Anda di halaman 1dari 34

Journal Reading

TERAPI ANTIOKSIDAN: SEBUAH PENDEKATAN FARMAKOLOGI BARU DALAM SHOK, INFLAMASI, DAN ISKEMIA/INJURI REPERFUSI

Oleh : Freddy Ferdian Chichi Februwati G 0007073 G 0006190

Pembimbing : dr. Purwoko, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTHESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2011

ABSTRAK Banyak bukti tidak langsung yang melibatkan radikal bebas turunan oksigen (terutama superoksida dan radical hidroksil) dan oksidant energi tinggi (seperti peroxinitrit) sebagai mediator inflamasi, shok, dan iskemia/injuri reperfusi.tujuan dari riview ini untuk mendeskripsikan perkembangan di bidang riset oksidatif stress. Bagian awal dari review ini fokus pada peran dari reactive oxygen species (ROS) pada shok, inflamasi, dan iskemia/injuri reperfusi. Bagian kedua dari review ini membahas penemuan baru menggunakan identifikasi farmakologi terkini (seperti peroxynitrite decomposition catalyst dan selektif superoksida dismutase mimetik (SODm) pada shok, inflamasi, dan iskemik/injuri reperfusi. 1) Peran dari ROS terdiri dari bukti imunohistokemikal dan biokemikal yang mendemonstrasikan produksi dari ROS pada shok, inflamasi, dan iskemia/injuri reperfusi. ROS dapat menginisiasi sebuah reaksi toksik oksidatif yang luas. Hal ini termasuk inisiasi dari lipid peroksidase, inhibisi direk dari rangkaian enzim respirasi mitokondria, inaktifasi dari gliceraldehid 3 fosfat dehidrogenase, inhibisi aktuvutas membran Na/K ATPase, inaktivasi dari saluran Na membran, dan modfikasi oksidatif lain dari protein. Sluruh toksisitas ini sangat mungkin untuk berperan dalam patofisiologi shok, inflamasi, dan iskemik/injuri reperfusi. 2) Terapi dengan peroxynitrite decomposition catalyst, yang menghambat peroxynitirte secara selektif, atau dengan SODm, yang me-mimik efek secara selektif aktivitas dari enzim human superoxide dismutase, menunjukan pencegahan in vivo dekompensasi vaskular delay dan kegagalan energetik dari seluler yang berkaitan dengan shok , inflamasi, dan iskemik/ injuri reperfusi. ROS (misalnya: superoksida, peroksinitrit, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida) semuanya adalah reaktan potensial yang dapat menginisiasi pemisahan DNA single strand, dengan aktivitas lanjutan dari enzim nukleus poli (ADP-ribose) sintetase, menuju pada keadaan deplesi energi berat dari sel dan kematian sel tipe nekrosis. Terapi antioksidan menghambat aktivitas dari poli (ADP ribose) sintetase dan mencegah organ injuri berkaitan dengan shok, inflamasi, dan iskemia/reperfusi. I. A. Introduksi Radikal Oksigen Suatu radikal bebas didefinisikan sebagai suatu atom atau molekul yang mempunyai elektron tidak berpasangan. Molekul oksigen, O2 adalah suatu biradikal dengan dua elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas turunan oksigen adalah superoksida anion (O 2-), perhidroksil radikal (protonated superoxide, HO2-), radikal hidroksil (HO.), dan radikal bebas nitrit oksida (NO.). Reduksi satu elektron dari oksigen (misalnya penambahan satu elektron

pada oksigen molekul) menghasilkan pembentukkan O2-. (dikenal juga sebagai radikal superoksida), sedangkan reduksi dua elektron oksigen, jika terprotonasi penuh, membentuk hidrogen peroksida (H2O2). Jenis ketiga dari oksigen teraktivasi, dikenal sebagai oksigen singlet, dikenal sebagai kontributor yang mungkin pada mahkluk hidup. Singlet oksigen adalah keadaan elektron-spin berpasangan dioksigen berenergi tinggi yang kira-kira memiliki energi 1 eV lebih tinggi daripada keadaan awal ( ground-state) oksigen triplet dan mampu mengoksidasi banyak molekul biologi. Akhirnya, produk reduksi tambahan dari oksigen, HO., adalah yang paling reaktif dan paling tidak selektif dari semua agen radikal oksi pengoksidasi. Awalnya dipercaya jika toksisitas yang disebabkan oleh radikal superoksida disebabkan oleh interaksi langsung antara superoksida dan target biologi. Kini jelas bahwa banyak efek jaringan terhadap O2- dihasilkan dari pembentukan sekunder dari radikal oksigen yang lain disamping reaksi direk dari superoksida (atau asam konjugasinya) pada target biologi, seperti lipid-lipid (Aikens and Dix, 1991; Dix and Aikens, 1993), catecholamines (Misra and Fridovich, 1972; Heikkila and Cohen, 1973; Rao and Hayon, 1975; Macarthur et al., 2000), dan DNA (Dix et al., 1996). Superoksida pada media aqueous menghasilkan reaksi spontan second-order dengan sendirinya, reaksi dismutase yang menghasilkan satu molekul tiap H2O2 dan oksigen (lihat reaksi 1, tabel 1) pada reaksi yang relatif lambat dalam pH 7,4 (laju konstanta second-order adalah 104,5) dibandingkan dengan laju pada superoksida atau HO2- dapat mengambil sebuah atom H dari target biologi seperti katekolamin atau allylic CH pada lipid yang mana laju konstanta second-order melebihi 107.

Walaupun dismutasi akan terjadi spontan pada pH fisiologis dalam konsentrasi tinggi superoksida, konsentrasi dari superoksida mendekati 10 M (fisiologis) karena reaksi sendiri melambat dan lifetime-nya memanjang menjadi beberapa detik. Akibatnya, alam telah mengubah kelas enzim-enzim superoksida dismutase (SOD2) untuk menghilangkan radikal bebas biproduk dari metabolisme oksigen. Enzim-enzim ini dapat bereaksi cepat terhadap superoksida (laju mendekati atau melebihi 109) dan dismutase radikal pada produk nonradikal, O2 dan H2O2, lebih cepat daripada superoksida dapat bereaksi dengan target

biologis potensial lainnya. Waktu paruh yang pendek sebaiknya tidak disalahinterpretasikan sebagai mitigasi reaktivitas potensial O2- karena waktu paruh sebenarnya cukup lama berkaitan dengan fenomena koefisien difusi dari radikal. Mengingat superoksida dapat berinteraksi dengan berbagai target molekul biologi, reaksi dengan enzim secara nyata dapat menghentikan produksi superoksida menjadi H2O2 dan oksigen. Karenanya, dipercayai bahwa keberadaan in vivo dari enzim aktif SOD yang tinggi akan meningkatkan konsentrasi lokal dari H2O2. Oksi radikal yang paling reaktif adalah HO2-. Diperkirakan beberapa tahun lalu bahwa zat ini dapat dibentuk dari interaksi O2- dan H2O2 melalui proses kimia yang dikenal sebagai reaksi Haber-Weiss (reaksi 2, tabel 1). Meskipun studi detail menunjukkan reaksi ini tidak dapat terjadi pada kondisi fisiologis. Sebuah penjelasan alternatif, yang kini diterima luas, menyebutkan bahwa sejumlah kecil ion-ion metal, terutama ion ferrous, bereaksi dengan H2O2 dalam reaksi Fenton terkatalasi besi untuk memproduksi radikal hidroksil. Normalnya, ion ferrous tidak ada in vivo, tetapi diproduksi oleh aksi superoksida pada ion ferric (reaksi 3 dan 4, tabel 1) yang terjadi pada protein-protein penyimpan besi. Ada perdebatan apakah ionion metal yang terikat protein (misalnya laktoferrin, hemoglobin, dan lain sebagainya) mengkatalisasi reaksi menjadi derajat yang besar. Pengukuran yang sensitif dari konsentrasi besi bebas dalam jaringan, seperti cairan sinovial, telah dilaporkan untuk menunjukkan konsentrasi yang cukup untuk mengkatalisasi reaksi 3 dan 4 pada sendi yang mengalami infalamasi. Akhirnya, perhatian tertuju pada apa yang disebut pembentukan hidroksi radikal spesifik lokasi (site-spesific) (Czapski et al., 1983), dimana sebuah ion besi berikatan dengan sebuah makromolekul mengkatalisasi pembentukkan HO. Pada lokasi sesungguhnya dari substrat dimana pembelahan berlangsung. Sebagai kesimpulan, toksisitas jaringan dari pembentukan superoksida jaringan nampaknya berasal dari reaktivasi direk dari sejumlah tipe molekul biologi (lipid, DNA, RNA, katekolamin, steroid, dan lain-lain) dan dari dismutase untuk membentuk H 2O2 dan reduksi konkomitan dari ion ferri dan ferrous; reaksi dari kedua produk ini menghasilkan radikal hidroksil yang sangat toksik yang mungkin dapat membelah ikatan kovalen pada protein dan karbohidrat, menyebabkan peroksidase lipid, dan kerusakan membran sel. Ada tiga strategi yang ada untuk detoksifikasi atau mencegah pembentukan dari radikal oksigen lokal: 1) mengirim SOD atau sebuah SODm pada area tersebut; 2) mengirim katalase atau peroksida scavenger, atau 3) kelasi (dan inaktivasi) sejumlah besi yang mengkatalis reaksi tersebut.

B.

Spesies Nitrogen NO. disintesis dari grup guanidino dari L-arginin oleh sekelompok enzim yang

disebut NO. sintetase (MOSs). Tiga isoform telah dijelaskan dan dikembangkan: endotelial sel NOS (ecNOS atau tipe 3), NOS otak/ brain NOS (bNOS, nNOS, atau tipe 1), dan tipe indusibel makrofag NOS (iNOS atau tipe 2). Semua isoform NOS ini dapat diinhibisi dalam derajat yang bervariasi oleh N-substituted L arginine analogs (misalnya N-metil L-arginin). Pembentukkan NO. berkaitan dengan penyatuan O2 ke dalam molekul. Semua isoform NOS tergantung pada NADPH dan calmodulin. Pada iNOS, calmodulin ada pada ikatan yang kuat, karena itu iNOS memproduksi NO. dengan cara yang lama pada kondisi cukup substrat (Geller and Billiar, 1998; Marletta, 1993; Stuehr, 1997). Banyak aksi biologis dai NO . dimediasi melalui sistem guanylyl cyclase/cyclic GMP (cGMP). NO ., sebuah molekul kecil yang lipofilik, berdifusi ke sel-sel yang berdekatan dan siap memasuki sitosol, dimana akan mengaktifkan soluble guanyl cyclase dengan berikatan dengan besi pada komponen hemenya, oleh karen itu mengeluarkan besi dari cincin porfirinnya. Peningkatan jumlah dari cGMP memicu reduksi dari konsentrasi kalsium dengan meningkatkan pengeluaran kalsium dan sekuesterasinya ke dalam penyimpanan intraseluler. Penurunan kalsium konsentrasi di intraseluler bertanggung jawab pada relaksasi vaskular dan otot polos nonvaskuler yang termediasi NO., inhibisi dari pelekatan dan aggregasi platelet, inhibisi kemotaksis netrofil, dan transduksi sinyal pada sistem saraf pusat dan perifer (Ignarro, 1991; Moncada et al., 1991; Dusting, 1995). Kini telah ditetapkan dengan baik bahwa NO . memiliki aksi tergantung cGMP tertentu. Efek sitotoksik dari NO . (dalam konsentrasi tinggi) meliputi inhibisi dari enzim-enzim besi-sulfur mitokondria, termasuk NADH: ubiquinon oksidoreduktase, NADH: suksinat oksidoreduktase, dan akonitase (Nathan, 1992). Aktivitas enzim-enzim tergantung cGMP dari NO., seperti cyclooksigenase, telah dijelaskan. Aksi ini mungkin berkaitan dengan reaksi NO. dengan pusat heme besi pada sisi aktif enzim enzim (Salvemini and Masferrer, 1996). NO. menginhibisi aktivitas enzim-enzim cytochrome P-450 (Khatsenko et al., 1993) NO. mungkin memodulasi transkripsi dan translasi gen: pada endotelial sel, hal ini mengaktifkan c-fos (Felley-Bosco et al., 1994), sedangkan di neuron hal ini mempotensiasi efek kalsium pada ekspresi gen berkaitan dengan promoter c-fos (Peunova and Enikolopov, 1993). Banyak kondisi-kondisi inflamasi berkaitan dengan produksi jumlah yang cukup besar dari NO., yang diproduksi oleh iNOS, pertama kali diidentifikasi dalam makrofag, dapat diekspresi dalam sel jenis apapun secara esensial. Walaupun ekspresi konstitutif dari iNOS telah terlokalisasi di ginjal, intestinum, dan epitel bronkial, iNOS diekspresikan terutama sebagai respon dari stimuli imunologikal dan memproduksi nanomole, dibandingkan

picomole, dari NO..sekali diproduksi pada konsentrasi lokal yang tinggi, NO. dapat bertindak sebagai molekul sitostatik dan sitotoksik bagi fungal, bakterial, helinthes, dan organisme protozoa, juga pada sel-sel tumor. Bakterial lipopolisakarida dan berbagai sitokin proinflamasi juga menginduksi ekspresi iNOS dalam jumlah sel-sel nonhematopoietik dan nonvaskuler (Nathan, 1992). iNOS memproduksi sejumlah besar NO . dalam waktu yang lama. Ekspresi dari iNOS didiatur baik di tingkat transkripsi dan di tingkat stabilisasi mRNA iNOS. Mekanisme induksi iNOS dapat dihambat oleh banyak agen, meliputi glukokortikoid, thrombin, makrofag, deaktivasi faktor, TGF-, platelet derivat growth factor, IL-4, 8, 10, dan IL-13. Induksi dari iNOS dapat berupa efek toksik maupun protektif, faktor-faktor yang tampak mendiktat keberlangsungan ekspresi iNOS meliputi tipe dari insult, tipe jaringan, tingkat dan durasi ekspresi iNOS, dan mungkin status redox jaringan. Banyak perhatian telah difokuskan pada toksisitas iNOS. Contohnya, induksi dari iNOS pada sel endothelial menghasilkan kerusakan endothelial (Palmer et al., 1992). Induksi dari iNOS telah menunjukkan penghambatan respirasi seluler pada makrofag dan otot polos vaskuler; proses ini menyebabkan disfungsi sel dan kematian sel. Proses seperti ini, ketika terjadi dalam sel otot polos vaskuler, memegang peran penting pada patogenesis dari hiporeaktivitas vaskuler dan dekompensasi vaskuler progresif terkait dengan berbagai bentuk shok sirkulasi (Szabo, 1995). Dalam perbandingan yang jelas, ekspresi iNOS di sel hati mensupresi endotoksin dan toksisitas yang diinduksi TGF- (Kim et al., 1997; Ou et al., 1997). Overekspresi dari iNOS oleh transfer gen juga membatasi lipopolisakarida (LPS) pada sel-sel endotelial (Tzeng et al., 1997). Pembentukan simulatan dari NO. dan O2- menambah produksi dari produk reaksi toksik, anion peroksinitrit (ONOO-)(Beckman et al., 1990), dan produk ini dapat terdiri dari efek-efek penghilangan terkait dengan produksi NO .. Reaksi pembentukan peroksinitrit ini telah menunjukkan difusi terkontrol (kobs= 6,7 x 109 M-1s-1), menginduksikan kompetisi dari NO. dengan SOD untuk superoksida dapat dibentuk (Huie & Padmaja. 1993) Beckaman mencatat bahwa produksi peroiksinitrit meningkat karena pangkat kuadrat dari prekursor ini . Bahkan, bentuk tertentu dari enzim SOD diinaktivasi oleh reaksi dengan peroksinitrit dan hal ini dapat menghasilkan umpan balik positif dengan pembentukan ONOO-(Ischiropoulos et al., 1992a; Beckman et al., 1994a). Karenanya, sangat beralasan untuk menyimpulkan bahwa overproduksi dari peroksinitrit dapat terjadi in vivo. Sekali dekat atau di dalam sel, ONOO- dapat merusak atau menghabiskan komponen vital (misal: DNA by strand scission (King et al., 1992; Groves & Mark, 1995, Groves et al., 1996), lipid oleh peroksidasi (Radi et al., 1991a; Rubbo et al., 1994), akonitase (gastro et al., 1994; Hausladen

dan Fridovich, 1994) dan availabilitas antioksidan (Van der Vlief et al., 1994; Vasquez Vivar et al., 1996). Bagian yang dipertimbangkan dari efek toksik NO . atau O2- sendiri sesungguhnya dapat dimodulasi oleh peroksinitrit (tabel 2). Hasil oksidatif stress dapat menyebabkan kematian sel dan kerusakan jaringan yang mengkarakterisasi sejumlah kondisi penyakit pada manusia, kelainan neurologi dan stroke , penyakit inflamasi usus, arthritis, shok toksik, dan akut injuri reperfusi. Nyatanya, studi saat ini menyebutkan peroksinitrit dan bukannya NO ., yang mungkin adalah jenis ultimate sitotoksik dalam beberapa kondisi (Gastro et al., 1994; Haus Laden & Fridovich, 1994; Szabo et al., 1996a).

Dalam sel-sel yang terekspose pada peroksinitrit eksogen atau pada senyawa yang secara simultan menghasilkan NO. dan superoksida, meningkatkan perubahan pada tingkat energetik seluler dan integritas DNA terjadi. Contohnya, pada sel pulmoner tipe II, inhibisi dari Natrium uptake oleh peroksinitrit telah dilaporkan ( Hu et al., 1994). Respirasi mitokondria diinhibisi oleh peroksinitrit di sel-sel neuron dan sel glia (Bolanos et al., 1995), dan kultur otot polos dari tikus (Szabo et al., 1996b). Walaupun penurunan aktivitas suksinat sitokrom c reduktase dan sitokrom c oksidasi ditemukan di neuron yang terekspos peroksinitrit, hanya sitokrom c oksidase yang terpengaruh peroksinitrit pada mitokondria yang terisolasi. Penemuaan ini menyarankan kontribusi dari jalur seluler sekunder dari toksisitas peroksinitrit (Bolanos et al., 1995). Inaktivasi dari enzim-enzim mitokondria meningkatkan jumlah produksi H2O2 oleh mitokondria (Radi et al., 1994), yang dapat mengkontribusi kerusakan seluler yang lebih jauh, dalam pola adisi atau sinergis. Secara serupa, pada makrofag (Szabo & Salzman, 1995), sel otot polos (Szabo et al., 1996b) dan neuron-neuron (Heaks et al., 1994), imunostimulasi menghasilkan inhibisi respirasi mitokondria. Inhibisi ini lebih karena peroksinitrit, daripada pembentukan NO .

murni, karena supresi dari respirasi sel dapat diperbaiki baik oleh inhibitor NOS dan oleh superoksida atau peroksinitrit scavenger. Walaupun paparan peroksinitrit konsentrasi tinggi menghasilakan kematian sel berkaitan dengan energetik cepat yang tidak terkendali, konsentrasi yang rendah dari peroksinitrit dapat, setelah beberapa jam, menghasilkan apoptosis sel (Bonfoco et al., 1995; Estevez et al., 1995, Salgo et al., 1995). Pada isolasi jaringan dan organ, peroksinitrit memulai berbagai perubahan. Infus peroksinitrit menyebabkan reduksi pada kontraktilitas miokardial pada jantung terperfusi yang diisolasi (Schulz et al., 1995) dan menginduksi kelainan kemampuan relaksan yang tergantung endothelium (Villa et al., 1994). Penemuan bahwa perkembangan dari disfungsi endotelial dapat dicegah oleh donor NO. (Villa et al., 1994) mendukung keyakinan bahwa efek akut tiksik adalah karena ONOO - (Moro et al., 1994, 1995). II. Kerusakan DNA Reaksi yang diinduksi radikal bebas dapat menyebabkan perubahan pada DNA (misalnya nicking, mutasi,pasangan basa, rearrangement, delesi, inversi, dan amplifikasi urutan). Reaksi endogen yang mungkin berkonsentrasi pada kerusakan DNA yang sedang terjadi adalah oksidasi, metilasi, depurinasi, dan deaminasi (Totter, 1980; Ames, 1989). NO atau, lebih mungkin, produk-produk reaktif turunannya, seperti NO2-, ONOO-, N2O3, dan HNO2, adalah agen-agen mutagenik, dengan kemampuan untuk memproduksi nitrasi, nitrosasi, dan deaminasi reaksi-reaksi pada basa-basa DNA (Rout Ledge et al., 1994). Metilasi dari sitosin-sitosin pada DNA penting untuk regulasi ekspresi gen, dan pola normal metilasi dapat diubah selama karsinogenesis (Weitzman et al., 1994). Konversi dari guanin ke 8-hidroksiguanin, hasil yang sering dari serangan reaktif oksigen spesies (ROS) (Halliwell & Aruoma, 1991; Dizdaroglu, 1993; Box et al., 1995), telah ditemukan mengubah metilisasi terkatalisasi enzim dari sitosin-sitosin yang berdekatan (Weitzman et al., 1994)karenanya menyediakan hubungan antara kerusakan DNA oksidatif dan perubahan pola metilasi. Kimiawi dari kerusakan DNA oleh ROS terutama dapat dikarakterisasi in vitro (Steenken, 1989; Dizdaroglu, 1993; Epe, 1993; Box et al., 1995), walaupun dibutuhkan informasi spesifik tentang perubahan produksi oleh peroxyl (RO2-), alkoxyl (RO.), ozon (O3), dan reaktif nitrogen spesies (RNS) tertentu (misal: ONOO-) berkurang. ROS yang berbeda mempengaruhi DNA dengan cara yang berbeda (misal: H 2O2 tidak bereaksi dengan basa DNA sama sekali (Halliwell & Aruoma, 1991; Dizdaroglu, 1993), sedangkan HO . Membentuk multiplisitas dari produk-produk dari keempat basa basa DNA, dan pola ini

tampaknya merupakan sidik jari daignostik dari serangan HO. (Halliwell & Aruoma, 1991). Sebagai perbedaan, O2- menyerang guanin secara selektif (Epe, 1993; Van der Akher et al., 1994). Lesi basa yang paling sering diproduksi, dan yang paling sering diukur sebagai index kerusakan DNA oksidatif, adalah 8-hidroksiguanin. Zat ini kadang-kadang diukur sebagai nukleosida, 8-hidroksideoksiguanosin (Floyd et al., 1986; Ames, 1989). Metode esensi ini telah direview dengan detail (Floyd et al., 1986; Halliwell & Aruoma, 1991; Halliwell & Dizdaroglu, 1992; Dizdaroglu, 1993). Kerusakan pada DNA oleh ROS/RNS tampak muncul secara alamiah, dalam tingkat rendah yang menetap dari produk-produk kerusakan basa yang telah dideteksi di DNA nukleus dari sel-sel manusia dan jaringan-jaringan (Floyd et al., 1986; Ames, 1989; Halliwell & Dizdaroglu, 1992; Ritcher, 1992; Musariat & Wani, 1994). Pola kerusakan basa purin dan pirimidin menyimpulkan bahwa setidaknya beberapa kerusakan terjadi oleh serangan HO., menyimpulkan bahwa HO. Dibentuk di nukleus in vitro (Halliwell & Dizdaroglu, 1992). ROS/RNS dapat juga merusak DNA mitokondria, dan kerusakan seperti ini telah disimpulkan penting pada penyakit manusia tertentu dan pada proses penuaan (Harman, 1992; Shigenaga et al., 1994), mitokondria sering disebut sebagai sumber ROS intraseluler yang paling penting, tetapi sulit mengkonfirmasi tanpa ambigu pernyataan ini (Halliwell & Gutteridge, 1985). Walaupun nampaknya sangat mungkin jika rantai transpor elektron miokondria membentuk ROS in vivo (Ambrossio et al., 1993; Guidot et al., 1993) dan DNA mitokondria tersebut dirusak oleh ROS tersebut. Peran bahwa ROS dan RNS berperan dalam kerusakan DNA belum sepenuhnya jelas. Hal ini nampaknya meningkatkan net kerusakan DNA oksidatif di DNA mitokondria dibandingkan DNA nukleus karena peroksinitras dari DNA mitokondria pada pembentukan ROS selama transpor elektron, kekurangan dari proteinprotein histon untuk memproteksi DNA terhadap serangan, atau perbaikan yang tidak efisien, menjadikan kerusakan basa terakumulasi di tingkat yang lebih tinggi. Kerusakan DNA dapat diperbaiki oleh aksi dari serangkaian enzim-enzim (Demple & Harrison, 1994). Meskipun, DNA dari sel-sel manusia dan jaringan-jaringan terdiri dari sejumlah kecil produk-produk kerusakan basa DNA (Ames, 1989; Malins & Haimanot, 1991; Halliwell & Dizdaroglu, 1992; Bashir et al., 1993; Jaruga et al., 1994; Adachi et al., 1995), menyimpulkan bahwa enzim-enzim ini tidak mendapat pengangkutan sempurna dari basabasa yang termodifikasi, mungkin karena enzim-enzim tersebut beroperasi pada kapasitas in vivo dekat dengan maksimum. Kerusakan DNA oleh ROS/RNS dapat menyebabkan lesi multipel, termasuk penghancuran rantai tunggal dan ganda, lokasi apurinik/apirimidin dan modifikasi pirimidin dan purin. Perbaikan dari lesi-lesi ini muncul terutama oleh perbaikan

eksisi basa, walaupun perbaikan eksisi nukleotida dapat termasuk. Sistem perbaikan untuk lokasi abasik, apurinik/apirimidinik yang diproduksi oleh depurinasi spontan juga ada. Area yang diminati saat ini meliputi peran dari poli (ADP-ribose) polimerase (PARP) pada penghubungan kembali dari pemisahan rantai DNA, meliputi yang terinduksi oleh ROS (Satoh et al., 1993; Satoh & Lindahl, 1994). III. Poli (ADP-ribose) Sintetase Poli (ADP-ribosa) sintetase (PAPS) [juga dikenal sebagai PARP atau poli (ADPribose) transferase] adalah protein enzim pemodifikasi dan pemolimerisasi nukleotida yang terdapat banyak di nukleus (Althaus & Ritcher, 1987; De Murica & MemissierDe Murica, 1994). Pemicu obligat dari aktivasi PARS adalah nick dan memecah rantai DNA, yang dapat diinduksi oleh berbagai stimuli lingkungan dan serangan radikal bebas (atau oksidan). Termasuk di dalamnya oksidan-oksidan seperti HO2-, HO., dan ONOO-, radiasi pengionisasi, dan agen-agen genotoksik, seperti N-metil-N-nitro-N-nitrosoguanidin. Fungsi fisiologis dari PARS dan poli (ADP-ribosilasi) masih dalam perdebatan. Dari studi menggunakan inhibitor farmakologi dari PARS, poli (ADP-ribosilasi) telah disimpulkan mengatur ekspresi gen dan amplifikasi gen, diferensiasi seluler dan transformasi malignan, pembelahan seluler, dan replikasi DNA, juga apoptosis sel (Althus & Ritcher, 1987; Lautier et al., 1993; De Murica & MenisserDe Murica, 1994; Lindahl et al., 1995; Wang et al, 1995; Simbulan-Rosenthal et al., 1996). Walaupun, studi saat ini menggunakan sel-sel dari tikus-tikus PARS (-/-) telah gagal untuk mendemonstrasikan peran dari PARS pada proses apoptosis yang diinduksi oleh berbagai sinyal sinyal apoptosis, seperti Fas ligan atau dexametason (De Murica et al., 1997; Morrison et al., 1997; Wang et al., 1995, 1997). Pada tahun 1980-an, Berger dan Okamoto telah mengobservasi deplesi cepat dari NAD+ karena aktivasi PARS, yang mengakibatkan deplesi ATP seluler, dan perubahan fungsional dari sel, dengan diakhiri kematian sel tipe nekrosis. Pemicu sitotoksik utama yang dipakai dalam studi in vitro ini adalah agen-agen alkilasi, radiasi, dan H2O2, sedangkan yang paling sering dipakai sebagai PARS inhibitor adalah nikotinamid, 3-aminobenzamid, dan benzamid. Penelitian dalam peran bunuh diri dari PARS mendapatkan momentum baru pada pertengahan tahun 1990-an karena observasi in vitro bahwa NO. dan peroksinitrit dapat memicu pemecahan DNA rantai tunggal dan aktivasi PARS (Radons et al., 1994; Eliasson et al., 1997; Szabo et al., 1996b). NO. dan peroksinitrit dapat juga menghambat respirasi mitokondria dan mendorong efek sitotoksik dengan sendirinya. Karenanya, sangat mungkin

bahwa terdapat hubungan sinergetik antara jalur termediasi PARS dan jalur tidak tergantung PARS dari supresi metabolik seluler (Gambar 1). Lebih lagi, observasi bahwa NO . dan peroksinitrit adalah mediator-mediator kerusakan seluler yang penting di berbagai jenis inflamasi dan kerusakan reperfusi menyimpulkan bahwa bunuh diri terkait jalur PARS mungkin memegang peran dalam berbagai kondisi patofisiologis in vivo (Gambar 2).

IV.

Kepentingan Relatif dari Reaksi Gluthation dengan Nitrit Oksida, Oksiradikal, Glutation adalah oksiradikal scavenger yang diketahui (Darley-Usmar & Halliwell,

dan Peroksinitrit dalam Endotoksik Shok dan Inflamasi 1996). Bahkan, glutation dapat bereaksi dengan NO. membentuk S-nitrosoglutation, sebuah senyawa vasodilator (Simon et al., 1993). Karenanya, secara teori, mekanisme dari perubahan vaskuler yang teramati dalam sel-sel yang dipretreat dengan BSO, dan jaringan-jaringan mungkin berkaitan dengan peroksinitrit, oksiradikal, NO., atau kombinasi dari semua itu. Dari data literatur, nampaknya tidak mungkin reaksi glutation-NO. memegang peranan dalam peruabahan-perubahan yang diamati. Kesimpulan ini berdasarkan pada pertimbanganpertimbangan seperti: 1) berdasarkan studi sebelumnya (Jia & Furchgott, 1993; Stamler, 1995), kami menemukan tidak ada beda dalam efek relaksan tidak tergantung endothelium dari S-nitroso-N-asetil-DL-penisilinamin dalam kontrol dan hewan-hewan yang diterapi BSO, menyimpulkan bahwa reduksi dari endogen glutation tidak mempengaruhi respon relaksasi terinduksi NO; dan 2) studi in vitro dalam makrofag dan tipe sel lain telah menegakkan bahwa glutation endogen hanya memproteksi terhadap fluktuasi yang sangat tinggi dari NO.(relefansi farmakologi), tetapi tidak terhadap tingkat NO. yang rendah, seperti yang terkait kondisi in vitro dan in vivo dari eksperimen kami (Sakanashi et al., 1991; Walker et al., 1995). Pada sisi lain, kemungkinan peningkatan dari sitotoksik pada sel-sel yang diterapi BSO atau jaringan setelah terapi LPS berhubungan, sebagian, dengan peningkatan efek sitotoksik terkait oksiradikal adalah sangat mungkin. Data mendukung deplesi dari glutation endogen meningkatkan efek sitotoksi dari H 2O2 dan oksiradikal, dan kami telah mengobservasi penoingkatan dari toksisitas H2O2 pada sel-sel endothelial dan sel-sel otot polos (Cuzzocrea et al., 1998c). Pada penelitian yang meliputi sstimulasi LPS, meyakinkan bahwa lebih banyak inhibisi dari respirasi mitokondria oleh radikal bebas turunan oksigen dan oksidan-oksidan dapat memicu disfungsional elektron transfer, dengan produksi lebih banyak superoksida dari mitokondria. Siklus umpan balik positif ini juga akan meningkatkan produksi peroksinitrit, dengan peningkatan sitotoksisitas. Sebagai catatan produksi superoksida, bukannya produksi NO., yang mencerminkan faktor batas laju dari produksi peroksinitrit selama endotoksemia (Szabo & Salzman, 1995).

Harus diingat bahwa, dalam sel-sel yang terimunostimulasi, produksi dari berbagai radikal bebas turunan oksigen dan nitrogen dan oksidan muncul secara simultan. Oleh karena itu, dapat dipercaya bahwa interaksi penting terjadi antara berbagai jenis ini di saat potensial oksidatif dan sitotoksisitas. Sebagai contoh, sebagai tanggung jawab dari kerusakan oksidatif terinduksi peroksinitrit, telah ditegakkan bahwa rasio dari NO. dan superoksida menentukan kapasitas oksidan, dan NO. yang berlebih menurunkan proses oksidatif terkait peroksinitrat (Rubbo et al., 1994; Szabo dan Salzman, 1995; Petit et al., 1996). H 2O2, di lain pihak, memperpanjang waktu paruh dari peroksinitrit (Miles et al., 1996), dan sinergis degan peroksinitrit dalam memicu sitotoksisitas. Karenanya, mungkin bahwa efek sitotoksik yang kami amati sebagai respon dari imunostimulasi mencerminkan penjumlahan dari kompleks interaksi antara berbagai radikal dan oksidan turunan oksigen dan nitrogen. Walaupun, berdasarkan kesamaan efek antara peroksinitrit yang ditambah secara eksogen dan terapi LPS, dan mengingat efek simultan protektif dari N-metil-L-arginin dan tetrakis-(4-asam benzoat) porfirin (MnTBAP) melawan kegagalan vaskuler sebagai respon dari paparan LPS

(lihat di atas), kami memperkirakan bahwa peroksinitrit, atau oksidan turunan peroksinitrit, berkontribusi pada oksidasi protein sebagai respon dari imunostimulasi. Studi terkini mendemonstrasikan bahwa glutation endogen memegang peran penting dalam menurunkan hiporeaktivitas vaskuler dan disfungsi endothel sebagai respon dari peroksinitrit dan shok endotoksik, juga inflamasi akut. Sebenarnya kami telah melihat bahwa tikus-tikus yang diterapi BSO menghasilkan efek inlamasi yang signifikan, dibandingkan dengan tikus dengan sistem glutation normal. Penemuan ini sama dengan penemuan sebelumnya bahwa glutation memegang peran penting dalam mem-blok kerusakan akibat oksidan dan, secara spesifik, mem-blok kerusakan akibat peroksinitrit (Karoui et al., 1996; Cuzzocrea et al., 1998c). Berbagai addisi dan sinergi sitotoksisitas yang dipicu peroksinitrat mungkin berkontribusi pada akut dan delay sitotoksisitas, dan deplesi dari glutation dapat juga mengganggu jalur ini. Poin-poin ini penting untuk keintakan glutathione pools, karena mekanisme protektif melawan kegagalan vaskuler dibawah kondisi stess oksidan, shok, dan inflamasi. Ada banyak cara meningkatkan glutation dan/atau mengganti simpanan glutation. Misalnya, analog glutation yang permeabel sel telah dijelaskan (Morris et al., 1995). Strategi ini dapat mewakili pendekatan alternatif atau tambahan pada pendekatan lain pada pencegahan patensi vaskuler pada shok dan inflamasi. V. Superoksida Dismutase Dalam kondisi normal, pembentukan O2- (produk reduksi satu elektron dari oksigen) disimpan dalam kontrol yang ketat dari enzim SOD. Termasuk enzim Mn pada mitokondria (SOD2) dan enzim Cu/Zn muncul di sitosol (SOD1) atau permukaan ekstraseluler (SOD3). Pentingnya SOD2 disoroti, berbeda dibandingkan SOD1 (Reaume et al., 1996) dan SOD3 (Carlson et al., 1995), SOD2 knouckout adalah lethal pada tikus (Lebovitz et al., 1996; Melov et al., 1999). Pada inflamasi akut dan kronik, produksi O2- meningkat melebihi kapasitas proteksi enzim endogen SOD. Ketidakseimbangan ini menghasilkan kerusakan . Sebuah dugaan bahwa O2- terkait secara dekat dengan respon inflamasi muncul di awal tahun 1970an melalui kerja McCord dan Fridovich (McCord & Fridovich , 1969). Beberapa peran proinflamasi dari O2- (Gambar 3) meliputi kerusakan sel endotelial dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (Droy-Lefaix et al., 1991; Haglind et al., 1994), pembentukan dari faktor kemotaksis seperti leukotrien B4 (Fantone & Ward, 1982; Deitch et al., 1990), perekrutan dari netrofil di lokasi inflamasi (Boughton-Smith et al., 1993; Salvemini et al., 1996a, 1999), peroksidasi lipid dan oksidasi, kerusakan DNA rantai tunggal (Dix et al., 1996), dan pembentukan dari ONOO-(Beckman et al., 1990; Salvemeni et al., 1998, 1999)

kebanyakan pengetahuan yang didapat berkaitan peran superoksida pada penyakit telah dikumpulkan melalui penggunaan enzim SOD alami dan, lebih kini, data yang didapat dari hewan transgenik yang mengoverekspresi enzim manusia (Huber et al., 1980; Uematsu et al., 1994; Fridovich, 1995).

VI. A.

Pembentukan Radikal Pada Iskemia/Reperfusi Mengikuti iskemia, superoksida dibentuk selama fase reperfusi, dan secara cepat

beraksi dengan NO. membentuk ONOO-. Hal ini diperlihatkan di jantung (Mathias et al., 1992; Naseem et al., 1995; Schulz & Warnbolt, 1995), liver (Ma et al., 1995), ginjal ( Yu et al., 1994), intestinum (Szabo et al., 1995a), otak (Cazevielle et al., 1993; Fagni et al., 1994; Gunasekar et al., 1995), dan paru (Ischiropoulus et al., 1995; Kooy et al., 1995). Di bawah kondisi ini, pencegahan dari pembentukan ONOO- oleh inhibisi NO. biosintesis menurunkan kerusakan reperfusi, seperti ditunjukkan oleh peroksidasi lipid pulmoner (Ischiropoulus et al., 1995) atau peningkatan aktivitas mekanik miokardial (Schulz & Warnbolt, 1995). Perkembangan mendukung dari peran ONOO- dan reaktif spesies lain pada kerusakan neuronal terkait dengan iskemia/injuri reperfusi pada sistem saraf pusat. Proposisi alami (Beckman, 1991), bahwa ONOO- (dan tidak NO. atau O2- secara bebas) adalah mediator sitotoksik utama dari injuri neuronal selama stroke dan aktivasi reseptor N-metil-D-aspartik acid (NMDA), adalah berdasarkan pertimbangan teori dan bukti sebelumnya bahwa injuri sistem saraf berkaitan dengan aktivasi reseptor NMDA, yang memicu produksi NO . dan O2-. Sekarang ada bukti tidak langsung menunjukkan bahwa aktivasi reseptor NMDA berkaitan dengan kenaikan aktivitas seperti HO. Pada otak (blok oleh inhibisi dari NOS), yang sangat

mungkin karena pembentukan ONOO-(Hammer et al., 1993). Peranan dari O2- dan efek proteksi dari strategi penetralan O2- (Cazevielle et al., 1993; Dawson et al., 1993; Lafon-Cazal et al., 1993; Fagni et al., 1994; Beal et al., 1995; Crow & Beckman, 1995; Dawson, 1995; Gunasekar et al., 1995)sebagaimana peranan NO. dan efek proteksi dari inhibisi dari efek proteksi NOS (Huang et al., 1994; Smith et al., 1994; Schulz et al., 1995; Zielasek et al., 1995) telah ditegakkan da;am berbagai bentuk injuri sistem saraf pusat. Serupa dengan inflamasi dan shok, mekanisme dari kerusakan seluler terinduksi ONOO- pada iskemia/reperfusi masih dalam investigasi, tetapi sangat mungkin meliputi mekanisme multipel. Baik bukti in vivo ataupun in vitro jelas menyimpulkan peranan PARS pada kerusakan neuron berkaitan dengan produksi NO.(atau ONOO-) sebagai respon dari aktivasi reseptor NMDA (Wallis et al., 1993; Cosi et al., 1994; Zhang et al., 1994, 1995). Sel-sel endotelial nampak menjadi regulator utama dari netrofil, mengatur proses dari kemoattraksi dari neutrofil, adesi, dan migrasi dari jaringan vaskulatur. Selama fase awal dari reperfusi, P-selektin dilepaskan secara cepat pada permukaan sel dari pool penyimpanan setelah paparan pada stimuli tertentuseperti H2O2, histamin, atau komplemendan menyebabkan leukosit melingkupi pada endotelium (Geng et al., 1990). ICAM-1, yang diekspresi pada permukaan sel endothel, kemudian terkait dengan adesi neutrofil (Geng et al., 1990; Farhood et al., 1995). Sel endotelial yang hipoksik menghasilkan sitokin proinflamatori, yang membuat up-regulasi dari ekspresi endothelial dari adesi molekul ICAM-1 melalui pola autocrine (Shreeniwas et al., 1992). Ekspresi dari P-selektin dan ICAM-1 berkaitan dengan induksi perekrutan neutrofil, yang maksimal dalam jam pertama reperfusi, dan menetap pada jumlah yang rendah dalam fase lanjut reperfusi (Clark et al., 1995). Berdasarkan penemuan ini, ditunjukkan bahwa iskemia dan reperfusi diinduksi oleh keberadaan P-selektin pada endotelial vaskuler dan ekspresi up-regulasi dari ICAM-1 pada sel endotelial. Karenanya, telah dihipotesis bahwa kerusakan oksidatif dan nitrosatif pada iskemia/reperfusi dan shok membutuhkan keberadaan ROS, yang terutama diproduksi dari infiltrasi masif neutrofil (Cuzzocrea et al., 1998c). B. Pada Shok dan Inflamasi Konsekuensi yang penting dari shok sirkulasi meliputi penurunan keresponan dari arteri dan vena terhadap agen-agen vasokonstriktor eksogen dan endogen, difungsi miokardial, dan terganggunya proses energetik seluler. Studi terkini membuktikan kesimpulan ini berdasarkan hasil yang didapat dari penggunaan inhibitor NOS, tetapi tidak dapat membedakan efek dari NO. dibandingkan efek ONOO-. Data terkini

mendemonstrasikan ONOO- mampu menutupi banyak perubahan kardiovaskuler terkait shok (endothelial disfungsi, hiporeativitas vaskular, kegagalan miokardial, dan kegagalan energetik seluler)(lihat atas). Dalam shok sirkulasi, sitokin proinflamasi mendukung respon pleiotropik seluler, termasuk stimulasi dari radikal bebas dengan pusat oksigen, seperti O2-. Mayoritas dari NO. yang diproduksi oleh makrofag diubah menjadi ONOO -(Ischiropoulus et al., 1992b). Produksi dari ONOO-(dibuktikan oleh peningkatan nitrotirosin imunoreaktiviti atau peningkatan oksidasi dari floresen probe dihidrordamin 123 menjadi rhodamin 123) telah menunjukkan shok endotoksik dan shok hemoragik (Wizemann et al., 1994; Szabo et al., 1995b). Sejumlah besar dari studi menunjukkan efek protektif dari SOD pada berbagai model shok endotoksik dan hemoragik dan oklusi arteri sphlankik/reperfusi injuri (McKechnie et al., 1986; Wang et al., 1990; Rhee et al., 1991; Youn et al., 1991; McCord, 1993; Kapoor & Prasad, 1995; Salvemini et al., 1999). Bahkan, terdapat sejumlah bukti menunjukkan bahwa produksi dari reaktif spesies seperti O2-, H2O2, dan HO. muncul di lokasi inflamasi berkontribusi pada kerusakan jaringan (Salvemini et al., 1996a; Cuzzocrea et al., 1997). Inhibitor dari aktivitas NOS menurunkan keparahan dari inflamasi dan mendukung peran NO. dalam patofisiologis terkait berbagai model inflamasi (Tracey et al., 1995; Wei et al., 1995; Salvemini et al., 1996b; Cuzzocrea et al., 1997). Di samping NO ., ONOO- dalam kondisi ini sangat dianjurkan diukur langsung. Misalnya, pada arthritis, peningkatan jumlah nitrotirosin pada plasma dan cairan sinovial (Kaur & Halliwell, 1994). Pada ileitis (Miller et al., 1995) dan inflamasi intestinal terinduksi endotoksin (Chamulitat et al., 1996), terdapat dokumentasi imunositokemikal (peningkatan imunoreaktivitas nitrotirosin pada jaringan yang terinflamasi) dari penambahan produksi ONOO- (Gambar 4). Peran patofisiologis dari NO. dan ONOO- pada kerusakan gastrointestinal yang dihasilkan oleh endotoxin atau inflamasi kronik telah menjadi subjek dari berbagai investigasi detail. Kemampuan dari autentik ONOO- dalam menyebabkan inflamasi kolon yang berat telah didokumentasikan (Rachmilewitz et al., 1993). Produksi dari ONOO- pada kolitis dapat lebih menonjol karena paralel down-regulasi dari SOD (Seo et al., 1995), yang membuat availabilitas O2- berpasangan dengan NO..desferioksamin, sebuah peroksinitrit scavenger (Denicola et al., 1995) atau SOD memproteksi terhadap kerusakan gastrik yang dihasilkan oleh donor NO., mendukung pandangan bahwa peroksinitrit (dan bukan NO per se) adalah jenis sitotoksik dalam model ini (Lamarque & Whittle, 1995). Investigasi terkini telah menyimpulkan inhibisi dari PARS mendorong efek menguntungkan pada shok (Szabo et al., 1997), reperfusi injuri (Zhang et al., 1994; Zingarelli et al., 1996; Cuzzocrea et al.,

1997; Thiemermann er al., 1997), dan inflamasi (Szabo et al., 1997, 1998; Cuzzocrea et al.,

1998a,b). VII. Intervensi Farmakologi dalam mengurangi generasi ROS pada Syok, Inflamasi dan Iskemia Intervensi yang menggunakan pengurangan generasi ROS memiliki manfaat pada kondisi inflamasi dan syok. Terapi ini antara lain antioksidan serupa vitamin E, SODm, dan katalisator dekomposisi ONOO- . Manfaat SOD sendiri pada hewan percobaan dengan inflamasi sistemik, perdarahan, dan syok masih merupakan kontroversi. Beberapa kemungkinan efek SOD pada jaringan yang rusak akibat inflamasi lokal maupun sistemik antara lain : 1) SOD berperan dalam metabolime O2 menjadi H2O2, tanpa adanya pengurangan jumlah yang efisien dari H2O2, H2O2 bisa diubah menjadi HO- yang sifatnya toksik. SOD kemungkinan sebagai prooksidan dengan mengkatalisasi perubahan H2O2 menjadi HO- seperti pada kasus sindrom Down. 2) Baik SOD maupun O2 mudah melewati membran. Adanya penambahan jumlah SOD ekstraseluler tidak memiliki efek pengurangan jumlah O2 pada intraseluler. Fase dini proses inflamasi berhubungan dengan produksi

histamin, leukotrien, faktor aktivasi platelet (PAF factor) dan kemungkinan adanya produk siklo-oksigenasi, yang mana adanya keterlambatan fase inflamasi berkaitan dengan infiltrasi neutrofil, dan produksi dari ikatan neutrofil radikal bebas, dan oksidan seperti H2O2, O2, dan HO-. A. Dekomposisi katalis Peroksinitrit sebagai agen anti-inflamasi Adanya formasi patologis pada peroksinitrit diduga berkaitan dengan level reaktan (NO dan O2) dan produknya (ONOO-). SOD dan atau tanpa NOS dapat mengurangi respon inflamasi akut ataupun kronik pada hewan percobaan. Bentuk anion peroksinitrit dijelaskan dalam gambar dibawah, sebagian melewati oksidasi NO, fotolisis, dan radiolisis garam nitrat. Dengan catatan, kombinasi radikal NO dan O2 cukup menguntungkan seperti kombinasi NO2 dan HO. Proses sintesis peroksinitrit terdiri dari 1) Rute asli yang mana NO+ dari kondisi dehidrasi asam nitrat terikat oleh peroksid 2) serangan nukleofilik peroksid pada alkali nitrit 3) terjadinya ozonisasi 4) fotolisis dan radiolisis pada garam nitrat. Hasil observasi spektrofotometri, adanya anion ditunjukkan dengan warna kuning.

Gambar 5. Reaksi kemungkinan terjadinya peroksinitrit Peroksinitrat stabil dalam solusi alkalin, namun asam konjugasinya tidak stabil dan tidak berwarna, adanya isomerisasi yang cepat dengan nitrat, membuatnya lebih stabil. Peroksinitrit dan asam konjugasinya merupakan oksidan yang kuat dan sebagian peroksinitrat terdiri dari molekul aromatik dan organosulfur, seperti asam amino bebas dan peptida. Sistein dan glutation merupakan tempat penyimpanan komponen antioksidan yang diubah menjadi disulfida. Metionin berubah menjadi sulfoksida atau fragmentasi etilen dan dimetildisulfid. Dimetil sulfoksida dioksidasi menjadi formaldehid. Metil akrilat di polimerisasi. Satu elektron tirosin dan triptofan mengalami oksidasi menjadi kation, yang bersaing dengan

hidroksilat, nitrat dan dimerisasi. Pada umumnya, bentuk nitrotirosin menguntungkan dan sampel produk biologisnya dapat digunakan sebagai alat diagnostik adanya pemaparan peroksinitrit. Basa purin mudah teroksidasi dan berubah bentuk. Reaksi peroksinitrit berkaitan dengan jumlah enzim yang mengandung besi. Hal ini bisa dinon aktifkan sebagai superoksida oleh pemisahan besi labil dari kluster induk, dan kemungkinan adanya enzym SOD dari proses nitrasi. Peroksinitrit dianjurkan untuk menurunkan regulasi neuron NOS dengan oksidasi yang membutuhkan kofaktor. Kelompok heme sitokrom dan peroksidase merupakan hasil dari oksidas peroksinitrit yang reversibel. Peroksinitrit dapat mengeluarkan ion besi dari bentuk aktif enzym lainnya. Proses oksidasi substrat oleh peroksinitrit cukup kompleks. Saat pH larutan disesuaikan dengan keadaan fisiologis yang relevan, maka peroksinitrit dan asam konjugasinya berada di rasio yang sesuai, yang dapat diamati dari tingkat oksidasi substrat dan kehilangan peroksinitrit. Hal ini terkait dengan adanya isomerisasi peroksinitrit untuk meningkatkan konsentrasi substrat, namun batas signifikan belum ditemukan. Konsentrasi substrat yang cukup tinggi, misalnya beberapa milimolar askorbat sering diperlukan untuk mencapai tingkatan pertama. Reaksi peroksinitrit dengan methionin pada pH 7.4, 25C, merupakan contoh prototipe yang prosesnya hampir mirip dengan askorbat. Pada konsentrasi metionin yang tinggi, sulfoksida dibentuk dari dua elektron hasil oksidasi peroksinitrit; diamati dari proses pengurangan peroxynitrite pertama pada metionin, tetapi ekstrapolasi yang terjadi akibat tidak adanya metionin lebih cepat dari laju isomerisasi intrinsik peroxynitrite. Pada konsentrasi metionin yang lebih rendah, diamati dari peningkatan etilen dari hasil oksidasi yang menghasilkan satu elektron. Pendekatan batas nol ditandai dengan adanya peningkatan substrat yang menunjukkan bahwa zat aktif dibentuk secara reversibel di antara peroksinitrit/ asam peroksinitrat yang merupakan oksidan kuat. Selanjutnya, tingkat isomerisasi dan batas nol proses oksidasi biasanya sama, yang menunjukkan bahwa proses sesuai jalur dan perantara yang ada. Pengaruh sifat alamiah yang dimiliki oleh zat aktif masih dalam perdebatan. Beberapa peneliti mendukung perumusan pasangan radikal antara HO dan NO2, yang mana dapat melanjutkan proses oksidasi atau rekombinasi sebagai nitrat. Sebagai contoh, HOz dan NO2 secara radikal akan bergabung kembali untuk membentuk peroksinitrit sebagai produk utama yang bersifat reversibel. Produk radikal lainnya, terutama dihidroksilasi aromatik dilaporkan dapat membentuk tapi hasilnya relatif terhadap

peroksinitrit. Jadi laju isomerisasi menjadi nitrat tidak tergantung pada viskositas rekombinasi radikal. Perumusan bentuk aktif sebagai trans-isomer tampaknya masuk akal dari teori struktural dan sudut pandang. Isomer trans-menjadi nitrat diperkirakan akan lebih lancar daripada isomer cis. Namun, laporan pengamatan eksperimental langsung dari efek transisomer belum dapat dijabarkan. Beberapa proses biokimia peroksinitrat-oksidatif melalui beberapa rute telah disarankan. Salah satu kemungkinan tersebut adalah siklus redoks yang membentuk radikal hidroksil beracun dari besi adventif ion dan H2O2, atau, oksidasi nitrit menjadi ClNO2 oleh hipoklorit. Nitrat klorida telah menunjukkan efek nitrasi tirosin in vitro, yang digunakan sebagai biomarker untuk paparan peroksinitrit. Kemungkinan reaksi peroksinitrit yang terjadi diringkas dalam gambar1. Dua gagasan penting muncul, pertama, pembentukan hasil oksidasi tergantung pada keadaan-dasar peroksinitrit, terutama karena anion. Kedua, hambatan kinetik yang ada tergantung oksidasi,nitrat dengan isomerisasi yang cukup; reaksi tersebut mungkin dapat digunakan untuk katalisis selektif. Poin inilah yang menjadi strategi untuk memblokir proses biokimia yang buruk dari peroksinitrit. Strategi tersebut bertujuan untuk mengurangi masa intrinsik peroksinitrit tersebut. Langkah-langkah yang diambil seperti: 1) penyumbatan pembentukan peroksinitrit dengan membatasi ketersediaan NO dan O2, baik melalui penghambatan NOS atau percepatan dari dismutasi superoksida; 2) Memberikan zat yang kompetitif terhadap peroksinitri atau 3) pemberian katalisis peroksinitrit. Semua tiga pendekatan kemungkinan dapat digunakan untuk intervensi farmakologis, tetapi yang terakhir sangat menarik. Identifikasi katalitik akan memfasilitasi penghancuran banyak peroksinitrit sesuai interval waktu dalam dosis obat. Percobaan eksperimental awal katalisis peroksinitrit melaporkan penambahan kompleks porfirin besi dapat mengurangi masa peroksinitrit pada kondisi fisiologis yang relevan (pH 7,4, 37C). Para kompleks porfirin yang sangat kuat dan mampu mencapai isomerisasi peroxynitrite di konsentrasi mikromolar, bahkan pada konsentrasi peroksinitrit lebih dari 100 mM. Kualitas ini cukup luar biasa, dan diprediksi katalis sebagai obat cukup berpotensi dilihat dari sudut pandang murni kimia. Siklus katalitik diilustrasikan pada gambar 6. Sesuai dengan hasil skema, hasil katalis yang teroksidasi dan masa hidup peroksinitrit bergantung secara nonlinear dengan konsentrasi peroksinitrit; semakin tinggi saturasi katalis dalam keadaan teroksidasi

semakin meningkatkan masa peroksinitrit. Penambahan antioksidan, seperti askorbat, termasuk agen kompetitif menengah dan mempercepat katalisis.

Gambar 6. Siklus katalisis Kelompok heme teroksidasi oleh peroxynitrite misalnya reaksi myeloperoksidase diketahui memiliki kecepatan yang sama seperti katalis sintetik. Hal ini mungkin karena adanya enzim peroksidase, yang memiliki fungsi tambahan sebagai endogen peroksinitrit isomerasi. Misalnya, myeloperoksidase diekskresikan oleh neutrofil, dan dapat menggunakan OONO2 dalam respon imun inflamasi. Hipotesis ini didukung oleh percobaan yang menunjukkan bahwa mamalia heme haloperoksidase adalah zat aktif sebagai porfirin sintetik. Oleh karena itu, obat aktif akan menduplikasi peroksidase reaktif di lokasi tertentu di mana enzim ini tidak dalam jumlah yang optimal. Sintetis kompleks porfirin juga memiliki keuntungan terhadap enzim endogen dalam bereaksi lebih baik dengan antioksidan, yang mana menurunkan aktivitas isomerase dan masa hidup peroksinitrit. Identifikasi katalis peroksinitrit menawarkan kesempatan ilmiah yang menarik untuk menambah pemahaman kita tentang peran peroksinitrit. Selain itu,menjadi satu terobosan baru dalam memahami patofisiologi pentingnya molekul ini. B. Antioksidan Katalis SOD dan katalase merupakan suatu metaloprotein yang efisien digunakan pada reaksi dismutasi untuk mendetoksifikasi ROS. Reaksi dismutasi melibatkan serangkaian satu-atau dua-elektron transfer, di mana elektron diterima dari satu O2 atau H2O2. Reaksi ini efisien sehingga tidak mengurangi keseimbangan dan tidak memerlukan energi dari sel untuk beroperasi. Ekspresi enzym yang berlebih pada kultur sel dan pada hewan telah memberikan

perlindungan terhadap efek stres oksidatif yang merugikan. Penggunaan SOD dan katalase sebagai agen terapi untuk menipiskan ROS-diinduksi pada kasus cedera telah sukses dibuktikan. Keterbatasan utama produk-produk alami ini adalah ukuran yang besar, yang membatasi permeabilitas sel, sirkulasi pendek, bersifat antigen, dan biaya. Tindakan membuat berat molekul SODm menjadi lebih rendah telah dikembangkan untuk mengatasi beberapa keterbatasan yang ada. C. Metalloporphyrins Mangan berbasis metalloporphyrin kompleks telah terbukti memiliki setidaknya empat sifat antioksidan berbeda. Ini termasuk pengikatan radikal bebas O 2-, H2O2, ONOO-, dan radikal lipid peroksida. Fungsi superoksida dismutase mangan mimesis dalam reaksi dismutasinya dengan O2- dengan reduksi dan oksidasi dari perubahan alternatif di antara valensi Mn(III) dan Mn(II), nampak seperti SOD asli. Aktivitas katalase dari metalloporphyrins dapat dikaitkan dengan sistem cincin terkonjugasi mereka yang luas yang mengalami oksidasi satu elektron reversibel, seperti kelompok heme prosthetik dari katalase endogen dan peroksidase. Secara umum, metaloporphyrin dengan aktivitas SOD tinggi memiliki aktivitas katalase lebih besar. Perlu dicatat bahwa aktivitas katalase pada kompleks seperti itu kurang dari 1% dari katalase asli. Namun, meskipun seperti itu, mangan porfirin masih mampu melindungi sel-sel dari H2O2 beracun. Mekanisme metalloporphyrins yang mengikat gugus ONOO- kompleks diduga melibatkan formasi okso-Mn(IV) yang dapat dengan mudah direduksi dengan oksidasi menjadi Mn(III) yang dilakukan oleh berbagai antioksidan endogen (contohnya, askorbat dan glutation) dan bahkan oleh O 2. Mekanisme sebenarnya bagaimana metalloporphyrins menghambat peroksidasi lipid tidak begitu diketahui, tetapi diperkirakan proses itu mirip dengan proses penggambaran pengikatan kompleks gugus ONOO-. 1. Efek Metalloporphyrins pada Reaksi Inflamasi. Dalam model in vitro, stres oksidatif telah banyak memiliki manfaat, baik dalam hal konfirmasi aktivitas antioksidan metalloporphyrins dalam sistem bebas sel dan memprediksi penggunaan mereka sebagai model antioksidan in vivo dalam penyakit-penyakit manusia yang jelas lebih kompleks. Metalloporphyrins telah terbukti melindungi berbagai macam model in vitro stres oksidatif, yang melibatkan generasi O 2-, H2O2, ONOO- secara sendirisendiri atau secara bersamaan. Pada tingkat mikromolar, mereka tampaknya tidak beracun dan melindungi sel-sel kultur terhadap toksisitas O 2- generator dan pyocyanin, H2O2 generator

dan ONOO- diproduksi oleh endotoksin atau oleh ONOO- sendiri Metalloporphyrins juga merupakan inhibitor poten dari peroksidasi lipid. Respon inflamasi yang diinduksi oleh injeksi carrageenan ke dalam footpad atau ruang pleura paru-paru telah diteliti dengan baik dan termasuk produksi histamin, leukotrien dan platelet-activating factor dan influx dari neutrofil. Edema tungkai yang diinduksi oleh carrageenan merupakan suatu model dari peradangan akut. Kedua iron III tetrakis-(2,4,6trimetil-3 ,5-disulfonatophenyl) porfirin dan ironIII tetrakis-(N-metil-4-pyridinium il) porfirin menyebabkan pengurangan dosis-tergantung dalam pembengkakan pada jaringan kaki. Dalam model tikus yang mengalami inflamasi via pleura paru-parunya, pengobatan intraperitoneal dengan MnTBAP sebelum pemberian karagenan ternyata dapat menekan respon inflamasi dalam dosis-tergantung. Efek yang paling mendalam MnTBAP adalah menekan proses masuknya neutrofil (neutrophyl influx) dan mengurangi pembentukan nitrotyrosine, penanda pembentukan ONOO- dalam peradangan.

2. Pengaruh Metalloporphyrins dalam Syok Endotoksik dan Syok Haemoragik. Sebuah komplikasi umum dari sepsis bakteri adalah fenomena yang disebut sebagai syok endotoksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan oksidatif yang dihasilkan dari pembentukan beberapa gugus ONOO-. MnTBAP melindungi terhadap beberapa dampak buruk yang terkait dengan syok endotoksik, termasuk kontraktilitas pembuluh darah dan defisit energi seluler. MnTBAP juga memberikan efek perlindungan yang sama dalam model syok hemoragik pada tikus. Efektivitas MnTBAP dalam model ini mungkin terkait dengan pengikatan gugus radikal ONOO- disamping aktivitasnya yang mengikat gugus O2-. 3. Keterbatasan Metalloporphyrins. Meskipun MnTBAP telah terbukti sangat efektif dalam berbagai paradigma yang begitu luas dari stres oksidatif, kami telah menemukan bahwa potensi dan khasiat dari MnTBAP dapat cukup bervariasi. Salah satu keterbatasan utama dari MnTBAP adalah sangat minimnya permeabilitasnya terhadap sawar otak dimana hal ini mempersulit penggunaannya dalam penyakit-penyakit neurodegeneratif dan jelas membutuhkan pengembangan senyawa baru untuk mengatasi kendala ini. Masalah umum dari SOD mimetic ini adalah bahwa mereka dapat bereaksi dengan berbagai macam ROS. Hal ini terasa cukup membingungkan saat digunakan dalam literatur untuk menunjukkan peran khusus pengikatan radikal gugus

O2-. Akhirnya, karena ROS / RNS memiliki peran dalam proses pensinyalan sel maka, sebagai akibatnya, peran dalam mengendalikan ekspresi gen dan dalam fungsi pertahanan tubuh, terapi antioksidan sangat mungkin memiliki dampak pada proses-proses fisiologis ini. D. Sintetis Enzim Rasional Baru: Mangan(II) Superoksida Dismutase Mimetics (SODm) Peran proteksi dan manfaat dari SOD telah dibuktikan dalam berbagai macam penyakit secara luas, baik preklinik maupun klinik. Orgotein (bovine Cu, ZnSOD) menunjukkan hasil yang menjanjikan sebagai terapi pada manusia dalam kondisi penyakit akut maupun kronis, termasuk rheumatoid arthritis dan osteoarthritis, sebaik efek samping yang ditimbulkan oleh pengobatan menggunakan kemoterapi dan terapi radiasi. Ada kekurangan dan masalah yang terkait dengan penggunaan enzim asli sebagai agen terapeutik (misalnya, ketidakstabilan campuran, imunogenisitas enzim non-manusia, kurva dosis respon yang bell-shaped (berbentuk lonceng), serta kerentanan tinggi terhadap pencernaan proteolitik) dan sebagai alat farmakologis (misalnya, sifat mereka yang tidak menembus selsel atau di sawar darah-otak sehingga membatasi superoksida dismutase hanya untuk ruang atau kompartemen ekstraseluler).

Gambar 7. Struktur kompleks Mn(II) Untuk mengatasi keterbatasan yang terkait dengan sifat-sifat asli enzim ini, kelompok Salvemini telah mengembangkan sebuah tiruan SOD yang selektif dalam mengkatalisir dismutase O2-, yang kemudian disebut sebagai Super Oksida Dismutase Mimetics (SODm) (Gambar 7). Sebuah sifat yang penting dan unik dari SODm ini adalah bahwa mereka stabil untuk pemisahan dan oksidasi terhadap Mn(II) dan selama proses siklus katalitik untuk dismutation superoksida tersebut, SODm tidak mereduksi Mn(III) menjadi Mn(II)

sebagaimana hal ini terjadi pada kompleks Mn(III) porfirin. Hal ini sesuai dengan oksidan biologis (ROS), yang tidak bereaksi dengan kompleks Mn(II),yakni I, termasuk NO -, OONOH2O2, O2-, dan OCl-. Sifat ini tidak dimiliki oleh kelas-kelas lain dari SODm atau pengikat lain, termasuk beberapa metalloporphyrins seperti tetrakis-(N-etil-2-piridil) porfirin dan MnTBAP, karena mereka telah terbukti dapat berinteraksi dengan berbagai macam oksidan, termasuk diantaranya ONOO- dan H2O2. Meskipun agen-agen ini termasuk agen antiinflamasi, tidak jelas pada tahap ini bagaimana pentingnya eliminasi superoksida dalam konteks respon inflamasi karena kurangnya selektivitasnya terhadap superoksida. Lebih jauh, golongan SOD mimetics baru ini tidak dinonaktifkan oleh ONOO- ataupun H2O2 (Riley, hasil tidak dipublikasikan). Ini merupakan keuntungan tambahan dari enzim SOD mangan asli (MnSOD), karena enzim asli dapat dinitrasi dan dinonaktifkan oleh ONOO1.Karakterisasi Aktivitas Superoksida Dismutase. Penemuan enzim SOD dan aktifitasnya pertama kali dilaporkan oleh Fridovich dan McCord menggunakan uji sitokrom c. Dalam tes ini, ferricytochrome c direduksi dengan menggunakan superoksida untuk memberikan bentuk tereduksi dari sitokrom c, yang memberikan perubahan spektrofotometri. Penghambatan reduksi sitokrom c ini diambil sebagai ukuran aktifitas dari SOD. Sejak saat itu, tes sitokrom c dan tes tidak langsung lainnya telah digunakan oleh peneliti untuk menilai aktivitas enzim SOD dan SOD putatif mimesis. Kesulitan pada pelaksanaan tes tidak langsung ini sangat mungkin timbul dari berbagai macam sumber. Misalkan saja, sebuah agen pembawa dengan aktivitas SOD diduga dapat mengoksidasi sitokrom terreduksi (dapat menghasilkan false-positif untuk aktifitas SOD), mereduksi ferricytochrome c (berpotensi menyebabkan false-negatif), atau bereaksi secara stoichiometris, tidak secara katalitik, dengan superoksida (misalkan, superoksida skavenger). Tes tidak langsung tidak membedakan antar proses-proses tersebut dan tidak memberikan informasi tambahan mengenai mekanisme aktifitas dari SODm putatif. Untuk mengatasi keterbatasan tes tidak langsung, Riley dkk. telah menggunakan analisis aliran henti-kinetik sebagai suatu teknik langsung yang dapat memantau kinetika peluruhan superoksida melalui jejak spektrofotometri superoksida pada 245 nm. Dari jenis analisis ini, sebuah peluruhan superoksida tak terkatalisir (kinetika orde kedua) dapat dibedakan dari peluruhan yang dikatalisis superoksida (kinetika orde pertama) dalam munculnya superoksida dalam jumlah yang sangat besar yang cukup kompleks yang terpantau. Laju konstan katalitik orde kedua (kcat) dapat diperoleh dari agen dengan aktivitas katalitik SOD yang sebenarnya. Penentuan langsung dari k cat yang benar ini dapat digunakan

secara langsung untuk membandingkan dan menghitung aktifitas SOD dari enzim dan / atau mimetics di bawah seperangkat kondisi tertentu (misalnya, pH dan suhu ditentukan). Tidak ada perbandingan langsung yang dapat dibuat antara nilai kcat dan aktivitas yang diperoleh dari pengujian sitokrom c atau tes-tes tidak langsung lainnya. 2. Katalisator / Desain Obat. Upaya awal berfokus pada sintesis kompleks Mn dasar menjadi SOD mimetik yang memiliki berat molekul serendah mungkin yang dapat berfungsi sebagai katalis SOD yang selektif dan aktif. Keputusan untuk membuat kompleks Mn ini terutama didasarkan pada pertimbangan toksisitasnya. Dikenal dari tiga logam (Fe, Mn dan Cu) untuk mengkatalisis O2-, H2O2 dan oksigen, mangan kurang beracun untuk sistem tubuh mamalia dimana ia bertingkah sebagaimana ion logam bebas dalam air dan juga logam inilah dari ketiga bentukan ion M2+ yang paling akhir bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan HO- (Fenton chemistry). Meskipun Mn berbasis kompleks desferal, quinolol, cyclam, dan Salen telah dilaporkan memiliki aktivitas SOD yang didasarkan pada metodologi tidak langsung yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis dari kompleks ini dengan menggunakan metodologi kinetik henti-aliran menunjukkan bahwa kompleks ini tidak memiliki aktivitas katalitik SOD terdeteksi. Lebih mungkin, kompleks Mn ini bereaksi secara stoikiometris dengan superoksida yang kemudian menampakkan hasil nyata dalam uji tidak langsung. Dalam upaya pada desain awal, kelompok Riley fokus pada sintesis dan penyaringan kompleks Mn (II), yang dapat memiliki energi kimia yang cukup tinggi dan stabilitas termodinamika. Alasan untuk ini adalah jelas, namun kebutuhan di bidang farmasi adalah untuk mendapatkan kompleks yang stabil yang tidak akan menghasilkan timbunan redoks ion logam aktif bebas dalam kompartemen biologis, yang dapat berinteraksi secara biokimia lokal dengan cara yang tidak lazim. Situasi seperti ini jelas mampu menyebabkan masalah toksisitas. Akibatnya, upaya sintetik berfokus pada kompleks Mn (II) dengan ligan makrosiklik sehingga stabilitas yang diinginkan tersebut dapat tercapai dengan menggabungkan peningkatan stabilitas kinetik yang terukur dengan semacam ligan siklik. Dengan meggunakan analisis aliran henti kinetik sebagai alat utama pemantau aktivitas SOD, ditemukan bahwa turunan kompleks Mn(II) dasar diperoleh dari I, yang berisi ligan simetris [15] aneN5 makrosiklik (dengan r = H, kompleks 1), secara efisien mengkatalisir dismutasi superoksida (kcat = 4,13 x 107 M-1 s-1 at pH 7,4 and 21C untuk 1). Dari studi aktifitas struktur, kami menemukan bahwa peningkatan ukuran dari cincin kompleks untuk cincin ke 16-anggota (kompleks 2) menghasilkan suatu kerugian besar dari

aktivitas SOD dengan nilai kcat sebesar 1,0 x 106 M-1 s-1 . Lebih jauh, peningkatan ukuran macrocycle pada cincin ke 17-anggota (kompleks 3 atau 4) menunjukkan tak ada deteksi aktivitas SOD (kcat < 5 x 105 M-1 s-1) seperti yang ditunjukkan dalam analisis henti-aliran. Yang penting, ditemukan bahwa, secara umum, meningkatnya substitusi pada rantai karbon dari cincin makrosiklik mengakibatkan Mn (II) kompleks sangat meningkat stabilitasnya dalam pemisahan sementara pada umumnya aktivitas SOD dipertahankan. Selain itu, sejumlah besar kompleks dibuat dengan memiliki substituen ligan metil dalam berbagai kombinasi posisi dan stereokimia untuk menyelidiki bagaimana posisi, stereokimia, dan jumlah substituen mempengaruhi aktivitas katalitik SOD. Studi kinetik juga mengungkapkan bahwa unsur-unsur struktural tertentu bertindak secara sinergis yang secara substansial memperkuat aktifitas kompleks SOD dan meningkatan stabilitasnya [misalnya, kompleks Mn(II) mengandung kelompok trans-cyclohexano (kompleks 5 dan 6)]. Kompleks 5 dengan kelompok trans-cyclohexano memiliki nilai k cat yakni 9,09 x 10-7 M-1 s-1 pada pH 7,4 dan kompleks 6 dengan dua kelompok trans-cyclohexano (kedua R, R) memiliki nilai k cat yakni 1,21 x 108 M-1 s-1 pada pH 7,4 (kcat untuk semua isomer bayangan cermin S identik dengan kompleks 6, sedangkan R, R,S, S-isomer, 7, tidak memiliki aktivitas katalitik). Dengan analisis resonansi spin elektron (ESR), kami telah membuktikan bahwa kompleks 8 memiliki stabilitas tinggi secara invivo dan lebih besar dari 90% utuh dalam hati tikus 30 menit setelah injeksi intravena. 3. Aktivitas Anti-inflamasi Superoxide Dismutase Mimetics (SODm). Mimetics SOD 1 dan 5 telah diuji untuk kemampuan mereka untuk menghambat neutrofil-termediasi pada cedera sel endotel aorta manusia secara in vitro. Neutrofil manusia teraktifasi untuk menghasilkan superoksida dengan paparan Tumor Necrosis Factor- (TNF) dan komponen pelengkap C5a. Tingkat cedera pada sel endotel, yang diukur dengan tingkat pelepasan
51

Cr-terlabel kromat dari sel prelabeled, adalah secara linear tergantung

pada jumlah superoksida yang diproduksi. Banyak dari SOD tiruan kami telah terbukti melemahkan neutrofil-termediasi cedera pada sel endotel. Studi fluoresen pada neutrofil saluran pernafasan yang terbakar menunjukkan bahwa SODm tidak mencegah turunan dari superoksida oleh aktifasi neutrofil. SODm juga melindungi cedera sel endotel terhadap perlukaan/cedera yang disebabkan oleh xanthine / xantin oksidase, suatu sistem biokimia yang menghasilkan superoksida. Sifat dari katalitik dismutasi dari superoksida oleh SODm muncul untuk membandingkan efek protektif mimetics SOD dengan kurangnya efek perlindungan struktural terkait pada Mn(II) kompleks 9 yang tidak memiliki aktivitas SOD

terdeteksi. Selain itu, katalase pengikat H2O2, chelator besi desferrioxamine dan serin protease inhibitor tidak melindungi terhadap cedera yang dimediasi oleh neutrofil. Hasil ini konsisten dengan superoksida yang memediasi luka-terinduksi neutrofil dalam sel endotel aorta manusia; demikian, SODm berbasis Mn(II) dapat menjadi agen yang layak untuk mencegah kerusakan oksidatif karena neutrofil. Bovine eritrosit Cu, ZnSOD melindungi sel endotel dalam ketergantungannya pada konsentrasi neutrofil yang tergantung cedera, tetapi hasilnya tetap tidak konsisten. Pada aktivitas dasar SOD, sebagaimana dinilai dalam analisis aliran henti, enzim SOD kurang efektif dalam melindungi sel endotel daripada SODm. Efektivitas SODm dalam pengentasan cedera yang termediasi neutrofil mungkin dipengaruhi kemampuannya untuk memasuki ruang intraseluler. Kami telah mensintesis SODm berbasis Mn(II) dengan berbagai lipofilisitas yang luas (nilai Log P antara -4 sampai +2) sehingga hal ini dapat memungkinkan kontrol tingkat penetrasi intraseluler yang lebih. Pada dosis tinggi, enzim SOD kehilangan beberapa efisiensinya untuk memblokir neutrofil yang tergantung cedera pada sel endotel. Bentukan kurva bell-shaped (lonceng) pada dosis-respons merupakan karakteristik umum dari enzim SOD, dan dosis tinggi dari enzim SOD menunjukkan efek proinflamasi. Efek proinflamasi enzim SOD belum diketahui sepenuhnya dengan baik, tapi secara spekulatif, hal ini dikarenakan oleh adanya reaksi yang terjadi dengan produk-produk dismutation dari H2O2 untuk menghasilkan radikal HO- melalui reaksi kimia Fenton. Kecilnya kurva bellshaped dosis-respon pada mimetics SOD mungkin berhubungan dengan reaktivitas selektifnya terhadap superoksida dan ketidakmampuan kompleks SODm untuk bereaksi dengan H2O2. Pretreatment tikus dengan SODm 1, 10, atau 11 mengakibatkan pelemahan cedera inflamasi yang diinduksi oleh asam asetat encer berair seperti yang ditunjukkan oleh penurunan kerusakan epitel dan tidak ada kolonisasi bakteri. Yang paling menarik, kompleks 1 menghambat infiltrasi neutrofil dalam dosis-tergantung, sebagaimana dinilai oleh aktivitas myeloperoxidase enzimatik (penanda enzim terhadap munculnya neutrofil teraktifasi), dengan dosis efektif median (ED50) yakni 10mg/kg. Aktifitas myeloperoxidase nampaknya berkorelasi dengan skor bias (blinded score) beratnya peradangan dan munculnya histologis jaringan usus. Struktural terkait Mn (II)-berdasarkan kompleks 2 dan 3 dengan tidak adanya aktivitas SOD terdeteksi tidak menghambat infiltrasi neutrofil dari peradangan atau cedera yang disebabkan oleh pengobatan intracolonic tikus dengan asam asetat encer berair. Hasil ini konsisten dengan peran superoksida dalam mediasi inflamasi dan infiltrasi neutrofil. Bovine eritrosit Cu, ZnSOD, tapi tidak dengan MnSOD Escherichia coli, melemahkan cedera inflamasi usus besar tikus yang diberikan asam asetat encer berair. Analisis henti-

aliran kinetik menunjukkan bahwa bovine eritrosit Cu, ZnSOD efektif mengkatalisasi superoksida dismutase (kcat = 2,3 x 109 M-1 s-1 pada pH 8,1 dan 21 C), sedangkan MnSOD E. coli yang kami uji tidak memiliki aktifitas SOD terdeteksi (k cat < 5 x 105 M-1 s-1) (Furchgott dan Vanhoutte, 1989). Sekali lagi, penting untuk menguji enzim SODm putatif dan enzim SOD dengan metode langsung dari analisis untuk aktivitas SOD sebagai metode tidak langsung (yang dinamakan uji sitokrom c). Ini dapat menunjukkan bahwa kedua enzim memiliki aktivitas SOD yang sebanding. Ketika diberikan secara intravena, SODm 1 dapat menahan inflamasi terinduksi asam asetat encer pada tikus dengan ED50 dosis 10 mg/kg, yang setara dengan ED 50 bilamana diberikan intracolonically (Weiss et al., 1996). Sebaliknya, bovine eritrosit Cu, ZnSOD gagal melindungi terhadap cedera inflamasi ketika diberikan intravena, hal ini mungkin disebabkan karena pendeknya waktu paruh enzim ini secara in vivo. SODm 1 juga efektif dalam menghambat radang dan infiltrasi neutrofil yang disebabkan oleh pemberian intradermal dari leukotrien chemoattractant neutrofil. Hasil ini konsisten dengan peran superoksida dalam mediasi cedera jaringan teroksidasi dan infiltrasi neutrofil. Hasil ini menunjukkan bahwa SODm terbukti mampu berperan sebagai novel agen anti-inflamasi untuk pengobatan dalam kondisi termediasi, yang dalam hal ini, dilakukan oleh superoksida yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear teraktifasi (neutrofil). 4. Atenuasi Cedera Iskemik / Reperfusi Miokard oleh Superoksida Dismutase Mimetics. Reperfusi dari miokardium iskemik dapat terjadi pada ledakan produksi superoksida seperti yang telah ditunjukkan oleh studi perangkap spin ESR. Superoksida diproduksi sebagai hasil dari reperfusi jaringan yang mengalami iskemik telah diusulkan untuk menjadi perantara cedera reperfusi miokard. Kami mengevaluasi efek cardioprotective SODm berbasis Mn(II) dalam jantung yang telah terisolasi yang telah disiapkan sebelumnya dan dalam model cedera iskemia miokard / reperfusi in vivo. Ketika diinfuskan pada konsentrasi 20 M, SODm 1 menghambat pelepasan creatine kinase dan kalium intraseluler dalam perfusi Langendorff jantung kelinci yang terisolasi selama 30 menit sehingga mengalami iskemia global yang diikuti oleh reperfusi 45 menit. Dalam model yang sama, kompleks 1 juga menurunkan kerusakan permanen di dalam reperfusi iskemik jantung seperti yang ditunjukkan oleh hasil yang diperoleh dari kadar protein myosin intraseluler terlabel yang telah dilakukan antibodi monoklonal. SODm 1 juga melindungi terhadap cedera iskemiareperfusi miokard pada primata jantung yang telah terisolasi.

SOD mimesis 1 melindungi terhadap cedera miokard 90 menit awal karena sumbatan arteri koroner kiri sirkumfleksa, diikuti oleh 18 jam reperfusi pada anjing yang dibius (Black et al, 1994.). Ukuran miokard infark berkurang dari 44,25,6% menjadi 25,74.3% oleh SODm saat diberikan intravena pada dosis total 16 mg/kg. Parameter hemodinamik tidak terpengaruh, kecuali untuk efek hipotensi transien yang akan dikomentari di dalam bagian berikutnya dalam TIDAK ADA potensiasi. Pada dosis yang sama, kompleks 9, yang mana tidak memiliki aktivitas SOD terdeteksi gagal melindungi terhadap cedera iskemik reperfusi miokardium pada anjing, menunjukkan bahwa cedera itu dimediasi oleh superoksida. Selanjutnya, studi iskemia miokard/ reperfusi telah dihubungkan juga dengan kucing, hal ini dimaksudkan untuk mengevaluasi mekanisme perlindungan SODm. SOD mimetics 5 kucing melindungi miokardium dari nekrosis sebagai hasil dari periode 75 menit iskemia yang diikuti oleh 4.5 jam periode reperfusi. Perlindungan ini sangat tergantung dosis dan sebuah pengurangan statistik yang signifikan pada persentase nekrosis sebagai persentase daerah beresiko (AAR) (9,9 2,8% dengan 5 dibandingkan dengan 29,0 3,8% pada kontrol) diamati pada dosis intravena sebesar 5mol/kg. Pengeluaran kreatine kinase dan infiltrasi neutrofil ke dalam miokardium juga dihambat oleh kompleks 5. Sebuah dosis-tergantung, dengan kurva yang tidak bell-shaped (tidak berbentuk lonceng), kurva dosis-respon, dilihat dengan SODm 5 dalam model dari iskemia miokard/reperfusi seekor kucing. Dengan SODm 5, jumlah yang sama dalam perlindungan terhadap nekrosis diamati dalam dosis 50mol/kg (9,3 5,6% nekrosis dalam AAR) sebagaimana dilakukan pada dosis 5 mol/kg (9,9 2,8% nekrosis dalam AAR). Namun ternyata, sebagaimana yang disebutkan di atas, enzim SOD tetap memiliki kurva dosis-respon berbentuk lonceng dalam model cedera iskemia/reperfusi kucing. SODm 6, yang memiliki kcat lebih tinggi (aktivitas SOD lebih tinggi) dan lebih lipofilik dari kompleks 5, secara signifikan menghambat nekrosis miokard dengan dosis 2 mol/kg. Kompleks 6 juga melemahkan pelepasan kreatin kinase dan infiltrasi neutrofil dalam konsentrasi yang tergantung. Studi stabilitas ESR pada jantung kelinci terisolasi menunjukkan bahwa SODm 6 memiliki derajat stabilitas yang lebih tinggi dalam kondisi iskemik miokard. Studi ESR juga menunjukkan bahwa kompleks 6 dapat dibagi ke dalam miokardium dan secara dramatis bisa menipiskan ledakan radikal superoksida yang terjadi saat reperfusi. Seperti dalam studi anjing, kompleks 9 yang tidak aktif tidak menghambat nekrosis akibat reperfusi iskemik miokardium kucing, hal ini menunjukkan bahwa superoksida adalah mediator dari cedera. Mn(II) klorida tidak melindungi cedera reperfusi, ini mengindikasikan bahwa kompleks 1 tidak meminimalisir cedera reperfusi karena pelepasan Mn (II). Berdasarkan studi-studi in

vitro dan in vivo dengan SODm ini, kami dapat menyimpulkan suatu peran penting dari superoksida dalam mekanisme cedera reperfusi iskemik miokardium. Dengan mengkatalisasi superoksida dismutase, SODm sangat mungkin terbukti berperan sebagai agen terapi untuk meminimalisir terjadinya cedera iskemia-reperfusi miokard yang mana terjadi setelah infark miokard. IX. Kesimpulan Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa superoksida bekerja sebagai inaktivator dari NO, diketahui pula SOD dapat memperpanjang masa paruh waktu NO. Berdasarkan konsep ini, disarankan bahwa NO dapat membatasi efek sitotoksik superoksida. Di sisi lain, reaksi antara NO dan superoksida menghasilkan peroksinitrit, sebuah zat oksidan reaktif, dan sebuah mediator kerusakan sel yang penting pada kondisi inflamasi dan stres oksidan. Sebuah bukti menunjukan bahwa reaksi No dan superoksida, pada berbagai kondisi dapat menambah potensial sitotoksik sebagai prekursornya. Secara jelas, ratio NO dan superoksida sangat penting sebagai inaktivator aktivitas biologis peroksinitrit. Penemuan sebelumnya menjelaskan bahwa peroksinitrit bisa dibentuk dari kombinasi superoksida dengan NO yang memproduksi ecNOS pada kondisi patofisiologis, seperti pada kondisi fase awal syok dan cedera reperfusi, patut untuk didiskusikan. Pada penelitian sebelumnya, mendemonstrasikan efek yang dapat menghambat pembentukan bentuk NOS di endotelium (ecNOS) dan sistem saraf pusat (bNOS), diketahui bahwa dampak toksisitas bertanggung jawab dalam memperkuat formasi NO dengan enzim pembentuk tersebut.Walaupun hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan, penjelasan yang lain perlu untuk dipikirkan, sebut saja secara simultan generasi superoksida menambah potensial toksisitas No dan menghambat pembentukan aktivitas NOS dalam mencegah pembentukan peroksinitrit. Dengan mengetahui pembentukan peroksinitrit dapat dibentuk dari superoksida dan NO yang diproduksi ecNOS, teori terdahulu yang mengatakan bahwa NO dalam jumlah kecil lebih berguna daripada NO dalam jumlah besar yang memiliki efek toksik perlu diperbaiki. Pada penelitian terbaru, NO dalam jumlah besar mungkin dapat menahan reaktivasi oksidasi peroksinitrit. Walaupun demikian sebuah aksi memainkan peran penting dalam efek proteksi dalam donor NO pada berbagai kondisi patofisiologis (seperti iskemia/ cedera reperfusi dan berbagai bentuk syok perlu untuk dijelaskan lebih lanjut). Dapat dijelaskan bahwa toksisitas peroksinitrit dan ROS pada berbagai kondisi patofisiologis tergantung oleh status antioksidan endogen (kadar glutation, vitamin E, vitamin C, SOD, dll). Menurut konsep yang ada, jumlah kecil peroksinitrit diproduksi secara basal pada kondisi fisiologis.Adanya kemungkinan

sistem antioksidan endogen berguna dalam menetralisir produksi peroksinitrit dalam jumlah kecil. Penghambat farmakologi selektif iNOS pada syok dan inflamasi diduga mempunyai keuntungan terapi yang signifikan, sejak ditemukannya fungsi fisiologis ecNOS ( seperti pada pemhambatan adesi platelet dan leukosit, mempertahan vasodilatasi dll), dengan menghambat generasi konsentrasi sitotoksik NO. Namun saat ini, belum diketahui bagaimana cara mengeliminasi pembentukan peroksinitrit, terutama selama fase reperfusi atau resusitasi cairan. Selain itu, penghambat selektif non isoform NOS, mempunyai potensi untuk mengeliminasi generasi peroksinitrit, walaupun mempunyai efek samping pada sel itu sendiri, untuk menghilangkan ecNOS. Pemahaman mekanisme tranduksi sinyal yang menggunakan radikal bebas dalam memodifikasi sumber penyakit penting untuk intervensi farmakologik pada masa depan. Dijelaskan berat molekul enzym SOD yang rendah akan membantu sebagai alat yang kuat untuk farmakologik dalam mengetahui mekanisme pemakaian O2 dan efeknya. Mn(II) berdasarkan tiruan I SOD menggambarkan contoh unik dalam pengembangan enzim sebagai obat masa depan. Pada beberapa kasus di mana enzim merupakan obat yang potensial malah tidak memiliki zat terapeutik, bersifat sintetis, adanya enzim tiruan bermolekul kecil dapat digunakan untuk terapi. Tiruan SOD adalah obat katalisis ( adalah suatu bahan yang tidak termasuk interaksi stoikiometri dengan target biologi, seperti reseptor, walapun rata-rata pembentukan konversi superoksida menjadi O2 dan H2O2 tanpa harus memakai kompleks sendiri). Tiruan SOD mempunyau karakteristik yang mirip dengan aktivitas SOD dengan analisis kinetik stopped-flow. Kemampuan tiruan SOD untuk membersihkan superoksida secara in vivo juga ditunjukan dengan penelitian ESR. Penelitian in vitro dan in vivo menunjukan bahwa tiruan SOD mempunyai efek anti inflamasi yang poten, mengurangi kejadian iskemik miokard/ cedera reperfusi dan memperpanjang masa paruh waktu NO, antitrombolitik dan relaksasi vaskular. Selain itu, tiruan SOD mungkin mempunyai kegunaan klinis untuk mempengaruhi suatu penyakit, terutama superoksida (Gambar 8).

Gambar 8. Klinis pada penyakit terkait dengan mediasi superoksida Penelitian sebelumnya yang berpendapat negatif mengenai enzym SOD seharusnya tidak mengahalangi kegunaan klinis dari tiruan SOD karena tiruan SOD mempunyai banyak keuntungan seperti enzim, termasuk kurva normal respon dosis, membran permeabilitas, stabilitas, harga dan kekurangan imunogenetik, seperti aktivitas oral potensial. Peran kritis superoksida pada berbagai penyakit dan signal seluler yang terbaru memiliki enzyme yang poten yang memiliki kemampuan potensial dalam terapi berbagai penyakit, baik akut atau kronik inflamasi yang terjadi pada syok dan iskemik atau cedera reperfusi.

Anda mungkin juga menyukai