Anda di halaman 1dari 21

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG BAYI PEREMPUAN USIA 26 HARI DENGAN MEGACOLON CONGENITAL

Oleh : Raja Amelia Putriana (G99122099)

Pembimbing: dr. Suwardi, Sp.B., Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH SMF ILMU BEDAH FK UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2013

STATUS PASIEN A. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS) 1. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Agama Alamat No RM Masuk RS Pemeriksaan : By. INK : 26 hari : Perempuan : Islam : Kemasan 01/09, Ngadirejo, Sukoharjo : 01215187 : 23 September 2013 : 24 September 2013

2. KELUHAN UTAMA (Alloanamnesa) Perut membuncit sejak 24 hari yang lalu

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien merupakan bayi berumur 26 hari dengan keluhan utama perut membuncit 24 hari yang lalu, sulit BAB, disertai muntah berwarna hijau. Pasien kemudian dibawa ke RSDM dan dirawat selama 7 hari di bagian pediatri dengan diagnosis sepsis late onset, hiperbilirubinemia dan observasi muntah. Setelah dipulangkan, selama 7 hari di rumah, pasien mengeluhkan perut yang semakin membuncit, disertai muntah. Pasien kemudian dibawa oleh keluarga ke RS Islam YARSIS. Di RS Islam

YARSIS pasien di infus, di injeksi obat-obatan dan dilakukan foto rontgen tetapi dikarenakan pasien ingin menggunakan fasilitas jampersal, pasien dirujuk ke RSDM dengan diagnosis megacolon congenital. BAK lancar dan tidak ada kelainan.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat keluar mekonium: (+) kurang dari 24 jam Riwayat alergi Riwayat asma Riwayat demam Riwayat mondok : disangkal : disangkal : disangkal : pernah mondok 7 hari di RSDM pernah mondok 7 hari di RS ISLAM Riwayat operasi : disangkal

5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Riwayat asma Riwayat hipertensi Riwayat DM Riwayat batuk lama Riwayat alergi Riwayat sakit serupa : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

6. RIWAYAT KEHAMILAN IBU Riwayat demam Riwayat merokok Riwayat konsumsi alkohol : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat ketuban pecah dini : disangkal Riwayat hipertensi kehamilan : disangkal

7. RIWAYAT PERSALINAN Pasien lahir secara spontan ditolong oleh bidan dengan usia kehamilan 9 bulan (aterm). Berat Badan lahir 3,2 kg dan langsung menangis kuat.

8. RIWAYAT GIZI Pasien mendapat ASI dengan BB= 3,5 kg dan TB 42 cm.

B. ANAMNESIS SISTEMIK 1) Kepala 2) Mata 3) Hidung 4) Telinga 5) Mulut : pusing (-) : pandangan kabur(-/-), pucat(-/-) : pilek (-), hidung tersumbat (-) :pendengaran berkurang(-/-), keluar cairan(-/-), : mulut kering (-), bibir biru (-), sariawan (-), gusi berdarah (- ), bibir pecah- pecah (-)

6) Tenggorokan 7) Respirasi 8) Cardiovascular

: sakit telan (-) : sesak (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), : nyeri dada (-), pingsan (-), kaki bengkak (-), keringat dingin (-), lemas (-)

9) Gastrointestinal

: mual (-), muntah (-), perut terasa panas (-), kembung (+), sebah (-), muntah darah (-), BAB warna hitam (-), BAB lendir darah (-), BAB sulit (-), perut buncit (+)

10) Genitourinaria

: BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)

11) Muskuloskeletal: nyeri otot (+), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-) 12) Ekstremitas Atas : : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-), terasa dingin (-/-) Bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-), terasa dingin (-/-)

C. PEMERIKSAAN FISIK 1) Keadaan Umum Keadaan umum Derajat kesadaran Derajat gizi 2) Tanda vital Heart Rate : 140x/menit : tampak sakit sedang : compos mentis : gizi baik

Frekuensi Pernafasan Suhu 3) Kulit

: 40 x/ menit : 36,70C

Kulit putih kecoklatan, kering, ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-) 4) Kepala Bentuk mesosefal, rambut kering (-), rambut warna hitam, sukar dicabut. 5) Wajah Odema (-), wajah orang tua (-) 6) Mata Cekung (-/-), Oedema palpebra (-/-), Odema periorbita (-/-), konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor (2mm/2mm), 7) Hidung Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi(-/-), low nasal bridge (+) 8) Mulut Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-), makroglotis (+) 9) Telinga Daun telinga dalam batas normal, sekret (-) 10) Tenggorok Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1 - T1

11)

Leher Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-)

12) Bentuk

Toraks : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : iktus kordis tidak tampak : iktus kordis tidak kuat angkat : batas jantung kesan tidak melebar : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Pengembangan dada kanan = kiri : Fremitus raba dada kanan = kiri : Sonor di seluruh lapang paru : Suara dasar vesikuler (+/+) Suara tambahan (-/-)

13)

Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : distensi (+), terpasang selang dubur (rectal tube) : bising usus (+) menurun : hipertimpani : lembut

14) Ekstremitas Akral dingin _ _ _ _ Oedem _ _ _ _

15) Genitourinaria Labia mayor Inspeksi: tanda infeksi (-) Palpasi: jaringan fibrotik (-)

D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Pemeriksaan Laboraturium tanggal 24 September 2013: Hematologi rutin

Hasil Pemeriksaan Hb Hct AE AL AT 13,5 43 4,38 16,6 354

Satuan
g/dl % 106/uL 103/uL 103/uL

Rujukan

10,8 -12,8 35 43 3,90 5,30 5,5 17,0 150 - 450

Golongan Darah Bilirubin total Bilirubin direk Bilirubin indirek HBsAg

B 1,7 0,60 1,10 Non Reaktif Mg/dl Mg/dl Mg/dl 0,00 1,00 0,00 0,30 0,00-0,70

Hasil Colon in Loop tanggal 20 September 2013:

Plain foto: Preperitoneal fat line kanan kiri normal Tampak dilatasi bowel loop, udara usus tampak prominen Tak tampak free air

Kesimpulan: Gambaran meteorismus

Kontras Study: -Dimasukkan bahan kontras iopamiro sebanyak 10 cc, tetapi baru masuk 5 cc terjadi reflux. Diambil foto AP, tampak kontras mengisi sebagian rectum. -Dicoba memasukkan lagi kontras sebanyak 10 cc, terjadi reflux lagi, diambil foto AP, tampak kontras mengisi rectum dan sebagian sigmoid, yang bercampur dengan udara usus -Selanjutnya dimasukkan bahan kontras sebanyak 10 cc lagi, terjadi reflux lagi, diambil foto lateral. Tampak bahan kontras mengisi rectum dan colon sigmoid. Tampak kaliber rectum bagian distal sempit, dan bertambah lebar ke proksimalnya. Rectosigmoid index <1.

Kesimpulan: Radiologis sesuai gambaran short segmen congenital megacolon

E. ASSESMENT Megacolon Congenital F. PLANNING Masuk rumah sakit, KBRT Washout dengan NaCl 0,9% hangat Pro TAERPT Konsul anestesi

TINJAUAN PUSTAKA

MEGACOLON CONGENITAL

Pendahuluan Megacolon congenital merupakan kelainan yang sering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kelainan ini pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Keadaan ini bisa muncul sesaat setelah kelahiran, dan menyebabkan konstipasi yang hebat, distensi abdomen, kadang muntah, serta gangguan pertumbuhan pada keadaan yang berat. Megacolon congenital juga dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon, atau Hirschsprung's disease (Wylie, 2007). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan (Kartono, 2004). Definisi Megacolon congenital (Hirschsprung's disease) adalah dilatasi kolon yang abnormal yang disebabkan tidak adanya sel ganglion mienterik pada segmen distal usus besar secara kongenital. Kehilangan fungsi motorik pada segmen ini akan menyebabkan dilatasi hipertrofik massif pada kolon proksimal yang normal.

Segmen yang aganglioner biasanya tetap menyempit, tetapi bisa berdilatasi secara pasif (Dorland, 2002).

Gambar 1. Ilustrasi megacolon congenital Etiologi Secara genetis, megacolon congenital bersifat heterogen, dan diketahui terdapat beberapa defek yang berlainan serta menimbulkan akibat yang sama. Sekitar 50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena merupakan jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf mienterikus. Banyak kasus sisanya terjadi akibat mutasi endotelin 3 dan reseptor endotelin (Kumar, 2007). Teori lain mengenai etiologi yang mendasari megacolon congenital ini adalah defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Namun, ada yang menyatakan bahwa neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi gagal untuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut (Lee, 2009). Patofisiologi Penyakit Hirschsprung (megacolon congenital) merupakan penyakit kongenital. Kelainan yang ada pada megacolon congenital yaitu ketiadaan ganglion

atau aganglionosis saraf intrinsik usus, mulai dari muskulus sfingter ani internum sampai ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu. Paling banyak, yaitu 80% dari keadaan aganglionosis ini terjadi pada segmen rektosigmoid. Selain aganglionosis, kelainan yang ditemui pada penyakit ini adalah hipertrofi persarafan usus eksterna terutama saraf kolinergik. Tidak adanya pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meisner) menyebabkan berkurangnya fungsi usus dan peristaltik. Sel ganglion usus berkembang dari neural crest. Pada perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan pada usus kecil pada usia gestasi 7 minggu dan mencapai kolon pada usia 12 minggu. Defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Teori lain menyatakan bahwa neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi terjadi kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut. Teori ini dapat disebabkan karena kurangnya komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel neuron seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor neurotropik. Ada dua pleksus yang mempersarafi usus, yaitu pleksus submukosa (Meisner) dan pleksus mienterikus (Auerbach) serta pleksus mukosa yang kecil. Pleksus-pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam berbagai aspek dari fungsi usus meliputi absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas normal terutama dikontrol oleh neuron interinsik. Ganglion sebagai neuron interinsik berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari usus halus. Kontrol eksterinsik terutama melalui persarafan kolinergik dan adrenergik. Kolinergik menyebabkan kontraksi dan adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada pasien megacolon congenital, sel ganglion tidak ada sehingga menyebabkan meningkatnya inervasi ekstrinsik. Inervasi dari sistem kolinergik maupun adrenergik meningkat 2-3 kali dari inervasi normal sehingga menyebabkan meningkatnya tonus usus halus. Dengan hilangnya inervasi intrinsik dan meningkatnya tonus usus halus yang tidak dihambat, menyebabkan terjadinya kontraksi otot tidak seimbang, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. Obstruksi ini mengakibatkan usus tidak

mampu meneruskan gerakan peristaltik ke bagian yang lebih distal yang tidak mengandung sel ganglion dan juga tidak ada reflek membuka pada muskulus sfingter ani internum (Lee, 2009).

Manifestasi Klinis Tiga tanda khas dari megacolon congenital, yaitu: 1. Keterlambatan evakuasi mekoneum lebih dari 24-48 jam pertama Pada 99% bayi yang lahir cukup bulan (aterm) mekoneum keluar dalam 48 jam pertama setelah kelahiran. Megacolon congenital perlu dicurigai pada bayi yang lahir cukup bulan yang mengalami keterlambatan evakuasi mekoneum. Meskipun pada beberapa bayi dapat mengeluarkan mekoneum secara normal, tetapi pada akhirnya akan berlanjut menjadi konstipasi kronik. Gejala lain yang mungkin terjadi pada neonatus lainnya seperti konstipasi yang diikuti diare berlebih yang sering teridentifikasi sebagai enterokolitis, abdomen yang meregang, dan kegagalan perkembangan. 2. Distensi abdomen Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tanda-tanda edema, bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan sekitar genitalia ditemukan bila terjadi komplikasi peritonitis. Gambaran abdomen tersebut mirip dengan gambaran abdomen pada penyakit lain seperti enterokolitis nekrotikans neonatal, atresia ileum dengan komplikasi perforasi, atau peritonitis intrauterin. 3. Muntah yang berwarna hijau

Muntah berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat terjadi pula karena gangguan pasase usus, seperti atresia ileum, enterokolitis nekrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine (Kartono, 2004). Diagnosis A. Anamnesis Anamnesis (alloanamnesis) didapatkan riwayat keterlambatan evakuasi mekoneum. Mekoneum normal berwarna hijau, sedikit lengket, dan dalam jumlah yang cukup. Selain itu, didapatkan keluhan lainnya seperti distensi abdomen (kembung) dan muntah hijau sebagai akibat dari obstruksi usus letak rendah. Megacolon congenital dengan komplikasi enterokolitis menampilkan distensi abdomen disertai diare dengan fases cair becampur mucus dan berbau busuk, dengan atau tanpa darah, dan umumnya berwarna kecoklatan. Pada anak yang sudah besar terdapat keluhan konstipasi kronik sejak lahir dan menunjukkan kesan gizi kurang. Biasanya pasien mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit yang sama. B. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang membuncit, kembung, dan tampak pergerakan usus. Pada Pemeriksaan rectal toucher ketika jari ditarik keluar diikuti keluarnya fases yang menyemprot. C. Pemeriksaan penunjang Untuk mendeteksi megacolon congenital secara dini pada neonatus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium. 1. Foto polos abdomen Megacolon congenital pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Jarang terlihat udara bebas intraperitonial yang menginisiasi adanya

perforasi usus proksimal karena megacolon congenital. Gambaran obstruksi letak rendah seperti pada atresia ileum, sindrom sumbatan mekoneum, atau sepsis. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi ileum dan distensi kolon sulit dibedakan. Pada pasien bayi dan anak, gambaran distensi kolon dan massa fases lebih terlihat jelas (Andrassy, 2000). 2. Foto enema barium Enema barium berisi kontras cairan yang larut dalam air dan memiliki reliabilitas yang tinggi. Gambaran yang karakteristik pada aganglionosis kolon adalah barium akan masuk ke dalam rectum yang tidak mengembang, kemudian masuk ke area yang berbentuk corong, dan selanjutnya masuk ke dalam kolon yang melebar (megakolon), ini adalah gambaran dari aganglionosis segmen pendek. Pada aganglionosis segmen panjang akan tampak seluruh kolon menyempit sehingga tidak dapat dilihat area berbentuk corong (Hasmija, 2007).

3. Pemeriksaan Patologi Anatomi Biopsi rektal merupakan gold standar untuk diagnosis megacolon congenital. Swenson pada tahun 1955 mengeksisi seluruh tebal dinding muskulus rectum sehingga pleksus meinterikus dan bagian submukosa dapat diperiksa. Terdapatnya ganglion dalam specimen biopsi menyingkirkan diagnosis megacolon congenital, begitu juga sebaliknya (Kartono, 2004). Penatalaksanaan Pada dasarnya terapi untuk megacolon congenital adalah pembedahan dengan mengangkat segmen usus yang aganglioner, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada megacolon congenital berupa bedah sementara dan bedah definitif.

A. Tindakan bedah sementara Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion normal yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus dilakukan. Tindakan ini dilakukan untuk menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis yang dikenal sebagai penyebab utama kematian. Kolostomi tidak dilakukan bila tindakan dekompresi secara medik berhasil dan langsung direncanakan bedah definitif. Kolostomi dilakukan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, dan pasien dengan enterokolitis yang berat disertai keadaan umum yang memburuk (Kartono, 2004). B. Tindakan bedah definitif Ada beberapa cara pembedahan untuk tindakan bedah definitif, antara lain: 1. Prosedur Swenson Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megacolon congenital dengan metode "pull-through". Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I. Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur

Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I (Kartono , 2004). 2. Prosedur Duhamel. Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan nervi erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis. Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan tersebut dengan cara melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang kateter sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis superior dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan mencapai anus. Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh darah dan kolon proksimal dengan cara menghindari regangan yang berlebihan. Setelah segmen kolon yang aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan. Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan endoanal setengah lingkaran dan dari lubang sayatan ini segmen kolon proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis "end to side" setinggi sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum yang tidak sempurna (Holschneider, 2005). 3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ).

Prinsip teknik ini adalah diseksi ekstramukosa rektosigmoid yang mulamula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi. Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi anorektal manual serta pemberian antibiotik. Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal, dengan membuang lapisan mukosa

rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri melewati lubang kolostomi dan dipasang kateter. Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik ke distal melewati cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong setelah 21 hari. ( Kartono, 2004 ). 4. Prosedur Boley. Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih dulu ( Kartono, 2004 ). 5. Prosedur Rehbein. Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan anastomosis "end to end" antara kolon yang berganglion dengan sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Teknik ini sering menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang (Holschneider dan Ure, 2005).

6. Prosedur miomektomi anorektal.

Pada pasien-pasien dengan megacolon congenital segmen ultra pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion ( Teitelbaum at al, 2006 ). 7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through. Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidone-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa. Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konstipasi dan striktur anastomosis (Langer, 2004). Komplikasi Komplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada penderita yang dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma, striktur, prolaps dan ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur dan retraksi setelah tindakan anastomosis dapat dicegah dengan cara pengamatan yang teliti pada keadaan vaskularisasi kolon yang akan dilakukan pull-through serta menjaga agar anastomosis usus tidak dalam keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat muncul terlambat antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat terjadi pada 50% kasus (Langer, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Andrassy RJ, Isaacs H, Weitzman JJ. 2000. Rectal Suction Biopsy for the Diagnosis of Hirschsprung's Disease. http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=13450 Hasmija MH, Nunik A. 2007. Total Megacolon Congenital Aganglionesis Colon/ Penyakit Hirschsprung. Berkala Kesehatan Klinik. 13: 118-122 Holschneider A, Ure BM. 2005. Pediatric Surgery: Hirschsprung's Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto Kumar V, James M C. 2007. Buku Ajar Patologi: Penyakit

Hirschsprung/Megakolon Kongenital. Jakarta: EGC Langer JC. 2004. Persistent obstructive symptoms after surgery for Hirschsprung's disease: development of a diagnostic and therapeutic algorithm. J Pediatr Surg. 39:1458. Lee SL, Shekerdimian S, DuBois. 2009. Hirschsprung's Disease. http://www.emedicine.medscape.com Teitelbaum DH and Coran AG. Pediatric Surgery: Hirschsprung's Disease and Related Muscular Disorders of the Intestine. Philadelphia: Mosby Elsivier Wylie R. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics: Motility Disorder and Hirschsprung's Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders

Anda mungkin juga menyukai