskan perempuan itu." Maksudnya jelas dia disuruh bercerai. Alasan 'Umar ialah bahwa dia takut para laki-laki Muslim akan meniru jejak Khusaifah yaitu kawin dengan perempuan Kristen maupun Yahudi. Mengapa 'Umar harus khawatir? Kita mengetahui bahwa sampai dengan tiga abad sebetulnya Timur Tengah itu hanya pemerintahnya saja yang Islam, tapi masyarakatnya masih Kristen. Jadi ada suatu lapisan elit yang tipis sekali yang terdiri dari orang Arab berbahasa Arab dan Muslim yang menjadi penguasa, tetapi masyarakatnya Kristen. Dan kalau laki-laki Muslim dibiarkan kawin dengan perempuan Kristen dikhawatirkan perempuan Muslim tidak "kebagian," karena jauh lebih banyak perempuan Kristen dan Yahudi. Begitulah kira-kira alasan 'Umar waktu itu. Di tempat lain 'Umar menegaskan bahwa, "Saya tidak mengatakan itu haram, tapi saya tidak setuju." Jadi pada prinsipnya al-Qur'n tetap membolehkan atau menghalalkan. Malahan 'Utsman pun mempunyai istri yang beragama Kristen. Oleh karena itu sebetulnya ada satu kaidah umum bahwa tindakan pemerintah harus mengikuti kepentingan umum (kadangkadang boleh menunda sesuatu untuk tidak dilaksanakan kalau kepentingan umum menghendaki). Dan meskipun 'Umar sudah mempunyai pendapat seperti itu, tetapi karena dia tetap mengatakan bahwa sebetulnya boleh maka akhirnya para sahabat Nabi masih banyak yang memperistri orang-orang Yahudi dan Kristen.

Mengapa orang-orang Arab itu begi-tu gampang campur dengan penduduk setempat di mana pun mereka berada? Tidak lain karena tradisi sejak zaman sahabat yang membolehkan kawin dengan siapa saja. Memang kemudian ada hal-hal yang perlu diperhatikan misalnya sejauh ini fiqh mengatakan bahwa yang boleh kawin dengan agama lain itu ialah orang laki-laki (kawin dengan perempuan Kristen dan Yahudi). Tetapi orang yang berpegang kepada rasiolegis, yaitu bahwa laki-laki Muslim boleh kawin dengan perempuan Kristen dan Yahudi karena menurut konteks zamannya bahwa yang dominan menentukan (agama anak dan sebagainya) adalah laki-laki, sekarang ini tentu bisa berpandangan sebaliknya. Sebab sekarang ini perempuan juga menentukan. Itulah salah satu konsekuensi dari ide rasio-legis (yaitu ide 'illat hukum). Orang yang menangkap rasio-legis tidak akan menjadi dogmatis, melainkan melihat dulu bagaimana persoalannya, kemudian diselesaikan menu-rut persoalannya itu. Tetapi kita mengetahui bahwa suatu ide, untuk mengalami sosialisasi, juga memerlukan proses. Kesulitannya timbul di tingkat ini.

Teori Naskh Manskh dan Kesadaran Historis Ada satu teori yang cukup kontroversial akan tetapi sangat umum dianut oleh para ulama yaitu Naskh-Manskh, yang artinya bahwa suatu firman bisa saja terhapus hukumnya atau tidak berlaku lagi karena sudah dihapus oleh firman yang lebih kemudian. Banyak sekali perbedaan pendapat, mana firman yang dihapuskan dan mana firman yang menghapus, apakah bisa suatu firman dalam al-Qur'n dihapus oleh hadts, dan sebaliknya. Kalau hadts dihapus oleh firman Allah dengan sendirinya logis, karena hirarkinya lebih tinggi. Tetapi kalau firman Allah dihapus oleh hadts itu tidak bisa. Teori Naskh-Manskh itu menunjukkan adanya kesadaran historis bahwa hukum itu mempunyai konteks historis (konteks ruang dan waktu). Dan itu yang harus kita hidupkan kembali. Itu pula yang kemudian oleh Imam Syafi'i dijadikan titik tolak untuk merumuskan apa yang disebut sebagai kaidah Ushl Fiqh. Dalam hal ini Marshal Hodgson pernah mengatakan bahwa kesadaran historis umat Islam itu unik sekali sehingga juga merupakan tumpuan harapan dari kemungkinan umat Islam tampil kembali untuk bisa menjawab tantangan zaman, karena sudah terbiasa berpikir historis. Para mubaligh sering mengatakan bahwa Islam itu cocok untuk segala zaman dan tempat, ruang dan waktu, tetapi mereka tidak tahu persis apa makna sebenarnya dari ungkapan tersebut. Imam Syafi'i membawa ke depan kepada kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya Nabi Muhammad sendiri ketika ia menekankan pemahaman al-Qur'n secara benar-benar konkret dalam interaksi-interaksi historisnya dengan kehidupan Nabi Muhammad dan masyarakat beliau. Maka di antara pemikir Islam yang pertama kali dengan serius dan dengan otoritas kesarjanaan meneliti apa konteks sebuah firman dalam kehidupan Nabi dan para sahabat yang kemudian menghasilkan teori Asbb al-Nuzl itu adalah Imam Syafi'i. Imam Syafi'i

melakukan itu memang tanpa ketepatan dalam sejarah tertentu, tetapi itu bukanlah maksudnya semula. Dan meskipun oleh kaum Muslim kemudian hari menjadi kajian yang jujur tentang kenyataan sejarah masa lalu Islam ditukar dengan gambaran periodetikal dan balance namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan keagamaan. Artinya, kita harus tahu latar belakang historisnya.

Anda mungkin juga menyukai