Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN ETIKOLEGAL KORELASI SUMPAH DOKTER DENGAN PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM

Oleh: Azaria Amelia Adam Hakky Arsy Eriawan 08107133046 0810713067

Mohamad Akmal Bin Abdul Kadir 0810714020 Muhamad Beny Hariyanto Muhamad Nurfaiz Benny Arie Pradana James Klemens Phieter Phie 0910713020 0810714021 0910710005 0810710062

Pembimbing: dr. Ngesti Lestari,SH,SpF(K)

LABORATORIUM KEDOKTERAN FORENSIK RSU Dr. SAIFUL ANWAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan ilmu kedokteran, seorang dokter tidak hanya memiliki kewajiban pada bidang medis saja, namun juga pada bidang medis seperti hukum. Hal ini dapat terjadi karena kebutuhan bidang hukum akan pertimbangan untuk menentukan suatu perkara secara obyektif terutama dalam masalah kriminal. Bentuk bantuan dokter

terhadap bidang hokum tersebut tertuang pada visum et repertum. Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk justisi yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah, tentang segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada benda yang diperiksa menurut pengetahuan yang sebaikbaiknya. Visum et repertum berbeda dengan rekam medis yang digunakan dalam laporan autopsi atau bedah jenasah. Polisi atau kejaksaan sering meminta visum et repertum kepada seorang dokter dalam hal perkara penganiayaan dan pembunuhan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Visum dibuat dengan teliti dan mudah dipahami berdasarkan apa yang dilihat. Selain itu, visum et repertum haruslah objektif tanpa pengaruh dari berkepentingan dalam perkara itu. Dalam prosesnya, Visum et repertum ini diminta oleh penyidik polri dan hasilnya juga diserahkan pada penyidik polri yang memintanya, sesuai dengan haknya untuk meminta bantuan dokter berdasarkan pasal 133 ayat 1 kitab undang-undang hukum acara pidana. Sebagai seorang dokter yang telah melafalkan sumpah dokter, dokter juga memiliki keawajiban memberikan visum et repertum

berdasarkan peraturan perundang-udangan. Berdasarkan KUHAP pasal 187 butir c. Kewajiban dokter untuk membantu peradilan dalam bentuk keterangan ahli, pendapat orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Visum et repertum yang dimaksud disini adalah alat bukti yang sah berupa keterangan ahli atau surat Oleh karena hal yang telah disebutkan diatas, patutlah kita mengetahui korelasi antara sumpah dokter dan pembuatan visum et repertum dalam sudut pandang etikolegal.

1.2 Rumusan Masalah

A. Apakah korelasi antara sumpah dokter dengan pembuatan visum et repertum dari sudut pandang etikolegal ?

1.3 Tujuan
A.

Mengetahui korelasi antara sumpah dokter dengan pembuatan visum et repertum dari sudut pandang etikolegal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Visum et Repertum 2.1.1 Pengertian Pengertian arti harafiah dari Visum et Repertum yakni berasal dari kata visual yang berarti melihat dan repertum yaitu

melaporkan.Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini adalah apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya (Soeparmono,2002:98). Dalam Stbl tahun 1937 No 350 dikatakan bahwa visa et reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu

menyelesaikan pelajarannya di Indonesia. Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut sebagai Visum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang dituangkan dalam sebuah Visum et Repertum sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan dalam sebuah persidangan.Hal ini mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedokteran forensik ini.Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada pasal 184 KUHAP tentang alat bukti. Artinya, hasil Visum et Repertum ini bukan saja sebagai petunjuk dalam

hal membuat terang suatu perkara pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan. 2.1.2 Bentuk Visum et Repertum

Berdasarkan objeknya Visum et Repertum dibagi menjadi : 1)

Visum et Repertum Korban Hidup Visum et Repertum Visum et Repertum diberikan kepada korban setelah diperiksa didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau aktivitasnya.

Visum et Repertum Sementara Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara

masih dirawat di rumah sakit akibat luka-lukanya akibat penganiayaan.

Visum et Repertum Lanjutan Misalnya visum bagi si korban yang lukanya tersebut (Visum et

Repertum Sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut si korban kemudian di pindahkan ke rumah sakit atau dokter lain ataupun meninggal dunia. 2) Visum et Repertum pada mayat Visum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap atau dengan kata lain berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam atau pemeriksaan luar saja pada mayat. 3) Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

4) 5) 6) 7)

Visum et Repertum Penggalian Mayat Visum et Repertum Mengenai Umur Visum et Repertum Psikiatrik Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti

Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, sperma dan sebagainya. (Peranan Dokter dalam Pembuktian Tindak Pidana,2008 : 51)

2.1.3 Dasar Hukum Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto dkk (Ilmu Kedokteran

Forensik,1997) , dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut : Pasal 133 KUHAP menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan

tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya

diperuntukkan kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun seperti VR Psikiatris. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP yaitu : Pasal 120 (1) KUHAP Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku tidak dapat dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut: 1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. 2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. 3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan

keadaan pelaku perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan

dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum , karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana : Pasal 216 KUHP : Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

2.1.4 Peran dan Fungsi Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP. Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.

2.1.5 Struktur dan Isi Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut: a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa b. Bernomor dan bertanggal c. Mencantumkan kata Pro Justitia di bagian atas kiri (kiri atau tengah) d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan f. Tidak menggunakan istilah asing g. Ditandatangani dan diberi nama jelas h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut i. j. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et

repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun (Permenkes no.749a tahun 1989 ps.7: Lama penyimpanan rekam medis sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat. Lama penyimpanan rekam medis yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan sendiri; ps.8: Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pasal 7 dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan)

10

Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah warisan para pakar kedokteran kehakiman yaitu profesor H. Muller, Prof Mas soetedjo Mertodidjojo dan Prof Sutomo Tjokronegoro sejak puluhantahun yang lalu. Konsep visum et repertum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :

1. ProYustisia Menyadari bahwa semua surat baru syah di pengadilan apabila dibuat diatas kertas bermaterai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum et repertum yang dibuatnya harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila dokter menulis Pro Yustisia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai. Penulisan kata Pro Yustisia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (pro yustisia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang arti sebenarnya kata pro yustisia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang syah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan kata lain kata Pro Yustisia harus dicantumkan dikiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai

2. Pendahuluan Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa dan siapa yang diperiksa, saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum

11

itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.

3. Pemeriksaan Bagian yang terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif dan pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan

pada tubuh korban seperti apa adanya. Misalnya terdapat suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, dan lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Menurut penulis cara penulisan ini lebih baik langsung disebut sebuah luka sayat dengan rincian seperti diatas. Demikian juga dengan luka robek, luka tembak dan lain-lain. Pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapat kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan katakata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya adalah karena dengan lampiran foto atau sketsa pemakain visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum.

4. Kesimpulan Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan

12

kesembuhan.Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum.

5. Kesimpulan Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untukdikawini). Pada kebanyakan visum yangdibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

6. Penutup Pada bagian ini, visum et repertum ditutup dengan : demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam stb. 1937/350 atau sesuai dengan penjelasan KUHAP pasal 186 : keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut

umum yang dituangkan dalam suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.Ketentuan ini sangat memudahkan dokter dalam membuat visum et repertum, tidak perlu setiap kali disumpah oleh penyidik kalau

13

membuat visum et repertum. Visum et repertum harus dibuat sejujurjujurnya dan sengaja dari ketentuan ini dapat dipidana berdasarkan KUHP pasal 242 yaitu sumpah palsu 2.2 Sumpah Dokter Indonesia Sumpah Dokter Indonesia adalah sumpah yang dibacakan oleh seseorang yang akan menjalani profesi dokter Indonesia secara resmi. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atas Deklarasi Jenewa (1948) yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates. Lafal Sumpah Dokter Indonesia pertama kali digunakan pada 1959 dan diberikan kedudukan hukum dengan Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1960. Sumpah mengalami perbaikan pada 1983 dan 1993. 2.2.1 Lafal Sumpah Sumpah/janji seorang dokter sebagai termaksud pada pasal 36 ayat (1) "Reglement op den Dienst van de Volksgezonheid" (Staatsblad 1882 No. 97), sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undangundang No. 10 tahun 1951 (Lembaran-Negara tahun 1951 No. 46) berbunyi sebagai berikut : Saya bersumpah/berjanji bahwa: 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan

perikemanusiaan; 2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; 3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran; 4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter;

14

5. Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan; 6. Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita" saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial; 7. Saya akan memberikan kepada Guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; 8. Teman-sejawat kandung; 9. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; 10. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; 11. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya". Lafal Sumpah dokter dengan SK Menkes RI 434/menkes/SK/X/1983: Demi Allah saya bersumpah/berjanji, bahwa: 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan saya akan saya perlakukan sebagai saudara

perikemanusiaan; 2. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran; 3. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan

kepentingan masyarakat; 4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan

kepentingan masyarakat; 5. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter

15

6. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam; 7. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; 8. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien; 9. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan social dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien; 10. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; 11. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan; 12. Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia; 13. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya. Lafal sumpah dokter yang tercantum dalam KepMenkes RI No : 43/Menkes/SK/1993, tanggal 28 Oktober 1993: Demi Allah, saya bersumpah bahwa : 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan

perikemanusiaan; 2. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; 3. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bermoral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; 4. Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;

16

5. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter; 6. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran; 7. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan; 8. Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial; 9. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; 10. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan

kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; 11. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan kehormatan diri saya. 2.3. Tinjauan Etikolegal Korelasi Sumpah Dokter dengan Pembuatan Visum et Repertum Visum et Repertum berperan sebagai salah satu alat budkti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam Visum et Repertum terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat pendapat dan keterangan dari dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan. Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di siding pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukan bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang member kemungkinan dilakukannya

17

pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hokumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Terdapat perbedaan antara catatan medis dengan visum et repertum. Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan dan perawatannya, yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh dokter atau institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1996 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi hokum seperti pada pasal 322 KUHP. Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk keterangan medic, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung atau berupa perjanjian yang sebelumnya telah dibuat oleh pasien dengan pihak tertentu, misalnya pada klaim asuransi. Karena visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179 dan 133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizing pasien. Pasal 50 KUHP, menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk

melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintanyam untuk selanjutnya digunakan untuk proses peradilan. Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum.

18

Dalam pembuatan visum et repertum pada kasus perlukaan, umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor pada penyidik, sehingga telah membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dngan luka sedang atau berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik. Sebelum membuat visum et repertum, dokter berkewajiban untuk memberikan terapi dan perawatan pada korban yang kemudian dicatat dengan lengkap dalam rekam medis. Pada bagian pemberitaan, biasanya disebutkan keadaaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan fisik. Berikut uraian mengenai letak, jenis, sifat luka dan ukurannya, pemeriksaan khusus atau penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selam perawatan dan keadaan akhir saat selesai perawatan. Gejala yang dapat dibuktikan secara objektif daapt dimasukkan sedangkan yang subjektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan dalam visum et repertum.

19

BAB III PENUTUP

Pembuatan Visum et Repertum merupakan salah satu bagian dari bentuk pelayanan medikolegal di rumah sakit,namun demikian terkait dengan kedokteran forensik, pembuatan Visum et Repertum juga merupakan bagian dari pembuktian, bahan penuntutan serta

pertimbangan bagi seorang hakim untuk memutus perkara dalam sebuah persidangan. Dalam kaitannya sebagai salah satu bagian dari alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Visum et Repertum harus diminta secara resmi dari pihak yang dapat mengajukan, kemudian di keluarkan oleh pihak yang berhak. Hal ini sangat penting untuk di lakukan mengingat keberadaan Visum et Repertum ini dapat membuat terang sebuah perkara pidana sekalipun dilaksanakan kepada mayat (korban). Walaupun demikian, pada kenyataan yang sering terjadi di lapangan terkait hal ini diantaranya adalah keterbatasan peralatan termasuk penyimpanan rekam medis, kurang baik nya koordinasi antara penyidik Kepolisian dengan dokter dimana kejadian yang paling sering terjadi adalah sudah rusaknya TKP tindak pidana khususnya yang memerlukan pemeriksaan kedokteran forensik ketika dokter yang akan memeriksa datang/sampai ke TKP tersebut.Hal ini lebih banyak di karenakan kurang cermatnya penyidik yang berada di TKP. Berbagai perbaikan yang dilakukan baik oleh institusi Kepolisian maupun lembaga Criminal Justice System termasuk pihak kedokteran forensik yang ada di Indonesia, diharapkan bisa membawa perubahan dalam hal penanganan tindak pidana yang terjadi khususnya yang

20

memerlukan

dilakukannya

pemeriksaan

pihak

kedokteran

guna

kepentingan pengeluaran Visum et Repertum.

21

Anda mungkin juga menyukai