Anda di halaman 1dari 5

PENGATURAN PEMBERIAN KREDIT Pemberian kredit adalah salah satu kegiatan usaha bank umum yang mengandung resiko

yang dapat berdampak/berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Mengingat kegiatan usaha pemberian kredit yang mengandung resiko, maka bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dan Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan di Indonesia juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh bank. Definisi kredit menurut UU No. 7 tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pasal 8 ayat (1) UU Perbankan, bank umum dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam penjelasan pasal 8 ayat (1) dijelaskan bahwa untuk mendapatkan keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah Debitur. Dalam pasal 8 ayat (2) UU Perbankan, disebutkan bahwa Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan dan prospek usaha dari Nasabah Debitur;

c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiataan berdasarkan prinsip syariah; e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepasa Nasabah Debitur dan atau pihakpihak terafiliasi; f. Penyelesaian sengketa. Peraturan Berdasarkan SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995, dalam usahanya memberikan kredit bagi debitur, bank umum wajib memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut: 1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan; 2. Organisasi dan manajemen perkreditan; 3. Kebijakan persetujuan kredit; 4. Dokumentasi dan administrasi kredit; 5. Pengawasan kredit; 6. Penyelesaian kredit bermasalah. (BMPK) Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran (diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Pengaturan mengenai BMPK untuk bank umum ini ada dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005.

Definisi Batas Maksimum Pemberian Kredit menurut pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank. Penyediaan dana yang dimaksud dalam definisi tersebut tidak hanya dalam bentuk kredit, tetapi juga meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana bank dalam bentuk: a. kredit; b. surat berharga; c. penempatan; d. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali; e. tagihan akseptasi; f. derivatif kredit (credit derivative); g. transaksi rekening administratif; h. tagihan derivatif; i. potential future credit exposure; j. penyertaan modal; k. penyertaan modal sementara; l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k. Penyediaan dana kepada peminjam dana dapat dibagi menjadi tiga jenis dengan jumlah yang berbeda bagi masing-masing peminjam. Berikut ini adalah klasifikasi penyediaan dana oleh bank kepada peminjam dana: 1. Seluruh portofolio Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dengan Bank ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari Modal Bank. Ketentuan ini diatur pada pasal 4 PBI No. 7/3/PBI/2005 2. Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal Bank. Ketentuan ini diatur pada pasal 11 ayat (1) PBI No. 7/3/PBI/2005 3. Penyediaan Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima perseratus) dari Modal Bank. Ketentuan ini diatur pada pasal 11 ayat (2) PBI No. 7/3/PBI/2005

Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan. Sementara, pihak terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia. Berdasarkan pasal 6 PBI No. 7/3/PBI/2005 yang dimaksud dengan Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank pada saat pemberian Penyediaan Dana. Sedangkan yang dimaksud dengan Pelampauan BMPK menurut pasal 7 PBI No. 7/3/PBI/2005 adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada angka 6. Penyediaan dana oleh Bank dikategorikan sebagai pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh : a. penurunan modal bank; b. perubahan nilai tukar; c. perubahan nilai wajar; d. penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam; e. perubahan ketentuan. Dalam hal bank melakukan pelanggaran dan atau pelampauan BMPK, maka berdasarkan pasal 44 ayat (1) PBI No. 7/3/PBI/2005 akan dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan bank. Bank wajib membuat rencana tindak (action plan) dalam rangka penyelesaian pelanggaran dan atau pelampauan BMPK yang telah dilakukan sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (1) PBI No. 7/3/PBI/2005. Action plan tersebut memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian. Target waktu penyelesaian pelanggaran dan atau pelampauan BMPK diatur dalam pasal 24 ayat (3) PBI No. 7/3/PBI/2005.

Action plan tersebut harus diserahkan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya pelanggaran BMPK. Dalam hal bank yang menyampaikan Action plan untuk pelanggaran BMPK setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1) sampai dengan 14 hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. Sedangkan bagi bank yang belum menyampaikan Action Plan untuk pelanggaran BMPK setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (2), dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dalam hal bank belum menyampaikan action plan untuk pelampauan BMPK setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (4), dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (2) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas waktu tersebut, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.

Anda mungkin juga menyukai