Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH DISKUSI KASUS TB HIV

Disusun oleh: KELOMPOK A2 Dessy Framitasari Dina Elita Dita Gemiana Eka Agustia RP Elisa Noor 0906487751 0906552580 0906507961 0906639732 0906507980

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RSPI SULIANTI SAROSO 2012

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah, diperkirakan pada tahun 2009 sekitar 0,2% pada orang dewasa. Dengan estimasi ini, maka pada tahun 2009 di Indonesia diperkirakan ada 193.000 ODHA (169.000 - 216.000). Penggunaan jarum suntik merupakan cara transmisi HIV yang terbanyak (53%) diikuti dengan transmisi heteroseksual (42%). Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berpengaruh. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi epidemi meluas pada beberapa propinsi.Indonesia termasuk salah satu negara dengan masalah TB terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Cina, tetapi dengan prevalensi HIV tidak terlalu tinggi dan tidak menyebar merata di seluruh wilayah. Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO Report 2007). Survei yang dilaksanakan oleh Balitbang Depkes (2003) menunjukkan bahwa pasien dengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS dan Rutan/Lapas di beberapa propinsi dan TB ditemukan sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS di RS.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang T helper atau CD4, terutama dari limfosit T, yang dapat mengakibatkan penurunan imunitas seluler dan peningkatan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang memiliki satu atau lebih infeksi oportunistik dan keganasan dengan jumlah CD4 sel T kurang dari 200 sel per mm3. Tuberculosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada orang dengan HIV AIDS. B. Diagnosis TB Paru pada Pasien dengan HIV/AIDS Gejala klinis pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung dari derajat berat ringannya penyakit. Pada saat awal dan ketika imunitas masih baik, gejala tidak banyak berbeda dengan pasien TB tanpa HIV. Keluhan yang ditemukan antara lain batuk, demam terutama pada sore hari, keringat malam, nafsu makan berkurang, berat badan turun, dan batuk darah. Bila proses telah lanjut dengan imunitas yang sangat rendah, maka gambaran klinik menjadi tidak khas lagi. Oleh karena itu, riwayat penyakit merupakan hal yang penting untuk diketahui serta kemungkinan adanya faktor risiko seperti seks bebas, riwayat penyakit infeksi menular seksual, atau riwayat penggunaan jarum suntik pada penyalahgunaan obat. Gejala klinik mengarah dan/atau dicurigai pada TB-HIV bila ditemukan proses perburukan klinis yang berlangsung sangat cepat. Misalnya keadaan umum menurun drastis, demam tinggi, dan/timbulnya sesak napas yang tidak disebabkan oleh bronkospasme (tidak ada bunyi mengi). Bila HIV/AIDS sudah lanjut, ditemukan juga tanda-tanda klinis HIV/AIDS yang jelas. TB pada HIV sering bermanifestasi klinis sebagai proses TB ekstra paru misalnya limfadenitis, efusi pleura, efusi perikard, atau TB milier. Selain itu, pada TBHIV batuk lebih jarang terjadi karena jarang timbulnya kavitas, proses inflamasi, endobronkial TB ddan iritasi bronkus sebagai akibat berkurangnya aktivitas sel-sel mediator inflamasi. Demikian juga hemoptisis akibat pecahnya arteri bronkialis juga jarang terjadi pada kasus TB-HIV karena tidak terbentuknya proses nekrosis kaseosa. Pemeriksaan sputum BTA tetap merupakan pemeriksaan paling penting dalam menegakkan diagnosis TB. Penelitian di Sub Sahara Afrika memperlihatakan TB paru

dengan HIV memiliki BTA sputum positif meskipun proporsi BTA negatif dan suspeknya lebih tinggi dibanding dengan pasien dengan HIV negatif. Jumlah bakteri yang terkandung dalam sputum lebih sedikit sehingga pada pemeriksaan mikroskopik per satuan lapang pandang juga lebih sedikit. Bila ada bahan lain selain sputum yang dapat diperiksa (feses, cairan pleura, cairan serebrospinal, pus hasil aspirasi), sebaiknya dikirim untuk pemeriksaan BTA. Bila memungkinkan dilakukan juga pemeriksaan biakan dan kultur resistensi. Pemeriksaan kultur yang lebih cepat dengan perkiraan 7 hari dapat dilakukan dengan metode MODS (Microscopic observation drug susceptibility). Pemeriksaan radiologi dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang, terutama bila pemeriksaan sputum BTA 3 kali negatif dan pemberian antibiotik spektrum luas tidak memberi respons. Gambaran radiologi juga tergantung pada berat ringannya HIV. Pada tahap awal ketika CD4 masih normal, gambaran radiologi masih tipikal, seperti infiltrat, fibrosis kaviti, dan kalsifikasi dengan lokasi yang masih di apeks. Bila imunitas sudah menurun atau pada HIV tahap lanjut, gambaran radiologi dapat berubah menjadi atipikal dengan bayangan infiltrat di inferior atau berupa pembesaran kelenjar hilus. Manifestasi yang sering dijumpai berupa TB ekstra paru seperti efusi pleura, efusi perikard, atau gambaran milier. Namun, pada kasus tertentu TB paru pada pasien HIV dapat menunjukkan gambaran foto toraks normal. Hasil studi yang pernah dilakukan di Amerika Serikat melaporkan bahwa ada 21% kasus dengan BTA sputum positif, baik langsung maupun dari biakan dengan kadar CD4 <200/uL mempunyai gambaran radiologis normal. Infeksi oportunistik juga dapat mempersulit penegakan diagnosis sehingga harus dipikirkan diagnosis bandingnya.

Uji tuberkulin atau tes mantoux umumnya kurang mempunyai nilai yang berarti dalam menegakkan diagnosis TB pada orang dewasa. Hasil uji tuberkulin sangat dipengaruhi oleh derajat imunosupresi. Semakin berat imunosupresi, semakin tinggi terjadi negatif palsu. Ditemukan negatif palsu pada sebesar 30% pada pasien HIV dengan CD4 lebih dari 500/uL, dan 100% pada pasien dengan CD4 kurang dari 200/uL. Selain itu, uji tuberkulin juga dipengaruhi oleh riwayat pemberian vaksinasi BCG. Kriteria uji tuberkulin dinyatakan positif menurut CDC (Centers of Disease Control and Prevention) dan ATS (American Thoracis Society) jika indurasi setelah 48 jam lebih dari 5 mm pada pasien dengan seropositif HIV. Bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan yang lebih pasti dengan pemeriksaan histopatologi. Bahan dapat diperoleh dari biopsi kelenjar atau jaringan operasi. Usaha diagnostik lain adalah pendekatan melalui pemeriksaan biologi molekuler dengan deteksi DNA kuman misalnya PCR, BACTEC, atau RFLP, dan pemriksaan serologi respons tubuh dengan ELISA, MYCODOT, PAP atau ADA.1

Gambar 1. Algoritma diagnosis TB pada pasien rawat jalan di daerah dengan prevalensi HIV tinggi2

Gambar 2. Algoritma diagnosis TB pada pasien yang sakit berat di daerah dengan prevalensi HIV tinggi2

C. Tatalaksana TB pada ODHA Pada dasarnya pengobatan TB pada HIV/AIDS sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatannya adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat.3 Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan OAT lini pertama yang disepakati secara internasional dan termasuk dalam ISTC.1

Fase awal: 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB Fase lanjutan: 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH dan EMB Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak direkomendasikan untuk pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh.1

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengobati pasien TB dengan HIV/AIDS, yaitu: 1. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya. Hal ini dikarenakan obat ini memiliki efek toksik yang berat pada kulit. 2. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril. 3. Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati. 4. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, selain dipikirkan kemungkinan resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terjadinya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan. Oleh karena itu, dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum. 3 Obat TB yang diberikan bersamaan dengan Anti Retrovirus (ARV) akan menimbulkan interaksi, antara lain: 1. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidvudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT. 2. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida. 3. Interaksi OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin

sampai 37% tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan. 4. Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Perimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah bahwa angka kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya pada 2 bulan pertama pemberian OAT. Meskipun demikian pemberian secara bersamaan membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang banyak sehingga dapat terjadi ketidak patuhan, komplikasi, efek samping, interaksi obat, dan Immune Reconstitution Inflamatory Syndrome (IRIS). 5. Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.3 D. Strategi pencegahan HIV (menurut rute penularan)1 Untuk transmisi seksual: Program perubahan perilaku berisiko, termasuk promosi kondom Pendidikan seks di sekolah Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau Konseling dan Tes Sukarela (KTS) Skrining infeksi menular seksual (IMS) dan penanganannya Terapi antiretroviral pada pasien HIV

Untuk transmisi darah: Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik (harm reduction) Keamananan penganganan darah (universal precaution) Kontrol infeksi di rumah sakit Post exposure prophylaxis

Untuk transmisi ibu ke anak:

Terapi ARV pada semua ibu hamil yang terinfeksi HIV Persalinan section caesarea dianjurkan Dianjurkan tidak memberikan ASI ke bayi, berikan susu formula Layanan kesehatan reproduksi

E. Pencegahan infeksi TB1 Vaksinasi BCG dari beberapa penelitian diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anakanak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap TB berat (meningitis, TB milier, dll) dan Tb ekstra paru lainnya. Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis terhadap TB merupakan masalah tersendiri dalam penanggulangan TB paru disamping diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat.selama ini isoniazid banyak dipakai karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit. Obat alternative lain adalah rifampisin. Beberapa peneliti pada IUAT menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens TB sampai 55-83%, dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai 90%. Lama profilaksis yang optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti mengajurkan waktu antara 6-12 bulan terhadap tersangka dengan hsail uji tuberkulin yang diameternya lebih dari 5019 mm. yang mendapatkan profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada. Yang lainnya seperti kontak TB dan sebagainya cukup 6 bulan saja. Pada negara-negara dengan populasi TB tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi.1 F. Pengobatan TB Ekstraparu Walaupun TB lebih sering menyerang paru, beberapa organ lain dalam tubuh juga dapat menjadi target penyerangan mikroorganisme penyebab TB. Beberapa organ tersering yang

diserang oleh M. tuberculosis selain paru adalah limfa, pleura, tulang, sendi, perikardial, meningeal, dan TB milier. TB paru dan ekstraparu pada dasarnya diterapi dengan regimen yang sama kecuali TB meningitis yang juga memakan waktu lebih lama untuk menyembuhkannya (9-12 bulan). Selain meningitis TB, TB yang menyerang tulang atau sendi juga sulit untuk disembuhkan sehingga dibutuhkan waktu lebih lama yaitu 9 bulan.5 Pemberian OAT Pada dasarnya, sampai saat ini belum ditemukan regimen yang ideal untuk mengobati TB ekstraparu. Namun, belakangan pedoman yang digunakan adalah pedoman DOTS yang menjelaskan bahwa pasien dengan TB ekstraparu ringan akan mendapat pengobatan TB yang sesuai dengan pengobatan kategori III (2RHZ/4R3H3) dan pasien dengan TB ekstraparu berat akan mendapat pengobatan sesuai kategori I (2RHZE/4R3H3).,3,5,6

Kortikosteroid Kortikosteroid umumnya diberikan untuk pasien meningitis TB dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari (dosis normal dalam satu hari adalah 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Diberikan bila terdapat edema otak. Pemberian obat ini pada pasien meningitis TB dapat menurunkan gejala sisa neurologik. Sementara itu, pemberian kortikosteroid pada pasien perikarditis TB dapat mencegah kontraksi berlebihan otot jantung dan pemberian pada pasien peritonitis TB dapat mencegah asites dan perlekatan akibat inflamasi.3 Pembedahan7 Tindakan pembedahan seringkali dilakukan untuk TB ekstraparu dengan tujuan: 1. Mendapatkan bahan/spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis) 2. Untuk pengobatan (contohnya: perikarditis TB, TB tulang) Pada kasus TB tulang pembedahan dilakukan jika terdapat beberapa kondisi seperti: adanya abses dingin, lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis. Indikasi pembedahan pada kasus TB tulang adalah: Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia bahkan kondisi semakin memburuk. Umumnya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis TB diberikan tuberkulostatik.

Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase secara terbuka dan sekaligus debridement serta bone graft. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya penekanan ke medula spinalis.

G. Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB hingga 90% pada tingkat individu dan sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan rekurensi TB hingga 50%.4 Rekomendasi untuk terapi ARV pada Ko-infeksi TB adalah sebagai berikut :4 1. Terapi ARV dimulai pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah CD4. 2. Gunakan EVF sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV selama terapi TB. 3. Terapi ARV dimulai sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi (2 8 minggu). Melalui rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian akibat koinfeksi TB-HIV, menurunkan transmisi jika terapi ARV diberikan lebih cepat, meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan angka kekambuhan TB.4 Adapun paduan yang dianjurkan untuk terapi ARV pada ko-infeksi TB-HIV adalah paduan yang mengandung EFV, yaitu (AZT atau TDF) + 3TC + EFV (600 mg/hari). Kemudian setelah OAT selesai, maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP. Pada keadaan di mana paduan berbasis NVP terpaksa digunakan bersamaan dengan OAT, maka NVP diberikan tanpa lead-in dose (NVP diberikan tiap 12 jam sejak awal terapi).4 Interaksi OAT dengan Anti Retrovirus (ARV)3 1. Penggunaan ARV, misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT. 2. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida, kecuali didanosin (ddI) ynang harus diberikan selang satu jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida. 3. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersamaan dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin juga dapat

menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan. 4. Pasien dengan ko-infeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan kadar CD4. 5. Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksazol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT. Pilihan NRTI4 1. Paduan tripel NRTI hanya diberikan bila ada kontraindikasi atau tidak dapat mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas. 2. Paduan tripel NRTI yang dapat digunakan adalah AZT + 3TC + TDF. Akan tetapi, paduan tersebut kurang poten dibanding dengan paduan berbasis NNRTI. Pilihan NNRTI 1. EFV adalah pilihan utama untuk NNRTI. Kadar EFV dalam darah akan menurun bila ada rifampisin. Tetapi penurunannya lebih kecil daripada NVP. Selain itu, efek hepatotoksiknya juga lebih ringan.3,4 2. Penggunaan regimen yang berisi EFV tidak dianjurkan untuk perempuan hamil (terutama trimester pertama) atau berpotensi untuk hamil dan tidak menggunakan kontrasepsi.3 Pada keadaan TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu mempertimbangkan substitusi obat ARV karena berkaitan dengan interaksi OAT khususnya rifampisin dengan NNRTI dan PI.4 Tabel 1. Paduan ARV bagi ODHA yang Kemudian Muncul TB Aktif1,3,4 Paduan ARV Paduan ARV saat TB muncul Lini pertama 2 NRTI + EFV 2 NRTI + NVP Teruskan dengan 2 NRTI + EFV Ganti dengan EFV, atau Teruskan dengan 2 NRTI + NVP. Tripel NRTI dapat dipertimbangkan Pilihan Terapi ARV

digunakan selama 3 bulan jika NVP atau EFV tidak dapat digunakan. Lini kedua 2 NRTI + PI/r Mengingat rifampisin tidak dapat

digunakan dengan LVP/r, dianjurkan menggunakan OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin tetap perlu dberikan maka sehari. Perlu dilakukan pengawasan fungsi hati secara ketat jika menggunakan rifampisin dan dosis ganda LVP/r. dapat menggunakan LVP/r dengan dosis 800 mg/200 mg dua kali

Bila terapi OAT telah lengkap, maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan NVP kembali pada paduan ARV.4 Tabel 2. Gejala dan Tanda Efek Samping Pengobatan TB-HIV3 Gejala dan Tanda Penanganan

Anoreksia, mual, dan Telan obat setelah makan. Jika paduan ARV mengandung nyeri perut AZT, jelaskan kepada pasien bahwa gejala ini akan hilang sendiri. Atasi keluhan secara simptomatis. Nyeri sendi Rasa kesemutan Beri analgetik Efek ini jelas dijumpai jika INH diberikan bersama ddI atau d4T. Beri tambahan tablet B6 100 mg/hari. Jika tidak berhasil, berikan amitriptilin atau rujuk ke unit spesialistik. Kencing berwarna Jelaskan kepada pasien bahwa itu adalah warna obat dan tidak berbahaya. Berikan analgetik. Periksa tanda-tanda meningitis. Jika mendapatkan AZT atau EFV jelaskan bahwa ini biasa terjadi dan akan hilang sendiri. Jika dalam 2 minggu menetap atau memburuk, segera rujuk.

kemerahan/oranye Sakit kepala

Diare

Beri oralit atau cairan pengganti. Yakinkan kepada pasien bahwa ini adalah efek dari ARV yang akan segera membaik. Jika menetap maka segera rujuk.

Kelelahan

Pikirkan anemia, terutama pada penggunaan AZT. Periksa hemoglobin. Kelelahan biasanya berlangsung selama 4-6 minggu etelah AZT dimulai.

Tegang atau mimpi Ini mungkin disebabkan oleh penggunaan EFV. buruk Kuku kebiruan atau Yakinkan pasien bahwa hal ini biasa terjadi pada pemberian kehitaman Perubahan distribusi lemak Gatal atau kemerahan Jika menyeluruh atau mengelupas maka stop OAT dan ARV, di kulit Gangguan pendengaran keseimbangan Ikterus Lakukan pemeriksaan fungsi hati. Hentikan OAT dan ARV, serta segera rujuk. Ikterus perut dan nyeri Hentikan OAT dan ARV. Periksa fungsi hati. Untuk nyeri perutnya, mungkin karena adanya pankreatitis akibat ddI atau d4T. Muntah berulang Cari penyebab muntah. Jika akibat hepatotoksik, maka hentika OAT dan ARV. Penglihatan berkurang Demam Pucat, anemia Periksa penyebab demam dan berikan parasetamol Ukur kadar Hb dan singkirkan infeksi oportunistik. Jika Hb < 8 g/dl atau Hb < 7 g/dl pada wanita hamil, maka segera rujuk dan hentikan pemberian AZT/diganti d4T. Batuk atau kesulitan Ini mungkin IRIS atau infeksi oportunistik Hentikan pemberian ethambutol dan segera rujuk. Hentikan streptomisin dan segera rujuk ke unit DOTS AZT dalam Ini biasanya merupakan efek samping dari penggunaan d4T

bernafas Limfadenopati Ini mungkin IRIS atau infeksi oportunistik

BAB III ILUSTRASI KASUS Identitas Nama Usia Pekerjaan Pendidikan Status Anamnesis a. Keluhan Utama Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang disertai mual sejak 3 hari SMRS. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang disertai dengan mual sejak 3 hari SMRS. Sesak yang dialami pasien tidak diperberat oleh aktivitas. Sesak tidak pernah membangunkan pasien dari tidur dan pasien tidak membutuhkan bantal yang tinggi ketika tidur. Ketika sesak tidak terdengar adanya suara ngik-ngik. Selain sesak keluhan yang juga dirasakan pasien adalah mual, namun menyangkal muntah. Pasien mengaku pernah batuk selama 6 hari dengan dahak berwarna kuning disertai demam. Keringat malam disangkal. Riwayat penggunaan OAT disangkal. Pasien menyangkal pernah merokok dan menyangkal konsumsi alkohol serta NAPZA. Pasien mengaku pernah diare selama lebih dari 6 hari. BAB berisi ampas cair tanpa darah. Riwayat sex bebas dengan sejenis (+). c. Riwayat Penyakit Dahulu Alergi (+), HT (-), DM (-) d. Riwayat Keluarga Adik dan ibu rhinitis alergi, HT dan DM (-) : Tn. DA : 35 tahun : karyawan hotel : SMA : belum menikah

Jenis kelamin : laki-laki

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos mentis

Berat: 45 kg, tinggi: 170 cm Tanda Vital :

Tekanan darah: 110/70 mmHg Denyut nadi 90 kali/menit Frekuensi napas 22 kali/menit Suhu 36,8oC Mata Mulut Leher Jantung Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Hati Limfa Ginjal Ekstremitas : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-) : Lidah kotor, terdapat gumpalan putih pada faring : KGB tidak membesar : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-) : : dada simetris saat statis maupun dinamis. Tidak ada yang tertinggal. : fremitus kiri sama dengan kanan. tidak ada massa : sonor/sonor : bunyi napas vesikuler (+/+). ronki (-/-) wheezing (-/-) : Bising usus meningkat, nyeri tekan (-) : Tidak teraba : Tidak teraba : Tidak teraba : akral hangat, edema (-/-), clubbing finger (-)

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Leukosit Eritrosit Hb Ht : 18.400/ mm3 : 5,32 juta/ uL : 14,3 g/ dL : 42% Hitung jenis: 0 / 1 / 88 / 7 / 2

Trombosit : 511.000/ uL LED : 65 mm/s

Hasil tes imunologi: Anti HIV : (1) ELFA (antibodi): reaktif; (2) rapid I: reaktif; (3) rapid II: reaktif. CD 4 absolut 51 sel/mikroliter Hasil kultur MO: negatif Foto Toraks

Corakan infiltrat yang luas dengan kavitas

Diagnosis Kerja 1. TB paru BTA (?) LLKB 2. B20

Diskusi Pada anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami sesak napas sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit yang tidak diperberat oleh aktivitas dan tidak berbunyi ngikngik. Adanya demam selama 6 hari pada pasien menunjukkan sedang terjadinya inflamasi di dalam tubuhnya, kemungkinan adalah infeksi. Hal ini juga didukung dengan batuk yang dialami pasien dengan dahak berwarna kuning yang menandakan infeksi bakteri. Keluhan yang dialami pasien tidak secara spesifik menandakan infeksi Mycobacterium tuberculosis. Keluhan keringat malam dan riwayat penggunaan OAT juga disangkal oleh pasien. Pasien juga diketahui memiliki HIV dengan gejala adanya diare lebih dari 6 hari dengan konsistensi cair tanpa disertai darah. Serta terdapat riwayat sex bebas dengan jenis kelamin yang sama. Selain itu pada pemeriksaan fisik terlihat mulut pasien kotor dan terdapat gumpalan putih pada faring yang diduga merupakan kandidiasis oral. Pada pemeriksaan laboratorium, terdapat peningkatan leukosit yang mendukung adanya proses inflamasi. Foto toraks yang menampakkan gambaran corakan infiltrat yang luas dengan kavitas yang terdapat pada paru kanan pasien merupakan tanda terjadinya tuberkulosis paru pada pasien. .

DAFTAR PUSTAKA 1. Hudoyo A, Dianiati KS, Rusli A, Wiwieka S, Giriputra S. Diagnosis TB-Paru pada pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal Tuberkulosis Indoneisa. 2007:2;4. p. 1-5 2. WHO. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adults and adolescents: Recommendations for HIV-prevalent and resource-constrained settings. 2007 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI press; 2002. 4. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Tatalaksana HIV/AIDS. 2011. 5. WHO. Treatment of Tuberculosis: guideline. 4th ed. Switzerland: WHO Press; 2010.p.95. 6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 8. 2002.p.14 7. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian J Med 2004; 120.p.23.

Anda mungkin juga menyukai