Anda di halaman 1dari 12

Kenapa Aswaja zaman sekarang diklaim golongan Asyariyyah dan Maturidiyyah dan imam mazdhab empat saja?

Padahal keberadaan golongan dan empat madzhab tersebut tidak pernah dijelaskan dalam al-Quran dan al-Hadist, bahkan imam-imam mazdhab lahir jauh setelah periode Nabi SAW. Untuk menjawab pertanyaan yang dinamis ini, perlu sebuah penjabaran jelas yang akan coba kaji bersama. Berlatar belakang beberapa hadist, diantaranya : Disebutkan dalam Sunan Abi Dawud, juz IV, hal. 210 : . . Artinya : Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunahku dan sunah khulafaurrosyidin yang selalu mendapatkan petunjuk, berpeganglah padanya dengan kuat dan gigitlah dengan gigi gerahammu. Dalam Sunan Tirmidzi, juz V, hal. 26 juga disebutkan : . . Artinya : Sesungguhnya Bani Isroil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya : siapa yang satu golongan itu, ya Rosululloh? Rosululloh menjawab : mereka yang berideologi dengan akidah atau ajaran yang aku dan sahabatku ajarkan. Juga disinggung dalam Sunan Ibnu Majah, juz XI, hal. 1322 : : . Artinya : Dari sahabat Auf r.a., ia berkata : Rosululloh bersabda : Demi dzat yang jiwaku berada pada kekuasaannya, benar-benar akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Satu masuk sorga, yang 72 lainya masuk neraka. Ditanyakan pada beliau : siapa satu golongan yang masuk sorga, ya Rosululloh? Beliau menjawab : jamaah (golongan mayoritas), yaitu mereka yang sesuai dengan sunah para sahabat. Dalam kitab al-Milal wa al-Nihal, juz I, hal. 13 : . : . . Artinya: Rosululloh SAW. Telah menyampaikan : Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur. Ditanyakan pada Beliau : Siapakah golongan yang selamat, ya Rosululloh? Beliau menjawab : Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunah sahabatku. Pada zaman Rosul SAW. memang tidak ada perpecahan diantara para sahabat, namun sebagai mukjizat Rosul, Beliau telah mengetahui perpecahan yang akan terjadi pada zaman setelah wafat beliau, maka beliau sarankan dan menggariskan golongan selamat adalah orangorang yang berpegang teguh dengan ajaran khulafaurrosyidin dan golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rosul SAW. dan sunah para sahabatnya.

Ternyata setelah wafat beliau, telah terbukti pernyataan beliau bahwa umat Muhammad SAW. telah mengalami perpecahan, yang pada awal-awalny dipicu oleh beberapa sebab : a. Perbedaan tentang wafat Rosul SAW. Sebagian sahabat berpendapat bahwa Muhammad SAW. tidak meninggal, namun diangkat sebagaimana Nabi Isa A.S. Namun perpecahan menjadi hilang ketika Abu Bakar as-Shiddiq menyampaikan firman Alloh SWT. : )03 : ( . b. Perbedaan tentang pemakaman Rosululloh SAW. Ahli Makkah menginginkan dimakamkan di Makkah, karena merupakan tempat kelahirannya. Sementara ahli Madinah menginginkan dimakamkan di Madinah sebagai tempat hijrahnya dan tempat tinggal sahabat Anshor. Pihak ketiga menginginkan dimakamkan di Baitul Maqdis karena merupakan makam nenek moyangnya, yaitu Nabi Ibrohim AS. Perpecahan ini telah selesai dengan keputusan yang diambil Abu Bakar as-Shiddiq dengan menyitir hadis Rosululloh SAW : Sehingga Rosululloh SAW dimakamkan di ndalem Beliau di Madinah. c. Perselisihan tentang imamah (kepemimpinan) yang diawali dari penetapan golongan kaum Anshor untuk membaiat Saad bin Ubadah sebagai kholifah. Ketika kaum Muhajirin mengetahui perkumpulan mereka, kaum Muhajirin yang dipimpin oleh Abu bakar, Umar, 'Ubadah, memasuki balai pertemuan kaum Anshor sehingga terjadi perdebatan sengit, karena kaum Anshor menginginkan agar kaum Muhajirin punya pimpinan sendiri dan kaum Anshor punya pimpinan sendiri. Akhirnya persengketaan berhenti ketika Abu Bakar berkhutbah/berpendapat : Artinya : Kami (bangsa Quraisy) adalah pemimpin, sedang golongan Muhajirin menjadi menteri (pembantu). Karena imamah ditetapkan dari golongan Quraisy, maka dibaiatlah Abu Bakar as-Shiddiq sebagai kholifah. Setelah Abu Bakar wafat pada tanggal 8 Jumadil Akhir 13 H. Maka sayyidina Umar bin Khottob menggantikan Abu Bakar sebagai kholifah karena wasiat dari Abu Bakar. Dalam masa kepemimpinan dua kholifah tadi masih belum nampak perbedaan yang berarti di kalangan umat Islam, kecuali sedikit dari golongan yang dianggap punya dasar yang shohih, seperti golongan yang tidak mau mengeluarkan zakat dan orang orang yang mengaku diangkat menjadi nabi seperti Musailamah al-Kadzdzab dan orang-orang yang murtad seperti Tulaihah yang kemudian masuk Islam kembali pada masa kholifah Umar, dan lain-lain. Namun setelah wafatnya kholifah Umar r.a. pada tanggal 14 Dzulhijjah 23 H. yang terbunuh oleh Abu Lulu al-Majusi ketika sholat subuh, maka terbaiatlah Utsman bin 'Affan setelah Umar menyerahkan urusan pengangkatan penggantinya kepada enam sahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Saad bin Abi Waqash, Abdurrohman bin Auf dan Tholhah bin Ubadah. Ironisnya, setelah dipilihnya Utsman bin 'Affan sebagai kholifah, muncul golongan yang tidak puas dengan kepemimpinan Utsman, sehingga sengaja memecah belah persatuan umat Islam dengan mengadakan pemberontakan sampai terbunuhnya sayyidina Utsman ketika sedang membaca AlQuran di kediaman Beliau, pada bulan Dzulhijjah tahun 35 H. Dari sinilah cikal bakal perpecahan umat Islam, sehingga umat Islam terpecah menjadi 3 golongan :

1. Golongan yang mendukung pemberontakan terhadap Utsman. 2. Golongan yang menentang pemberontakan terhadap Utsman. 3. Golongan yang tidak mendukung dan tidak menentang (abstain) Ketika kholifah Ali bin Abi Tholib dibaiat oleh golongan ahli Madinah, maka muncul perbedaan yang sangat tajam diantara umat Islam disebabkan terbunuhnya Utsman, yang kemudian memunculkan beberapa golongan : a. Golongan yang menuntut pengusutan darah Utsman untuk dilakukan qisosh terlebih dahulu sebelum ada kholifah pengganti. Mereka mayoritas terdiri dari orang-orang yang dekat dengan Utsman, dipimpin oleh Mu'awiyah Bin Abi Shofyan yang diikuti pembesar sahabat seperti Tholhah, Zubair, Ummul Muminin (Aisyah), Amru bin 'Ash, dll. b. Golongan yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah membentuk kholifah terlebih dahulu, baru mengusut pembunuhan Utsman dengan membentuk tim khusus. Mereka adalah Sayyidina Ali bin Abi Tholib dan para sahabat yang sependapat dengannya. c. Golongan yang menganggap bahwa pemberontakan serta pembunuhan Sayyidina Utsman telah persedarah sehingga tidak perlu adanya qishosh. Persengketaan di antara mereka tidak dapat dipadamkan dan tidak dapat diselesaikan dengan damai, maka pertempuran antara kubu Ali dan Mu'awiyah pun tak dapat dihindari, sehingga menimbulkan korban yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya kubu Mu'awiyah dan sahabatnya mengajak damai kubu Ali dengan tahkim (diselesaikan dengan juru hukum) yang ditunjuk oleh kedua kubu. Pada awalnya Ali menolak tahkim, karena itu dianggap langkah politik dan sikap Ali ini didukung oleh golongan Khowarij. Namun atas desakan para sahabat senior yang arif dan bijaksana, akhirnya Sayyidina Ali menerima tawaran tahkim dengan mengajukan seorang sufi, yaitu Abu Musa al-Asyari dan dari fihak Mu'awiyah mengajukan 'Amr bin Ash. Namun ironisnya, keputusan yang diambil dari kedua utusan tersebut tidak membuahkan perdamaian, karena keduanya memutuskan agar Ali dan Mu'awiyah sama-sama turun dari jabatan dan mengangkat kholifah (sosok pemimpin) yang disepakati para muslimin. Tapi setelah masing masing kelompok telah mengajukan calon, masih belum juga ada sosok pemimpin yang disepakati. Dari perpecahan ini, golongan yang awalnya tidak menerima tahkim, keluar dari mendukung Ali RA bahkan justru mengadakan perlawanan, golongan ini disebut golongan Khowarij. Golongan khowarij tidak menerima hukum-hukum yang datang dari Nabi dengan hadits Nabi yang diriwayatkan Utsman RA., Muawiyah dan sahabat yang membantu mereka termasuk orang-orang yang setuju menerima tahkim. Hadis- hadis yang diriwayatkan para sahabat tesebut berikut fatwa-fatwanya juga ditolak dan dianggap kafir karena telah melakukan dosa besar. Sehingga menjadi ideologi kaum Khowarij, bahwa orang orang yang melakukan dosa besar dan orang yang tidak dalam golongannya termasuk kafir. Namun kemudian kaum Khowarij ini berkembang menjadi dua, masing-masing golongan saling mengkafirkan yang lain. Di sisi lain, golongan yang sangat fanatik dengan Ali RA, mendukung Beliau dengan sangat berlebihan, bahkan sampai berani mensifati Ali RA dengan sifat yang tidak dimilikinya. Golongan ini disebut dengan Syiah. Mereka beritikad bahwa kepemimpinan Ali RA berdasarkan nash al Quran dan wasiat dari Nabi Muhammd SAW. Sedangkan kholifah Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap merampas jabatan. Sampai ahirnya mereka tidak menerimahadits ahkam dan fatwa-fatwa yang keluar dari selain sahabat Ali RA dan keluarganya. Karena fanatik yang berlebihan ini, mereka berkeyakinan bahwa walaupun Ali RA bersalah bahkan berbuat dosa tidak apa-apa. Karena Ali RA adalah orang yang beriman, sehingga sampai sekarang telah menjadi akidah mereka, bahwa orang orang yang sudah iman tidak

apa-apa melakukan kemaksiatan, sebagaimana orang kafir tidak ada artinya melakukan ibadah. Kemudian golongan syiah ini terpecah menjadi lima golongan yaitu: 1. Kaisaniyyah. 2. Zaidiyyah. 3. Imamiyyah. 4. Gholiyyah. 5. Ismailiyyah. Dari keterangan ini nampak bahwa umat Islam dalam segi akidah terbagi tiga; pertama kaum Khowarij, kedua Syiah, ketiga masih komitmen dengan sunah Rosul dan semua sahabat tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, karena semua sahabat sudah adil dan yang terjadi antara Ali RA dan Mu'awiyah merupakan masalah ijtihadiyyah, bagi yang ijtihadnya benar mendapatkan dua pahala dan bagi yang salah mendapatkan satu pahala karena ada jaminan hadist : Mereka adalah golongan Tabi'in para ahli hadits yang kemudian disebut dengan Ulama Salaf. Hal ini terus berlangsung pada masa Hasan Bashri, yaitu Abu Said al-Hasan bin Yasan al-bashri yang menjadi imam di tanah Bashrah, wafat pada tahun 110 H. Kemudian murid beliau yang bernama Wasil bin Atho al-Bashri lahir pada tahun 80 H. dan wafat tahun 131 H. Namun kemudian dia keluar dari majlis Hasan Bashri dan mendirikan golongan baru yang lebih dikenal dengan qoum Mutazilah yang artinya hengkang (keluar) dari golongan Hasan Bashri. Hal ini berawal dari pertanyaan yang diajukan oleh Wasil bin Atho kepada Hasan Bashri tentang hukumnya orang melakukan dosa besar, yang diperdebatkan dua kubu. Menurut qoum Khowarij, orang tersebut adalah kafir, sedangkan menurut kubu yang lain hanya dosa besar. Bagaimana pendapat anda? (tanya Wasil pada Hasan Bashri), namun belum sempat terjawab oleh Hasan Bashri, Wasil terlebih dahulu menjawabnya sendiri, menurut saya, orang-orang yang melakukan dosa besar tidak iman dan tidak kafir. Mereka ada di tengah-tengah surga dan neraka (manzilatun bainal manzilataini) yang kemudian menjadi akidah mereka, bahwa orang yang masuk surga harus dengan amal. Tanpa amal wajib tidak masuk surga. Meraka membuat kelompok sendiri dengan diberi nama ahlu tauhid dan ahlu adli. DIRINGKASNYA ASWAJA PADA EMPAT MADZHAB Pada awal kurun kedua hijriyyah sampai pertengahan kurun keempat kira-kira tahun 320 H. disebut dengan masa pembukuan dan masa mujtahid. Karena di tahun itu adalah masa kesemangatan gerakan menulis dan membukukan ajaran Islam, pembukuan al-hadits, fatwa-fatwa sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in, lembaran tafsir al-quran, fiqh imam mujtahid dan al-ushulu al-fiqh mereka. Masa ini disebut dengan masa keemasan. Penyebab kebagkitan mereka adalah mengkaji ilmu agama. Waktu itu dipengaruhi dua faktor : a. Daulah al-Islamiyah menjadi luas dan berbeda-beda suku bangsa, adat istiadat sehingga membutuhkan konsep fiqh kenegaraan Islam secara detail. b. Mereka yang hendak merumuskan hukum syariat dan berfatwa, telah mendapatkan kemmudahan. Karena sumber-sumber rumusan syariat al-quran dan al-hadits terkumpul ,demikian pula fatwa-fatwa sahabat. c. Besarnya kepedulian umat Islam untuk meramal yag sesuai dengan ajaran Islam baik dalam bidang ibadah ataupun muamalah, sehingga memerlukan rujukan dari orang-orang yang punya ilmu fiqh.

d. Masa ini, masa berkembangnya orang-orang alim (ulama) dengan dukungan lingkungan hidup mereka, sehingga terbentuk karakter syariat pada setiap individu, termasuk golongan mereka adalah Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal dan santri-santri beliau serta imam-imam mujtahid. Pada masa-masa ini tidak ada ikatan kaum muslimin untuk mengikuti imam tertentu, akan tetapi bagi yang mampu mengkaji hukum dari sumber yang asli, yaitu al-quran dan al-hadits, mereka boleh mengkaji sendiri tanpa mengikut pada orang lain. Dan bagi mereka yang tidak mampu maka mengikuti pada ulama siapa saja yang ia mau. Pada pertengahan abad keempat hijriyyah himmah para ulama mulai kendor untuk berijtihad mutlak dan kembali pada sumber hukum yang tidak pernah habis yakni al-Quran dan al-hadits. Mereka cenderung mengikatkan diri pada imam-imam mujtahid yang terdahulu yang masyhur dan diyakini kebenarannya, namun pada akhirnya yang mendapatkan kepercayaan luar biasa tinggal empat mujtahid, yaitu: 1. Abu Hanifah Numan bin Tsabit. Lahir di Kufah tahun 80 H., wafat tahun 150 H.. Santrinya yaitu Abu Yusuf Yaqub bin Ibrohim al-Anshori lahir tahun 112 H., wafat tahun 193 H., Muhammad bin Hasan lahir tahun 132 H., wafat tahun 189 H. yang kemudian menjadi Madzhab Hanafi dan mempunyai kekuatan, kekuasaan di beberapa daerah timur lantaran Abu Yusuf telah menjadi qodli qudlot yang mengangkat seorang qodli dari pengikut Hanafi dan dukungan pemerintah Abasiyah dan dapat meluas ke negeri barat sekitar tahun 400 H, sampai pulau Sisiliya dan masuk Mesir pada awal pemerintahan Abasiyah, kemudian tergeser oleh madzhab Maliki dan Syafii, dan sampai sekarang masih berkibar di daerah India dan Turki. 2. Imam Malik bin Anas al-Ashbahi. Lahir tahun 93 H. di Madinah al-Munawwaroh, wafat pada tahun 173 H. Madzhab ini tidak pernah pindah dari Madinah. 3. Imam Syafii, Muhammad bin Idris Al-Syafii Al-Quroisyi. Nasabnya bertemu degan Nabi muhammad SAW. pada Abdi Manaf. Lahir pada tahun 150 H. Di Ghuzah dan wafat tahun 204 H. Di Mesir. Madzhab beliau dikembangkan sendiri di Irak dan Mesir, kemudian dikembangkan oleh santriya sampai mampu menggeser madzhad Abu Hanifah dan Malikiyah yang sekarang berkembang di negara Syam, sebagian tanah Yaman, Hijaz dan Asia. 4. Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani al-Marwazi yang lahir tahun 164 H. Di kota Marwa dan wafat di Baghdad tahun 241 H. PENYEBAB BERHENTINYA GERAKAN IJTIHAD Penyebab terhentinya gerakan ijtihad dan menerima dengan mengikatkan diri pada rumusanrumusan mujtahid karena dipengaruhi empat faktor : 1. Terpecahnya daulah Islamiyah dan runtuhnya daulah Abasiyah. Daulah Islam terpecah menjadi banyak golongan, antara satu sama lain tidak ada lagi persambungan dalam politik dan pemerintahan. Di Andalus terdapat daulah Umayyah yang dipimpin Abdul Rohman al-Nasini yang dijuluki Amirul Muminin, di Afrika utara terdapat daulah Fatimiyyah yang didirikan Syiah Ismailiyyah yang dipimpin Ubaidillah al-Mahdi, di Mesir terdapat golongan yang dipimpin Muh. Ihshid yang mengaku sebagai bani Abbas, di Yaman terdapat daulah bani Bawabiyyah yang didirikan oleh Syiah Zaidiyyah, daulah Abasiyah hanya tinggal namanya saja dan masih banyak lainnya. Dengan perpecahan ini mengakibatkan pemerintah disibukkan mengurus peperangan dalam rangka membentengi negaranya sehingga sistem pemerintahan tidak

menggunakan hukum Islam tapi hukum siyasah yang berdampak lemahnya himmah untuk mengambil hukum dari sumber aslinya. 2. Ketika di masa mujtahid, setiap imam mujtahid mempunyai istri, pengikut, madrasah sudah barang tentu mereka bangga dengan imamnya dan mempertahankan pendapat imamnya masingmasing. Sehingga ulama itu mencari dalil dari Al-Quran dan Al-Hadits sebatas untuk memperkuat pendapat imamnya masing-masing. Sehingga mencegah untuk menjadi mujtahid mutlak. Bahkan jika terdapat ayat atau hadits yang bertentangan dengan hasil rumusan imamnya, berarti merupakan dalil yang ditawili dengan mana lain (interprestasi) atau dimansukh (di sisi lain hukumnya) sebagai mana ungkapan Abu Hasan Al-Kurdi dari ulama Hanafiyah: Sehingga bagi mujtahid yang tidak punya pendukung, pendapatnya tidak dibukukan dan tidak dapat dijadikan rujukan, seperti Dawud Al-Dzohiri dll. 3. Ketika ulama mujtahid tidak pernah merumuskan tentang kriteria orang yang dilegalkan memahami dan mengambil hukum dari Al-Quran dan Al-Hadits maka aturan memahami AlQuran dan Al-Hadits menjadi rancu yang berakibat orang yang tidak punya kapasitas berijtihad ikut serta berijtihad, yang mengakibatkan rumusan hukum yang berbeda-beda dalam satu permasalahan di tempat yang sama. Akhirnya qodli (petugas) kebingungan dalam memberikan ketetapan hukum. Karena banyak yang menghalalkan harta bahkan nyawa berdasarkan ayat atau hadits. Dengan latar belakang ini, para ulama dalam mengobati kerancuan memilih untuk mencukupkan imam-imam mujtahid terdahulu yang punya pendukung dan dapat dipertanggungjawabkan. 4. Telah menyebarnya virus akhlaq (krisis moral) di hati para ulama dan orang Islam berupa sifat takabur, ananiyah danhasud. Sehingga jika ada ulama yang mengaku berijtihad, maka dianggap sebagai orang yag mencari popularitas dan akan diserang ulama lain. Sehingga syaikh Jalaluddin As-Syuyuti pernah mengklaim mujtahid, kemudian beliau dihujani pertanyaan oleh para ulama dan akhirnya memilih taqlid kepada imam Syafii. Dengan latar belakang seperti ini setiap orang yang memberi ketetapan hukum maka dia mengatakan : saya tidak berijtihad, tapi hanya menukil pendapat-pendapat orang terdahulu, sehingga pintu ijtihad seolah-olah telah tertutup. AQIDAH AHLI SUNNAH HANYA ASYARI DAN MATURIDI Seorang ahli sejarah, Ibnu Kholdun dalam muqodimahnya menjelaskan bahwa fiqh yang dirumuskan oleh dalil syara secara detail telah terjadi perbedaan pendapat diantara imam mujtahid, karena faktor penemuan mereka yang berbeda. Sehingga menyebabkan pandangan mereka menjadi luas sekali. Dan pada waktu itu manusia dapat mengikuti siapa saja yang ia mau. Namun sampai imam madzhab empat yaitu: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka sangat meyakini akan kebenaran pendapat keempat madzhab tersebut, bahkan kaum muslimn dari golongan ASWAJA menjadikan fatwa-fatwa beliau sebagai rumusan hukum. Dan yang perlu diketahui bahwa keempat imam madzhab tersebut tidak hanya membidangi dalam ilmu fiqh saja tapi juga menjadi tokoh dalam bidang ilmu kalam, tasawuf, dan hadits yang kala itu ilmu fiqhnya sangat dibutuhkan disebabkan terjadinya bidah dan penyelewangan akidah yang belum begitu populer, namun cukup membahayakan. Setelah meninggalnya beliau, baru muncul bidah dan penyelewangan akidah sehingga para imam-imam yang mengikuti jalannya keempat mujtahid merasa terpanggil untuk mengkalter penyebaran virus akidah tersebut sampai pada dua imam yaitu : Abi Hasan Al-Asyari dan Abu Manshur Al-Maturidi, beliau berdua sangat ketat membentengi akidah imam madzhab empat, karena berkeyakinan atas kebenaran mereka pada jalur sunah Rosul dan para sahabatnya.

Imam Asyari telah mengikat dirinya pada madzhab Syafii, sedangkan Abu Manshur Al-Maturidi mengikat dirinya pada imam Abu Hanifah. Mengingat kaum muslim telah menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap kedua imam tersebut, sehingga akidah beliau dijadikan panutan golongan Ahli Sunnah Waljamaah. Sebagai nama yang membedakan antara akidah mereka dengan akidah mutazilah dan ahli bidah lainnya. Mengingat ahli hadits dan ahli tasawuf tidak berbeda dengan Asyariyah dan Al- Maturidiah, artinya akidah mereka sepakat dengan akidah Asyaairoh dan Al-Maturidiah maka mereka masuk dalam sub atau bagian Ahlussunnah Waljamaaah. Wallohu Alam. Al-Imam al-Alim al-Alamah al-Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini yang dikenal dengan al-Syaikh Murtadlo Al-Zubaidi dalam kitab beliau al-Ittihafu Sadatil Muttaqin syarah kitab IhyaUlumuddin karangan Imam al-Ghozali dalam fasal ke-II dari muqodimahnya syarah 'aqoid mengatakan sebagai berikut : Artinya : Jika diucapkan mutlak Ahlussunnah Wal Jamaah, yang dikehendaki beliau adalah golongan Asyairoh dan Al-Maturidiah. Al-Syaikh Ahmad bin Musa Al-Kayali dalam hasiyahnya syarah al-'Aqoid karangan Al-Imam Najmuddin Umar bin Muhammad Al-Nasafi, beliau mengatakan: Artinya : Golongan pengikut Imam Abu Hasan Al-Asyari semuanya adalah Ahlissunnah Wal Jamaah, artinya jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jamaah, tidak dapat diartikan selain golongan tersebut. Beliau menambahkan kata-kata saya ini yakni Ahlussunnah Wal Jamaah adalah Al-Asyairoh telah masyhur didaerah hurosan yaitu suatu tempat didaerah afganistan, masyhur pula di irak, syam, serta kebanyakan dari penjuru Islam, tapi yang masyhur didaerah waroan nahri (nahri jaihun) yaitu daerah khowarizm di afganistan adalah kata-kata Ahlussunnah yang mengikuti Abu Manshur AlMaturidi. Demikian pula Imam Al-Kustholani mangatakan, bahwa ahlissunnah yang masyhur di daerah kurosan, syam, irak dan penjuru Islam adalah pengikut Abu Musa Al-Asyari. Pada awalnya Syaikh Abu Hasan Al-Asyari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali Al-jabai, seorang tokoh mutazilah. Beliau adalah seorang tokoh yang pertama kAli menantang pada akidahnya Abu Ali Al-JabaI (tokoh Al-Mutazilah) tersebut. Setelah Abu Hasan mangetahui kebenaran ajaran Ahlussunnah Waljamaaah, beliau dengan terang-terangan berdiri dihadapan orang banyak diatas mimbar masjib bashroh pada hari jumat mengatakan dengan lantang kata-kata sebagai berikut: Barang siapa yang telah mengenal padaku, mereka telah mengetahui pada akidahku dan bagi yang belum megenal diriku, perlu anda ketahui bahwa saya adalah seorang yang dulu parnah mengartikan Al-Quran adalah makhluq, dan Alloh SWT tidak dilihat dengan penglihatan diakherat nanti,dan semua hamba telah menjadikan pekerjaannya. Dan tuketahuailah saya telah bertaubat dari aqidah Mutazilah tersebut dan bertekad untuk menolak golongan Mutazilah. Kemudian beliau menyusun kitab-kitabnya untuk menolak akidan Mutazilah dan menyusun buku (kitab) yang berisi tentang akidah Ahlussunnah Waljamaah. Diceritakan bahwa akhir perdebatan (mujadalah) Abu Hasan Al-Asyari dengan Abu Ali AlJubai (tokoh Mutazilah) dalam rangka menolak dan membatalkan pendapat Mutazilah, sebagai berikut :

Abu Hasan bertanya pada Abu Ali : Bagaimana pendapatmu tentang tiga saudara yang telah meninggal dunia, yang satu adalah orang taat, yang kedua adalah orang yang meninggal dalam keadaan durhaka dan yang ketiga orang yang meninggal dalam keadaan masih kecil?. Abu Ali menjawab: Yang taat diberi pahala masuk surga, yang durhaka di siksa masuk neraka dan yang kecil ada di tengah-tengah antara neraka dan surga (manzilatun baina manzilataini) artinya tidak diberi pahala dan tidak disiksa . Abu Hasan bertanya : Jika yang kecil mengatakan wahai Tuhanku kenapa engkau mengambil nyawaku ketika aku masih kecil, jika engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga, lalu bagaimana jawaban Alloh SWT.?. Abu Ali menjawab: Alloh SWT menjawab aku tahu jika kau hidup sampai dewasa maka kau akan duraka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik adalah kau mati ketika masih kecil. Abu Hasan bertanya lagi: Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan. Wahai tuhanku jika engkau tahu aku akan durhaka kenapa kau tidak mengambil nyawaku ketika aku masih kecil?, sehingga engkau tidak memasukkan aku kedalam neraka. Lalu apa yang dikatakan Alloh SWT. Dan pada akhirnya Abu Ali Al-Jabal bingung. Kemudian Abu Hasan meninggalkan madzhab Abu Ali. Beliau beserta pengikutnya menyibukkan diri untuk membatalkan akidah yang dianut oleh golongan Mutazilah. AQIDAH AL-ASYARI DAN AL-MATURIDI Kedua tokoh Ahlissunnah, yakni Imam Abu Hasan Al-Asyari yakni Ali Bin Ismail bin Ali bisrin Ishaq bin Ismail bin Abdulloh ibnu Musa bin bilal bin Abi bardah bin Abi Musa Al-Asyaari, nama Abi Musa adalah Abdulloh bin Qois, salah seorang sahabat Nabi Muhammad, yang dilahirkan pada tahun 260 H. dan Imam AbuManshur Al-Maturidi yakni Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Hanafi Al-Maturidi yaitu daerah di samarqondi, kedua tokoh tersebut telah bersepakat dalam masalah sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Alloh SWT. Bagi Rosul dan malaikatNya, serta sepakat dalam sifat jaiz bagi Alloh dan RosulNya, walaupun belau berdua berbeda dalam cara penalaran dan dasar-dasar yang akhirnya dapat mendatangkan pada kesepakatan tersebut. Beliau berbeda dalam tiga aqidah yang tidak sampai membahayakan, yaitu: 1. Dalam masalah istitsna. Yakni imannya seseorang yang dikecualikan dengan kata insya Alloh. 2. Dalam masalah sifat takwin (mewujudkan). 3. Imannya seseorang yang hanya mengikuti pada orang lain yang dipercayainya tanpa mengetahui dalilnya (imanul muqollid). Yang pertama . Masalah istitsna, yakni imannya seseorang yag mengatakan saya iman, insya Alloh menurut asyairoh diperbolehkan, menurut Al-Maturidiah tidak diperbolehkan. Sebagimana kutipan dari iman GhozAli dalam kitab ihya Ulumuddin tentang pandangan ulama tentang ungkapan ulama salaf saya mengatakan insya Alloh padahal pengecualian itu termasuk sebuah keraguan, sedangkan ragu dalam iman adalah kufur. Sedangkan para ulama salaf melarang menjawab iman dengan mantap, tapi mereka mengecuAlikan dengan kata-kata insya Alloh.

Juga diungkapkan oleh sufyan Tsauri barang siapa yang mengatakan saya mumin dihadlirat Alloh maka dia pembohong. Dan barang siapa mengatakan saya mumin dengan haq maka ungkapan tersebut bidah. Mengapa dikatakan bohong, padahal dia telah mengetahui apa yang ada pada hatinya sendiri, dan barang siapa mempunyai rasa iman di hatinya maka iman pula dihadlirat Alloh. Sebagaimana dia tahu kalau dirinya mendengar atau melihat, maka dihadlirat Alloh dia tahu dan melihat, dan jika ditanya: apakah engkau hayawan?maka tidak baik ia menjawab,saya hayawan insya Alloh. Hasan Bashri ditanya:apakah engkau iman?Jawab beliau: insya Alloh kemudian ia ditanya:kenapa engkau menjawab insya Alloh?Hasan Bashri menjawab:saya takut mengatakan ya, sementara Alloh mengatakan bohong engkau Hasan. Ibrahim bin Adham ditanya:apa anda mumin?Beliau menjawab:Saya tidak ragu dalam iman tapi pertanyaan kamu ini bidah. Al-Qomah ditanya:Apa anda mumin?. beliau menjawab: Saya harapkan insya Alloh. Sufyan Tsauri mengatakan: Kami orang mumin kepada Alloh dan malaikatNya, beberapa kitabNya dan para utusanNya namun kami tidak mengerti yang di hadlirat Alloh. Imam Ghozali ditanya: Apa makna dari semua pengecualian di atas?, beliau menjawab:semua pengecualian diatas sah-sah saja karena pengecuAlian ada empat tujuan, dua tujuan istitsna disandarkan pada keraguan bukan pada asal keimanan, tapi keraguan diakhir hidupnya dengan iman atau tidak, Naudzubillahi min dzalik, atau ragu imannya sempurna atau tidak, dan dua tujuan yang lain tidak kembali pada keraguan. Dua istitsna (pengecualian) yang kembali pada keraguan bukan pada asal iman adalah sebagai berikut: 1. Istitsna karena ragu pada kesempurnaan iman,artinya seperti saya mumin dengan haqqul iman insya Alloh karena Alloh berfirman : Mereka adalah orang-orang mumin dengan haq Setelah menyebutkan firmannya yang berbunyi: . . . Dengan demikian ulama membagi iman ada dua macam; ragu dalam kesempurnaan iman bukan pada ashal iman, tidak dikatakan kafir karena ada dua pandangan yaitu: a. Kemunafikan dapat menghilangkan sempurnanya iman padahal kemunafikan adalah hal yang samar. b. Sempurnanya iman dengan beberapa amal thoat tingkat sempurnanya tidak dapat diketahui. Adapun amal, Alloh telah berfirman: * Dalam ayat ini Alloh menetapkan iman yang sungguh dengan 20 syarat, tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut tidak menjadikan kafir. 2. Ragu dalam abadinya iman sampai mati. Setiap orang tidak tahu apakah selamat imannya atau tidak? jika diakhiri dengan kafir maka amal-amal yang telah lewat lebur (lenyap) sama dengan tidak ada amal, sebab dianggap atau tidaknya amal masih ditangguhkan pada akhirnya amal. Sebagaimana orang berpuasa ditengah hari ditanya: apakah puasamu sah? kemudian ia

menjawab: pasti sah dan ternyata di tengah hari ia berbuka, maka jelas ungkapan ia tergolong bohong. Adapun istitsna yang kembali tidak pada keraguan ada dua yaitu: a. Khawatir merasa dirinya bersih dari sifat yang terpuji. Sedangkan membersihkan diri (merasa dirinya baik) itu dilarang. Sebagaiman firman Alloh SWT. : ) ( ) ( : ) ( : . : al-Hakim ketika ditanya: Apa jujur yang jelek? ia menjawab: Memuji pada dirinya sendiri sedangkan iman merupakan lebih tingi-tingginya sifat terpuji. b. Berlaku sopan dengan menyebutkan Alloh atas segala tingkahnya pada kehendak Alloh sedangkan Alloh mengajarkan adab terhadap Nabinya dengan berfirman: ) ( . Kemudian pelajaran Alloh tersebut tidak hanya berlaku pada hal-hal yang masih diragukan atas terjadinya, tapi juga pada hal-hal yang sudah pasti terjadi, sebagaimana firman Alloh: ) ( Dalam ayat ini jelas Alloh sudah mengetahui bahwa orang-orang mumin akan masuk masjidil harom dengan aman karena dikehendaki, tapi maksud dari ayat diatas hanya memberi pelajaran kepada hambanya. Dengan demikian Rosulilloh telah melakukan tata krama dengan kata-kata insya Alloh baik dalam ha-hal yang masih ragu atau hal yang pasti, sampai ketika beliau masuk kedalam beberapa pemakaman beliau mengatakan: Padahal menyusul kematian pasti terjadi, tidak diragukan lagi. Sehingga kalimat "Insyaalloh" telah menjadi berlaku diginakan sebagai ungkapan untuk menampakkan harapan atau hal yang dicinta. Catatan : Dilihat dari keterangan diatas ahwa pada dasarnya antara kedua Imam (Asyari dan Maturidi) tidaklah berbeda. Yang kedua. Dari tiga perbedaan aqidah dua imam tersebut adalah takwin(mewujudkan) apakah termasuk mukawwin apa bukan? Menurut Maturidi : Takwin (mewujudkan) seperti memberi rizqi, menjadikan hidup mati, memberi rizqi sejalan Qudroh, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin(mewujudkan) dan takwin bukan mukawwin (yang menjadikan). Menurut Asyari takwin tidak berbeda dengan Qudroh dengan memandang hubungan Qudroh dengan hubungan yang khusus. Mewujudkan adalah sifat Qudroh dengan memandang hubungan kepada makhluq. Memberi rizqi adalah sifatQudroh dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rizqi. Wallohu Alam. Yang ketiga : Tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya).

Menurut Maturidi, imannya muqollid (orang yang ikut-iutan) sah, dan orang-orang awam sudah bisa disebut dengan arif (orang yang marifat kepada Alloh) dan masuk surga. Menurut Asyari dan orang-orang yang sependapat mengatakan wajib marifat dan tidak cukup degan taqlid. Sedangkan asyairoh berbeda pendapat tentang imannya orang taqlid yaitu: a. Mumin tapi berdosa, jika tidak mau marifat yang dihasilkan melalui pemikiran tehadap dalil. b. Mumin tidak berdosa kecuali jika mampu bergikir pada dalil namun ia tidak mau berfikir. c. Tidak dianggap mumin sama sekali. BEBERAPA AQIDAH YANG DISEPAKATI AHLISSUNNAH WALJAMAAH Aqidah-aqidah yang disepakati Ahlussunnah dalam satu pendapat dan orang-orang yang berbeda termasuk orang yang sesat sebagai berikut: 1. Menetapkan beberapa hakikat dan beberapa ilmu dengan khusus dan umum. Artinya: mereka sepakat adanya ilmu maani (sifat yang maujud yang umpama hijab dibuka akan mengetahui). 2. Ilmu baru datangnya alam dengan segala macamnya baik sifat atau jisim. Artinya: Mereka sepakat bahwa semua selain Alloh dan selain sifatnya adalah makhluq, dan kholiqnya bukan makhluq. Dan bukan jenisnya alam dan bukan jenisya sesuatu dari juznya alam. Dan sepakat bahwa juznya alam berupa jawahir dan arodl. Maka sesatlah orang-orang yang mengatakan setiap juz akan terbagi menjadi beberapa juz sampai tidak ada batasnya. Seperti ahli filsafat dan annidhom. Orang-orang yang mengatakan berbeda-bedanya jisim karena beda-bedanya lima karakter seperti falasifah dan aris toteles juga orang-orang yang mengatakan jisim ada dua, yaitu nur dan dhulmah, kebaikan dari nur kejelasan dari dhulmah yang melakukan kebenaran dan kebaikan tidak melakukan kebohongan dan kejelekan. 3. Tentang yang menjadikan alam dan sifat-sifatnya yang sebangsa dzat dan sepakat segala hal hawadits ada yang menciptakan maka sesatlah golongan qodariya yang mengatakan: 4. Sifat-sifat yang ada pada dzatnya Alloh yakni : ilmu, hayat, qudrot, irodah, sama, bashor, kalam, berupa sifat azali dan abadi. 5. Asma Alloh tauqifi yang dianbil dari Al-Quran dan Al-Hadits tidak dapat dengan qiyas seperti Mutazilah yangmengatakan: Dan Alloh SWT.menghamili ketika menjadikan wanita hamil. 6. Alloh telah menjadikan jisim arodl jelek atau baik dan menjadikan pekerjaan hamba. 7. Alloh mengutus beberapa utusan yang memunyai sifat masum dari dosa kecil atau besar sebelum jadi utusan atau sesudahnya dan Rosul berbeda dengan Nabi. 8. Adanya karomah dan mujizat. Semua Nabi pasti punya mujizat, wali terkadang mempunyai karomah boleh jadi tidak. 9. Islam dibangun atas lima dasar: syahadataini, sholat, puasa, zakat, haji. Barang siapa ingkar salah satunya atau menginterpretasikan dengan mana lain maka ia kafir. 10. Perbuatan mukallaf ada lima hukum: wajib, haram, sunah, makruh, mubah. 11. Alloh mampu meniadakan semua alat dengan keseluruhan atau sebagian jisim dan menetapkan sebagian yang lain. Sesatlah qodariyah yang mengatakan Alloh tidak mampu merusak sebagian alam dengan menetapkan sebagian yang lain.

12. Tentang khilafah dan imamah (kepemimpinan). Imamah fardlun wajibun ala ummah untuk mengatur umat. Dan sepakat bahwa pembentukan imamah merupakan amrun ijtihadi sedangkan Nabi Muhammad tidak pernah mengangkat seorang kholifah dengan menunjuk orang tertentu dengan jelas. Maka sesatlah qoum rofidloh yang mengatakan bahwa Muhammad telah mengangkat Ali RA. Sepakat pula imamah harus satu, kecuali dua daerah yang ada batasnya berupa lautan atau musuh yang tidak mampu ditaklukkan, maka boleh masing-masing tempat ada imamnya. 13. Adauddin ada dua golongan : a. Sebelum daulah Islam, seperti penyembah berhala tahu hal-hal yang dianggap baik sebagaimana madzhabnya Hululiyyah yang mengatakan Alloh SWT. Telah menyatu (masuk) pada ruh-ruh yang baik, termasuk menyembah malaiat. b. Setelah pemerintah Islam yaitu orang-orang kafir yang nampak setelah Islam ada, dan bersembunyi pada dhohirul Islam. Tapi menikam orang-orang Islam dalam keadaan lengah seperti :

Anda mungkin juga menyukai