Anda di halaman 1dari 3

OPTIMALISASI PEMBIAYAAN BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH Mar25 Pendahuluan Dalam kurun waktu lima tahun terakhir

ini progres perbankan syariah telah mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun. Dalam laporan perkembangan perbankan syariah tahun 2010 asset perbankan syariah meningkat cukup signifikan dengan pertumbuhan mencapai 47,6% (yoy). Padahal pertumbuhan aset perbankan nasional untuk periode yang sama, hanya 18,7% (yoy). Selain itu, Dana Pihak Ketiga perbankan syariah tahun 2010 juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan tahun 2009 sebesar 45,06%. Jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha syariah pada tahun 2011 meningkat seiring dengan munculnya bank syariah baru baik dalam bentuk Bank Umum Syariah (BUS) maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Berdasarkan data statistik perkembangan perbankan syariah periode Juni 2011 jumlah BUS menjadi 11 dari sebelumnya hanya sebanyak 6. UUS sebanyak 23 dan BPRS sebanyak 154. Dari sisi produk, Bank syariah memiliki fitur produk yang lebih vareatif dibandingkan bank konvensional. Pembiayaan bagi hasil merupakan produk inti bank syariah yang membedakannya dengan sistem fixedrate return dalam sistem bunga bank konvensional. Akad mudharabah (Trustee Profit Sharing) dan musyarakah merupakan pola investasi langsung pada sektor riil. Return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam, sangat ditentukan oleh sektor riil. Hal ini berarti keberadaan bank syariah akan mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan sektor riil. Fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing (mudharabah dan musyarakah) sebagai core product-nya. Melalui optimalisasi pembiayaan bagi hasil, bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar dalam menggerakkan sektor UMKM. Dilihat dari rasio dana pihak ketiga yang disalurkan ke nasabah (FDR) bank syariah mencapai 94,88% (statistik perbankan syariah periode Juni 2011 ), dan dari seluruh total pembiayaan bank syariah sekitar 75,71% disalurkan ke sektor UMKM. Hal ini membuktikan bahwa bank syariah lebih fokus dalam melakukan pemberdayaan UMKM. Realitas Pembiayaan Dalam perjalanan usahanya, bank syariah belum bisa memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan sektor riil, khususnya UMKM. Hal ini terjadi karena pembiayaan yang diberikan didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil (murabahah ). Dalam statistik perbankan syariah bulan Juni 2011, porsi produk untuk jenis pembiaayaan murabahah mencapai 55,87% dan piutang istishna mencapai 0,389%, sementara proporsi pembiayaan musyarakah sebesar 19,72% , pembiayaan mudharabah sebesar 11,55%, ijarah mencapai 3,54 % dan qord mencapai 8,91%. Rendahnya pembiayaan bagi hasil dan tingginya pembiayaan murabahah disebabkan oleh beberapa hal, (1) Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem bagi hasil, cukup memudahkan,(2) Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-

bank berbasis suku bunga yang menjadi saingan bank syariah, (3) Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem bagi hasil, (4) Murabahah tidak memungkinkan bank-bank syariah untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur. Masih rendahnya pembiayaan bagi hasil juga dipicu dengan adanya asymmetric information dan administrative problem (non-standardized accounting, bad debt). Asymmetric information adalah kondisi yang menunjukkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya tidak memilikinya. Asimetri informasi yang dilakukan agen (pengusaha/debitur) dalam kontrak keuangan biasanya berbentuk moral hazard dan adverse selection. Selain itu keterbatasan asset bank syariah yaitu sebesar 3,24% dari keseluruhan total asset perbankan menyebabkan bank syariah harus lebih berhati-hati dalam melakukan pembiayaan, khususnya pembiayaan bagi hasil sehingga kemampuan berinvestasi bank syariah terhambat. Tingginya pembiayaan non-bagi hasil merupakan kelemahan dari perkembangan pembiayaan bank syariah, karena skema murabahah, dan ijarah, sesungguhnya merupakan fixed return modes, dimana kalau kita mau jujur bahwa yang membedakan secara prinsipil antara bank Islam dan bank konvensional diantaranya adalah terletak pada prinsip risk-profit sharing-nya. Skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa bahkan dapat memicu terjadinya inflasi, dimana harga komoditas barang cenderung meningkat. Selain itu, tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi produk pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk pembiayaan non-bagi hasil apabila dikelola sesuai dengan manajemen risiko. Penerapan manajemen risiko ini terkait untuk mengantisipasi berbagai macam risiko yang potensial akan muncul dalam pembiayaan bagi hasil, diantaranya risiko kredit, dan risiko pasar (terkait usaha yang dibiayai). Keunggulan pembiaayaan berbasis bagi hasil (musyarakah dan mudharabah) dapat menggerakkan sektor rill karena bersifat produktif, disalurkan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja sehingga kemungkinan terjadinya krisis keuangan akan dapat dikurangi. Jika investasi di sektor riil meningkat tentunya akan menciptakan kesempatan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Peningkatan persentase pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya pengusaha atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pada akhirnya akan berkembang berbagai inovasi baru yang akan meningkatkan daya saing bank syariah. Dalam rangka mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil pada bank syariah dapat dilakukan dengan berbagai upaya.(1)Kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan. (2)Pengembangan industri-industri kecil yang dibina langsung oleh bank syariah. (3)Membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip syariah. Terkait dengan masalah Asimetric information, Presley & Session mengenalkan konsep incentive-compatible constraint yang mencakup empat aspek, yaitu: pertama, higher stake of net worth, kedua hight operating risk firms have

higher leverage, ketiga lower fraction of unobservable cash-flow; dan keempat lower fraction of noncontrollable cost. Sedangkan untuk meminimalisasi risiko asimetric information dan menekan biaya monitoring pada pembiayaan bagi hasil ke sektor UMKM, bank syariah dapat melakukan pola kemitraan dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah, yaitu dengan menggunakan model Lingkage Program yang sudah di kenalkan oleh Bank Indonesia, Model Lingkage Program ini terdiri dari Executing (Pembiayaan ke Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dengan equity financing), Join Financing (pembiayaan bersama), atau Channeling. Pola kemitraan perlu di lakukan karena LKMS (BPRS, Koperasi Syariah, BMT) tersebar di seluruh pelosok wilayah. Mereka juga lebih mengenal kebutuhan jasa keuangan, karakter, adat istiadat dan sifat nasabah setempat, khususnya UMKM. Dengan demikian, potensi munculnya risiko kredit macet dapat di tekan, selain itu dengan pola kemitraan ini diharapkan dapat menekan biaya monitoring perbankan, karena LKMS dapat berperan sebagai auditor atau pengawas dan pendamping usaha nasabah dengan efektif dan efisien. Kesimpulan Pengembangan industri perbankan syariah kedepan harus dilihat pada kemampuannya untuk memberikan manfaat dan nilai tambah kepada nasabah, mampu memberdayakan perekonomian ummat secara umum dan sesuai prinsip syariah melalui pembiayaan yang berkualitas. Hal ini dapat tercapai apabila bank syariah tetap berpegang kepada produk yang telah menjadi core product pembiayaan yang berprinsip bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah . Pembiayaan ini bersifat produktif karena di investasikan untuk penyediaan modal kerja sehingga dapat memberdayakan perekonomian ummat yang mencerminkan prinsip keadilan. Wallahualam bishshowab

Anda mungkin juga menyukai