Anda di halaman 1dari 8

JOURNAL READING BLOOD TRANSFUSION IN CRITICAL CARE

PEMBIMBING : Dr. Iranima , SpAn

Disusun Oleh : RYAN MAIKA SANJAYA 1102008226 IBNU ABBAS RIZKI HARYADI 1102007137 1102006230

Kepaniteraan Klinik Anestesiologi Rumah Sakit Gunung Jati Cirebon OKTOBER 2013

TRANSFUSI DARAH PADA PERAWATAN INTENSIF

Pendahuluan Pemindahan jaringan sehat untuk pasien sebagai modalitas terapi pada awalnya dimulai dengan transfusi darah. Tindakan ini telah menjadi subyek banyak penelitian, seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan.. Pasien di unit perawatan intensif, merupakan kelompok besar calon penerima transfusi. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut sebelum memberikan transfusi, karena dapat memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Sebelum William Harvey mengemukakan teori sirkulasi darah pada tahun 1628 , ide transfusi darah dari individu muda dan sehat ke individu tua untuk memperbaiki kesehatan sudah muncul . Richards Lowers melakukan eksperimen transfusi pertama yang dilakukan pada anjing pada abad ke-17. James Blundell dan Dr Leacock di Abad ke-18 menyimpulkan bahwa hanya manusia yang bisa menjadi sumber untuk transfusi darah ke sesama manusia. Penemuan golongan darah ABO oleh Karl Landsteiner pada tahun 1901 dan sitrat antikoagulan oleh A Hustin dan L Agota pada tahun 1914 merupakan dasar untuk transfusi darah modern. K Landsteiner dan Wiener A menemukan sistem darah Rh pada tahun 1940 . Sejak saat itu, teknik transfusi darah telah berubah , dari hanya whole blood yang dikumpulkan dalam botol kaca , disimpan pada suhu tertentu dan ditransfusikan tanpa skrining untuk setiap infeksi, hingga pengumpulan darah dalam kantong aseptik dengan antikoagulan , penyimpanan pada suhu optimal, skrining untuk infeksi dan kemudian dibuat sediaan whole blood atau komponen darah . Pada tahun 1981, setelah penemuan virus AIDS , transfusi darah mendapat perhatian khusus . Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis berbagai aspek transfusi darah pada pasien dengan sakit berat. Masalah Anemia adalah masalah umum pada pasien ICU. Perbedaan pendapat tentang risiko anemia dan manfaat transfusi darah dalam situasi ini . Yang pertama adalah bahwa anemia mungkin tidak ditoleransi dengan baik oleh pasien sakit berat, selain menyebabkan penurunan dalam kapasitas pengangkutan oksigen. Transfusi darah digunakan dengan maksud untuk meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan dan untuk menghindari efek buruk dari kekurangan oksigen . Sebagai contohnya transfusi darah / sel darah merah pada pasien dengan hemoglobin di bawah 10 GDL. Di antara banyak penyebab anemia pada penyakit kritis , yang paling penting adalah kondisi sepsis , haemolyis , penurunan produksi erythropoitin endogen dan imunitas yang terkait defisiensi besi , dan kehilangan darah terbuka atau terselubung ( termasuk pengambilan sampel darah yang sering) . Smoller dan Kruskall menemukan bahwa rata-rata 65 mL darah dikeluarkan dari pasien ICU setiap harinya.. Pasien sakit berat berisiko terjadi penurunan sistem imun dan komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah. Transfusi mungkin tidak menambah pengangkutan oksigen pada kondisi ini. Terdapat penelitian yang

menunjukkan bahwa setelah enam jam pasca transfusi, pengangkutan oksigen pada

tidak mempengaruhi tingkat pasien sepsis.

Oleh karena itu, terdapat dilema apakah diperlukan transfusi darah pada pasien atau tidak . Di satu sisi , seorang pasien dengan anemia berat menderita kekurangan daya angkut oksigen yang dapat mengarah ke meningkatnya curah jantung, yang pada akhirnya meningkatkan beban kerja jantung dan meningkatkan risiko iskemia miokard, khususnya pada pasien lanjut usia atau pasien dengan gangguan jantung.. Juga dapat terjadi efek buruk akibat pasokan oksigen rendah yang kronis pada berbagai organ tubuh. Di sisi lain , ada kekhawatiran tentang efek buruk transfusi darah atau komponen darah , yaitu risiko infeksi , imunosupresi dan risiko tumor. Darah dan produk darah Darah dapat ditransfusikan baik secara keseluruhan atau dalam bentuk salah satu komponennya . a . Whole blood : darah utuh didapat dengan veneseksi dan dikumpulkan ke dalam plastik steril sekali pakai , yang berisi antikoagulan dan pengawet. Cairan pengawet ini biasanya berisi sitrat , fosfat , dekstrosa dan adenin. b.Komponen darah : i . PRC (Packed Red Cell) : Ini adalah komponen sel yang paling sederhana dan dapat disiapkan dengan mengendapkan darah dalam waktu semalam di lemari es pada suhu 2o 6o C dengan sentrifugasi. Plasma dapat dipisahkan dengan memindahkan ke dalam kantong kedua. Konsentrat sel darah merah juga dapat mengandung sel darah putih . ii . Red Cell Suspension : disiapkan dengan menambahkan solusi pengencer aditif yang diformulasikan untuk mengawetkan sel darah merah . teknik pembekuan sel darah merah dikembangkan untuk memperpanjang masa penyimpanan dan menghindari kekurangan di bank darah. iii . Leukosit : tidak terbukti kegunaannya secara klinis . Penghapusan sel-sel darah ini justru dapat mengurangi kejadian demam dan risiko penularan sitomegalovirus ( CMV ) dan agen infeksi lainnya melalui transfusi . iv . ' Buffy Coat ' depleted Red Cells : Penghapusan leukosit dari darah membutuhkan sentrifugasi terkendali sehingga sel darah merah mengendap ke bawah. Leukosit dan sebagian besar trombosit tetap dalam lapisan yang disebut ' buffy coat.

v .leucocyte depleted red cells : filter khusus leukosit digunakan untuk menghilangkan hampir semua leukosit pada saat transfusi.

vi . Plasma : Plasma dipisahkan dari seluruh darah dengan sentrifugasi atau dengan membiarkan sel darah merah untuk mengendap di bawah dengan gaya gravitasi . Hal ini juga dapat dikumpulkan dari para donor dengan plasmapheresis . vii . Konsentrat trombosit : Trombosit umumnya dipisahkan dari plasma serta pemberian komponen ini biasanya memerlukan infus cairan saline . viii . Fraksi Plasma : Albumin , faktor koagulasi dan immunoglobulin didapatkan dari plasma dengan fraksinasi .

Pemicu Transfusi Pertanyaan tentang waktu transfusi menjadi hal penting dalam karena adanya risiko yang terkait dengan transfusi darah. Secara konvensional , pasien dengan hematokrit yang nilai kurang dari 30 % merupakan kandidat untuk transfusi darah. Walaupun tingkat Hb rendah dapat merugikan pasien ICU, akan tetapi penelitian belum menunjukkan manfaat transfusi darah pada pasien dengan kondisi ini, meskipun transfusi dapat meningkatkan kadar pengiriman oksigen , Salah satu alasannya adalah, darah transfusi tidak berfungsi sebaik darah pasien sendiri , terutama dalam 12 pertama 24 jam pasca transfusi , dikarenakan adanya penurunan kadar 2,3 diphosphoglycerate ( DPG ) dan adanya perubahan bentuk sel . Bahkan , Marik dan Sibbald mengamati bahwa transfusi dengan darah yang disimpan lebih dari 15 hari dikaitkan dengan perkembangan iskemia splanikus pada pasien dengan sepsis. Selanjutnya, dalam sebuah penelitian yang membandingkan strategi transfusi ( mempertahankan tingkat Hb antara 10 GDL 1 dan 12 GDL - 1 ) dengan strategi transfusi restriktif ( mempertahankan tingkat Hb antara 7 GDL - 1 dan 9 GDL - 1 ) , ada kecenderungan ke arah hasil yang lebih baik pada kelompok transfusi restriktif.

Pertimbangan transfusi darah. Darah merupakan produk biologis , sehingga ada kemungkinan reaksi negatif terhadap transfusi untuk pasien dan pasien harus dijaga terhadap kemungkinan tersebut . Reaksi ini dapat secara luas diklasifikasikan dalam kelompok berikut : a . Reaksi hemolitik : Meskipun kemajuan dalam pemahaman antigen sel darah merah dan reaktivitasnya, reaksi hemolitik akut setelah transfusi masih terjadi dalam rentang dari 1 : 2,50,000 hingga 1: 1 juta orang. Sebagian besar terjadi karena ketidakcocokan ABO sebagai akibat dari kesalahan administrasi. Karena adanya peningkatan kewaspadaan mengenai identifikasi pasien, terdapat kecenderungan penurunan kesalahan. Selain itu, 1 dari 1000 pasien memiliki manifestasi klinis reaksi transfusi yang tertunda dan 1 dari 260.000 pasien memiliki reaksi hemolitik yang berhubungan dengan antigen minor dibawa oleh RBCs30 yang tidak

terdeteksi oleh uji antibodi sebelum transfusi . reaksi ini lebih pada pasien dengan penyakit sickle cell. b . Kontaminasi Sel darah merah : Meski tidak umum ,Yersinia enterocolitica telah terlibat dalam kontaminasi unit sel darah merah yang secara langsung berkaitan dengan durasi penyimpanan, dengan Yersinia yang telah dilaporkan terdapat setelah waktu penyimpanan 7-14 hari sebelum transfusi . Di Amerika Serikat , antara Januari 1987-Februari 1996 ,terdapat 20 kasus yang dilaporkan ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit ( CDC ) , dimana 12 diantaranya meninggal. Sebuah laporan dari Selandia Baru menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi oleh Y. enterocolitica adalah 1 per 65.000 unit transfusi sel darah merah , dengan tingkat kematian dari 1 per 104.000. Kontaminasi darah dengan bakteri menyebabkan hemolisis , yang dalam beberapa kasus dapat dilihat dengan warna yang lebih gelap dari darah di kantong jika dibandingkan dengan darah yang terlampir di tubing. c . Kontaminasi Trombosit : Risiko kontaminasi trombosit lebih tinggi dengan transfusi trombosit yang dikumpulkan dari beberapa donor dibandingkan untuk unit trombosit yang diperoleh dari donor tunggal dengan apheresis. Dalam urutan , organisme yang paling sering terlibat adalah Staphylococcus aureus , Klebsiella pneumoniae , Serratia marcescens , dan Staph . epidermidis. Gambaran klinis pasien dengan sepsis terkait trombosit dapat berkisar dari demam ringan sampai sepsis akut . Pada setiap pasien yang terdapat demam dalam waktu enam jam setelah infus trombosit, memiliki kemungkinan terjadi kontaminasi komponen maka harus diperiksa dan pemberian antibiotik empiris dipertimbangkan.Teknik penyimpanan trombosit yang baik dapat mengurangi proliferasi bakteri dan risiko infeksi . d . Penularan Virus : Kasus pertama transfusi yang terinfeksi HIV terjadi pada akhir 1982 dan awal 1983, dan sejak itu bank darah mulai menanyakan donor dengan kebiasaan yang berisiko tinggi dan terbukti langkah-langkah ini mengakibatkan penurunan dalam transfusi terkait infeksi HIV. Setelah pelaksanaan pemeriksaan antibodi HIV pada Maret 1985, hanya sekitar 5 kasus transfusi terkait infeksi HIV per tahun yang dilaporkan di USA. Pengujian darah untuk HBV sebelum transfusi dan meluasnya penggunaan vaksinasi terhadap HBV telah secara drastis mengurangi transmisi virus ini melalui transfusi darah . Risiko transmisi hepatitis non - A , hepatitis non - B sangat berkurang dengan ditemukannya HCV dan pelaksanaan tes untuk antibody HCV. Hal ini penting karena infeksi HCV pasca transfusi pada 85 % kasus menjadi kronik , 20 % kasus menjadi sirosis dan 1-5 % mengarah ke carcinoma hepatoseluler .Infeksi akan berkembang di 20-60 % penerima darah yang terinfeksi HTLV - I atau HTLVII . Namun, darah yang telah disimpan selama lebih dari 14 hari dan produk darah non -selular tampaknya tidak infeksius. e . Penurunan fungsi imun : efek imunosupresif dari transfusi darah alogenik telah ditemukan secara klinis pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal dan pada wanita yang memiliki riwayat abortus berulang, dan pada pasien sakit berat, system kekebalan dapat terpengaruh. Setelah transfusi PRBC ,terjadi penurunan produksi interleukin - 2 dan peningkatan produksi

prostaglandin E2, Penurunan sel helper CD4 , interleukin 2 , dan sel-sel pembunuh alami (NK), sedangkan terjadi pula peningkatan sel supreesor B dan CD 8 sel. Beberapa fungsi kekebalan tubuh kembali normal dalam beberapa jam setelah transfusi , tetapi bukti menunjukkan bahwa dalam jangka panjang akan terjadi perubahan permanen dalam fungsi kekebalan tubuh. f . Transfusion Related Acute Lung Injury ( TRALI ): menunjukkan suatu gangguan pernapasan akut yang terjadi dalam waktu empat jam setelah transfusi dan ditandai oleh dispnea dan hipoksia karena edema paru noncardiogenik. Dalam beberapa kasus , antibodi donor darah dengan HLA atau neutrofil antigenik spesifisitas bereaksi dengan neutrofil penerima donor , yang menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrosirkulasi paru .Kewaspadaan dan pengobatan yang diperlukan sangat penting untuk mengurangi terjadinya hal yang tidak diinginkan. g .Penggunaan autologous darah mungkin meminimalkan risiko perioperatif transfusi , namun penelitian telah menunjukkan efek serupa terhadap angka infeksi pasca operasi, kekambuhan kanker dan atau tingkat kelangsungan hidup pada pasien yang menerima darah allogenik

Alternatif pengganti pemberian darah Telah diuraikan bahwa transfusi darah atau produk darah bukan tanpa bahaya . Oleh karena itu , banyak upaya yang dilakukan untuk mengembangkan alternatif pemberian darah. Upaya telah menyertakan pengembangan Larutan Hb bebas sel dan emulsi perfluoro karbon. Larutan hemoglobin dipolimerisasi atau di cross-linked atau keduanya untuk memaksimalkan waktu d dalam sirkulasi dan untuk meminimalkan nefrotoksisitas. Kelebihan produk tersebut adalah waktu penyimpanan yang panjang, dapat disimpan pada suhu kamar serta biokompatibilitas universal. Kekurangan produk ini adalah dapat mengganggu tes laboratorium , waktu sirkulasi yang relatif singkat dan perfluorokarbon memerlukan konsentrasi inspirasi 100 % agar efektif. Stimulan erythropoiesis Penelitian pada anemia juga menunjukkan tingkat EPO yang rendah di dalam sirkulasi. Pemberian eritropoietin rekombinan manusia ( r - HuEPO , epoetin alfa ), dapat digunakan untuk merangsang produksi sel darah merah pada pasien anemia. Ini terbukti meningkatkan kadar Hemoglobin dan mengurangi kebutuhan transfusi pada berbagai kebutuhan, termasuk anemia pada pasien kanker yang menerima kemoterapi dan anemia pada pasien HIV yang menerima rejimen AZT. Angka bebas transfusi, yang berarti tidak menerima transfusi antara hari ke-8 sampai hari ke-42 ,juga cenderung meningkat dengan pemberian epoetin alfa ( 55 % vs 45 % untuk plasebo ). Dengan demikian , penggunaan Epoetin alfa telah terbukti secara signifikan

mengurangi jumlah transfusi darah.. Epoetin alfa dapat menjadi alternatif penting , mengurangi jumlah transfusi dan karenanya mengurangi risiko transfusi. Blood Salvage Perioperative red cell salvage ( PCS ) telah banyak digunakan di Amerika Serikat dan Eropa selama lebih dari dua puluh tahun untuk menghindari penggunaan darah alogenik. Sejauh ini yang paling luas didokumentasikan untuk PCS adalahteknik yang dikenal sebagai pemisahan sel sentrifugal. Teknik menggunakan mesin untuk darah dari luka selama operasi, mengkonsentrasikan sel darah merah, kemudian mencucinya mereka dengan saline. Produk akhirnya adalah sel darah merah pasien sendiri dalam larutan garan, yang nantinya diberikan kembali ke tubuh pasien. Metode lain adalah dengan menggunakan penyaring dan pembersih untuk memproses darah intra operasi. Metode ini menggunakan tekanan yang lebih rendah ( 80100 mmHg ) untuk menghindari hemolisis sel darah . PCS dapat digunakan dalam keadaan darurat ( lih. predeposit autologous ) dan tidak melibatkan tambahan manuver fisiologis yang membahayakan ( lih. hemodilusi normovolaemic akut ), dapat digunakan sebagai pasokan darah. Teknik dapat digunakan sumber darah berasal dari luka yang bersih, perkiraan perdarahan lebih dari 20 % , perdarahan tidak bias diprediksi secara akurat atau bila tidak ada alternatif sumber darah lain. Kontraindikasi penggunaan teknik ini adalah : darah mengandung sel maligna / isi usus, kontaminasi darah, infeksi sekitar tempat pengambilan darah. Keamanan Darah Dengan lebih dari 75 juta unit darah diperkirakandisumbangkan setiap tahun , perhatian untuk keamanan darah meningkat. Menghindari kesalahan transfusi dan infeksi pasca transfus harus menjadi prioritas tinggi .Pengujian asam nukleat dari darah donor mengurangi risiko HIV dan HCV. Teknik inaktivasi patogen ( misalnya psoralen dengan radiasi ultraviolet ) cukup menjanjikan.

Pemanasan darah Pemanasan darah diperlukan bila diperlukan transfusi dalam jumlah besar ( dewasa : > 50 ml/kg/ jam anak-anak : > 15 ml/kg/jam ). Transfusi > 100 cc / menit dapat menyebabkan cardiac arrest. Penghangat darah yang tersedia sebagai pemandian air termostatik ( Portex ) , pemanasan melalui pipa ( BairHugger ) dan dengan pemanasan lengan. Panas lebih dari 42 oC akan mengakibatkan denaturasi protein. Menjaga kehangatan pasien mungkin lebih penting daripada pemanasan darah dalam transfusi.

Microaggregate filter Indikasi umum untuk penggunaan agregat mikrofilter adalah transfusi massif, transfusi selama cardiopulmonary bypass dan untuk pasien politrauma . Dikenakan tambahan biaya transfusi tapi tidak memberikan manfaat secara klinis, namun mungkin dapat mengurangi demam.

Transfusi di Masa Depan Darah dan komponennya kemungkinan akan semakin aman dengan berkembangnya teknologi, seperti metode pengujian baru dan penonaktifan pathogen, yang nanti akan meningkat sesuai dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk transfusi.

Kesimpulan Kondisi Pasien dengan sakit berat di ICU berada di bawah tekanan sehingga toleransi tubuh terhadap perubahan fisiologis terbatas. Untuk waktu yang sangat lama, transfusi darah, telah digunakan untuk meningkatkan oksigenasi dan meningkatkan ketahanan umum pasien . Masalah transfusi terutama terkait penularan infeksi dan penurunan daya tahan telah berpengaruh terhadap peraturan transfusi. Selain itu, perhatian lebih banyak pada penggunaan erythropoitin dan PCS untuk mengurangi transfusi darah alogenik. Namun, seperti bidang dari praktek medis lain , keputusan untuk transfusi harus perlahan dan hati-hati . .

Anda mungkin juga menyukai