Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Dermatitis atopik (D.A) merupakan penyakit kulit kronik yang berulang dan sering terjadi pada usia bayi dan anak-anak, dengan abnormalitas pada fungsi barrier kulit dan sensitasi alergen,(Leung et al., 2008). Seringkali dihubungkan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada keluarga atau penderita. (Sularsito dan Djuanda 2007). Kata atopi pertama kali di perkenalkan oleh seseorang yang berasal dari Yunani bernama Coca (1923) yang berarti penyakit aneh ataupun hipersensitifitas abnormal untuk melawan faktor-faktor lingkungan, dijumpai pada penderita ataupun keluarganya tanpa sensitisasi yang jelas sebelumnya. Istilah dermatitis atopik diperkenalkan pertama kali oleh Wise dan Sulzberger pada 1933.(Harahap,. 2000). Dermatitis atopik mempunyai karakteristik yaitu terdapat eritema, eksudasi, ekskoriasi, kulit kering, kulit pecah-pecah dan likenifikasi yang nampak pada kepala, leher, siku, telapak kaki, tungkai, dan badan.(Fauziah et al.,2008) Berbagai faktor dapat turut berperan dalam terjadinya patogenesis D.A, misalnya faktor genetik, lingkungan, farmakologik, sawar kulit, dan

imunologik.(Sularsito dan Djuanda 2007). Penyakit D.A dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A Infantil(Terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A Anak (2 sampai 10 tahun), dan D.A pada remaja dan dewasa) (Sularsito dan Djuanda 2007). Dermatitis atopik cenderung

diturunkan. Prevalensi pada anak tinggi, yaitu sekitar 80% apabila kedua orangtuanya menderita DA. (Leung et al., 2003). Survey di negara berkembang menunjukkan 10-20% anak menderita DA. (Jacoeb, 2004). Berdasarkan penelitian terbaru, perkiraan prevalensi DA berkisar antara 10-20% pada anak-anak sekolah di AS, Eropa Barat dan Asia.(Avgerinou et al., 2008). Di Asia Tenggara didapatkan prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% (Chan et al., 2006 dalam Zulkarnain, 2009). Data mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di Indonesia belum diketahui secara pasti (Zulkarnain, 2009). Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan yang dihubungkan dengan hygiene hypothesis,.(Williams dan Flohr, 2006)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang dapat di rumuskan masalah penilitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah analisis hubungan faktor genetik, lingkungan,sawar kulit, farmakologik, imunologik, dan psikologis yang dapat menimbulkan Dermatitis Atopik (D.A) pada penderita di RSU. Anutapura dan RSUD. Undata Palu?

C. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Apakah faktor genetik yang mempengaruhi timbulnya D.A identik pada infantil,anak,remaja,atau dewasa? 2. Apakah faktor lingkungan yang mempengaruhi timbulnya D.A identik pada infantil,anak,remaja,atau dewasa? 3. Apakah faktor sawar kulit yang mempengaruhi timbulnya D.A identik pada infantil,anak,remaja,atau dewasa? 4. Apakah faktor imunologik yang mempengaruhi timbulnya D.A identik pada infantil,anak,remaja,atau dewasa? 5. Apakah status sosial dan pekerjaan dapat mempengaruhi timbulnya D.A?

D. HIPOTESIS PENELITIAN

1. Faktor genetik dapat terjadi pada semua umur 2. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi D.A pada semua umur 3. Faktor sawar kulit lebih dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih dominan pada infantil dan anak 4. Faktor imunologik dapat terjadi pada semua umur 5. Status sosial kemungkinan dapat mempengaruhi timbulnya dermatitis atopik

E. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum Untuk mengetahui Faktor pencetus dari dermatitis atopik pada penderita/pasien yang berobat di RSUD. Undata dan RSU. Anutapura. 2. Tujuan Khusus 1. Menganalisis faktor pencetus D.A yang paling dominan pada pasien di RSUD. Undata dan RSU. Anutapura. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik D.A dengan usia dan jenis kelamin serta status sosial pada penderita.

F. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapaat bermanfaat dalam: 1. Bagi pemerintah (DepKes):

Berguna untuk memberikan informasi tentang jumlah penderita dan hubungannya dengan faktor-faktor pencetus yang dapat menimbulkan dermatitis atopik yang berobat di bagian kulit dan kelamin RSUD. Undata dan RSU. Anutapura. 2. Bagi tempat pelayanan kesehatan (YanKes): Dapat memeberikan informasi tentang apa saja yang dapat menjadi faktor pencetus dermatitis atopik. 3. Bagi masyarakat Memberikan pemahaman yang lebih bagi masyarakat tentang faktor apa saja yang dapat menimbulkan dermatitis atopik sehingga masyarakat dapat menghindari resiko timbulnya penyakit tersebut. 4. Bagi institusi pendidikan kesehatan Berguna untuk menambah informasi tentang penyakit dermatitis atopik bagi pelajar khususnya di institusi pendidikan kesehatan. 5. Bagi peneliti Dapat menambah ilmu pengetahuan baru dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dermatitis atopik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI 1. Definisi a. Ekzema endogen sering disertai dengan riwayat penyakit alergi pada keluarga atau perorangan seperti asma, hay fever, dan rinitis dan dapat mengenai sedikitnya 3% dari semua anak (Lyndon., 2009) b. Dermatitis atopik adalah keadaan dimana terjadi peradangan kulit kronis dan residif, disertai rasa gatal, yang pada umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak dimana penyakit ini sering dihubungkan dengan peningkatan kadar IgE. (Sularsito dan Djuanda 2007) c. Dermatitis atopik adalah suatu gangguan kulit kronik (sekelompok gangguan kulit yang berkaitan) sering ditemukan pada penderita rinitis alergika dan asma serta di antara para anggota keluarga mereka (Lorraine W., 2005)

2. Epidemiologi Dermatitis atopik merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang bessar di dunia. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan negara industri yang lain, prevalensi dermatitis atopik pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa 1-3%. Sedangkan prevalensi AD lebih sedikit di negara-negara pertanian seperti Cina, eropa timur, pedesaan Afrika, dan asia tengah. Rasio wanita dan pria untuk DA yaitu 1,3:1,0 (Goldsmith., 2012). Di Sulawesi Selatan, Data RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia di Makassar menemukan peningkatan

jumlah kasus DA anak; 47 anak di tahun 2004, 106 anak di tahun 2005 dan 108 anak di tahun 2006 (Anonymus, 2010) Dermatitis atopik cenderung diturunkan, Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila D.A berlanjut sampai usia dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya adalah 50%. Wanita lebih banyak menderita D.A. dari pada pria dengan rasio 1,3 : 1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap peningkatan prevalensi D.A. Misalnya jumlahnya keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota (William., 2005)

3. Etiologi Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pengaruh genetik terjadi pada kembar monozigot sebanyak 80% dan kembar heterozigot 20%. Risiko dermatitis atopik meningkat pada jumlah anggota keluarga yang kecil, migrasi dari desa ke kota dan masyarakat sosial kelas atas. Hal tersebut memberi kesan bahwa lingkungan memegang peran terhadap kejadian dermatitis atopik. Alergen seperti tungau debu rumah tangga dan makanan dapat berpera pada beberapa kasus, faktor lain seperti memakai pakaian yang agak kasar, infeksi staphylococcus aureus, paparan suhu panas yang berlebihan, dan paparan bahanbahan iritan yang dapat menyebabkan gangguan fungsi sawar kulit juga berperan penting terhadap kejadian dermatitis atopik (William., 2005)

4. Patogenesis Penyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, lingkungan,sawar kulit, dan imunologik Faktor Genetik Kromoson 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3,IL-4,IL13, dan GM-CSF, yang di ekspresikan oleh sel TH2. Varian genetik kimase sel mas, yaitu serine protease yang disekresi oleh sel mas di kulit, mempunyai efek spesifik pada organ, dan berperan dalam timbulnya D.A (Sularsito dan Djuanda 2007) Faktor Lingkungan Daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna. (Riskianti., 2011) Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam patogenesis D.A tetapi tidak biasa terjadi pada penderita D.A yang lebih tua. Makanan yang paling sering adalah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Tungau debu rumah atau sering disebut dengan TDR, Bulu binatang, dan kapang dapat memicu timbulnya D.A yang di tandai dengan eksaserbasi ditempat lesi lama dan timbul pula lesi ditempat yang baru. Pada 95% penderita D.A mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Penderita D.A cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur, karna imunitas selulernya menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari

90% lesi kulit penderita D.A ditemukan SA, sedangkan pada kulit orang normal hanya 5% bakteri SA melepaskan toksinyang bertindak sebagai superantigen yang menstimulasi aktivasi sel T dan magrofag.(Sularsito dan Djuanda 2007).

Sawar Kulit Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan (trans-epidermal water loss =TEWL) sebesar 2-5 kali. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi pacuan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar mukokutan. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis DA. Perubahan kandungan lipid di stratum korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit.(Ring., 2011) Faktor Imunologik Onset awal DA muncul karena ketiadaan sensitisasi yang dimediasi oleh IgE Pada pasien dengan DA yang onsetnya awal, sensitisasi IgE sering muncul beberapa minggu atau bulan setelah lesinya muncul, menandakan bahwa kulit merupakan tempat sensitisasinya. Disfungsi barier epidermis merupakan penyebab penetrasi alergen dengan berat molekul yang tinggi seperti polen, produk tungau, mikroba dan makanan. Molekul-molekul tersebut membuat sel

dendritik meningkatkan polarisasi Th2. 49, 50 Banyak sel T pada kulit, mungkin dua kalinya dari yang ada di peredaran darah. 51, 52 selain itu keratinosit pada kulit yang atopi menghasilkan banyak limfopoietin stroma tymus yang mirip IL-7 yang memberi sinyal sel dendritik untuk menjalankan polarisasi Th2.

pada fase akut DA, sel langerhans diaktivasi pada ikatan alergen dengan IgE spesifik dan FcRI. Ikatan tersebut memproduksi monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1) dan IL-16. Peptida yang dari alergen dikenalkan oleh sel langerhan kepada sel T kemudian menginduksi terbentuknya Th2. Setelah migrasi ke kulit, monosit yang terlibat didiferensiasikan menjadi inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC) dan menghasilkan sitokin proinflamasi IL-1, IL-6 dan TNF . Sekresi IL-12 dan IL-18 berperan mengubah Th2 menjadi Th1/0 sehingga mengawali terjadinya fase kronis. (Bieber., 2008)

5. Gambaran Klinis Ada tiga tiga fase D.A, yaitu: D.A Infantil(Terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A Anak (2 sampai 10 tahun), dan D.A pada remaja dan dewasa) (Sularsito dan Djuanda 2007) D.A Infantil(Terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun) D.A paling sering mulai muncul pada saat tahun pertama kehidupan, biasanya saat usia 2 bulan, lesi dijumpai pada kulit kepala, muka (dahi dan pipi), daerah popok, dan daerah ekstensor ekstremitas. Lesinya biasanya berwarna merah, vesikuler, basah, adan berkusta. (Sularsito dan Djuanda 2007)

Gambar I Kelainan pada muka D.A pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) Dapat merupakan lanjutan dari masa infantil, atau tumbuh sendiri (de novo). Lesi ini biasanya lebih kering, tidak begitu eksudatif, dan sedikit skuama. Letaknya bervariasi mulai dari kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan, bagian fleksor, kelopak mata, leher, namun jarang di muka atau wajah. D.A berat

yang melebihi 50% permukaan dapat mengakibatkan lambatnya pertumbuhan (Sularsito dan Djuanda 2007)

(a)

(b)

Gambar II. (a) Kelainan pada kepala dan (b) menunjukkan kelainan pada lengan anak

D.A pada remaja dan dewasa Pada remaja dan dewasa lesi distribusi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, selain itu dapat pula di temukan setempat seperti bibir dan puting susu. Pada umumnya D.A pada remaja dan dewasa sifatnya berlangsung lama namun pada saat usia 30 tahun cenderung menurun kemudian sembuh, dan sekitar 70% remaja dan dewasa akan mengalami.

(a)

(b)

(c)

Gambar III.(a) menunjukkan D.A pada bibir, (b) menunjukkan kelainan pada lengan, (c) menunjukkan kelainan pada lengan dan bagian susu (mammae)

Gambar IV. Tempat predileksi berdasarkan usia

6. Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding D.A adalah : Dermatitis kontak (alergi dan iritan), Erupsi obat, Dermatitis seboroik, Psoriasis, Ichtyosis vulgaris, Keratosis pillaris, Dermatofitosis, Asteatotic eczema, Dermatitis nummularis, Impetigo

LEUNG, D. Y. M., EICHHENFIELD, L. F. & BOGUNIEWICHZ, M. (2008). Atopic Dermatitis. IN WOLFF, K., GOLDSMITH, L. A., KATZ, S. I., GILCHREST, B. A., PALLER, A. S. & LEFFELL,D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine 7th ed. New York, Mc Graw-Hill. 1. AIRIN RISKIANTY NURDIN penelitian Kolonisasi mikroorganisme pada lesi kulit penyakit dermatitis atopik pada anak di makassar

Anda mungkin juga menyukai